BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran Politik Sunni Masa Moderen: Abu
A’la al-Maududi-Menegakkan Negara Teodemokrasi
A. Latar belakang
Kontras, sepanjang kesejarahan perkebangan Islam dari masa kemasa,
mengalami perbagai macam rotasi keilmuan. Islam merupakan agama paripurna tidak
ada yang luput dari pembahsan ajaran yang terkandung didalamnya, baik konsep
kemanusian secara umum maupun ketuhanan secara khusus. Dalam berbagai
perkembangan yang ada, seringkali islam menjadi suatu personil sebagai pemberi
warna di duni ini. Berbagai ranah problematika mampu terjawabkan dengan landasan yang rasional juga tanpa
meninggalkan asas nilai ajaran keislaman.
Islam dalam sejaranhya telah menjadi objek menarik untuk diteliti
bahkan diadopsi lalu diperbaruhi dengan melalui dialog keilmuan lainya guna
mendapatkan natijah pemahaman akan asas ajaran yang tertuang dalam
konsep yang diusung oleh Islam (Pemeluk agama Isalam; muslim, mu’min)
sebagai solusi ataupun alternatif terkait problematikan yang juga ikut
berkembang sesuai zaman.
Problematika agamis, politik, kemanusian dan juga teologi, menjadi
suatu perbincangan yang asik tidak membosankan untuk di dikusikan dalam
berbagai momen; seminar, debat, ceramah, diskusi. Hal ini tidak lain lantaran
unsur-unsur tersebut jelas ada dalam ruang lingkup kehidupan manusia, bahkan
dapat dibilang unsur-unsur tersebut akan ada dan dialami oleh setiap kehidupan
manusia kecuali ajal yang dapat merupah kelogisan tersebut. Karena agaman
merupakan suatu yang ada dan tidak dapat lepas dari kehidupan manusia, bahkan
sampai matipun agama menjadi sumber landasan; maka dari itu seiraing dengan
perkembangan yang ada, agama seringkali ikut menjadi penggagas suatu alternatip
pemahaman, baik agama Kristen, Protestan, Yahudi, Budha, dan lain-lain tidak
terkecuali Islam.
Setiap agama mempunyai ajaran masing-masing sebagai landasan
menjalani kehidupan pemeluknya, tIdak jarang ajaran-ajaran tersebut menjadi
ajang kajian mendalam terkaiat reinterpretasi pemahaman bahkan ajaran yang di bawa
oleh agama tersebut, hal itupun dilakukan oleh pemeluknya. Secara universal,
hemat penulis, hal tersebut dilakukan bukanlah sebagai usaha untuk menjatuhkan
suatu ajaran agama oleh pemeluknya, lebih positif sebagai pembaharu cara
pandang, cara memahami, cara menafsirkan bentuk suatu ajaran bahan sebagai
spirit untuk menghidupkan nilai-nilai ajaran suatu agama dalam tatanan
kehidupan, baik dalam scope kecil maupaun scope besar,
masyarakat-negara-dunia.
Ajaran merupakan konsensus yang harus ada dalam suatu agama,
tertutama dalam pembahsan kali ini, yaitu agama islam yang dikenal dengan
istilah Syari’ah. Seperti yang di singgung diatas, Islam merupakan agama
yang serba komplit dalam segala hal, tidak terkecuali ranah politik. Dewasa ini
merupakan diskursus tentang yang dinamakan siasah, siasat, strategi,
dalam penjelasan singat merupakan tindakan yang dilakukan sebagai alat mencapai
tujuan guna memenuhi maslahat. Dalam perkembanganya, politik sering mengalami
berbagai reinterpretasi juga rekontruksi konsep agar dapat dilaksanakan sesuai
dengan situasi kondusi suatu wilayah dalam pelaksanaan teknisnya.
Islam dalam hal ini, sangat peduli teradap keberlangsungan teknis
pelaksanaannya, dengan melihat berbagai aspek dasar tanpa meninggalkan nilai
spirit yang ada. Tentu dapat dipahami bahwa maksud yang dikata “ISLAM” dalam
pembahasan ini ialah pelaku atau pemeluk agama islam yangmana sebagai tokoh
konseptor. Alasan logisnya yaitu, bahwa semua ajaran Islam terkandung juga
terjelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis, sedangkan dua landasan tersebut
mengandung yang dinamakan makna universal dan feksibel. Maka dari itu, tentulah
harus adanya usaha memahami, menafsirkan dan mengungkappkan isi kandungan dua
landasan tersebut untuk mendapatkan makna yang pantas diterapkan sesuai dengan
situasi kondisi suatu wilayah.
