Kamis, 08 Juni 2017

Reaktulisasi Hukum Islam: Study Pemikiran Muhammad Syahrur Teori Batas



BAB I
Pendahuluan
Reaktulisasi  Hukum Islam: Study Pemikiran Muhammad Syahrur
Teori Batas
1.      Latar Belakang Masalah
Al-Quran merupakan landasan utama dalam pemikiran Islam, salah satu kemukjizatan al-Quran adalah sholikh li kulli zaman wa makan. Kehadiran teks al-Quran telah melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tidak pernah berhenti dalam aktifitas  penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya secra kreatif. Sejarah telah mengungkap banyak dari kalangan ulama yang berusaha menafsirkan al-Quran dengan metode dan corak yang beragam. Namun tidak jarang dari adanya buah penafsiran, malahan menjadi pertentangan kepentingan di antara para mufassir. Sebagian mereka menganggap bahwa penafsiran merekalah yang paling benar, sebagain lainnya menyalahkan penafsiran dari sebagiannya.  Serta anggapan yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, semakin memperkeruh perkembangan penafsiran al-Quran.
Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad pernah memberitahukan bahwa setiap kurun waktu tertentu akan ada seorang pembaharu (mujaddid), yang akan mengembalikan Islam pada jalan yang benar[1]. Hal ini merupakan sebuah isyarat, bahwa pemikiran Islam selalu mengalami perkembangan. Sering kali para mujaddid menawarkan konsep pemikiran yang jauh berbeda dengan ulama klasik, mereka memberikan metodologi baru dalam menafsirkan al-Quran. Beberapa tokoh pemikir muslim kontemporer tersebut, di antaranya, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, Muhammad Syahrur, Abid al-Jabiri, dan masih banyak pemikir kontemporer lainnya.
Dalam pembahasan kali ini, kita akan membahas pemikiran Muhammad Shahrur. Ia merupakan seorang doktor teknik pertanahan berasal dari Syiria. Shahrur mengguncang Timur Tengah dengan pemikiran kontroversialnya. Dalam buku karangannya yang berjudul al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah, Shahrur mencoba menafsirkan al-Quran menggunakan ilmu teknik dan sains. Ia berpendapat bahwa umat muslim hendaknya harus memperlakukan al-Quran, seolah-olah baru saja diwahyukan dan Nabi Muhammad baru wafat kemarin.[2] Dengan demikian kandungan al-Quran akan selalu sesuai dengan ruang dan waktu.
Didukung oleh gurunya Dja’far Dikki al-Bab, Syahrur menolak konsep sinonimitas yang ada dalam lafadz al-Quran[3]. Misalnya, Al-Furqon dan al-Kitab yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai nama lain dari al-Quran, Syahrur menolak anggapan tersebut. Menurutnya al-Furqon dan al-Kitab memiiliki maknanya masing-masing, yang tidak sama dengan makna lafadz al-Quran. Selain itu Syahrur menawarkan sebuah teori yang terkenal dengan Teori Limit (Nadzariyatu al-Hudud). Teori tersebut memandang bahwa perintah Allah yang terkandung dalam al-Quran dan sunnah, terdiri dari ketentuan batas rendah (al had al adna) dan batas atas (al had al a’la) dalam seluruh perbuatan manusia. Pembahasan tersebut akan dibahas selanjutnya.
