Selasa, 09 Mei 2017

PEMIKIRAN TEOLOGI RASIONAL MU’TAZILAH



BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN TEOLOGI RASIONAL MU’TAZILAH
A.    Latar Belakang.
Teologi merupakan keilmuan yang penuh akan syarat suatu ajaran dalam agama manapun. Dewasa ini, diposisikan sebagai pondasi utama sebelum gugusan aturan kewajiban-kewajiban besandar kepada seseorang yang dinyatakan sebagai pemeluk suatu ajaran agama. Dalam catatan sejarah banyak diungkapkan, bahwa teologi merupakan diskursus tentang ketuhanan yang kaya akan pembahasan Tuhan; melputi diri Tuhan atau Dzat, sifat dan semua pembahasan yang menyangkut tentang tuhan. Sejauh perkembangan yang ada, teologi seringkali dijadikan unsur pertama pada permasalahan polemik ada. Seperti demikian, teologi ancap kali menjadi fream suatu gerakan yang “teratas namakan”, lain lagi dengan dijadikan sebagai topeng penutup misi visi utama dibalik tamilan muka sebuah gerakan. Akan tetapi fenomena tersebut tidaklah sempit sebagai tiga contoh farian ranah teologi dipergunakan sebagai tampilan luar sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendapatkan simpatisan serta legitimasi publik atas apa yang dilakukan oknum.
Sebagai suatu dasar ajaran keagamaan, teologi menjadi objek yang menarik untuk dikaji. Fenomena perkembangan yang terjadi dewasa ini mengalamai berbagai wajah sudut pandang dalam memahami kandungan dari diskursus teologi. Seperti halnya yang terjadi di agama islam, teologi dalam ajaran agama islam mengalami perkembangan dalam sudut pandangan pemahaman. Hal ini terjadi karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi baik internal maupun eksternal. Pada awalnya diskursus ketauhidan (teologi) dalam agama islam tidak mengalami perkembangan sudut pandang dalam artian perbedaan pemahaman, sebab di generasi pertama pemahman ketahudian di kawal secara ketat bahkan di ajarkan secara seksama lantaran sumber orisinil selaku penerjemah kalam ilahi masih ada, yaitu Nabi Muhammad. SAW.
Berbeda situasi dan kondisi akan berdampak juga pada pengaruh yang diciptakan. Seperti juga yang terjadi pada ranah teologi dalam agama islam, pada masa Nabi masih hidup polemik seputar ketauhidan hampir dikatakan tidak ada, lantaran semua problem ketauhidan terjawabkan oleh Nabi. Meskipun demikian polemik ketauhidan tetap saja ada walaupun datang dari arus eksternal pemeluk agama Islam yang bersifat temporal ketika adanya calon pemeluk agama islam, yang mana permasalahan tersebut ada sebagai pertanyaan sebelum seorang tersebut berikrar atas kesaksian Ke-Tauhidan Allah SWT dan atas kesaksian ke-Rasulan Nabi Muhammad SAW yang termuat dalam dua kalimat syahadat.
Sepanjang perjalanan yang ada, ketauhidan pada masa Nabi masih hidup tidak pernah mengalami problem yang berarti. Pasca wafat Nabi barulah konflik internal umat muslim mulai bermunculan, hal ini tidak lain pada awal konflik tersebut hanya bermuatan politik yang terbagi menjadi dua kubu, Sunni dan Syi’ah.[1] Meskipun belum memuncak menjadi kasus wacana teologi yang serius, akan tetapi sudah adanya indikasi yang mengarah kepada itu, karena pada masa itu sudah adanya wajah sudut pandang pemahaman yang saling berbeda baik hanya bermuatan politik saja ataupun bermuatan politik-teologi. Walaupun demikian, konflik politik tersebut dapat dicermati adanya asas yang mendasar dari pergolatan politik tersebut, yaitu faktor yang mengandung unsur perbedaan pemahaman dan sudut pandang tentang ketauhidan, yang mana hal tersebut merupakan faktor terjadinya perbedaan atas sebab perbedaan sudut pandang pemahaman. 
