Senin, 19 Juni 2017

REAKTUALISASI TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN ASGHAR ALI ENGINEER “TEOLOGI PEMBEBASAN ISLAM”



BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN ASGHAR ALI ENGINEER
“TEOLOGI PEMBEBASAN ISLAM”
A.        Latar Belakang
Kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara sangat signifikan dalam panggung sejarah kehidupan umat manusia. Tidak diragukan lagi, Islam telah menjadi penanda perubahan, bukan hanya dalam teologi, namun juga dalam sosial, politik dan ekonomi. Namun demikian setelah Nabi Muhammad meninggal, terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan pribadi. Sebagian lain mendukung sebagain lainya menolak, dengan menggunakan kekuatan pemahaman teologi sebagain dari mereka berrebut kekuasaan atas nama agama. Kemudian tampillah orang-orang yang yang menginginkan status quo, sehingga islam menjadi hilang daya revolusionernya sampai sedemikian jauh. Dan semenjak itu perhatian umat tercurah pada masalah-masalah teologi. Kondisi ini ditambah dengan persinggungan antara Islam dan ilmu pengetahuan Yunani, selain membawa sejumlah keuntungan, juga menimbulkan dampak negatif. Persinggungan dengan ilmu pengetahuan Yunani ini mengakibatkan kalangan elit Islam semakin bersemangat untuk melakukan intelectual exercise yang bersifat spekulatif. Dan teologi Islam yang sebenarnya sangat dekat dengan masalah keadilan sosio-ekonomi-politik (ada banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas golongan masyarakat lemah, seperti yatim piatu, janda, fakir miskin, budak dan seterusnya), mulai mengalihkan perhatian pada masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi (worldly questions).
Ternyata persinggungan tersebut hanya menguntungkan sebagian kecil elit intelektual. Dan teologi Islam yang bersifat duniawi dan betul-betul spekulatif ini membagi masyarakat menjadi dua kelompok, yakni kaum teolog di satu pihak, dan masyarakat awam di pihak lain. Selanjutnya, Islam yang revolusioner itu menjadi hilang vitalitasnya. Sekolah-sekolah teologi dan hukum mulai mulai menancapkan eksistensinya, dan bersamaan dengan itu, Islam tidak lagi mempedulikan masalah keadilan sosio-ekonomi. Umat Islam hanya menyisakan sedikit rasa peduli terhadap golongan yang lemah, dan lenyaplah elan vital keadaan Islam yang distributif. Dan kemudian selama abad pertengahan ini, feodalisme tumbuh dengan suburnya.
Oleh karena itu, yang sekarang sangat diperlukan adalah menggali kembali nilai-nilai yang revolusioner di dalam teologi Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an. Di dalam penerapan ajaran-ajaran Islam yang membebaskan dalam arti pemahaman teologi yang berorintasi pada kehidupan nyata. Salah satu bagian penting adalah terciptanya hubungan yang harmonis antara berbagai komunitas religius dalam masyarakat multi agama. Hubungan yang harmonis ini dikatakan penting, karena jika terjadi yang sebaliknya, yakni konflik, maka perkembangan Islam justru akan mengarah pada tumbuhnya ortodoksi, bukan pembebasan. Asghar Ali Engineer tampil sebgai tokoh pengerak pembaharu pemikiran islam dalam ranah teologi, ia mencoba membebasakan paradigma kungkungan yang membelit pemahaman teologi, dengan  mengenalkan ideologi baru tentang “teologi pembebasan” sebagai media menuju kebebasan dalam memahami agama. Lebih lanjut akan diulang pada pembahsan selanjutnya.
a.         Biografi Asghar Ali Engineer dan Pemikiran Teologi Pembebasan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.        Biografi Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer adalah seorang Muslim India. Ia merupakan seorang pemikir, penulis dan aktivis sekaligus. Pemikirannya yang paling dikenal adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Asghar lahir pada 10 Maret 1939 di Kalkuta India, dari pasangan Syaikh Qurban Husain dan Maryam.[1]Asghar merupakan seorang insinyur sipil yang seluruh jenjang pendidikanya dilaluinya di India, Berbeda dengan pemikir kontemporer pada umunya, yang sebagin besar pendidikan merekan peroleh di luar tanah air mereka. Ayahnya merupakan seorang ulama pemimpin kelompok Daudi Bohras. Jengjang demi jenjang pendidikan formalnya dapat dilalui dengan lancar, setelah selesai menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya, dirinya melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Vikram, India dimulai pada tahun 1956 dalam disiplin ilmu teknik, selang enam tahun tepatmya tahun 1962, Asghar berhasil menyelesaikan dan berhasil mengantongi gelar sarjana teknik sipil (B.Sc. Eng).[2] Selepas kelulusnya, Asghar mualai mengeluti profrsinya sebagai insiyur sipil yang berjalan terbilang sangat lama, hingga datanglah masa dimana dirinya dihadapkan dengan berbagai problematika yang menyebabkan dirinya berada dititik jenuh atas keadaan pada waktu itu. Hingga akhirnya denga sangat serius ia mengeluti persoalan-persoalan dalam agama, yang mana ia tungkan dalam tulisanya sebagai respon yang di berikan atas kondisi pada waktu itu, dengan objek analisis-kritisnya terhadap aspek dalam agama.
Hal tersebut nampak dapat dipantaskan, dengan alasan adanya korelasi dasar atas pendidikan yang pernah ia perolah, yaitu tentang agama. Mencuatnya kemampuan keagamaan Asghar bukan tidak alasan ataupun tanpa dasar, semasa kecilnya ia didik oleh ayahnya yang tidak lain merupakan seorang ulama Syi’ah. Dari Ayahnya tersebut dirinya banyak mendapatkan ilmu agama seperti; Bahasa Arab dengan intensif, Tafsir, Ta’wil Al-Qur’an, Fiqh, Hadis, dan, selaian itu Asghar juga  banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan Karl Marx. Ia mengaku telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini terbukti sangat berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan gagasannya dengan bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan, revolusi, perubahan radikal, dan sebagainya. Hal tersebut  wajar terjadi, lantaran kemampuanya dapat mengausa berbagai bahasa antara laian Urdu, Inggris, Persi dan Arab.[3] Dari kualitas pengajaran Ayahnya, ia mendapatkan banyak wacana tentang dunia keislaman baik klasik maupun moderen.