Dalam sejarah yang ada, politik “Islam” sudah dipraktekan sejak
zaman Nabi terlebih secara contoh saat piagam madinah dirumuskan, berlanjut
masa khalifatu al-Rasidin dan
berkembang sampai sekarang. Kendati yang dominan akan dibahas pada masa
pemikiran moderen, yang kali ini akan dibahas yaitu Al-Maududi sebagai
konseptor dan juga objek kajian pemikiran politinya atas nama ISLAM, yang mana
akan dibahas di dibawah.
Rumusan Masalah
I.
Bagaimana
Biografi Abu A’la al-Maududi?
II.
Bagaimana
Konsep Negara Teo-Demokrasi Al-Maududi?
BAB II
PEMBAHASAAN
I.
Bagaimana
Biografi Abu A’lla al-Maududi?
Abu al-A’la al-Maududi ibn Ahmad Hasan pemikir politik islam masa modern lahir pada
tanggal 3 Rajab 1321 H bertepatan dengan tanggal 23 September 1903 M, di
Aurangabad –yang berubah nama menjadi Andra Pradesh sampai sekarang-,[1]
India Selatan.[2]
Ia wafat pada tanggal 23 September 1979 di salah satu rumah sakit yang berada
di New York, Amerika skrikat.[3] Ia
anak termuda dari tiga bersaudara.[4] Menurut
sejarah, namanya yang tertera “Abu al-A’la” sempat menimbulkan masalah, arti
leksikal dari nama tersebut. Abu al-A’la
mengandung arti “ayah dari Yang Maha Tinggi”, sedangkan pengertian “Yang Maha
Tinggi” merupakan salh satu atribut Tuhan yang faktanya memang ada dalam
beberapa ayat Al-Qur’an, dalam pembelaan atas namanya, al-Maududi menggunakan
ayat Al-Qur’an yang ia kutip sebagai dasar nama yang di berikan kepadanya oleh
Ahmad Hasan yang tidak lain merupakan Ayahnya. Adapun atribut al-A’la
dan al-A’launa merupakan kata jama’ dari kata al-A’ala
yang memang digunakan sebagai nama laqab yang diberikan kepada Manusia,
yaitu kepada Nabi Musa. A.S. dan juga kepada orang-orang yang beriman.
Pemberian mana tersebut dilatar belakangi saat tiga tahun sebelum, Ayahnya
berkunjung ke salah satu tokoh Sufi, dari kunjunganya diperolehlah informasi
dari Sufi tersebut bahwa Allah akan menganugerahinya seorang anak laki-laki
yang akan dihormati rakyat dan menduduki jabatan dan berkedudukan tinggi, dalam
informasi tersebut, Sufi tersebut berpesan agar nantinya anak tersebut setelah
lahir diberi nama Abu al-A’la. Dari informasi tersebut membuat gembira ayahnya
dan ayahnya lantas mebrnadzar akan memberikan nama sesuai pesan dari tokoh Sufi
tersebut jika ramalan tersebut terbukti. Kembali menggungkap masa lalu,
sebetulnya nama “Abu al-A’la” sudah pernah ada yaitu seorang kepala atau
pemimpin pertama di keluarga besar al-Maududi yang menetap di Indian dahulu,
sigkat kata pendahulu al-Maududi.[5]
Ayah al-Mududi yang lahir pada tahun 1884[6]
merupakan seorang pengikut tarekat sufi,[7]
hal ini kemungkinan besar alasan dasar ayah al-Maududi berkunjung ke seorang
tokoh Sufi lantas diperolehkannya pesan untuk memberikan nama anaknya dengan
nama sesuai pesan Sufi tersebut. Sebab dalam tradisi Tarekat, antara seorang
Murid tarekat (salik) dangan guru tarekat (Mursyid) mempunyai
aturan yang dianggap sebagai akhlak atau Adab yang berupa kepatuhan
absolut seorang murid terhadap mursyidnya tanpa ada bantahan, dengan
alasan yang berdasarkan filsafat tarekat tentang salik menegaskan bahwa
kepatuhan atau pengabdian total seorang salik terhadap mursyidnya
yang merupakan wujud penghambaan total terhadap Allah melalui kepatuhan dan
pengabdian total terhadap wakil Allah –Mursyid- selaku sorang pengantar
untuk menuju kedekatan salik dengan Sang khalik sehingga mendapatkan
derajat keluhuran atau Haqiqat. Ayah al-Maududi berprofesi sebagai pengacara
yang ta’at memegang teguh nilai-nilai ajaran Islam disamping itu, ia terkenal
sebagai seorang Da’i yang semanggat menyebarkan Islam di India.[8] Sebab
itu, ketika ia menemukan banyak sekali prektek kepengacaraan yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islam, menjadikan hatinya berontak. Selain itu, ia juga
melihat banyak penyimpangan yang terjadi dikalangan pengacara terlebih
teman-teman seprofesinya yang bergaya hidup kebarat-baratan, hal ini menurut
pandangannya sebagai prilaku yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim.[9]
Seperti yang sering didengar, praktek dalam dunia kepengacaraan terkadang
digunakan hanya memcari keuntungan dan mencari reputasi dengan membolak balikan
fakta sesuai dengan keingginanya yang bertujuan untuk memenangkan sidang. Sedangkan
fenomena yang terjadi pada ayah al-Maududi, menjadikanya memilih untuk melepas
profesinya.
