BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN ASGHAR ALI ENGINEER
“TEOLOGI PEMBEBASAN ISLAM”
A. Latar Belakang
Kedatangan
Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara
sangat signifikan dalam panggung sejarah kehidupan umat manusia. Tidak
diragukan lagi, Islam telah menjadi penanda perubahan, bukan hanya dalam
teologi, namun juga dalam sosial, politik dan ekonomi. Namun demikian setelah Nabi
Muhammad meninggal, terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi pada
kepentingan pribadi. Sebagian lain mendukung sebagain lainya menolak, dengan
menggunakan kekuatan pemahaman teologi sebagain dari mereka berrebut kekuasaan
atas nama agama. Kemudian tampillah orang-orang yang yang menginginkan status
quo, sehingga islam menjadi hilang daya revolusionernya sampai sedemikian jauh.
Dan semenjak itu perhatian umat tercurah pada masalah-masalah teologi. Kondisi
ini ditambah dengan persinggungan antara Islam dan ilmu pengetahuan Yunani,
selain membawa sejumlah keuntungan, juga menimbulkan dampak negatif.
Persinggungan dengan ilmu pengetahuan Yunani ini mengakibatkan kalangan elit
Islam semakin bersemangat untuk melakukan intelectual exercise yang
bersifat spekulatif. Dan teologi Islam yang sebenarnya sangat dekat dengan
masalah keadilan sosio-ekonomi-politik (ada banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an
yang membahas golongan masyarakat lemah, seperti yatim piatu, janda, fakir
miskin, budak dan seterusnya), mulai mengalihkan perhatian pada masalah
eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi (worldly questions).
Ternyata
persinggungan tersebut hanya menguntungkan sebagian kecil elit intelektual. Dan
teologi Islam yang bersifat duniawi dan betul-betul spekulatif ini membagi
masyarakat menjadi dua kelompok, yakni kaum teolog di satu pihak, dan
masyarakat awam di pihak lain. Selanjutnya, Islam yang revolusioner itu menjadi
hilang vitalitasnya. Sekolah-sekolah teologi dan hukum mulai mulai menancapkan
eksistensinya, dan bersamaan dengan itu, Islam tidak lagi mempedulikan masalah
keadilan sosio-ekonomi. Umat Islam hanya menyisakan sedikit rasa peduli
terhadap golongan yang lemah, dan lenyaplah elan vital keadaan Islam yang
distributif. Dan kemudian selama abad pertengahan ini, feodalisme tumbuh dengan
suburnya.
Oleh
karena itu, yang sekarang sangat diperlukan adalah menggali kembali nilai-nilai
yang revolusioner di dalam teologi Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an. Di
dalam penerapan ajaran-ajaran Islam yang membebaskan dalam arti pemahaman
teologi yang berorintasi pada kehidupan nyata. Salah satu bagian penting adalah
terciptanya hubungan yang harmonis antara berbagai komunitas religius dalam
masyarakat multi agama. Hubungan yang harmonis ini dikatakan penting, karena
jika terjadi yang sebaliknya, yakni konflik, maka perkembangan Islam justru
akan mengarah pada tumbuhnya ortodoksi, bukan pembebasan. Asghar Ali Engineer
tampil sebgai tokoh pengerak pembaharu pemikiran islam dalam ranah teologi, ia
mencoba membebasakan paradigma kungkungan yang membelit pemahaman teologi,
dengan mengenalkan ideologi baru tentang
“teologi pembebasan” sebagai media menuju kebebasan dalam memahami agama. Lebih
lanjut akan diulang pada pembahsan selanjutnya.