Sebagai akademisi tentulah akrab dengan berbagai karya tulis, terebih Asghar merupan salah seorang reformis Islam yang mencoba membebaskan umat Islam dari keterkungkungan pemahaman Spekulatif dan metafisika. Kemampuanya dalam karya tulisnya yang mengalir itu, didasari pada dorongan atas keterlibatanya di berbagai kelompok-kelompok kajian ilmiah. Dari situ, kualitas akademis sekaligus aktivisnya diakui banyak kalangan, terbukti dengan tersebanya berrbagai karya tulisnya ke berbagai kawasan akademis seperti yang diterbitkan di negara Amerika, yang berjudul tha Islamic State; di London, Women Right in Islam; di Malaysia, The Origin and Development of Islam dan lain seagainya.[4] Seperti yang diungkap di atas, keterlibatannya berbaur menjadi aktifis, tidak hanya menjadi anggota pasif, sebaliknya ia menjadi tokoh yang memeliki peranan peting yaitu pada posisi pemimpin.
Dalam terelibatanya menjadi seorang aktivis, Asghar merupakan potren seorang Da’i, pemimpin sekte Syi’ah Ismailiyyah, daudi Bohras di India[5] pada tahun 1972. Pada tahun 1980, ia membentuk Institute of Islamic Studies, di Mumbai, guna mendorong pandangan Islam Progresif di India. Pada tahun 1993 ia mendirikan Center for Study of Society and Secularism untuk mempromosikan kerukunan komunal (agama). Pemahaman keagamaan Asghar Ali, terkait kelompok Daudi Bohra, menegaskan bahwa Daudi Bohras adalah sekte Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi. Untuk dapat diakui sebagai seorang Da’i dalm kelompok tersebut harus mempunyai 94 kualifikasi yang dikelompokan kedalam 4 kelompok: (1) kualifikasi-kualifikasi pendidikan; (2) kualifikasi-kualifikasi administratif; (3) kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan (4) kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.[6] Yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi tersebut, seorang Da’i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Baginya, tampil sebgaai pembela umat atas perjuangan terhadap ketimpangan, kesenjangan dan diskriminasi yang ada, merupakan suatu bentuk refleksi dan aksi atas kualitas keimanan yang di haruskan seimbang antara keduanya (refleksi dan Aksi).
Dengan memahami posisi ini, tidak heran mengapa Asghar Ali sangat peduli dalam  menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya, orang yang benar-benar religius akan sensitif terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang religius akan menentang ketidakadilan. Orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan penindasan, menurut Asghar tidak pantas disebut religius. Dari telaah kesejarahan Asghar Ali menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang religius sekaligus seorang revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat pada zamannya. Dari sebagian pengikut kelompok Bohras, yang disinyalir oleh Tahir Mahmood, selama lima puluh tahunan terakhir ini muncul kelompok pembangkang, sehingga memonculkan respon sebagai bagian opsisi dari pembangakang tersebut, Asghar tampil sebagai opsisi aktif melawan kelompok tersebut, sebab menurutnya telah terjadi banyak penyimpangan. Dalam catatan kaki, Dr. Nasihun Amin dalam Dari Teologi menuju Teoantropologi, ia menyebutkan kurang lebihnya 5 poin klasfikasi penyimpangan yang dilakukan oleh para pembangkang disertai dengan pelaku yang menjadi Da’i.[7] Konsekuwensi dari respon yang ia berikan terhadap para pembangkan tersebut, Asghar pernah dua kali mengalami percobaan pembunuhan, yaitu saat di Kalkuta pada 8 November 1977 dan di Heiderabad pada 26 Desember 1977.[8]
Sebagai wujud dari sikap serta pemikiran idealisnya, Asghar melibatkan dirinya secara intensif kedalam berbagai organisasi. Tercatat ia pernah bergabung dengan organisasi People’s Union for Civil Liberties menjabat sebagai Wakil Presiden, Vikas Adhyayan Kendra (Centre for Development Studies) menjabat sebagai Ketua, Committee for Communal Harmony menjabat sebagai Ketua, Centre for Study of Society and Secularism menjabat sebagai Ketua, Central Board of Dawoodi Bohras Community menjabat sebagai Sekretaris dan menjabat sebagai Konvenor di Asia Muslims’ Action Network.[9]
Sebagai intelektual pemikira bebas dan reformis, lebih-lebih dalam kapasitasnya sebgai Derector of Islamic Studies di Bombay dan mantan anggota Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru di Delhi, Asghar sangat intens menuangkan pemikiran-pemikirannya di berbagai forum ilmiah baik perkuliahan, seminar, lokakarya, maupun symposuim yang di lakukan di berbagai Negara: Amerika Serikat, Kanada, Swiss, Thailand, Indonesia, Sri Lanka, Philipina, Malaysia, Yaman, Mesir, Hongkong, Republik Asia Tengah, Prancis, dan jerman. Tidak sampai hanya disitu, ia juga sangat rajin mensosialisasikan gagasan-gagasanya melalui berbagai penerbit baik dalam maupun luar negeri. Tercatat tidak kurang dari 40 judul buku, baik sebagai penulis langsung, maupn penyutingnya saja, telah ia terbitkan. Tidak hanya itu, Asghar tercatat sangat rajin menuangkan ide-ide gagasanya di beragai jurnal dan harian, seperti Islam and The Modern Age; Religion and Society, Theravada, Jeevendhara, Progressive, al-Mushir, Times of India, Indian Express, The Hindu, Daily, Telegraph dan sebagainya.[10]
Dari semua yang telah dipaparkan, menandakan bahwa sebenarnya Asghar hendak mengatakan agama merupakan sebuah fenomena. Seperti, Al-Qur’an sendiri merupakan sumber agama Islam yang selalu beragkat dari kesadaran sejarah. Hal inilah inti maksud dari pemaparan keterkaitan antara konsep keagamaan yang kemudian berkembang dengan aspek kesejarahan Asghar Ali Engineer, diatas.
Secara ringkas dan diteliti degan seksama, konsep yang dibangun Asghar memiliki ciri yang berbeda dengan konsep pemahaman teologi pada umunya, dari pemahaman Teologi Pembebasan Islam menurut Asghar, yaitu Pertama,  dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, Teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, teologi pembebasan itu anti kemapanan (establishment), apakah itu kemapanan religius maupun politik. Ketiga, Teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Keempat, teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat islam, namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri.