Sejauh perkembangan yang ada, perbedaan tersebut mendapatkan tempat sebagai pembentukan suatu konsep pemahaman ketauhidan yang ditandai dengan tragedi terbuhunnya Ustman ibn Affan. Wujud respon dari tregedi tersebut membentuk suatu pembahasan seputar status pembunuh Ustman, terhukumi kafir kah atau tetap muslim?, di masa inilah muatan teologi sangat kental terasa. Lebih lanjut, persoalan dewasa ini semakin menjadi polemik ketauhidan yang memunculkan persoalan hakekat keimanan yang didasari pada peristiwa Tahkim antara Ali dan Mu’awiyah. Sejak itu perkembangan teologi terus berjalan sehingga mengkristal sebagai paham-paham politis sekaligus paham teologis sebagai alat legitimasi atas sekenario politik.[2]
Selain faktor internal, terdapat faktor eksternal sebagai dasar lahirnya pemikiran teologi yang mana faktor tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang datang dari luar Islam tentang sifat-sifat Tuhan. Dari semu itu awal mula terjadinya arus pemikiran teologi yang  dipengaruhi oleh berbagai tokoh pemikir. Sebab dari itu, mulai terjadi perkembangan pemikiran teologis yang dilahirkan dalam diskursus teologis, yang syarat akan perdebatan. Seperti pemikiran teologi rasional Mu’tazilah, yang akan dibahas lebih lanjut.  
B. Rumusan Masalah
i. Sejarah perkembangan pemikiran teologi Rasional Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
i. Sejarah perkembangan pemikiran teologi Rasional Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah salah satu madzhab teologi dalam agama islam yang petama kali muncul sekitar tahun 101 H / 720 M di Basrah tepatnya pada masa kekuasaan Bani Umaiyyah. Di tahun tersebut awal perjalanan ilmiah Abu Hudzifah Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazali (80 H-131 H / 699 M-748 M) ke Bashrah, disana Washil bertemu dengan gurunya yaitu Hasan al-Bashri seorang ulama tokoh dari gerakan Ahl al-‘adl wa al-Tauhid yang lahir sebagai opsisi pemikiran dari legitimasi pemikiran dari Daulah Umawiyah. Wasil ibn ‘Atha’ pada mulanya sebagai seorang murid pada umumnya yang mengikuti pemikiran gurunya, dimana permikiran tersebut didapati semasa washil mengikuti halaqoh (tempat kajian dan diskusi keilmuan) Hasan al-Bashri yang berada di Masjid tempat halaqoh tersebut diselengarakan. Dari halqoh tersebul awal Washil menemukan pemikiran baru lewat perdebadan yang panjang dengan gurunya terkait pembahasan status pelaku perbuatan dosa besar seorang Muslim. Dari perdebatan tersebut Washil menemukan jalan pemikiranya sendiri atas status pelaku perbuatan dosa besar, pendapatnya jauh berbeda dengan apa yang di lontarkan oleh Sang Guru Hasan al-Bashri. Di mana Wasil berpendapat bahwa status pelaku dosa besar tersebut berada diantara dua tempat, antara kekafiran dan keimanan seorang tersebut. Adapun penegasan konsekuwensinya yaitu Khaalidu Makhallidu fi al-Naar (tempat menetap yang kekal dalam Neraka), sedangkan penjelasan status “di antara kekafiran dan keimanan” ialah hanya status label pelaku dosa besar bukan status ketetapan atas dosa kekafiran.[3]