2.      Rumusan Masalah
a.       Biografi dan Pemikiran Muhammad Syahrur
BAB II
Pembahasan
a.      Biografi dan Pemikiran Muhammad Syahrur
Nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn Da’ib Syahrur, ia lahir di kota Damaskus, Syiria, pada tanggal 11 Maret 1938.[4] Syahrur menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus, ia menamatkannya pada tahun 1957.[5] Sementara itu riwayat pendidikan tinngi Syahrur lebih banyak dihabiskan di luar tanah airnya. Ia meraih gelar Diploma teknik sipil di Moscow, Uni Soviet pada tahun 1964.[6] Di sinilah Syahrur mulai mengenal teori dan praktek paham Marxis, yang dikenal dengan konsep dialektika materialisme. Sepulangnya dari Moscow, Syahrur kembali ke tanah airnya dan menjadi dosen di Fakultas Teknik Universitas Damaskus.[7] Syahrur melanjutkan studi master dan doktor di Universitas Nasional Irlandia, dalam bidang Mekanika Pertanahan dan Fondasi. Ia berhasil meraih gelar master pada tahun 1969, dan gelar doktor pada tahon 1972[8].
Syahrur dibesarkan dalam keluarga yang liberal, keluarganya menganggap kesalehan ritual dianggap kurang penting dibandingkan dengan ajaran etika Islam[9]. Syiria, tanah kelahirannya turut memberi pengaruh besar dalam pemikirannya. Syiria merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang mengalami konflik modernitas, khususnya benturan keagamaan dan gerakan modernitas barat[10]. Selain itu, pengaruh Islam fundamental masih sangat kental di Syiria, syariat Islam masih banyak yang disejajarkan dengan kondisi pada masa nabi. Hal ini melahirkan kesimpulan dari analisisnya, menurut Syahrur komunitas umat Muslim masih terpolarisasi kedalam dua kubu; pertama, mereka yang berpegang teguh secara ketat terhadap arti literal dan tradisi, mereka berkeyakinan bahwa warisan menyimpan kebenaran yang absolut, dalam arti bahwa semua yang telah diformulasikan oleh para generasi awal islam masih cocok oleh orang yang beriman di setiap zaman; kubu kedua, mereka menyerukan untuk bersikap dan bertindak secara sekularisme dan modernitas juga menolak semua warisan islam, tidak terkecuali al-Qur’an yang mana termasuk dari bagian tradisi yang diwarisi. Dengan mengangap bahwa ritual hanyalah gambaran ketidak jelasan ajaran.[11] Karena latar belakang keluarga dan pendidikannya, Syahrur menganggap bahwa syariat Islam pada masa klasik sudah tidak relevan lagi bagi masyarakat sekarang, menurutnya al-Quran sebagai landasan utama umat Islam perlu ditafsirkan ulang.
Seperti yang telah disebutkan di atas, latar belakang pendidikan Syahrur adalah seorang doktor teknik pertanahan, namun perhatiannya terhadap tafsir al-Quran sangatlah besar. Bahkan ia menafsirkan ayat al-Quran dengan menggunakan perspektif ilmu teknik pertanahan yang dimilikinya. Setelah penelitian yang ia lakukan selama kurang lebih 20 tahun, Syahrur berhasil menulis sebuah buku tentang pemikiran Islam kontemporer yang berjudul, al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah (1990). Karya tersebut merupakan hasil pengendapan pemikirannya yang cukup panjang sekitar 20 tahun lamanya, dari tahun 1970-1980 di fase pertama, Syahrur memandang bahwa umat muslim masih terkungkung dalam leteratur keislaman klasik yang cenderung memandang ajaran Islam –yang bersifat warisan budaya generasi awal- sebagai idelogi, baik dalam bentuk pemikiran kalam ataupun fikir.[12]  Selain itu karya-karya Syahrur lainnya, antara lain: Dirasah Islamiyyah Muashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ (1994), Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), serta Masyru’ Mithaq al-Amal al-Islami (1999).[13]
Pastinya diperlukan waktu yang cukup lama bagi Syahrur untuk dapat merumuskan segala pemikirannya. Dalam bukunya yang berjudul Iman dan Islam: Aturan-aturan Pokok, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh M. Zaid Su’udi, Syahrur menyebutkan bahwa ia telah melewati tiga fase pemikiran.[14]
1.      Tingkatan Awal (1970 - 1980)
Tingkatan ini bermula ketika ia memulai pendidikan magister dan doktor dalam bidang Teknik Sipil di Universitas Nasional, Dublin Irlandia.[15] Pada fase ini Syahrur masih melakukan perenungan tentang hal-hal yang akan menjadi kerangka pemikirannya. Shahrur mengakui bahwa saat itu dirinya masih terpengaruh dengan hegemoni pemikiran Islam klasik, yang fanatis terhadap madzhab maupun aliran kalam. Selain itu lingkungan pendidikannya yang berada di Barat, turut andil besar dalam fase pertama ini. Setelah sepuluh tahun berlalu, akhirnya Shahrur berhasil membangun pondasi pemikirannya yang kontroversial itu.