a. Biografi Asghar Ali Engineer dan Pemikiran
Teologi Pembebasan Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Asghar Ali Engineer
Asghar
Ali Engineer adalah seorang Muslim India. Ia merupakan seorang pemikir, penulis
dan aktivis sekaligus. Pemikirannya yang paling dikenal adalah mengenai Islam
dan Teologi Pembebasan. Asghar lahir pada 10 Maret 1939 di Kalkuta India, dari
pasangan Syaikh Qurban Husain dan Maryam.Asghar
merupakan seorang insinyur sipil yang seluruh jenjang pendidikanya dilaluinya
di India, Berbeda dengan pemikir kontemporer pada umunya, yang sebagin besar
pendidikan merekan peroleh di luar tanah air mereka. Ayahnya merupakan seorang
ulama pemimpin kelompok Daudi Bohras. Jengjang demi jenjang pendidikan
formalnya dapat dilalui dengan lancar, setelah selesai menamatkan pendidikan
dasar dan menengahnya, dirinya melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas
Vikram, India dimulai pada tahun 1956 dalam disiplin ilmu teknik, selang enam
tahun tepatmya tahun 1962, Asghar berhasil menyelesaikan dan berhasil
mengantongi gelar sarjana teknik sipil (B.Sc. Eng). Selepas
kelulusnya, Asghar mualai mengeluti profrsinya sebagai insiyur sipil yang
berjalan terbilang sangat lama, hingga datanglah masa dimana dirinya dihadapkan
dengan berbagai problematika yang menyebabkan dirinya berada dititik jenuh atas
keadaan pada waktu itu. Hingga akhirnya denga sangat serius ia mengeluti
persoalan-persoalan dalam agama, yang mana ia tungkan dalam tulisanya sebagai
respon yang di berikan atas kondisi pada waktu itu, dengan objek
analisis-kritisnya terhadap aspek dalam agama.
Hal
tersebut nampak dapat dipantaskan, dengan alasan adanya korelasi dasar atas
pendidikan yang pernah ia perolah, yaitu tentang agama. Mencuatnya kemampuan
keagamaan Asghar bukan tidak alasan ataupun tanpa dasar, semasa kecilnya ia
didik oleh ayahnya yang tidak lain merupakan seorang ulama Syi’ah. Dari Ayahnya
tersebut dirinya banyak mendapatkan ilmu agama seperti; Bahasa Arab dengan
intensif, Tafsir, Ta’wil Al-Qur’an, Fiqh, Hadis, dan, selaian itu Asghar juga banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan
Karl Marx. Ia mengaku telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini
terbukti sangat berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan
gagasannya dengan bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan,
revolusi, perubahan radikal, dan sebagainya. Hal tersebut wajar terjadi, lantaran kemampuanya dapat
mengausa berbagai bahasa antara laian Urdu, Inggris, Persi dan Arab. Dari
kualitas pengajaran Ayahnya, ia mendapatkan banyak wacana tentang dunia
keislaman baik klasik maupun moderen.
Sebagai
akademisi tentulah akrab dengan berbagai karya tulis, terebih Asghar merupan
salah seorang reformis Islam yang mencoba membebaskan umat Islam dari
keterkungkungan pemahaman Spekulatif dan metafisika. Kemampuanya dalam karya
tulisnya yang mengalir itu, didasari pada dorongan atas keterlibatanya di
berbagai kelompok-kelompok kajian ilmiah. Dari situ, kualitas akademis
sekaligus aktivisnya diakui banyak kalangan, terbukti dengan tersebanya
berrbagai karya tulisnya ke berbagai kawasan akademis seperti yang diterbitkan
di negara Amerika, yang berjudul tha Islamic State; di London, Women
Right in Islam; di Malaysia, The Origin and Development of Islam dan
lain seagainya.
Seperti yang diungkap di atas, keterlibatannya berbaur menjadi aktifis, tidak
hanya menjadi anggota pasif, sebaliknya ia menjadi tokoh yang memeliki peranan
peting yaitu pada posisi pemimpin.
Dalam
terelibatanya menjadi seorang aktivis, Asghar merupakan potren seorang Da’i,
pemimpin sekte Syi’ah Ismailiyyah, daudi Bohras di India pada
tahun 1972. Pada tahun 1980, ia membentuk Institute of Islamic Studies, di
Mumbai, guna mendorong pandangan Islam Progresif di India. Pada tahun 1993 ia mendirikan
Center for Study of Society and Secularism untuk mempromosikan kerukunan komunal
(agama). Pemahaman keagamaan Asghar Ali, terkait kelompok Daudi Bohra,
menegaskan bahwa Daudi Bohras adalah sekte Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh
Imam sebagai pengganti Nabi. Untuk dapat diakui sebagai seorang Da’i dalm
kelompok tersebut harus mempunyai 94 kualifikasi yang dikelompokan kedalam 4
kelompok: (1) kualifikasi-kualifikasi pendidikan; (2) kualifikasi-kualifikasi administratif;
(3) kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan (4)
kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.
Yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi tersebut, seorang Da’i harus tampil
sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Baginya,
tampil sebgaai pembela umat atas perjuangan terhadap ketimpangan, kesenjangan
dan diskriminasi yang ada, merupakan suatu bentuk refleksi dan aksi atas
kualitas keimanan yang di haruskan seimbang antara keduanya (refleksi dan
Aksi).