Untuk melancarkan ppembentukan teologi pembebasan Islam dengan batasan dan rambu-rambu yang terdapat dalam ciri-ciri diatas, Asghar mengusulkan langkah-langkah. Pertama, belajat kembali semnagat profetik dan liberasi kenabian Muhammad SAW saat di Mekkah. Sebab baginya Historisitas eksistensial Nabi Muhammad dan perjuangannya merupakan fakta yang sangat jelas menunjukan bahwa, Beliau adalah seorang revolusioner, baik melalui perkataan lalau menjadi sebuah kekuatan ultimatum agamamis (teologis) maupun tindakannya yang menjadi referensi otoritatif kebenaran mutlak dalam koridor a priori, menunjukan Nabi Muhammad merupakan seorang pembebas.[11] Kedua,  belajar dari teologi-teologi revolusioner baik dalam ide maupun aktivitas yang pernah ada dalam sejarah Islam. seperti yang ada dalam Mu’tazilah, dapat diambil pokok-pokok pikiran kebebbasanya dalam penggunaan akal; dari Syi’ah Ismailiyah dapat diambil sintesanya atas pemikiran Islam dan Yunani, sehingga menjadi suatu teologi yang progresif dan revolusioner pada masa rezim Abbasiyah, dari Qaramithah dapat diambil komitmen terhadap revolusi dan berjuang secara gigih setia terus dilakukan penentangan terus menerus terhadap rezim yang menindas; dari teologi Khawarij, yang pemahamn teologinya anti kemapanan teologi, dapat dikembangkan doktrin demokrasi dan sosialisme agama yang didasari oleh keadailan kolektif.[12] Ketiga, melakukan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat dalam sinaran sosial-historis, sekalipun formulasi al-Qur’an lebih bersifat teologis.[13]
Sebenarnya, Teologi pembebasan ini mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil dari tawar menawar antara kebebasan manusia dan takdir, teologi pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap, daripada sebagai konsep yang berlawanan. Perlu dicatat bahwa teologi pembebasan itu lebih menekankan pada praksis daripada teorits metafisis-spekulatif yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”.
Dalam hal ini Asghar memebrikan kata kunci sebagai aplikasi pemahman konsep teologi pembebasan melalui reinterpretasi istilah Tauhid, Syirk, Iman, Kufr dan Adil.
Kaitan dengan reinterpretasi istilah istilah tersebut, secara simpel Asghar memberikan pengertia bahwa Tauhid merupakan suatu pengertian pemhaman atas Tuhan yang terejawantahkan pada realitas sosial yang terlingkupi atas segala konsepsi kesatuan yang utuh, yaitu kesatuan dalam gugusan komunitas masyarakat. Karenanya keesaan Tuhan merupakan keesaan kehidupan yang tidak ada pemisahan antara spritualitas dan matrealitas, antara kehidupan dan keagamaan, atau dengan kata lain Tauhid merupakan kesatuan Universal, pepaduan unsur Tuhan, manusia dan alam. Dari hal itu lah, maka Tauhid –jika diterpkan dengan benar dalam konteks kemanusiaan- menolak dengan tegas tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun dan sekecil apapun serta seringan apapun. Sebab kesatuan manusia merupakan refleksi keesaan Tuhan, jika terrusakakn maka otomatsi kesucian keesaan Tuhan akan ternodai.
Meskipun demikian kesempurnaan Tauhid akan terbatalkan ketika terdapat syirik. Syirk dalam pandangan Asghar, merupakan suatu keadaan yang mengiringi adanya andad atau riva, yang mana keadan dua tersebut induk meunculan kesenjangan, eksploitasi dan penindasan disebabkan adanya pergolakkan sosial politk ekonomi dan sebagainya. Hal tersebut mengunadang adanya duatu dualisme yang saling bersikukuh tegang. Sedangkan dalam perspektik kemasyarakatan hal tersebut merupakan wujud hegemoni penguasa ketika mendapatkan kemengan, sedangakan rakyat dihadiahi segudang keprihatinanan tanpa mendapatkan  kebebesannya. Selain itu, itilah Iman menjadi suatu konsep yang sangat patut mendapatkan perhatian dalam konsep teologi pembebasan Islam. akan tetapi pengertian Iman oleh Asghar berbeda dengan biasanya, menurut asghar, iaman tidak hanya sekedar pengertian teologis meliankan juga pegertian sosiologis. Keduanya tidak dapat dipisahkan sebab anatara iman dan sosial merupakan suatu bentuk reflkesi, jika terpisahkan maka akan menghilngkan hakikiny. Yaitu Iman harus percaya kebaikan akhr yang menopang kemanusiaan sepanjang perjuangnya untuk mengantarkan menuju masyarakat yang adil. Lawan kata dari Iman adalah Kufr, menurut Asghar Kufr menurt konsepnya bahwa kufr dalam al-Qur’an merupakan istilah fungsional, bukan formal dalam arti sebagai alat untuk lebeling yang berfungsi menilai segala hal tanpa batasan penggunaanya, sebba pada khazanah pemikiran umum istilah kufr berartikan menyembunyikan menutupi yang tanpa adanya tendensi terhadap kekhusussan penggunaan istilah tersebut. Jadi kekufran yang terjadi di masyarakat dewasaan ini dapat dikatakan jika terdapat suatu kelompok ataupun indifisual yang menutup diri terhadap keadaan sekitar, asedangkan dalam hal ini –kosep teologi pembebasan- menurut Asghar merupakanprilaku yang tidak percaya dan menutupi misi revolusioner Nabi Muhammad, yang terejawantahkan di tampilan situasi modernis. Dalam keterangannya, orang yang benar-benar kufr ialah oarang yang  arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma’ruf tetapi melaksanakan dengan bangga dan gencar  ats kemungkaran. Dengan kata lain,kufr merupakan sikap yang menghalangi bahwkan mengabaikan keadilan dalam segala bentuk perwujudan, baik adal dalam kapasitas kekayaan, hubungan sosial ataupuan lainnya yang dirasa dapat menimbulkan suatu kesemrawutan yang konstan tanpa keadailan sosioal.[14]
Oleh karena telah mengakar pemahamsn teologi pertengahan sehingga menurut Asghar Ali, Islam sekarang pada saat ini diwarnai dengan ketidakjelasan konsep teologi yang metafisik-spekulatif yang nampak dalam formulasi teologisnya pada zaman pertengahan, sebenarnya bersifat liberatif. Bahwa Islam berorientasi praksis disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam banyak ayat Al-Qur’an. Seorang Mujahid sangat dihargai didalam Al-Qur’an . “Tiadalah sama orang mukmin yang duduk saja di rumah, kecuali orang syang sakiit, dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya”. Kalimat selanjutnya, “ Allah menempatkan orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya sederajad lebih tinggi dari orang yang duduk saja di rumah”. (4: 95)
Dengan demikian jelaslah bahwa jihad bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo, namun demi kepentingan orang yang tertindas dan lemah. “ mengapa kamu tidak berjung di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata ‘Tuhan kami, keluarkan kami dari kota ini yang pnduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari Mu’”. (Al-Qur’an, 4:75)
Dalam teologi pembebasan, selain masalah sosial pilitik, juga dibicarakan masalah psiko-sosial yang teramat penting. Struktur sosial saat ini sangat menindas dan harus dirubah sehingga menjadi lebih adil dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, yang seringkali meminta pengorbanan. Bagi manusia biasa, perjuangan ini tidaklah mudah karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Konsep kebebasan adalah unsur dasar teologi Pembebasan. Kebebasan untuk memilih dan kebebasan untuk keluar (transedensi diri) menuju kondisi kehidupan yang lebih baik dan juga untuk menghubungkan dirinya dengan kondisi yang berunah-ubah secara berarti. Bentuk tidak sepenting tujuan dan ketentuan akhir, yang berfungsi untuk mencapai yaang maha besaryang sesungguhnya dan yang maha agung. Teologi pembebasan memberikan manusia kebebasan ini untuk melampaui situasi kekiniannya dalam rangka mengaktualisasikan potensi-potensi kehidupan yang baru dalam kerangka kerja sejarah. Sebaliknya, orang semata-mata akan tetap mempertahankan esensi-esensi. Selanjutnya harus muncul dalam pikiran kita bahwa Teologi Pembebasan menuntut berjuangan dan kerja keras yang terus menerus untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan restrukturisasi lingkungan. Berbeda dengan teologi “status quo”, tujuan teologi pembebasan bukanlah untuk pelipur lara dan pembenaran atas penderitaan dan kesengsaraan dengan menganggapnya suatu kondisi kehidupan yang niscaya.