Peristiwa tersebut diikuti oleh Amr ibn ‘Ubaid (80 H-144 H/ 699 M-761 M),[4] Amr melakukan hal yang sama dilakukan oleh Washil dan diperolehlah keputusan untuk mengikuti pemikiran Washil. Dari sebab tragedi tersebut pada akhirnya Washil ibn ‘Atha’ dan ‘Amr ibn ‘Ubaid memutuskan memisahkan diri dari pemikiran Hasan al-Bashri atas dasar perbedaan sudut pandang pemahaman yang dikemudian menjadi suatu konsep pemikiran. Adapun latar belakang lahir istilah Mu’tazilah yang menjadi nama komunitas pemikiran tertantu, berlandaskan pada peristiwa perdebatan antara Washil ibn ‘Atha’ dan ‘Amr ibn ‘Ubaid dengan Hasan al-Bashri, sehingga timbulah stratus I’tazala (memisahkan diri) bagi Washil lantaran sudah keluar dari rel pemikiran ahl al-‘Adl wa al-Tauhid Hasan al-Bashri. Sebab tindakan yang dilakukan oleh Washil tersebut, Hasan al-Bashri akhirnya mengeluarkan statement I’tazala ‘anna al-Ashil atas yang dilakukan mereka. Adapun maksud dari ungkapan Hasan al-Bashri tersebut, merupakan penisbatan terhadap prilaku yang dilakukan Washil. Dari ungkapan tersebut istilah nama Mu’tazilah muncul sebagai Madzhab pemikitan teologi yang berdiri sendiri dengan konsep pemikiranya. Selaian peristiwa tersebut, terdapat peristiwa lain yang mendasari munculnya istilah nama Mu’tazilah. Nasihun Amin menerangkan bahawa asal mula istilah Mu’tazilah lahir terjadi ketika suatu hari Qatadah ibn Daamah masuk ke dalam masjid Bashrah dan menuju majlis Amr ibn ‘Ubaid yang mana ia sangka majlis tersebut adalah majlis Hasan al-Bashri, setelah Qatadah mengetahui bahwa majlis tersebut ternyata bukan majlis Hasan al-Bashri, seraya Qatadah meninggalkan majlis tersebut smbil mengatakan “ini kaum Mu’tazilah”.[5]
Dilihat dari segi geografis penyebaran madzhab Mu’tazilah, terdapat dua wilayah yang berbeda, Mu’tazilah Bashrah dan Mu’tazilah Baghdad. Dari perbedaan antara keduanya pada umunya menurut Nasihun didasari pada letak dan situai geografis serta kultural. Bashrah merupakan kota yang lebih dahuru berdiri dari pada kota Baghdad, hal ini menjadikan terbentuknya arus intelektual perkembangan pemikiran lebih dahulu dari pada Baghdad. Adapun perkembangan tersebut disebabkan adanya interaksi antar budaya dan agama yang saling berdialog. Kendati demikian, perkebangan kemajuan di Baghdad lebih unggul ketimbang Bashrah, meskipun Baghdad menjadi kota yang kelahirannya setelah kota Bashrah sebab lain lantaran diperkuat dengan status kota Baghdad yang telah menjadi ibu kota pemerintahan  bani Abbasiyah.[6]
Adapun tokoh-tokoh Mu’tazilah Bashrah antara lain Bin ‘Atha’, Abu Huzail al-Allaf, al-Nuzzham dan al-Jubba’i. Sedangkan para tokoh Mu’tazilah Baghdad antara lain Bisyr ibn al-Mu’ramir, al-Khayyat, al-Qadhi Abd al-Jabbar dan al-Zamakhsyari.[7]
Selain terdapat pebagian dua kubu Mu’tazilah yang dilihat dari letak geografis dan kultur budaya, Mu’tazilah mempunyai cabang yang dapat dibilang sebagai kelompok bagian Mu’tazilah dengan nama dan konsep pemikiran sedikit berbeda. Meskipun pada kenyataanya nama-nama tersebut berbeda, kendati terdapat pokok pemikiran yang sama satu dengan lainya. Al-Baghdadi mengklasifikasikan Mu’tazilah menjadi dua puluh dua golongan dengan nama yang berbeda-beda: al-Washiliyyah, al-‘Umriyyah, al-Hadziliyyah, al-Nadhzdhzamiyyah, al-Uswariyyah, al-Mu’ammariyah, al-Iskafiyyah, al-Ja’fariyyah, al-Basysyariyyah, al-Murdariyyah, al-Hasyamiyyah, al-Tsumamiyyah, al-Jahidhziyyah, al-Haithiyyah, al-Humariyyah, al-Khaiyyathiyyah, Ashhabu Shalih Qubbah, al-Murisiyyah, al-Syahhamiyyah, al-Ka’abbiyyah, al-Juba’iyyah dan al-Bahsyamiyyah al-Mansubah. Meskipun dari semua nama yang berbeda tersebut, terdapat kesamaan yang mendasar dalam pokok pemikiran teologinya. Pokok pemikiran tersebut merupakan pemikiran teologi yang menegaskan bahwa Allah SWT tidak memiliki persifatan sama sekali, kalamullah bersifat hadis sebagai Makhluk, Allah tidak memiliki hak atas kuasa perbuatan manusia bahkan hewan dalam arti bahwa Manusia memiliki kuasa tindak atas apapun yang dilakukan, kedudukan oarang yang berbuat dosa besar berada di antara dua tempat yaitu antara keimanan dan kekafirannya, Allah SWT tidak memerintahkan ataupun melarang berbuat seseuatu apapun dari amal ibadah yang tidak di harapkan oleh Allah,[8]