Lain waktu, suatu saat ayah al-Maududi mencoba membuka kembali
kantor kepengacaraannya atas bujukan salah seorang pemannya, meskipun masih
terbendam kekecewaan yang pernah dialaminya dalam dunia kepengacaraan, sebab
bujukan tersebut lantas ayah al-Maududi menuruti bujukan tersebut. Akan tetapi
lantaran ayah al-Maududi over selective dan menolak prektek untuk
menghitamkan putih dan memputihkan hitam atas kasus yang ditawarkan oleh client
kepadanya, hal ini yang menjadikan dia tidak laku sebab ditinggalkan lenganannya.[10]
Karir intelektualnya dimulai dari proses belajar dirumahnya sendiri
dalam bimbingan ayahnya, setelah berusia sebelas tahun ia masuk ke sekolah
lanjutan di Madrasah Fauqaniyah, disini permualaannya mengenal ilmu kimia, ilmu alam, matematika dan sebagainya.
Madrasah tersebuat merupakan madrasah yang mengkombinasikan pendidikan Barat moderen
dengan Islam tardisional.[11] Sebagai
seorang yang cerdas, ia pun dapat menyelesaikan pendidikanya tepat waktu dengan
mendapatkan ijazah Maulawi.[12]
Kemudian ia melanjutkan pendidikanya di perguruan tinggi di Dar al-Ulum Heyderabad,
merupakan salah satu perguruan tinggi yang telah berhasil mencetak ulama-ulama
di India pada waktu itu.[13]
Namun setelah ayahnya meninggal, pendidikanya pun terpaksa berhenti. Ia pun
akhirnya ikut kakaknya untuk pindah ke kota dimana perguruan tinggi itu berada,
ia bertempat tinggal dirumah kakak tertuanya.[14] Dengan
ditandai wafat ayahnya, awal perjuangan al-kemandiriannya dimulai, sepeninggal
ayahnya ia pun melanjutkan belajarnya secara autodidak di luar pendidikan
formalnya, disamping itu ia pun akhirnya memutuskan untuk berkiprah di dunia
jurnalis sebagai wartawan.[15] Karir kewartawanannya dimulai sejak usia lima
belas tepatnya pada tahun 1918 M, dimana ia dan kakak tertuanya yang bernama Abu
Khair[16]
bersama-sama menjad pengasuh majalah islam Al-Madinah. Pada tahun 1919 M ia
pindah ke Jabalpur dan bekerja pada mingguan kongres Taji dan ikut
kelangsuangan perjuangan gerakan Khalifah Islamiyyah Dinasti Usmaniyyah yang
berpusat di Istambul. Pada tahun 1920 tepat di usia tujuh belas tahunya, ia
sudah di percayai mampu memimpin harian Taj,[17]
di tahun itu juga kualitas bahasa al-Muadudi terakui dengan wujud keahliannya
menguasai bahasa Arab, Persia, Inggris dan terutama bahasa Urdu selaku bahasa
ibu.[18]
Bergabungnya kedalam gerakan Khalifah, memberiakan pengaruh besar
bagi dirinya dengan lahirnya berbagai karangan; dan terhadap pergerakan
Khilafah tersebut yang mana dari pidato-pidatonya menjadikan sumbangan besar
dalam pergerakan tersebut. Keterlibatanya dalam gerakan tersebut dapat
dijadikan alasan dasar penilaian tentang
awal mitannya dalam dunia politik. Dari semua itu, menjadikanya sebagai seorang
yang terkemuka, sebab itulah ia dipercayai mengemban amanah sebagai pimpinan
penerbit yang diberi nama al-Jami’ah pada tahun 1924-1928, yang mana harian
tersebut merupakan harian yang paling berpengaruh dan popular di New Delhi
tepatnya pada tahun 1920an.[19]
Pada tahun itu yang juga bertepatann dengan umur al-maududi yang diperkirakan
menginjak umur dua puluh tahun, dimana pada usia itu al-Maududi menerbitkan
bukunya yang berjudul al-Jihad fi al-islam, suatu buku yang sangat
cermat dan tajam mengani hukum islam dalm perang damai. Atas karyanya tersebut,
al- Maududui mendapatkan pujian dari Sir Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali
Jauhar, tokoh-tokoh terkenal gerakan khilafah dan kemerdekaan, yangmana saat
itu India masih berada dicengkraman penjaahan Ingris.[20]