2.      Tingkatan Kedua (1980 - 1986)
Pertemuannya dengan seorang kawan lamanya, yang juga seorang ahli bahasa, Dja’far Dikki al-Bab, membuat Syahrur semakin berminat untuk belajar lebih jauh tentang studi bahasa filsafat untuk memahami al-Quran. Pada waktu itulah perhatian Syahrur terhadap ilmu keislaman dimulai.[16] Dari hasil diskusi serta hasil dari penelitiannya, Syahrur menolak konsep sinonimitas dalam al-Quran. Menurutnya semua lafadz yang ada dalam al-Quran adalah otentik, memiliki maknanya masing-masing. Hal ini didasarkan pada pemahaman Syahrur terhadap rahasia linguistik dalam Bahasa Arab, karena al-Quran diturunkan menggunakan Bahasa Arab[17].
3.      Tingkatan Ketiga (1986 - 1990)
Fase ini dapat disebut sebagai tingkat kematangan berpikir Shahrur, ia tidak lagi terpengaruh oleh aliran kalam, aliran madzhab, atau arus pemikiran modern sekalipun yang sedang ataupun telah berlanjut berkembang melingkupi kehidupannya. Syahrur menemukan metodologinya sendiri dalam memahami al-Quran, dengan menggunakan pendekatan linguistik dan historis-ilmiah. Pada fase ini pula Syahrur berhasil menyusun bukunya, al-Kitab wa al-Quran: Qira;ah Mu’ashiroh, yang selesai pada tahun 1990.[18]
Kerangka pemikiran Syahrur tak bisa terlepas dari kondisi sosial yang ada di sekitarnya. Menurutnya masyarakat sudah terlampau lama terjebak dalam doktrin yang dianggap sebagai bagian dari Islam, padahal landasan tersebut perlu dikaji ulang. Umat Islam terjebak dalam taqlid buta, dan menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya peradaban Islam tak mampu menghasilkan pemikiran baru, tertinggal oleh modernitas, saling mengaku kelompoknyalah yang paling benar.
Kejumudan tersebut terjadi bukan tanpa alasan, dalam bukunya yang berjudul al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah, Shahrur memaparkan lima masalah yang tengah dihadapi oleh peradaban Islam[19]:
Pertama, tidak ada pegangan yang pasti berupa metodologi ilmiah objektif. Akibatnya banyak di antara penulis muslim yang mengikutsertakan sentimen pribadinya dalam karya pemikirannya, justifikasi antar kelompok tidak dapat dihindari.
Kedua, produk hukum masa lalu masih digunakan untuk mengadili hukum pada masa sekarang. Maka dari itu diperlukan sebuah metodologi fiqh baru, yang mampu menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi sekaarng. Syahrur berkeyakianan bahwa sebab kemajuan budaya dan ilmu pengeahuan, umat muslim dimasa moderen mempunyai perangkat maupun cara untuk memahami bahkan menaknai al-Qur’an secara lebih baik sesuai dengan situasi dan kondisi. Maka dari itu menurut pandanganya, pihak yang paling bertanggungjawab atas pesan-pesan ilahi sebagai pemberi solusi persoalan-persoalan kontemporer terletak pada generasi saat ini, dan bukan tanggungjawab generasi terdahulu lagi.[20]
Ketiga, filsafat humaniora (al-falsafah al-insaniyyah) tidak dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena terjadi dikotomi ilmu pengetahuan, antara ilmu umum dan agama, akibatnya pemikiran Islam menjadi stagnan.