Pada dasarnya kerangka pemikiran yang dibangun Mu’tazilah adalah Rasional yang tujuannya untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang dapat menodai keesaan, kebaikan dan keagungan-Nya. Sebab dari itu, ketika terdapat teks Al-Qur’an ataupun Hadis yang dianggap memberikan pengertian yang bersifat menodai Tuhan, maka mereka melakukan takwil sehingga didapati kesesuaian dengan apa yang mereka anggap tidak lagi memberikan pemahaman yang menodai Tuhan dengan cara menghadiskan dalil-dalil akal.[9]  
Seperti yang telas diulang lebih dulu, meskipun dalam madzhab pemikiran teologi rasional Mu’tazilah memiliki berbagai macam sub-golongan dengan nama yang berbeda-beda serta adanya kubu yang di bagi dari segi geografis, adat-budaya, akan tetapi pada dasarnya dari masing masing tokoh tersebut memiliki kesamaan lima prinsip dasar sebagai ajaran Mu’tazilah, prinsip lima tersbut adalah: Ke-Esaan Allah, Keadilan Allah, Janji dan Ancaman, Posisi Diantara Dua Tempat, Perintah Berbuat Baik dan Larangan Berbuat Buruk. [10]  
I.                   Ke-Esa-an Allah
Seperti yang diketahui, Tauhid atau ke-Esa-an Allah merupakan dasar ajaran Islam pertama yang harus dimengerti dan dilalui sebelum seseorang resmi dinyatakan sebagai seorang Mu’min. Sepanjang perjalanan sejarah, tauhid kerap kali muncul kepermukaan sebagai pembahasan yang banyak mengundang perhatian dari berbagai kalangan. Hal ini tidak lain sebab tauhid merupakan salah satu ajaran yang terdapat dalam Islam, lebih spesifik sebab Tauhid merupakan diskursus sekaligus ajaran fundamen dari islam disamping itu dalam pembahasan ini sangat rawan terjadi kesalah fahaman yang berakibat status keimanan seseorang tersebut terkikis.
Sedangakn tauhid dalam pembahasan ini ialah tauhid atas dasar pemahaman versi Mu’tazilah, meskipun pada dasarnya tauhid tidaklah khusus sebagai ajaran Mu’tazilah. Akan tetapi sebab cara kaum Mu’tazilah memeperlakukan tauhid secara berbeda dengan melalui cara mereka memahami ke-Esaan Allah. Ajaran dasar ini yang nantinya melahirkan prinsip-prinsip pensucian Allah dari persamaan semua makhluk, bahkan sifat juga tidak boleh ada pada dzat Allah. Argumentasi Mu’tazilah ialah bahwa sifat yang banyak dianggap oleh orang tidak lain merupakan dzat Allah sendiri, sebab dzat dan sifat merupakan dua pengertian yang berdiri sendiri-sendiri dan mengandung arti secara mandiri, tidak dapat disatukan. Sedangkan dzat lah yang merupakan wujud ke-Esaan Allah bukan sifat ataupun di topang sifat-sifat, maka jika ada dua perkara yang berbeda berada dalam satu tempat maka hal tersbut lemah. Dan jikapun terdapat sifat dan dzat yang menempel pada Allah, kama memunculkan kesimpulan bahwa terdapat dua Tuhan. Dan dari itu Mu’tazilah tidak menerima konsep sifat yang bersandar kepada Allah. Ke-Esaan Allah meliputi semua hal, bahkan kesucian Allah merupakan suatu yang harus dijaga jika pun terdapat ketidak cocokan teks Al-Qur’an dan Hadis yang terindikasi adanya pemahaman yang mengarah kepada pernodaan terhdap kesucian Allah, maka dengan landasan dalil akal teks-teks tersebut harus dapat sesuai menurut pemahaman mereka dan tidak ada unsur penodaan terhadap Allah.