Kita lihat bahwa ajaran kehendak bebas dan pre-determinasi mendapat tempat yang sangat besar di dalam teologi islam. Mereka yang berjuang melawan penindasan dan eksploitasi mendukung ajaran kehendak bebas, sedangkan mereka yang menginginkan kemapanan memilih ajaran pre-determinasi dan percaya pada nasib dan takdir. Golongan Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, seluruhnya merupakan oposan dari pemerintahan Umayyah yang menindas dan eksploitatif, menganut ajaran kehendak bebas. Manusia bukan hanya sebuah mainan yang berada ditangan sang takdir, nasibnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Dan sejauh ini, menurut teologi pembebasan, manusia itu bebas dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Manusia diciptakan oleh Allah untuk menentukan nasibnya sendiri di dalam batas-batas yang ditetapkan Allah atau untuk melewati batas-batas ini, dan dalam hal tanggung jawab, manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas.
Teologi pembebasan memandang konsep pre-determinasi dalam prespektif yang proporsional. Biasanya dalam teologi yang trdisional, ketundukan kepada kehendak Allah mengimplikasikan penyerahan diri secara pasif kepada kemauan Allah. Namun demikian, sebenarnaya jika dilakukan penelitian yang cermat terhadap teks Al-Qur’an tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tegas. Allah itu maha kuasa, namun bukan berati bahwa manusia itu tidak mempunyai kebebasan tau tidak mempunyai inisiatif .
Jika agama secara serius dianggapsebagai kebaikan dan berdiri sepihak dengan revolusi, kemajuan dan perubahan, maka agama harus dilepaskan dari aspek-aspek teologis yang bersifat filosofis, yang berkembang mencapai puncaknya hingga aspek filosofis ini menjadi bagian utama dari agama yang bukannya mendukung kaum yang tertindas, namun justru mendukung kelompok penindas. Dengan kata lain, pembebasan teologi diperlukan untuk mengembangkan sebuah teologi pembebasan (theologi of liberation). Umumnya teologi pada masa sekarang ini dikuasai oleh orang-orang yang sangat mendukung status quo. Oleh karena itu, teologi cenderung sangat ritualis, dogmatis, dan bersifat metafisis yang membingungkan. Dengan wajah yang seperti ini, agama sama dengan mistik dan menghipnotis masyarakat. Dan teologi pembebasan harus membersihkan elemen-elemen ini sampai ke akar-akarnya. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan tugas yang menantang dan tentu saja sangat diperlukan. Agama tidak boleh hanya berhenti sampai urusan akhirat, namun juga tidak boleh semata-mata berurusan dengan masalah duniawi, agama harus dapat menjaga relevansinya. Historisitas dan kontemporeritas agama di satu pihak, dan urusan duniawi dan akhirat di pihak lain harus disatukan sehingga menjai sebuah agama yang hidup dan dinamis. Sayangnya sekarang ini teologi hanya berupa seikat ritual yang tidak memiliki ruh, tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas dan para pekerja kasar, serta menjadi latihan intelektual dan metafisis atau mistis yang abstrak bagi kalangan kelas menengah. Karena itulah agama menjadi penyebab langgengnya status quo. Ritual yang tidak memiliki ruh keagamaan dan juga abstraksi metafisis ini harus disingkirkan dari agama. agama harus menjadi sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk merubah keadaan mereka, dan menjadi kekuatan spiritual utuk mengkomunikasikan dirinya secara berarti dengan dan memahami aspek-aspek spiritual yang lebih tinggi dari realitas ini.



[1] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 165. Lihat, Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Dari Teologi Menuju Teoantropologi: Pemikiran Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer, (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 41.
[2] Ibid.
[3] Ibid. h. 165-166.
[4] Ibid. h. 166.
[5] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Dari Teologi Menuju, Op. Cit. h. 43.
[6] Ibid.
[7] Ibid. h. 44.
[8] Ibid.
[9] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 166. Dan ......, Dari Teologi Menuju Teoantropologi, op. Cit. h. 44.
[10] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Dari Teologi Menuju Teoantropologi, op. Cit. h. 45. 
[11] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 171.
[12] Ibid. h. 172.
[13] Ibid.
[14] Ibid.

REAKTUALISASI TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN HASAN HANAFI “TEPLOGI SEBAGAI ILMU KEMANUSIAAN UNTUK PERJUANGAN”



BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN HASAN HANAFI
“TEPLOGI SEBAGAI ILMU KEMANUSIAAN UNTUK PERJUANGAN”
A.    Latar Belakang
Sebagai suatu ilmu, teologi merupakan suatu kajian yang membahas masalah ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap penciptanya, melalui penggunaan akal dan wahyu. Akal, sebagai potensi pikir manusia, selalu aktif dan berusaha semaksimal mungkin untuk sampai kepada Tuhan. Sedangkan wahyu sebagai pengkhabaran (ajaran dan aturan) dari alam metafisika yang turun kepada manusia yang berisikan keterangan-keterangan tentang pencipta dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhannya, dari bahasa Tuhan lalu diterjemah menjadi bahasa manusia. Dengan kata lain teologi merupakan pentelaahan tentang ajaran-ajaran dasar agama. Jadi, teologi ini merupakan lahan pengembangan pemikiran dalam Islam, disamping bidang-bidang lain.