Selain haian al- Jami’ah, al-Maududi juga pernah memimpin surat kabar Nasional
“Hamdard” di Delhi dimana ia bekerja sama dengsn pemimpin gerakan Khilafah,
Muhammad Ali Jauhar.[21]
Pada tahun 1932 al-Maududi memimpin majalah bulanan Tarjuman
al-Qur’an yang sebelumnya dijabat oleh Abu Muhammad Muslih[22]
seorang tokoh Islam di Hayderabad.[23] Majalah ini pun dimanfaatkannya sebagi media
komunikasi utama untuk memperkenalkan gagasan-gagasanya kepada masyarakat
islam. Sekitar tahun 1930-an
tulisan-tulisan al-Maududi semakin banyak dan sebagaian besar tulisanya mencoba
memecahkan masalah-masalah politik yang menurutnya pada masa itu tidak sesuai
dengan ajaran Islam dan budaya yang di hadapi oleh kaum muslimin India yang
tidak lain dilihat dari sudut pandang islam. Dalam responnya terhadap ideologi
moderen sebagai cara berfikir sementara kaum muslimin, ia menyerang
habis-habisan dengan menunjukan bukti empiris akan kesosongan dan kesesatan
ideologi-ideologi man made dan juga sikap Nasionalisme yang mengarah
pada jingoisme serta xenophobisme tidak luput dari respon analisa
al-Maududi melebihi batas kewajaran. Tidak hanya mengkritisi, al-Maududi
memberipenjelasan atas bahaya yang kandung didalam semua itu, dengan anggapanya
bahwa semua itu, terutama Nasionalisme tersenut tidaklah ada keserasian denga
ajaran Islam sebab praktek tersebut. Sebab gagasan-gagasannya, al-Maududi
diajak oleh Muhammad Iqbal untuk bekerjasama mendirikan suatu pusat riset yang
dinamakan Dar al-Islam dengan maksud untuk memdidik sarjanah-sarjanah
Islam agar merekan dapat berkarya secara positif dalam berkhidmah pada Islam,
terutama untuk melakukan rekonstruksi syariat Islam, aktifitas tersebut terjadi
di distrik Pathankot suatu daerah di bagian timur punjab. Pada tahun 1940-an
al-Maududi mendirikan suatu gerakan Islam yang dipimpinnya sendiri yang dinamai
Jama’ati Islam.[24]
Pada tahun 1947 berdirinya negara Pakistan -salah satu distrik
bagian di India yang luas sebelum pisah dari india-, al-Maududi segara pindah
ke pakistan dan mulai memusatkan seluruh tenaga dan pikrannya untuk ikut
menggagas dan memperjuangkan konsep untuk mendirikan suatu negara yang
berasaskan Islam sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Demi merealisasikan
tujuannya tersebut, al-Maududi mulai lebih gencar menulis berbagai karangan sosial-politik-agama
yang berdasarkan kacamata ajaran Islam, kendati kegiatan tersebut seringkali
bertolak belaka dengan kebijakan pemerintah Pakistan yang dinilai bahwa
al-Maududi telah meninggalkan cita-cita didirikanya negara Pakistan. Sebab
gerakan al-Maududi, ia pun seringkali keluar masuk penjara dengan perkara dan
kasus yang sama. Pada tahun 1953 al-Maudui difonis hukuman mati, sebab dakwaan
subversif yang berkaitan dengan masalah sakte Ahmadiyah Qadiani, namung
akhirnya ia pun lolos dari fonis kematian tersebut, akan tetapi diganti dengan
hukuman seumur hidup. Perubahan fonis tersebut, lantaran adanya keteguhan
al-Maududi dalam mengahadapi konsekuensi gerakan yang ia lakukan, serta adanya
tekanan yang datang pada pemerintahanan Pakistan baik dari dalam negeri maupun
dalam negeri.[25]
Sebagai seorang jurnalis-intelektual, al-Maududi telah banyak
melihirkan karya-karya monumental sepanjang sejarah, diantara karya-karya
sejaranya yaitu: Understanding islam, al-Khilafah wa al-Mulk, In Islamic law
and Constitution, Human Right in Islam dan lain sebagainya, yang juga sudah
banyak diterjemah ke dalam bahasa lain, salah satunya bahasa Indonesia.[26]
II.