II.                Keadilan.
Prinsip ini dibangun dari ajaran dasar kedua yaitu prinsip penjagaan kesucian perbuatan Allah dan persamaan perbuatan makhluk. Prinsip tersebut menekankan bahwa Allah merupakan Tuhan yang tidak adakan menyalahi keadilan bakan selalu melakukan kebaikan. Dari sisilah Mu’tazilah membangun prinsip keadilan melalui pengertian bahwa perangunagjawaban  manusia atas segala perbuatanya sendiri secara mandiri.
III.             Janji dan Ancaman
Ajaran yang ketiga ini merupakan wujud dari ajaran yang kedua dengan ditandai adanya konsekuwensi keadilan, mendapatkan pahala ataukah mendapatkan siksa. Seperti contoh ppenerapan ajaran Mu’tazilah ialah, bahwa mereka sepakat jika mu’min meninggal dunia, sedangkan waktu meningalnya dalam keadaan taubat dan taat maka mu’min tersebut berhak mendapatkan pahala dan fadhal. Sebalikanya, jika seorang mukmin meninggal dalam keadaan dosa besar tanpa taubat lebih dahulu maka konsekuwensinya mu’min tersebut akan mendapatkan siksa di dalam neraka bahkan digunakan sebagai tempat tinggal. Akan tetapi siksa yang di dapat tidaklah seberat seperi siksa oarang kafir.
IV.             Posisi diantara Dua Tempat
Konsep dari ajaran yang keempat ini merupakan inti dari ajaran Mu’tazilah. Konsep tersebut dibanguan melalui akan pikiran atas pemahamn bahwa perbuatan dosa besar yang dilakukan orang mukmin merupakan pelanggaran berat  karena menunjukan bahwa imam pelaku dosa bersat tersebut masil lemah dan tidak lagi sempurna. Jadi tidak layak seorang yang dikatakan mu’min tetapi melakukan dosa besar, maka dari itu ia tidak diperkenankan menempati surga, walaupun demikian dia tidak dapat di hukumi kafir karena pada kenyatanya pelaku dosa besar tersebut masih mempercayai Allah.
Sedangkan konsekuwensi pahala dan siksa hanya ditempatkan di surga dan neraka, maka kedudukan pelaku dosa besar berada diantara surga dan neraka lantaran ketidak jelasan kedudukan, kualitas dan status keimanan pelaku tersebut. Meskipun adanya ketidak jelas tersebut, karena seorang tersebut masih dinyatakan Mu’min tetapi melakukan dosa besar maka konsekuwensinya tetap dimasukan ke Neraka. Hal itu menurut Mu’tazilah bahwa keimanan bukan hanya berhenti di lisan saja, melaiankan harus diaktualisasikan diwjudkan secara nyata dalam segala tindakan.
V.                Perintah Berbuatbaik dan Larangan Berbuat Buruk
Dalam prinsip ini, Mu’tazilah memberikan suatu penjelasan bahwa lyang dimaksud dengan kebaikan ialah suatu yang disepekati kebaikanya oleh banyak orang. Sedangkan Buruk ialah suatu yang bertentangan dengan kesepakatan orang banyak. Landasan ini lebih diperjelas dengan adanya pemahaman bahwa kegiatan apapun tidak cukup hanya menggunakan seruan jika perlu mengunakan tindak pemaksaan.


[1] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: Cv. Karya Abdi Jaya, 2015), h. 94-95.
[2] Ibid.
[3] Muhammad ‘Imarah, Tayyaratu al-Fikr al-Islami,  (Kairo: Darusy Syufuq, 2011), h. 46-48.
[4] Ibid, h. 48.
[5] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 96-97.
[6] Ibid. h. 98.
[7] Ibid.
[8] Abi Mansur Abdul Qahir ibn Thahir ibn Muhammad Al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, (Kairo: Darrussalam, 2010), h. 146-147.
[9] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 98.
[10] Ibid, h.99-104.