Hassan Hanafi termasuk tokoh kebangkitan Islam dan pemikir Islam Kontemporer. Ia dikenal sebagai seorang filosof dan Teolog yang berasal dari Mesir yang pernah meraih gelar Sarjanah Muda bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956.[1] Pemikirannya banyak mengedepankan tradisi dan pembaharuan. Hasan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan “Islam Kiri”. Hassan Hanafi yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Pemikiran Islam yang lain lebih mengedepankan al turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan). Proyeksi ini mendasarkan diri pada dialektika yang dibagi atas kemarin yang diumpamakan dengan khazanah klasik, esok yang diumpamakan dengan khazanah barat, dan sekarang yang diumpamakan dengan realitas kontemporer. Manusia berada dalam ketiga lingkaran ini.[2] Selain itu, sebagai seorang pemikir yang konsentrasi terhadap bidang teologi, Hasan hanafi mencoba merubah kemapanan ideologi yang bersifat teologi dari warisan klasik menjadi suatu kerangka konseptual baru dalam ranah teologi yang diambil dari kebudayaan moderen, melalui perubahan orientasi perangkat konseptual sistem teologi (kepercayaan) sesuai dengan perubahan konteks sosial-politik yang terjadi. Dari usaha tersebut, dapat dilihat bahwa Hasan Hanafi berkeinginan meletakan teologi Islam pada tempat yang sebenarnya.[3] Lantas bagaimana hal tersebut dijelaskan?, dalam tulisan ini akan mencoba membahas maksud tersebut.  
1.      Rumusan Masalah
A.    Biografi Hassan Hanafi dan Pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Hassan Hanafi dan Pemikiranya.
Hassan Hanafi adalah seorang pemikir hukum Islam dan professor filsafat terkemuka di Mesir. Ia dilahirkan 13 Februari 1935 di Kairo dari keluarga musisi,[4] tepatnya di sekitar tembok benteng Shalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan al-Azhar.[5] Keluarganya berasal dari Bani Suwaif, sebuah provinsi yang berada di Mesir dalam. Ia memiliki darah keturunan Maroko. Sementara neneknya berasal dari kabilah Bani Mur, yang diantaranya menurunkan seorang terkenal, Gamal Abd al-Nasher, Presiden Mesir kedua. (Jurnal Islamica No. 1, 1993 : 16). Meskipun lahir dari kalangan musisi, akan tetapi sejak kecil Hasan Hanafi sudah dihadapkan pada kenyataan-kenyataan kehidupan yang pedih serta pahit, karena dominasi kekuasaan penjajah dan pengaruh-pengaruh politik asing yang lain. Hal ini dinilai Hanafi bahwa, negaranya telah mengalami problem yang memperhatikan terkait ancaman terhadap persatuan umat.[6] Dari itulah kekecewaan dan kesadaranya tergugah, yang menjadikan dirinya mulai merintis melahirkan pemahmanan baru tentang ideologi teologis pada jaman moderen.
Pendidikannya diawali pada tahun 1948, kemudian dilanjutkan pada jenjang SMA di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo, yang diselesaikan selama emapat tahun.[7] Selama pendidikannya, disana Hasan Hanafi aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-Muslimin. Akibat dari keaktifanya, Hasan sejak kecil sudah mengataui pemikiran-pemikiran yang dikembangankan oleh ikhwan al-Muslimin dan aktifitas-aktifitas sosialnya. Selaian itu, untuk menunjang serta proses awal terebentuknya ideologi terologis yang diusugnya, Hasan Hanafi juag mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilah sosial dan Islam. dan sejak itu, menurut Nasihun Amin, Hasan Hanafi mulai berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial.[8] Seperti yang pernah disinggung pada latar belakang,  Ia memperoleh gelar Sarjana Muda bidang filsafat dari University of Cairo pada tahun 1956. Sepuluh tahun kemudian (1966), Hanafi mendapatkan gelar Doktor dari La Sorbonne, sebuah universitas terkemuka di Pris. Dengan disertasinya berjudul “Lexsegeses de la Phenomenoloie Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application an Phenomene Religiaux”. Karya tersebut merupakan upaya Hasan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh pada filsafat madzhab fenomenologi dari Edmud Husserl.[9] Dari hikmah domisinya di Prancis, ia mengakuai bahwa di sana ia dilatih berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan karya milik orientalis.[10] Selama rentang studi di negeri yang multietnis tersebut, Hanafi menyempatkan diri mengajarkan bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales, Paris. Setelah menamatkan studinya, ia kembali ke Mesir untuk menjabat staf pengajar di almamaternya, Universitas Kairo.
Salah satu momen penting dalam kehidupan Hanafi, pada khususnya, dan diskursus intelektual Muslim-Arab pada umumnya, adalah diterbitkannya sebuah jurnal berkala oleh Hassan Hanafi yang edisi pertamanya (1981) bertajuk al-Yasâr al-Islâmiy: Khithâbât fî al-Nahdhah al- Islâmîyyah. Jurnal ini tidak saja berisikan beberapa isu penting sehubungan dengan kebangkitan Islam dengan agenda yang sama dalam proyek al-Turâts wa al-Tajdîd, tapi lebih penting lagi, merupakan manifesto gerakan pemikiran yang diidam-idamkan Hanafi dalam rangka pembaruan menyeluruh masyarakat Muslim. Karya Hanafi ini, bersama-sama dengan al-Turâts wa al- Tajdîd, menandai tahap krusial dalam pemikiran Hanafi. Kedua karya tersebut tidak saja terbit setelah kemenangan revolusi Iran 1978-1979 yang tentu saja memberi pembenaran bagi kebangkitan dunia Islam,[11] tapi lebih-lebih menunjukkan terjadinya transformasi dalam pemikiran Hanafi dari apa yang ia sebut sebagai “dominannya kesadaran individual pada dekade 1960-1970, kepada “dominannya kesadaran sosial” sejak dekade 1980-an.
Pada tahun 1966 Hasan Hanafi pulang ke tanah kelahiranya.[12] Semangat Hasan Hanafi untuk meneruskan tulisnya tentang pembaharuaan pemikiran Islam sangat Tinggi, akan tetapi hal tersebut untuk sementara waktu harus di urungkannya, sebab kekalahan Mesir atas Israel menjadikanya lebih memikirkan memperhatikan nasib negaranya, karena itu akhirnya Hasan Hanafi memutuskan untuk ikut serta bergabung dengan rakyat, berjuang dan membangung kembali semangat Nasionalisme[13] jiwa patriotisme guna mengalahkan Israel. Sebagai media untuk membangun kembali semngat Nasionalisme perjuangan bersama rakyat, Hanafi menggunakan media masa sebagai corong perjuangannya, melalui karya tulisnya yang berbentuk artikel-artikel, Hanafi mencoba menanggapi masalah-masalah aktual untuk melacak faktor kelemahan umat Islam.