Bagaimana Konsep Negara Teo-Demokrasi Al-Maudud?
Pemikiran al-Maududi pada
awalnya tidak bercirikan fundamental. Menurut Nasihun, titik balik
fundamentalis al-Maududi bermula pada tahun 1927, ia menerbitkan risalah kecil yang
berjudul al-Jihad fi al-Islam.[27] Seperti yang telah disinggung di atas, buku tersebut mempunyai
pengaruh besar terhadap masyarakat pada masa itu. lebih spesifik, kemunculan
buku tersebut -tidak lain merupakan rangkuman berbagai artikel yang pernah dia
tulis kemudian diterbitkan dengan bentuk buku- dilator belakangi peristiwa dua
tahun silam, tepatnya pada tahun 1925. Terjadi pembunuhan tokoh gerakan
kebangunan Hindu, Swami Shradhanand oleh seorang ekstrimis Islam yang meyakini
bahawa tindandakan pembunuhan tersebut merupakan salah satu tugas si pelaku
yaitu membunuh orag kafir. Peristiwa tersebut pun berlanjut menjadi serangkaian
perdebadan terbuka serta sengit, sampai wunculnya kabar tuduhan terhadap Islam,
bahwa Islam merupakan agama yang disiarkan dengan pedang atau kekerasan.
Bertepatan waktu itu, Muhammad Ali Jauhar pernah di suatau pidadotnya seraya
dengan nada pilu dalam menangisannya, Ali Jauhar menghimbau apakah tidak ada
diantara kotoh-tokoh Islam yang mampu menjawab tuduhan keji tersebut, seraya
al-Maududi tergugah untuke memenuhi himbauan itu.[28]
Pemikiran fundamentalis al-Maududi sangat jelat terlihat dalam
pemikiran-pemikirannya tentang politik yang bertumpu pada konsep alam semesta
yang ia gagas,[29]
al-Hakimiyah al-Ilahiyah[30]
dan konsep kekuasaan[31]
dalam bidang perudang-undangan, yang mana ketiga konsep tersebut dirujukan dari
Al-Qur’an. Konsepsinya tersebut
menjelaskan bahwa alam dan sisinya termasuk manusia adalah ciptaan Allah, maka
Allah adalah pemilik makhluk itu atas kekuasaan yang ada serta aturan yang
mengurusi alam dan seisinya. Dalam penilaian Nasihun, demikian ini merupakan
kesimpulan bahwa kekuasan yurisdiksi dan ketaulatan hokum tertingga berada
ditanggal Allah,[32]
sedangkan makhluk selaku pelaksana ketetapan yang ada. Lebih spesifik, bahwa
aturan ini lah menghasilkan putusan berupa aturan yang menyatakan kekuasaan
untuk berkuasa hanya pada Allah; kekuasaan untuk memerintah dan pemberi
keputusan haya pada Allah; ketetapan akan semua hal tersebut bersifat absolut
dalam kebenaran dan keadilan, karena hanya Allah yang memahami semua hakikat
yang ada.