Dengan
memahami posisi ini, tidak heran mengapa Asghar Ali sangat peduli dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya,
orang yang benar-benar religius akan sensitif terhadap penderitaan orang lain,
terutama penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang religius akan menentang
ketidakadilan. Orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan penindasan,
menurut Asghar tidak pantas disebut religius. Dari telaah kesejarahan Asghar
Ali menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang religius sekaligus
seorang revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal
dalam struktur masyarakat pada zamannya. Dari sebagian pengikut kelompok
Bohras, yang disinyalir oleh Tahir Mahmood, selama lima puluh tahunan terakhir
ini muncul kelompok pembangkang, sehingga memonculkan respon sebagai bagian
opsisi dari pembangakang tersebut, Asghar tampil sebagai opsisi aktif melawan
kelompok tersebut, sebab menurutnya telah terjadi banyak penyimpangan. Dalam
catatan kaki, Dr. Nasihun Amin dalam Dari Teologi menuju Teoantropologi, ia
menyebutkan kurang lebihnya 5 poin klasfikasi penyimpangan yang dilakukan oleh
para pembangkang disertai dengan pelaku yang menjadi Da’i. Konsekuwensi
dari respon yang ia berikan terhadap para pembangkan tersebut, Asghar pernah
dua kali mengalami percobaan pembunuhan, yaitu saat di Kalkuta pada 8 November
1977 dan di Heiderabad pada 26 Desember 1977.
Sebagai
wujud dari sikap serta pemikiran idealisnya, Asghar melibatkan dirinya secara
intensif kedalam berbagai organisasi. Tercatat ia pernah bergabung dengan
organisasi People’s Union for Civil Liberties menjabat sebagai Wakil
Presiden, Vikas Adhyayan Kendra (Centre for Development Studies)
menjabat sebagai Ketua, Committee for Communal Harmony menjabat sebagai
Ketua, Centre for Study of Society and Secularism menjabat sebagai
Ketua, Central Board of Dawoodi Bohras Community menjabat sebagai
Sekretaris dan menjabat sebagai Konvenor di Asia Muslims’ Action Network.
Sebagai
intelektual pemikira bebas dan reformis, lebih-lebih dalam kapasitasnya sebgai
Derector of Islamic Studies di Bombay dan mantan anggota Dewan Eksekutif
Universitas Jawaharlal Nehru di Delhi, Asghar sangat intens menuangkan
pemikiran-pemikirannya di berbagai forum ilmiah baik perkuliahan, seminar,
lokakarya, maupun symposuim yang di lakukan di berbagai Negara: Amerika
Serikat, Kanada, Swiss, Thailand, Indonesia, Sri Lanka, Philipina, Malaysia,
Yaman, Mesir, Hongkong, Republik Asia Tengah, Prancis, dan jerman. Tidak sampai
hanya disitu, ia juga sangat rajin mensosialisasikan gagasan-gagasanya melalui
berbagai penerbit baik dalam maupun luar negeri. Tercatat tidak kurang dari 40
judul buku, baik sebagai penulis langsung, maupn penyutingnya saja, telah ia
terbitkan. Tidak hanya itu, Asghar tercatat sangat rajin menuangkan ide-ide
gagasanya di beragai jurnal dan harian, seperti Islam and The Modern Age;
Religion and Society, Theravada, Jeevendhara, Progressive, al-Mushir, Times of
India, Indian Express, The Hindu, Daily, Telegraph dan sebagainya.
Dari
semua yang telah dipaparkan, menandakan bahwa sebenarnya Asghar hendak
mengatakan agama merupakan sebuah fenomena. Seperti, Al-Qur’an sendiri
merupakan sumber agama Islam yang selalu beragkat dari kesadaran sejarah. Hal
inilah inti maksud dari pemaparan keterkaitan antara konsep keagamaan yang
kemudian berkembang dengan aspek kesejarahan Asghar Ali Engineer, diatas.
Secara
ringkas dan diteliti degan seksama, konsep yang dibangun Asghar memiliki ciri
yang berbeda dengan konsep pemahaman teologi pada umunya, dari pemahaman
Teologi Pembebasan Islam menurut Asghar, yaitu Pertama, dimulai dengan melihat kehidupan manusia di
dunia dan akhirat. Kedua, Teologi ini tidak menginginkan status quo yang
melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata
lain, teologi pembebasan itu anti kemapanan (establishment), apakah itu
kemapanan religius maupun politik. Ketiga, Teologi pembebasan memainkan
peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta
memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata
ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Keempat,
teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir
dalam rentang sejarah umat islam, namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu
bebas menentukan nasibnya sendiri.