Hanafi sangat yakin bahwa jika manusia ingin melakukan diskursus tentang esensi dirinya di dalam tradisi klasik, niscaya ia tidak akan menemukannya. Karena menurutnya di sini muncul krisis; manusia menyadari dirinya kemudian mencarinya di dalam peradabannya namun tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, manusia tetap sirna dari tradisi klasik, dan tradisi klasik tetap eksklusif terhadap manusia.[14] Kemudian Hanafi mengajukan konsep baru tentang Teologi Islam bertujuan untuk menjadikan teologi tidak sekadar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yakni, dengan meletakkan teologi islam sesui pada tempatnya yang mana bukan pada ilmu ketuhanan yang suci yang tidak boleh dipersoalkan lagi, tegasnya dapat direkontruksi konsep-konsep teologi Islam, dan juga bukan keilmuan ketuhanan yang harus diterima begitu saja. Untuk memberikan besar konsep teologi yang dibangunnya, Hnafi memberikan epistemologi teologi bahwa teologi merupakan ilmu kemanusiaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan klasifikasi secara historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam yang berjutuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan dunia muslim terhadap kebebasan, kesamaan sosia, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Dari semua itu, Hanafi meletakkan Manusia sebagai sasaran tujuannya, dari itu Hanafi mengidealkan aqidah sebagai alat untuk melakukan perjuangan sosial.[15]
Dari paradigma tersebut inilah tercerminkan dalam karyanya yang berjudul Min al-Aqidah ila al-Tsaurah dan gerakan Islam kirinya.[16] Dari konsep itulah Hanafi menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Pemikiran ini, minimal didasarkan atas dua alasan: pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
Untuk mengatasi kelemahan teologi tradisional yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori.[17] Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas, seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan gaib, tetapi juga mengungkap tentang iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akhirat. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orientasi teologi kontemporer.
Untuk membumikan dua tawarannya tersebut, Hanafi paling tidak menggunakan tiga metode berpikir: dialektika, fenomenologi dan hermeneutik.[18] Dialektika adalah pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis di mana tesis melahirkan antitesis yang dari situ kemudian melahirkan syntesis. Hanafi menggunakan metode ini, ketika sebelumnya menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafi berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit.
Fenomenologi adalah sebuah metode berpikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau realitas. Hanafi menggunakan metode ini untuk menganalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik, ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolusi.[19] Sebagaimana yang diakuinya sendiri sebagai berikut: “Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir”. Dengan metode ini Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat.
Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang, yang aktifitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan, yakni teks, penafsir, dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya. Hanafi menggunakan metode ini untuk mengangkat gagasannya berupa antroposentrisme-teologis; dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran Tuhan sampai kepada manusia.[20] Sebab, apa yang dimaksud dengan hermeneutik bagi Hanafi, bukan sekadar ilmu interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menuju realitas sosial.
Dalam merekonstruksi ilmu-ilmu Islam klasik, paradigma “tradisi dan pembaruan”  memberikan teori-teori pembaruan yang bersinggungan dengan tiga objek: bahasa, emosi, dan realitas sosio-kultural.
1.      Logika pembaruan bahasa
Menurut Hassan Hanafi, pembaruan bahasa dan istilah merupakan hal yang paling pokok dalam melakukan pembaruan terhadap tradisi. Menemukan bahasa baru berarti menemukan ilmu baru. Bahasa juga merupakan sarana pengungkapan dan penyampaian gagasan, sayangnya studi Islam saat ini masih menggunakan bahasa-bahasa klasik. Akibatnya, ilmu pengetahuan dalam Islam tidak mampu berkembang karena gagasan-gagasan baru tidak mampu dibahasakan dengan istilah yang baru pula.
Bahasa klasik sangat berpengaruh dengan situasi dan kondisi pada masa itu, Hassan hnafi mengkritik bahasa klasik karena memiliki tiga keterbatasan, yaitu:[21]
a.       Teo-sentris, Hanafi menyatakan bahwa bahasa dan istilah klasik berpusat pada Allah, sehingga pengungkapan kata Allah dianggap rancu dan paradoks. Kalimat Allah termanifestasikan dalam beragam ungkapan yang memiliki makna berbeda. Misalnya, Allah bagi orang lemah adalah kekuatan, bagi orang takut adalah keamanan, bagi orang bodoh adalah ilmu, dan bagi orang yang tertindas adalah kemerdekaan. Maka dapat disimpulkan bahwa makna Allah selalu mengalami perubnahan sesuai dengan ruang waktu dan tuntutan masyarakat.
b.      Religio-sentris, ilmu klasik masih menggunakan istilah agama seperti din, mukjizat, nubuwat dan lainnya. Hanafi menggugat penggunaan bahasa tersebut, menurutnya kalimat diatas tidak mampu menunaikan tugasnya sebagai pengungkap subtansi pada masa kini. Dalam wacana kontemporer, bahasa diatas menimbulkan pengertian yang ambigu, ambivalen, dan paradoks. Kita tidak mampu membadakan antara agama sejarah, dan agama wahyu karena makna agama dalam  wacana klasik identik dengan Tuhan. Hanafi menganggap ideologi sama dengan agama itu sendiri.
c.       Bahasa klasik tidak lebih sekedar pengucapan kata dari problematika sosio-kultural pada masanya dari pada substansi pemikiran. Ketika kita berfikir tentang fikih, yang kita ketahui hanya madzhab syafi’i, yang berupa golongan. Padahal ada yang lebih penting dari personal tadi yaitu pemikiran dari madzhab syafi’I sendiri. Maka bahasa-bahasa dalam tradisi klasik lebih banyak mengungkapkan sosio-historis, geografis, dan gagasan-gagasan personal.
Untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan diatas, Hanafi menawarkan tiga metode pembaruan bahasa.[22] Pertama, merekonstruksi bahasa klasik menjadi bahasa baru. Analogi sederhananya, mengalih bahasakan kata “Allah” menjadi “insan kamil”. Karena “insan kamil” telah memiliki sifat-sifat Alah yang sempurna. Kedua, mengganti makna bahasa klasik ke bahasa baru, dalam artian mencari kembali makna aslinya untuk diganti bahasa baru. Sebagai contoh, makna dari kata “al-kafarah (denda)” dan “al-hadd (hukuman)”. Keduanya dianggap memiliki makna negativ, padahal denda dan hukuman bertujuan pada pembebasan individu dari rasa bersalah dan pengakuan prinsip-prinsip ideal dalam agama. Ketiga, pembaruan bahasa sesuatu yang klasik ke bahasa yang baru. Seperti kata insan kamil merupakan sesuatu yang dimaksud dengan Allah, karena Allah memiliki sifat yang ideal yang perlu ditiru oleh manusia, maka dengan kata lain, insan kamil adalah Allah itu sendiri.