Konsekuensi, mekanisme konstitusi
dan hierarki berada pada aspek ketaatan total kepada Allah dan RasulNya yang
bersifat paling tertinggi dalam urutan serta tidak mengenal amnesti dalam
praktek pelaksanaannya. Sedangkan ketaatan terhadap kepala Negara ataupun
pemerintah bersifat feksibel dalam arti ketaatan terhadap kepala Negara atau
pemerintah wajib ada selama kepala Negara tersebut masih setia dalam
ketaatannya kepada Allah dan RasulNya, sebaliknya ketaatan terhadap kepala
Negara akan hilang atau tidak lagi wajib di taati ketika kepala Negara tersebut
telah terbukti penyelewenganya atas ketaatanya kepada Allah dan RasulNya dengak
kata lain seorang kepala Negara harus mukmin bukan hanya muslim. Sebab menurut
hemat penulis, derajad mukmin dalam pemakaian istilah tersebut mengandung implikasi
bahwa seseorang tersebut telah dan masih memenuhi janjinya atas keimananya dan
kepatuhan total kepada Allah dan Rasulnya, beserta konsekuensi atauran yang
telah ditetapkan oleh Allah dan rasulnya, yang mana ia aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari dalam segala sector aktifitas.
Adapun jika terjadi perbedaan pendapat antara rakyat dengan
pemerintah, maka wewenang penyelesaian akhir berada pada landasan dasar hokum
Allah dan Rasulnya sebagai rujukan penimbah serta hakim putusan.
Secara global, Nasihun Amin memaparkan kesimpulan
pandangan-pandangan politik al-Maududi yang dikutip dari buku Islam dan Tata
Negara karya Munawir Sjadzali, berupa tiga postulat:
- Islam adalah agama yang paripurna lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dengan arti di dalam Islam terdapat pula sistem politik. Oleh karenanya dalam kehidupan umat Islam dengan menunjuk kepada pola semasa al khulafa al-Raasyidun sebagai model sistem Negara menurut Islam.
- Kekuasaan tertinggi dalam Istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana-pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi. Dengan demikian maka kedaulatan rakyat tidak dapat dibenarkan. Umat manusia sebagai pelaksana kedaulatan Allah harus tunduk pada hukum-hukum sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
- Sistem politik Islam adalah sistem universal. Dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
Berdasarkan tiga postulat itu, kemudian al-Maududi menurunkan
berbagai gagasan politik islamnya yang dapat disebut dengan[33]
istilah teodemokrasi karena dalam sisitem ini umat islam mempuanyai
kedaulatan rakyat kendati terbatas.[34] Dari
ketiga dasar keyakinan atau anggapan tersebut, maka lahirlah suatu konsep
kenegaraan Islam yang pokok-pokonya adalah sebagai berikut:
- Sistem kenegaraan islam tidak dapat disebut demokrasi, oleh karena sistem demokrasi kekuasaan negara itu sepenuhnya ditangan rakyat, dalam arti bahwa undang-undang diubah dan diganti semata-mata berdasarkan pendapat dan keyakinan rakyat. Sistem politik Islam lebih tepat disebut theokrasi. Akan tetapi berbeda dengan theokrasi di Eropa. Sedangkan menurut penulis teokrasi dalam Islam kekuasaan umat Islam itu berada ditangan umat Islam yang malaksanakannya sesuai al-Qur’an dan Sunnah.
Konsep kenegaraan yang di anut al-Maudidi
tersebut berawal dari keyakinannya bahwa ajaran tauhid yang menjadi dasar dari
seluruh ajaran Islam, dengan sendirinya membawa implikasi terhadap dianutnya
kedaulatan Tuhan di dalam Negara Islam. Atau dengan kata lain istilah demokrasi yang selama ini dipakai, diganti dengan istilah
tauhid. Ideom-ideom demokrasi seperti konsep kebebasan, persamaan sudah masuk kedalam
konsepsi tauhid. Dalam tauhid ada kebebasan manusia, ada pengakuan bahwa suatu
kelompok manusia tidak boleh menindas kelompok yang lain. Hal tersebut bisa
dimaklumi kemudian jika buku-buku mutakhir pemikiran Islam.
- Pemerintah atau badan eksekutif hanya dibentuk oleh umat Islam, dan pada merekalah hak untuk memecatnya dari jabatannya. Demikian juga penyelesaian soal-soal (kenegaraan) Islam harus diputuskan oleh kesepakatan umat Islam.
Sistem politik Islam adalah sistem
konstitusional yang dibentuk atas syarat-syarat yang digariskan oleh syariah,
yang merupakan sistem kehidupan yang lengkap dan meliputi semua tatanan sosial.