Keempat, tidak ada teori kontemporer dalam ilmu humaniora yang disandarkan secara langsung pada al-Quran. Pemikiran Islam tidak berani berinteraksi dengan nilai apapun yang dihasilkan manusia tanpa melihat akidahnya. Akibatnya pemikiran umat Islam menjadi statis, timbul fanatisme madzhab, hingga saling mengkafirkan satu sama lain.
Kelima, Syahrur berpendapat bahwa hukum-hukum fiqh yang dihasilkan oleh ulama klasik sudah tidak relevan lagi dengan permasalahan zaman sekarang. Syahrur  merasa tidak puas dengan keadaan tersebut, sehingga menjadikanya merusaha mendekontruksi, sekaligus merekontruksi hukum fiqh yang dianggap mutlak.
Berawal dari kelima hal tersebut, Syahrur berpendapat bahwa dunia Arab telah berada pada level statis. Hal ini disebabkan karena kurangnya penguasaan terhadap ilmu alam, teknologi serta ilmu sosial, dengan kata lain mereka hanya mempelajari agama. Syahrur juga menakankan bahwa setiap generasi memiliki kebebasan untuk melakukan penafsiran terhadap al-Quran, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Penafsiran tersebut tak perlu berkonsultasi dengan produk tafsir sebelumnya, karena kondisi sekarang sangat berbeda dengan masa lalu.
Dalam kata pengantar buku Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran Kontemporer edisi Bahasa Indonesia, Dja’far Dikk al-Bab menyatakan bahwa Syahrur menggunakan metode analisis linguistik dalam setiap analisisnya[21]. Sementara ketika menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan waris, kepemimpinan, poligami, dan pakaian wanita, Syahrur menggunakan metode analisis linguistik yang dipadukan dengan khazanah keilmuan modern[22].
Menurut Syahrur, al-Quran merupakan sebuah kitab berbahasa Arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan, yaitu sastra dan ilmiah. Untuk memahami kemukjizatan sastra al-Quran, Syahrur menggunakan pisau analisis berupa pendekatan deskriptif-signikatif. Sedangkan untuk aspek ilmiahnya harus dipahami menggunakan pendekatan historis-ilmiah. Syahrur memadukan kedua pendekatan tersebut ke dalam bingkai studi linguistik.[23]
Syahrur menggunakan prinsip al-Jourjani yang menolak konsep sinonimitas dalam al-Quran. Prinsip ini meyakini tidak satupun lafadz dalm al-Quran yang dapat diganti, tanpa merubah makna atau mengurangi kekuatan ungkapan dari bentuk linguistik ayat[24]. Prinsip ini merupakan hal yang paling mendasar untuk memahami metodologi yang digunakan oleh Syahrur. Sebagai contoh, seperti yang umum diketahui oleh kebanyakan umat muslim, bahwa nama lain dari al-Quran adalah, al-Kitab, al-Dzikr, al-Furqon, dan masih banyak lagi. Berbeda daripada yang lain, Syahrur membantah pernyataan itu ia berpendapat bahwa lafadz-lafadz tersebut memiliki maknanya masing-masing yang berdiri sendiri sesuai dengan teks yang terangkai.