2.      Rekonstruksi Kesadaran Emosi
Dalam teori pembaruan tidak cukup memperbarui bahasa baru, namun emosi (perasaan), dan kesadaran perlu diperbarui juga. Emosi juga mempunyai peran yang kuat untuk melahirkan pemikiran dan cara pandang seseorang. Emosi-emosi yang bertumpuk-tumpuk pada pelaku-pelaku sejarah (manusia) sangat penting untuk dianalisis dan direkonstruksi. Pada dasarnya, studi-studi Islam klasik tidak bisa lepas dari pengaruh emosi-emosi ini. Sebagai gambarannya dalam ilmu hadits tentang riwayat, itu merupakan gambaran mengenai memahami emosi (psikologis) para rawi. Maka rekonstruksi emosi di sini sangat penting agar agenda-agenda pembaruan bisa berempati dengan psikologi massa.
3.      Perubahan Realita (Sosio-kultural)
Poin ini juga sangat perlu dikaji, karena studi-studi Islam tumbuh dan berkembang pada ranah peradaban klasaik, realitas sosial dan budaya. Diantara peran realitas (sosio-kultural) ini dalam merekonstruksi ilmu-ilmu klasik; memberikan definisi, metodologi, tujuan, aspek pembahasaan dan bahasanya.
Pembaruan benar-benar akan berangkat dari perubahan realita. Para Filusuf Muslim merekonstruksikan Filsafat Yunani dengan materi-materi keislaman karena perubahan realita (dari Yunani ke Arab). Seperti halnya contoh-contoh dari tradisi khas Yunani diganti dengan pengambilan contoh-contoh dari al-Quran dan hadis.
Pembaruan tradisi tidak berhenti pada tiga poin diatas, Hanafi juga memaparkan empat metode lain untuk merekonstruksikan ilmu-ilmu klasik sebagai objek kajian pembaruan[23]; logika penafsiran (telaah proses terbentuknya suatu ilmu dari teks agama dengan metode pemahaman spekulatif), logika fenomenologi (proses rasional-ilmiah dalam menelaah karakteristik fenomena-fenomena pemikiran dan pengaruhnya terhadap struktur ilmu), logika nilai dan logika pembaruan (proses pentelaahan dan berujung pemberian dimensi-dimensi baru, baik dari bahasa yang mengungkapkan analisa-analisa atau materi-materi baru yang diberi oleh realitas keyakinan).
Dari semua itu, prodek besar Hanafi bertumpu pada tiga concern utama. pertama, rekontruksi teks yang dilahirkan dari peradaban masa lalu. Dari Masyarakat Islam dan tradisi lama sama-sama selalu tetap hidup, keduanya pada saat yang sama berada di era moderen yang kompleks akan hal yang beru. Keadaan era moderen tersebut maksa mereka untuk dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada, yakni era dimana semua disiplin keilmuan yang didalamnya termuat berbagai macam konsep paradigma dan sebagainya, dituntut untuk dapat objektif dengan orientasi jelas yang dapat memberikan pengaruh positif-aktif dalam kehidupan manusia dan bukan hanya bersifat teoritis belaka. Akan tetapi tradisi lama dapat dibilang sebagai tradisi yang tidak cocok diterapkan di era moderen, seperti yang diketahui era moderen juga mempuanyai tradisi sendiri yang berbeda dengan tradisi lama yang keduanya saling berlawanan. Hal ini menjadikan sedikit kepincangan dalam pemahaman untuk merekontruksi teks warisan peradaban masa lalu, jika tidak mampu memadukan antara teks dengan realitas yang ada, karena teks masa lalu –dalam pejelasan pemahamnya- masih akan tetap membawa pengaruh tradisi masa lalu dalam kasus sosiologi-antropologi dimana teks tersebut lahir. Dan dari karenanya perlu memisahkan antara teks secara orisinil dengan situasi yang membalut makna teks tersebut guna menemukan sebuah pemahaman yang relefan dengan realitas kondisi sekarang. Adapun yang dimaksud rekontruksi teks yang dimaksud oleh Hanafi yaitu, membangun kembali kaidah-kaidah konseptual pemahaman terhadap ilmu-ilmu tradisional, seperti; filsafat, teologi, fiqh, tafsir, al-Qur’an dan Hadis, dengan menganggap warisan tersebut bukan ilmu yang final diperbincangkan, melainkan ilmu-ilmu yang bersifat feksibel dan bersifat historis guna mengapresiasikan modernitas. Tersebut lantaran menurut Hanafi menemukan tidak ada alternatif yang lebih baik dalam tradisi Asy’ariyah, Mu’tazilah, Averoisme atau Malikiyah.[24]
Kedua, tentang budaya-budaya asing, terutama budaya Barat yang selalu dan sampai sekarang masih mempropagandai dan terus mendominasi melalui media Baratnya -yang sebetulnya inferio- terhadap Masyarakat. Akibatnya Masyarakat menjadi korban “Mitos Universal” sebab budaya-budaya Barat yang membenturkan terhadap masyarakat lalu menjadikan masyarakt terserap kedalamnya tanpa dirasakan. Hal tersebut sebagai alasan untuk diadakanya dekolonasi diri dan membuat peradaban yang berlever sama unggulnya.[25]
Ketiga, concern terhadap masalah sikap terhadap realitas atau dunia nyata diluar teks. Karena warisan tersebut (budaya) dimuat di dalam teks, maka hanafi mengakui bahwa dirinya pun beriteraksi dengan teks secara makna haqiqi, dan ketika menghadapi relitas  hanafi selalu menghubungkan dengan teks. Dalam hal itu, Hanafi memberikan penekanan bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah mentransformasikan realitas ke dalamteks.[26]
Seperti yang diulas diawal. sebagai pemikir teologi, Hanafi menjadikan teologi sebagai intrumen untuk revolusi perjuangn sosial, dirinya menegaskan sikap terhadap bangunan teologi yang sudah ada,sebagai jawaban dari alasan harus adanya reaktualisasi pemahman teologi islam yang direinterpretasi. Terhadap teologi Asy’ariyah,  Hanafi menjaga jarak lantaran dari anggapanya bahwa kelompok tersebut menjadi ideologi kekuasaan. Sedangkan terhadap Mu’tazilah dirinya lebih mendekat lantaran kelompok ini mengedepankan perjuangan kebebasan akal, begitu juga nilai ajaran yang diambilnya dari Khawarij bahwa perbuatan sebagai refleksi Iman dan pelajaran dari penerapan teologi Syi’ah yang telah sukses melaksanakan revolusi di Iran.[27]   
Nasihun Amin menyebutkan lima perinsip yang diutarakan Hanafi sebgai keyakinan untuk membangun teologi konseptual barunya.[28]
1.      Kemaslahatan manusia yang menjadi esensi al-Qur’an dan Sunnah.
2.      Kebebasan manusia sebagai entitas yang otonom.
3.      Menolak Tasawuf, lantaran mengandung ajaran egoistis (mementingkan keselamatan diri sendiri tanpa diikui orang lain) dan ajaran yang naif dan destruksi (memtingkan kesucian jiwa tanpa memperhatikan kesucian dunia)
4.      Tujuan akhir adalah pencerahan  menyeluruh yang berbasis pada kebudayaan dan kesadaran histroris bukan otoritas kekuasaan.