Syariah menurut al-Maududi adalah persoalan yang meyentu pada aspek
ritual-ritual keagamaan, karakter pribadi, moral, kebiasaan-kebiasaan, hubungan
keluarga, unsur-unsur sosial dan ekonomi, hak-hak dan kewajiban warga, sistem
hukum, hukum perang dan damai serta hubungan internasional, yang diaplikasikan
secara nyata.
Menurut al-Maududi syariah tidak
menkhususkan sifat-sifat stuktural dan fungsi-fungsi sistem politik. Umat Islam
seharusnya mengenbankan metode-metode yang tepat untuk pelaksanaan hukum Islam,
arah metode tersebut tidak bertentangan dengan perintah-perintah syariah,
konsekwensinya para sarjana muslim, dengan mengunakan ijtihad mendukung prinsip
peleburan kekuasaan sebagai metode yang paling tepat untuk merealisasikan
kehendak Allah SWT. Ajaran ini merupakan sumbangan Islam terpenting, terutama
bagi teori politik, peleburan kekuasaan ini menghendaki lembaga-lembaga
eksekutif, legeslatif dan yudikatif harus saling melengkapi dan menjalankan
fungsi melaksanakan kekuasaan otoritatif, memetahkan kebijakan-kebijakan,
menjalankan kekuasaan-kekuasaan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari
kekuasaan yang dijalankan.
- Kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan-badan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif, adalah ketentuan sebagai berikut:
a) Kepala negara juga merangkap kepala eksekutif merupakan pimpinan
tertinggi Negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan kepada rakyatnya.
Dalam melaksanakan tugasnya dia harus berkonsultasi dengan majelis syura yang
mendapatkan kepercayaan dari umat Islam atau lembaga legislative.
b) Keputusan pada majelis syura pada umumnya diambil atas dasar suara
terbanyak, dengan catatan bahwa menurut Islam banyaknya suara bukan ukuran kebenaran.
c) Kepala Negara tidak harus mengikuti pendapat majelis yang
didukung oleh suara terbanyak. Dia dapat mengambil pendapat yang dilakukan
oleh kelompok kecil dari majelis, atau bahkan tidak menghiraukan sama sekali
pendapat-pendapat majelis, baik mayoritas atau minoritas.
d) Untuk jabatan kepala Negara, untuk keanggotaan majelis syura atau untuk
jabatan-jabatan penting yang lain, jagan dipilih orang yang mencalonkan diri
untuk jabatan-jabatan tersebut atau mereka yang berupaya untuk menduduki
jabatan-jabatan lainnya, karena menurut Abu a’la al-Maududi pesan nabi beliau
tidak akan menyerahkan jabatan kepada seseorang yang meminta untuk berusaha
mendapatkan jabatan itu.
e) Anggota majelis syura tidak dibenarkan terbagi dalam kelompok-kelompok
atau partai-partai masing-masing majelis harus mengemukakan pendapatnya yang
benar sebagai perorangan, Islam melarang angota majelis terbagi dalam
partai-partai dan kalau harus ada partai hanyalah satu partai, yaitu partai
kepala Negara (pemerintah).
f) Badan Yudikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada di luar
lembaga eksekutif yang berarti mandiri, oleh karena itu hakim tugasnya adalah
melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hambanya, bukan mewakili atas nama
kepala Negara, tetapi mewakili atas nama Allah.
- Menurut Abu al-A’la al-Maududi ada lima syarat yang harus dimiliki oleh seorang untuk dipilih menjadi kepalah Negara adalah:
a) Beragama Islam
b) Laki-Laki
c) Dewasa
d) Sehat Fisik dan Mental
e) Warga Negara terbaik (Shaleh dan komitmen terhadap Islam).
- Keanggotaam majelis syura terdiri dari warga Negara yang beragama Islam, dewasa dan laki-laki yang terhitung fasih serta cukup terlatih untuk dapat menafsirkan dan menerapkan syariat-syariat Islam serta menyusun undang-undang yang tak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunah Nabi.Selanjutnya tugas majelis syura sebagai berikut :
a) Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang
ditemukan secara jelas dalam al Qur’an dan hadits, serta peraturan
pelaksanaannya.
b) Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al Qur’an atau hadits,
maka harus dapat memutuskan mana yang lebih tepat untuk ditetapkan.
c) Jika terdapat petunjuk yang jelas, maka penentuan hukum dilakukandengan
memperhatikan petunjuk umum dari al Qur’an.