Al-Kitab merupakan istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan mushaf yang dimulai dari al-Fatikhah hingga al-Nass. Kemudian Syahrur mengelompokkan ayat-ayat al-Kitab ke dalam tiga kelompok. Namun sebelum itu, Syahrur terlebih dahulu membedakan antara al-nubuwwah dan al-risalah. Al-Nubuwwah adalah akumulasi ilmu pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad yang memposisikannya sebagai nabi, dengan kata lain al-nubuwwah identik dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan al-rrisalah adalah kumpulan penetapan hukum yang diwahyukan kepada Muhammad sebagai pelengkap ilmu pengetahuan, al-risalah identik dengan hukum.[25]
Setelah mengetahui perbedaan al-nubuwwah dan al-risalah, kemudian Shahrur mengelompokkan ayat-ayat yang ada dalam al-Kitab.[26]
v  Al-Ayat al-muhkamat, merupakan kumpulan ayat yang menandai kerasulan Muhammad. Al-Kitab menyebutnya dengan “umm al-kitab”, ayat ini terdiri dari ayat tentang ibadah, ahlak, hudud, serta ayat-ayat lain yang dapat dikaji ulang melalui ijtihad sesuai dengan perubahan kondisi masyarakat.
v  Al-Ayat al-mutasyabihat, merupakan kumpulan ayat akidah dan ayat-yat tentang ilmu pengetahuan. Al-Kitab menyebutnya dengan istilah al-Quran dan al-sab’u al-matsani, yang menandai kenabian Muhammad.
v  Tafshil al-kitab, kategori ini tidak termasuk ayat muhkamat maupun ayat mutasyabihat.
Ketiga kelompok ayat di atas seluruhnya berasal dari Allah, hanya saja terdapat perbedaan mendasar dari karakter ketiganya. Umm al-kitab sebagai hudan li al-muttaqin, membedakan antara halal dan haram. Sementara al-Quran sebagai hudan li al-nas, membedakan antara yang haq dan yang bathil.[27]
Dari sekian konsep yang diusung oleh Syahrur, terdapat pemikiran Islam Kontemporer yang paling terkenal adalah teori limit, sebagai teori yang diciptakan Syahrur. Teori ini digunakan untuk menyesuaikan ayat-ayat muhkamat agar tetap relevan dengan kondisi sosial masyrakat, selama masih dalam wilayah batasan hukum Allah. Syahrur mendasarkan teorinya pada al-Quran surat al-Nisa’ ayat 13–14[28], yang menegaskan bahwa yang berhak menetapkan batasan hukum hanyalah Allah. Sementara otoritas Nabi Muhammad dalam menentukan hukum tidaklah penuh, beliau hanya sebagai seorang pelopor dalam berijtihad, yang mana produk ijtihadnya merupakan contoh model penafsiran yang sesuai dengan kondisi konteks ruang dan waktu saat itu.[29] Asalkan tidak melampai koridor batas-batasan ang ditentukan oleh Allah, manusia tidak mengangung beban dosa. Dengan alasan bahwa bentuk jama’ lafal Hudud yang termuat dalam ayat ke-13 surat al-Nisa’ merupakan bentuk dari lafal had, hal ini menandakan bahwa makna pemhamanan dalam ayat tersebut menunjukan batasan-batasan yang ditentkan oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia diberi keleluasaan untuk memilih batasan tersebut sesuai dengan tuntunan situasi dan kondisi yang melingkupnya.[30]
Inspirasi konsep teori yang di usungnya berasal dari kedua ayat tersebut. Diayat yang ke-14 surah al-Nisa’, Syahrur menjelaskan; pengalan ayat “wa yata’adala hdudahu” yang bermakna melanggar batasan-batasan Allah saja. Akan tetapi pengejualian dar penjelasan “wa man ya’si Allah wa raualahu mnegaskan bahwa perbuatan maksiat dapat dilakukan terhadap Allah dan RasulNYa. Dijelaskan oleh Nasihun Amin, bahwa pelanggaran batasan hukum hanya terjadi pada Alah saja, sebab ooritas penentuan hukum syari’at yang berlaku hingga hari kiamat yakni hanya milik Allah, yang ditidak pernah dilimpahkan diberikan ataupun di bagikan kepada yang lain, sekalipun kepada Nabi Muhammad. Lebih lajut Nasihun menjelaskan, karena  jika Nabi Muhammad memiliki hak atau otoritas penuh terhadap hukum syari’at, nisaya redaksi ayat tersebut akan berbunyi wa man ya’si Allah wa rasulahu wa yata’adda hududahuma. Akan tetapi kenyataanya tidak demikian. Dalam hal ini berarti ketentuan semua hukum yang berasal dari Nabi Muhammad selalu bersifat temporal.[31]