5.      Bertumpu pada relitas bukan pada teks keagamaan.
Adapun poin kejelasan latar belakang perlu adaya dilakukan rekontruksi teologi sekurang-kurangnya tiga hal. a). Adanya teologi yag jelas di tenggah-tenggah pertarungan global antara berbagai ideologi yang hendak berebut pengaruh. b). Teologi yan bukan hanya semata-mata penting pada sisi teoritis, akan tetapi pada kepentingan praktis sebagai pemecah problem-problem kemanusiaan riil. c). Cara untuk memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban mansia yaitu dengan menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan.[29]
Kaitannya dengan pemahaman tentang dzat Tuhan, Hasan Hanafi menolak rumusan teologi yang berikan oleh para teolog klasik. Yaitu pemahman bahwa teologi merupakan ilmu yang objeknya hanya kepada dzat Tuhan, dalam hal ini Hanafi menyakini bahwa semua penggambaran tentang Tuhan, sebagaimana dalam al-Qur’an dan Sunnah pada hakikatnya merupakan penggambaran yang menghantarkan manusia untuk membentuk citra diri manusia yang ideal dengan mengkaji teologi yang diposisikan sebagai ilmu kemanusiaan. Seperti halya pada konsep pengertian tentang Tahuid. Baginya Tauhid merupakan sebuah konsep yang lebih mengarah ke tindakan nyata. Penafian maupun penetapan sebagaimana yang tercerminkan dalam kalimat la illaha illa Allah, tidak akan mempunyai arti apapun jika tanpa adanya aktivitas riil dalam dunia yang nyata. Dengan demikian dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid ialah upaya pada kesatuan sosial masyarakat, ynag berarti kesatuan kemanusiaan tenpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembangan.[30]
Secara detail dalam konsep pemahamn teologi yang diusung oleh Hanafi, ia memberikan beberapa penerapan dari konsep teologi yang berorientasi tentang kemanusiaan, melalui penjelasan konsep sifat-sifat Tuhan. Wujud merupakan eksistensi humanistik yang didasari oleh pengalaman. Bukan penjelasan mengenai wujud Tuhan, karena menurut Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Keberadaan-Nya tidak tergantung pada keberadaan yang lain, dengan kata lain Wujud adalah tajribah wujudiyah pada manusia. Qidam (dahulu) merupakan modal pengalaman dan pengetahuan kesejateraan yang  dapat digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan ada lagi terjatuh kedalam kesesatan, taqlid dan kesalahan. Dengan kata lain, pengalaman akan berbagai kegiatan yang berdimensi kesejahteraan yang mengacu pada akar-akar kebenaran manusia dalam lintas sejarah. Baqa’ (kekal) merupakan ajaran bagi manusia untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan dan alam, serta menjadi motevasi pengerak menjadi manusia yang produktif dengan karya monumentalnya yang bersifat abadi. Singkat kata, Baqa’ bagi Hanafi merupakan pengalaman kemanusiaan yang berupaya agar diri manuisa tidak cepat rusak mealui aktivitas kontruktif yang dapat meningkatkan daya tahan jiwa dan raga dalam menjaga kelestarian lingkungan serta alam. Mukhalafah li al-hawadis dan Qiyamuhu binafsihi bagi Hanafi merupakan tuntutan bagi manusia agar mereka berusaha dengan sangat serius untuk menunjukan eksistensi merekan secara mandiri, dari hal ini lah Hanafi mengajak untuk menjadi pribadi yang selalu tampil percaya diri dalam perbedaan yang ada bahwa tampil untuk berbeda. Dan dari kekuatan kemandirian berdiri sendiri, mampun menjadikan suatu pagar dan penopang kepercayayaan diri tersebut. Semua itu tnetu haruslah di lakukang dengan sangat aktif dan produktif. Wahdaniyyah  merupakan sifat yang menunjuk kepada kesatuan eksperimentasi kemanusiaan. Dengan bahasa lain, merupakan pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan-kesatuan; tujuan, nasib, tanah air, budaya dan kemanusiaan.[31]
Dari seragkaian penjelasan di atas, sangat jelas bahwa Hasan Hanafi mengingnkan pemahaman tentang teologi islam sebagai suatu kekuatan dasyat yang keluar dari jiwa-jiwa murni dan di wujudkan melalui bentuk aktivitas yang tidak jauh dari problem kemanusiaan, terutama untuk menghadapi kejolak penjajahan dan penjarahan.



[1] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 156.
[2] Hassan Hanafi, Islamologi 1; dari teologi statis ke anarkis, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal. v
[3] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Op. Cit , h. 157-158.
[4] Ibid. h. 155.
[5] Seperti yang kita ketahui bahwa kota ini merupakan tempat berkumpulnya pelajar  muslim dari seluruh dunia, khususnya di al-Azhar. Tradisi ilmu telah berkembang sejak lama di sana, meskipun lingkungan sosial sering dikatakan orang tidak begitu mendukung para mahasiswa. Secara kultural, Mesir merupakan buwaihan di mana peradaban besar di dunia pernah hidup di sana sejak masa yang paling awal; mulai dari Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk, dan Turki, sampai dengan Eropa modern. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, lebih-lebih kota Kaironya di mana Hanafi dilahirkan, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuannya.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid. h. 156.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Lihat Diktat, Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, hal. 488 (Hassan Hanafi, al-Dîn wa al-Tsawrah fî Mishr 1956-1981: al-Wahdah al-Wathaniyyah
(Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989), hlm. 13.)
[12] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. cit, h. 156.
[13] Ibid.  .
[14] Hassan Hanafi, Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, terj. Miftah
Faqih (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 66.
[15] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. cit, h. 158.
[16] Ibid.
[17] Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Tim P3M. (Jakarta: P3M,
1991), h. 17.
[18] Boullata justru menilai, pemikiran Hanafi didasarkan pada tiga metodologi, yaitu: analisa sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial Marxian. Lihat Boullata, “Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan”, dalam Islamika, edisi I, Juni-September 1993, h. 21. Lihat Diktat, Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, h. 489.
[19] Lihat Diktat, Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, op. Cit. h. 489.
[20] Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Fidaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1983), h. 1.
[21] Lukman Hakim, Dkk, Kontekstualisasi Islam Dalam Peradaban, (Kairo : Bindhara Press, 2002), h. 226
[22] Ibid, h. 228
[23] Ibid, h. 229
[24] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. cit, h. 159.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid. h. 160.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid. h. 162.
[31] Ibid. h. 163-164.