- Dalam negara Islam, terdapat dua kategori kewarganegaraan ; warga negara muslim dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan perlindungan dari negara, hak serta kewajiban tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut ajaran agamanya. Dalam masalah keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, mereka tunduk kepada hukum Islam sebagai hukum mayoritas.
Adapun konsep politik demokrasi yang telah marak diterapkan di
berbagai Negara, dalam respon al-Maududi, ia menolaknya disebabkan ketidak
cocokan konsepsi demokrasi (dari, oleh dan untuk rakyat) dengan konsepsi yang
ia gagas sebagai alternative Islami dalam membangun landasan politik
kenegaraan, meskipun demikian al-Maududi mengakuai bahwa ada sebagian
nilai-nilai demokrasi tersebut mempunyai kemiripan dengan ajaran Islam. Kendati
hal itu tetap menjadi perbedaan yang sanggat mendasar dalam pandangan
al-Maududi,[35]
yang lebih menekankan pada teknis
pelaksanaanya.
1.
Demokrasi
barat berdasarkan kedaulatan rakyat sedangakan demokrasi dalam islam
berdasarkan kedaulatan Tuhan dan rakyat
hanyalah khalifah atau wakilnya yang harus melaksanakan kehendak pemegang
kedaulatan.
2.
Demokrasi
Barat, rakyat berwenang membuat undang-undang sendiri, sedangkan dalam islam
rakyat harus mengikuti undang-udang yang diberiakan Tuhan.
3.
Demokrasi
barat, pemerintah berusaha memenuhi kehendak rakyat, sedangkan dalam Islam
pemerintah dan rakyat secara bersam-sam berusaha memenuhi kehendak Tuhan.
Teknis pelaksanaan demokrasi di Barat seperti telah diungkap dahulu
banyak dikritik oleh al-Maududi yangmana ia lihat dari sudut pandang Islam akan
tetapi pandngannya lebih condong terhadap radikal pemahaman. Hemat penulis,
meskipun demikian al-Maududi tampak tidak murni penolakannya secara keseluruhan
atas praktek pelaksanaan demokrasi Barat, terbukti bahwa ia pun sedikit
mengadopsi mekanisme runtutan pengambilan keputusan suatu kasus perkara, hanya
berbeda dalam ujung ketetapan landasar pengambilan hukum yang mana jika
al-Maududi bertumpu pada dalial Al-Qur’an dan hadis sedangkan Barat bertumpu
pada undang-undang legal dalam suatu Negara dan juga sedikit mirip dengan
praktek pelaksanaan pemilihan kepala Negara –keluar dari factor sabotase dan
manipulasi parlemen-. Selain demokrasi Barat sebagai objek kritikan serta
pembahsan al-Maududi sekaligus pengadopsiannya walaupun hanya sedikit, teokrasi
barat pun tidak luput dari analisa kritis serta tajam dari al-Maududi. Dewasa
ini senasip dengan demokrasi Barat, satu sisi al-Maududi mengkritisi,
mengkritiki bahkan penolakan temporal dan disisi lain al-Maududi mengadopsi
system tersebut dalam teknis mekanisme alur pemahaman istilah teokrasi untuk
dipraktekkan. Teokrasi merupakan suatu Negara yang diperintah ‘’ATAS NAMA
TUHAN’’ atau tuhan-tuhan, sedangkan manifestasi teokrasi Barat adalah penyatuan
kekuasaan para raja ke dalam diri jabatan kepala Negara, tidak hanya itu, pada
zaman abad petengahan, kekuasaan kepala Negara –yang telah menyatu dengan
kekuasaan raja- menyatu dengan konsep kedudukan kependetaan dalam agama
Nasrani, sehingga teokrasi tersebut melehirkan system absolut. Sedangkan teokrasi dalam islam merupakan
sisitem Negara yang memanifestasikan atau memberikan kedaulatan kepada rakyat
tetapi kedaulatan tersebut itu terbatas.
[1] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN,
trj. Al-KHilafah wa al-mulk, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h.7.
[2] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 50.
[5] H. Munawir Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA:
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
UI-Press, 1993), h. 158.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] H. Munawir
Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA, loc. Cit.
[12] H. Munawir
Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA, op. Cit. 159.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[17] Ibid.
[22] Ibid
[23] H. Munawir
Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA, op. Cit. h. 161.
[25] Ibid. h.9.