Abdul Mustaqim, dalam bukunya yang berjudul Epistemologi Tafsir Kontemporer mengungkapkan kelebihan dari teori limit Syahrur. Pertama, ayat-ayat hukum yang selama ini dianggap final dan mutlak, ternyata masih memiliki kemungkinan untuk diinterpretasikan dengan cara yang baru. Kedua, teori limit mampu menjaga sakralitas al-Quran, tanpa mengurangi kreativitas untuk berijtihad.[32]
Setelah melakukan penelitian terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan enam prinsip teori batas yang dapat digambarkan secara sistematis.[33] Adapun prinsip-perinsip tersebut dari pengembangan teori yang dirumuskan melalui analisis matamatis, yang mana ia mengambarkan hubungan antara al-hanifiyah (Kurva) dan al-istiqamah.[34]
Yaitu Sumbu X mengambarkan zaman atau konteks waktu, sejarah yang membujur dari sudut O lurus secara horisontal. Sedangkan sumbu Y mengambarkan sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah SWT yang menjulang dari bawah yaitu sudut pojok O ke atas secara vertikal lurus.  Kurva (al-hanifiyah) mengambarkan dinamika ijtihad manusia, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditentukan Allah (Sumbu Y). Dengan demikian, hubungan antara kurva dan garis lurus secara keselurhan bersifat dialektik, yang tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum itu adaptif terhadap konteks ruang dan waktu.[35]
1.      Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal)
Pada model yang pertama ini membentuk kurva tertutup, dan hanya memiliki satu batas maksimum. Syahrur mengaplikasikan bentuk pertama ini pada al-Quran surat al-Maidah ayat 38,[36] tentang pencurian. Menurut teori ini, hukum tangan adalah batas maksimal dari pelaksanaan hukuman pencurian. Jadi potong tangan bukanlah satu hukuman yang mutlak diterapkan, namun umat Islam harus melihat kualitas dan kuantitas barang yang dicuri, serta kondisi saat pencurian itu terjadi.
2.      Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal)
Bentuk teori ini merupakan kebalikan dari teori pertama, berbentuk kurva terbuka daerah hasil hanya terdiri dari satu batas minimal. Syahrus mencontohkan pada larangan dalam al-Quran untuk menikahi para perempuan yang disebutkan dalam surat al-Nisa’ ayat 23[37].  Dalam kondisi apapun umat Islam dilarang untuk menikahi wanita dalam ayat ini, meskipun didasarkan pada ijtihad.
3.      Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi antara batas maksimimal dan batas minimal bersamaan)
Bentuk kurva dalam teori ini adalah tertutup dan terbuka, masing-masing kurva memiliki titik balik maksimal dan minimal. Di antara kedua kurva terdapat titik singgung (nuqtah al-ini’taf) yang berada di tengah kedua kurva, titik ini disebut sebagai posisi penetapan hukum mutlak. Batasan ini diterapkan Syahrur dalam pembagian harta warisan, dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat 11[38].
4.      Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif)
Dalam kurva bentuk ini, titik balik minimal berhimpit dengan titik balik maksimal. Akibatnya tercipta satu garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Syahrur menyatakan bahwa teori ini hanya mampu diterapkan pada satu ayat saja dalam al-Quran, yaitu surat al-Nisa’ yang berbicara mengenai kasus waris.