Untuk
melancarkan ppembentukan teologi pembebasan Islam dengan batasan dan
rambu-rambu yang terdapat dalam ciri-ciri diatas, Asghar mengusulkan
langkah-langkah. Pertama, belajat kembali semnagat profetik dan liberasi
kenabian Muhammad SAW saat di Mekkah. Sebab baginya Historisitas eksistensial
Nabi Muhammad dan perjuangannya merupakan fakta yang sangat jelas menunjukan
bahwa, Beliau adalah seorang revolusioner, baik melalui perkataan lalau menjadi
sebuah kekuatan ultimatum agamamis (teologis) maupun tindakannya yang menjadi
referensi otoritatif kebenaran mutlak dalam koridor a priori, menunjukan Nabi
Muhammad merupakan seorang pembebas. Kedua,
belajar dari teologi-teologi
revolusioner baik dalam ide maupun aktivitas yang pernah ada dalam sejarah
Islam. seperti yang ada dalam Mu’tazilah, dapat diambil pokok-pokok pikiran
kebebbasanya dalam penggunaan akal; dari Syi’ah Ismailiyah dapat diambil
sintesanya atas pemikiran Islam dan Yunani, sehingga menjadi suatu teologi yang
progresif dan revolusioner pada masa rezim Abbasiyah, dari Qaramithah dapat
diambil komitmen terhadap revolusi dan berjuang secara gigih setia terus
dilakukan penentangan terus menerus terhadap rezim yang menindas; dari teologi
Khawarij, yang pemahamn teologinya anti kemapanan teologi, dapat dikembangkan
doktrin demokrasi dan sosialisme agama yang didasari oleh keadailan kolektif. Ketiga,
melakukan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat dalam sinaran
sosial-historis, sekalipun formulasi al-Qur’an lebih bersifat teologis.
Sebenarnya,
Teologi pembebasan ini mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil dari tawar
menawar antara kebebasan manusia dan takdir, teologi pembebasan lebih
menganggap keduanya sebagai pelengkap, daripada sebagai konsep yang berlawanan.
Perlu dicatat bahwa teologi pembebasan itu lebih menekankan pada praksis
daripada teorits metafisis-spekulatif yang mencakup hal-hal yang abstrak dan
konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan
menyangkut interaksi antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”.
Dalam
hal ini Asghar memebrikan kata kunci sebagai aplikasi pemahman konsep teologi
pembebasan melalui reinterpretasi istilah Tauhid, Syirk, Iman, Kufr dan Adil.
Kaitan
dengan reinterpretasi istilah istilah tersebut, secara simpel Asghar memberikan
pengertia bahwa Tauhid merupakan suatu pengertian pemhaman atas Tuhan yang
terejawantahkan pada realitas sosial yang terlingkupi atas segala konsepsi
kesatuan yang utuh, yaitu kesatuan dalam gugusan komunitas masyarakat.
Karenanya keesaan Tuhan merupakan keesaan kehidupan yang tidak ada pemisahan
antara spritualitas dan matrealitas, antara kehidupan dan keagamaan, atau
dengan kata lain Tauhid merupakan kesatuan Universal, pepaduan unsur Tuhan,
manusia dan alam. Dari hal itu lah, maka Tauhid –jika diterpkan dengan benar
dalam konteks kemanusiaan- menolak dengan tegas tindakan diskriminasi dalam
bentuk apapun dan sekecil apapun serta seringan apapun. Sebab kesatuan manusia
merupakan refleksi keesaan Tuhan, jika terrusakakn maka otomatsi kesucian
keesaan Tuhan akan ternodai.
Meskipun
demikian kesempurnaan Tauhid akan terbatalkan ketika terdapat syirik. Syirk
dalam pandangan Asghar, merupakan suatu keadaan yang mengiringi adanya andad
atau riva, yang mana keadan dua tersebut induk meunculan kesenjangan,
eksploitasi dan penindasan disebabkan adanya pergolakkan sosial politk ekonomi
dan sebagainya. Hal tersebut mengunadang adanya duatu dualisme yang saling
bersikukuh tegang. Sedangkan dalam perspektik kemasyarakatan hal tersebut
merupakan wujud hegemoni penguasa ketika mendapatkan kemengan, sedangakan
rakyat dihadiahi segudang keprihatinanan tanpa mendapatkan kebebesannya. Selain itu, itilah Iman menjadi
suatu konsep yang sangat patut mendapatkan perhatian dalam konsep teologi
pembebasan Islam. akan tetapi pengertian Iman oleh Asghar berbeda dengan
biasanya, menurut asghar, iaman tidak hanya sekedar pengertian teologis
meliankan juga pegertian sosiologis. Keduanya tidak dapat dipisahkan sebab
anatara iman dan sosial merupakan suatu bentuk reflkesi, jika terpisahkan maka
akan menghilngkan hakikiny. Yaitu Iman harus percaya kebaikan akhr yang
menopang kemanusiaan sepanjang perjuangnya untuk mengantarkan menuju masyarakat
yang adil. Lawan kata dari Iman adalah Kufr, menurut Asghar Kufr menurt
konsepnya bahwa kufr dalam al-Qur’an merupakan istilah fungsional, bukan formal
dalam arti sebagai alat untuk lebeling yang berfungsi menilai segala hal tanpa
batasan penggunaanya, sebba pada khazanah pemikiran umum istilah kufr
berartikan menyembunyikan menutupi yang tanpa adanya tendensi terhadap
kekhusussan penggunaan istilah tersebut. Jadi kekufran yang terjadi di
masyarakat dewasaan ini dapat dikatakan jika terdapat suatu kelompok ataupun
indifisual yang menutup diri terhadap keadaan sekitar, asedangkan dalam hal ini
–kosep teologi pembebasan- menurut Asghar merupakanprilaku yang tidak percaya
dan menutupi misi revolusioner Nabi Muhammad, yang terejawantahkan di tampilan
situasi modernis. Dalam keterangannya, orang yang benar-benar kufr ialah oarang
yang arogan dan penguasa yang menindas,
merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma’ruf
tetapi melaksanakan dengan bangga dan gencar
ats kemungkaran. Dengan kata lain,kufr merupakan sikap yang menghalangi
bahwkan mengabaikan keadilan dalam segala bentuk perwujudan, baik adal dalam
kapasitas kekayaan, hubungan sosial ataupuan lainnya yang dirasa dapat
menimbulkan suatu kesemrawutan yang konstan tanpa keadailan sosioal.
Oleh
karena telah mengakar pemahamsn teologi pertengahan sehingga menurut Asghar Ali,
Islam sekarang pada saat ini diwarnai dengan ketidakjelasan konsep teologi yang
metafisik-spekulatif yang nampak dalam formulasi teologisnya pada zaman
pertengahan, sebenarnya bersifat liberatif. Bahwa Islam berorientasi praksis
disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam banyak ayat Al-Qur’an. Seorang
Mujahid sangat dihargai didalam Al-Qur’an . “Tiadalah sama orang mukmin yang
duduk saja di rumah, kecuali orang syang sakiit, dan orang-orang yang berjihad
di jalan Allah dengan harta dan jiwanya”. Kalimat selanjutnya, “ Allah
menempatkan orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya sederajad lebih tinggi
dari orang yang duduk saja di rumah”. (4: 95)
Dengan
demikian jelaslah bahwa jihad bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi atau
mempertahankan status quo, namun demi kepentingan orang yang tertindas dan
lemah. “ mengapa kamu tidak berjung di jalan Allah dan membela orang yang
tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata ‘Tuhan kami, keluarkan
kami dari kota ini yang pnduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan
dan pertolongan dari Mu’”. (Al-Qur’an, 4:75)
Dalam
teologi pembebasan, selain masalah sosial pilitik, juga dibicarakan masalah
psiko-sosial yang teramat penting. Struktur sosial saat ini sangat menindas dan
harus dirubah sehingga menjadi lebih adil dengan perjuangan yang
sungguh-sungguh, yang seringkali meminta pengorbanan. Bagi manusia biasa,
perjuangan ini tidaklah mudah karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Konsep
kebebasan adalah unsur dasar teologi Pembebasan. Kebebasan untuk memilih dan
kebebasan untuk keluar (transedensi diri) menuju kondisi kehidupan yang lebih
baik dan juga untuk menghubungkan dirinya dengan kondisi yang berunah-ubah
secara berarti. Bentuk tidak sepenting tujuan dan ketentuan akhir, yang
berfungsi untuk mencapai yaang maha besaryang sesungguhnya dan yang maha agung.
Teologi pembebasan memberikan manusia kebebasan ini untuk melampaui situasi
kekiniannya dalam rangka mengaktualisasikan potensi-potensi kehidupan yang baru
dalam kerangka kerja sejarah. Sebaliknya, orang semata-mata akan tetap
mempertahankan esensi-esensi. Selanjutnya harus muncul dalam pikiran kita bahwa
Teologi Pembebasan menuntut berjuangan dan kerja keras yang terus menerus untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik dan restrukturisasi lingkungan. Berbeda
dengan teologi “status quo”, tujuan teologi pembebasan bukanlah untuk pelipur
lara dan pembenaran atas penderitaan dan kesengsaraan dengan menganggapnya
suatu kondisi kehidupan yang niscaya.
Kita
lihat bahwa ajaran kehendak bebas dan pre-determinasi mendapat tempat yang
sangat besar di dalam teologi islam. Mereka yang berjuang melawan penindasan
dan eksploitasi mendukung ajaran kehendak bebas, sedangkan mereka yang
menginginkan kemapanan memilih ajaran pre-determinasi dan percaya pada nasib
dan takdir. Golongan Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, seluruhnya merupakan
oposan dari pemerintahan Umayyah yang menindas dan eksploitatif, menganut
ajaran kehendak bebas. Manusia bukan hanya sebuah mainan yang berada ditangan
sang takdir, nasibnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Dan sejauh ini,
menurut teologi pembebasan, manusia itu bebas dan bertanggung jawab atas
perbuatannya. Manusia diciptakan oleh Allah untuk menentukan nasibnya sendiri
di dalam batas-batas yang ditetapkan Allah atau untuk melewati batas-batas ini,
dan dalam hal tanggung jawab, manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak
bebas.
Teologi
pembebasan memandang konsep pre-determinasi dalam prespektif yang proporsional.
Biasanya dalam teologi yang trdisional, ketundukan kepada kehendak Allah
mengimplikasikan penyerahan diri secara pasif kepada kemauan Allah. Namun
demikian, sebenarnaya jika dilakukan penelitian yang cermat terhadap teks
Al-Qur’an tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tegas. Allah itu maha kuasa,
namun bukan berati bahwa manusia itu tidak mempunyai kebebasan tau tidak
mempunyai inisiatif .
Jika
agama secara serius dianggapsebagai kebaikan dan berdiri sepihak dengan
revolusi, kemajuan dan perubahan, maka agama harus dilepaskan dari aspek-aspek
teologis yang bersifat filosofis, yang berkembang mencapai puncaknya hingga
aspek filosofis ini menjadi bagian utama dari agama yang bukannya mendukung
kaum yang tertindas, namun justru mendukung kelompok penindas. Dengan kata
lain, pembebasan teologi diperlukan untuk mengembangkan sebuah teologi
pembebasan (theologi of liberation). Umumnya teologi pada masa sekarang ini
dikuasai oleh orang-orang yang sangat mendukung status quo. Oleh karena itu,
teologi cenderung sangat ritualis, dogmatis, dan bersifat metafisis yang
membingungkan. Dengan wajah yang seperti ini, agama sama dengan mistik dan
menghipnotis masyarakat. Dan teologi pembebasan harus membersihkan
elemen-elemen ini sampai ke akar-akarnya. Hal ini tidak diragukan lagi
merupakan tugas yang menantang dan tentu saja sangat diperlukan. Agama tidak
boleh hanya berhenti sampai urusan akhirat, namun juga tidak boleh semata-mata
berurusan dengan masalah duniawi, agama harus dapat menjaga relevansinya.
Historisitas dan kontemporeritas agama di satu pihak, dan urusan duniawi dan
akhirat di pihak lain harus disatukan sehingga menjai sebuah agama yang hidup
dan dinamis. Sayangnya sekarang ini teologi hanya berupa seikat ritual yang
tidak memiliki ruh, tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas dan para pekerja
kasar, serta menjadi latihan intelektual dan metafisis atau mistis yang abstrak
bagi kalangan kelas menengah. Karena itulah agama menjadi penyebab langgengnya
status quo. Ritual yang tidak memiliki ruh keagamaan dan juga abstraksi
metafisis ini harus disingkirkan dari agama. agama harus menjadi sumber
motivasi bagi kaum tertindas untuk merubah keadaan mereka, dan menjadi kekuatan
spiritual utuk mengkomunikasikan dirinya secara berarti dengan dan memahami
aspek-aspek spiritual yang lebih tinggi dari realitas ini.