5.      Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarrib duna al-manas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan)
Daerah hasil dari bentuk ini berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal dan hampir berhimpitan dengan sumbu x, sementara itu titik final hampir brhimpit dengan sumbu y. Syahrur menerapkan teori ini pada hubungan fisik antara pria dan wanita. Batasan terendah dalam teori ini adalah hubungan tanpa persentuhan, dan batas maksimal berupa perzinaan. Selama mereka belum sampai perzinaan, maka hukum maksimal Allah belum perlu untuk dilaksanakan.
6.      Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif)
Daerah hasilnya berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimal berada pada wilayah positif, sedangkan titik balik minimal berada pada wilayah negatif. Teori yang terakhir inilah yang digunakan oleh Syahrur dalam menganalisa transaksi keuangan. Batasan tertinggi dalam teori ini adalah pajak atau bunga, sedangkan batasan terendah adalah zakat. Sementara titik nol di antara daerah positif dan negatif adalah pinjaman tanpa bunga.


[1] Nouruzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hal. 111.
[2] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan Pemikiran Islam, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 143.
[3] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri, (Yogyakarta: eLSAQ press, 2004), h. xx.
[4] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, op. Cit. h. 141.
[5] Hamdani Hamid, Pemikiran Modern Islam, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 178.
[6] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, loc. Cit.
[7] Ibid.
[8] Hamdani Hamid, Pemikiran Modern Islam, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 178.
[9] Muhadz Ali Jidzar, Studi Pemikiran Konsep Sunnah Menurut Muhammad Shahrur Sebagai Metode Istinbath Hukum Islam PDF, h. 50. Skripsi di Fakultas Syariah IAIN Walisongo, diakses pada 13 Maret 2015, Pukul 20:46.
[10] Pemikiran Muhammad Shahrur tentang Teori Hudud PDF, h. 39, diakses pada 04 Maret 2015, pukul 14:03.
[11]Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, op. Cit. h.142-143.
 [12] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, op. Cit. h. 142.
[13] Muhadz Ali Jidzar, Studi Pemikiran Konsep Sunnah Menurut Muhammad Shahrur Sebagai Metode Istinbath Hukum Islam PDF, h. 58. Skripsi di Fakultas Syariah UIN Walisongo, diakses pada 13 Maret 2015, Pukul 20:46.
[14] Muhammad Shahrur, Iman dan Islam: Aturan-aturan Pokok, terj. Zaid Su’udi, h. xiii
[15] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, loc. Cit.
[16] Ibid.
[17] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran, op. Cit.  h. 31.
[18] Muhammad Shahrur, Iman dan Islam: Aturan-aturan Pokok, terj. Zaid Su’udi, h. Xiii. Lihat, Dr. Nasihun Amin., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 142.
[19] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika, op. Cit. h. 39 - 41.
[20] Dr. Nasihun Amin., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 143.
[21] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran, op. Cit.  h. 31.
[22] Khazanah keilmuan modern tersebut seperti, matematika analitik, teknik analitik, dan teori himpunan. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Samsuddin dan Burhanuddin Dzikri, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), h. 6.
[23] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran, op. Cit. h. xx.
[24] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Samsuddin dan Burhanuddin, op. Cit. h. 29.
[25] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran, op. Cit. h. 47.
[26] Ibid.  h. 48.
[27] Ibid. h. 49.
[28] تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ (14)
[29] Dr. Nasihun Amin., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 144.
[30] Ibid. h. 145.
[31] Ibid. h. 146.
[32] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis, 2012, hal. 93.
[33] Dikutip dari tulisan Burhanuddin Dzikri, Artikulasi Teori Batas (Nazariyah al-Hudud) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistemologi Hukum Islam Indonesia, dalam buku Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Quran: Madzhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003, h. 52.
[34] Dr. Nasihun Amin., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 147.
[35] Ibid. h. 147-148.
[36] وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ. Lihat Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, op. Cit. h. 148.
[37] حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
[38] يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا