Rabu, 05 April 2017

Pemikiran Politik Sunni Masa Moderen: Abu A’la al-Maududi-Menegakkan Negara Teodemokrasi



BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran Politik Sunni Masa Moderen: Abu A’la al-Maududi-Menegakkan Negara Teodemokrasi
A.    Latar belakang
Kontras, sepanjang kesejarahan perkebangan Islam dari masa kemasa, mengalami perbagai macam rotasi keilmuan. Islam merupakan agama paripurna tidak ada yang luput dari pembahsan ajaran yang terkandung didalamnya, baik konsep kemanusian secara umum maupun ketuhanan secara khusus. Dalam berbagai perkembangan yang ada, seringkali islam menjadi suatu personil sebagai pemberi warna di duni ini. Berbagai ranah problematika mampu terjawabkan  dengan landasan yang rasional juga tanpa meninggalkan asas nilai ajaran keislaman.
Islam dalam sejaranhya telah menjadi objek menarik untuk diteliti bahkan diadopsi lalu diperbaruhi dengan melalui dialog keilmuan lainya guna mendapatkan natijah pemahaman akan asas ajaran yang tertuang dalam konsep yang diusung oleh Islam (Pemeluk agama Isalam; muslim, mu’min) sebagai solusi ataupun alternatif terkait problematikan yang juga ikut berkembang sesuai zaman.
Problematika agamis, politik, kemanusian dan juga teologi, menjadi suatu perbincangan yang asik tidak membosankan untuk di dikusikan dalam berbagai momen; seminar, debat, ceramah, diskusi. Hal ini tidak lain lantaran unsur-unsur tersebut jelas ada dalam ruang lingkup kehidupan manusia, bahkan dapat dibilang unsur-unsur tersebut akan ada dan dialami oleh setiap kehidupan manusia kecuali ajal yang dapat merupah kelogisan tersebut. Karena agaman merupakan suatu yang ada dan tidak dapat lepas dari kehidupan manusia, bahkan sampai matipun agama menjadi sumber landasan; maka dari itu seiraing dengan perkembangan yang ada, agama seringkali ikut menjadi penggagas suatu alternatip pemahaman, baik agama Kristen, Protestan, Yahudi, Budha, dan lain-lain tidak terkecuali Islam.
Setiap agama mempunyai ajaran masing-masing sebagai landasan menjalani kehidupan pemeluknya, tIdak jarang ajaran-ajaran tersebut menjadi ajang kajian mendalam terkaiat reinterpretasi pemahaman bahkan ajaran yang di bawa oleh agama tersebut, hal itupun dilakukan oleh pemeluknya. Secara universal, hemat penulis, hal tersebut dilakukan bukanlah sebagai usaha untuk menjatuhkan suatu ajaran agama oleh pemeluknya, lebih positif sebagai pembaharu cara pandang, cara memahami, cara menafsirkan bentuk suatu ajaran bahan sebagai spirit untuk menghidupkan nilai-nilai ajaran suatu agama dalam tatanan kehidupan, baik dalam scope kecil maupaun scope besar, masyarakat-negara-dunia.
Ajaran merupakan konsensus yang harus ada dalam suatu agama, tertutama dalam pembahsan kali ini, yaitu agama islam yang dikenal dengan istilah Syari’ah. Seperti yang di singgung diatas, Islam merupakan agama yang serba komplit dalam segala hal, tidak terkecuali ranah politik. Dewasa ini merupakan diskursus tentang yang dinamakan siasah, siasat, strategi, dalam penjelasan singat merupakan tindakan yang dilakukan sebagai alat mencapai tujuan guna memenuhi maslahat. Dalam perkembanganya, politik sering mengalami berbagai reinterpretasi juga rekontruksi konsep agar dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi kondusi suatu wilayah dalam pelaksanaan teknisnya.
Islam dalam hal ini, sangat peduli teradap keberlangsungan teknis pelaksanaannya, dengan melihat berbagai aspek dasar tanpa meninggalkan nilai spirit yang ada. Tentu dapat dipahami bahwa maksud yang dikata “ISLAM” dalam pembahasan ini ialah pelaku atau pemeluk agama islam yangmana sebagai tokoh konseptor. Alasan logisnya yaitu, bahwa semua ajaran Islam terkandung juga terjelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis, sedangkan dua landasan tersebut mengandung yang dinamakan makna universal dan feksibel. Maka dari itu, tentulah harus adanya usaha memahami, menafsirkan dan mengungkappkan isi kandungan dua landasan tersebut untuk mendapatkan makna yang pantas diterapkan sesuai dengan situasi kondisi suatu wilayah.
Dalam sejarah yang ada, politik “Islam” sudah dipraktekan sejak zaman Nabi terlebih secara contoh saat piagam madinah dirumuskan, berlanjut masa khalifatu  al-Rasidin dan berkembang sampai sekarang. Kendati yang dominan akan dibahas pada masa pemikiran moderen, yang kali ini akan dibahas yaitu Al-Maududi sebagai konseptor dan juga objek kajian pemikiran politinya atas nama ISLAM, yang mana akan dibahas di dibawah.
Rumusan Masalah
I.                   Bagaimana Biografi Abu A’la al-Maududi?
II.                Bagaimana Konsep Negara Teo-Demokrasi Al-Maududi?
BAB II
PEMBAHASAAN
I.                   Bagaimana Biografi Abu A’lla al-Maududi?
Abu al-A’la al-Maududi ibn Ahmad Hasan  pemikir politik islam masa modern lahir pada tanggal 3 Rajab 1321 H bertepatan dengan tanggal 23 September 1903 M, di Aurangabad –yang berubah nama menjadi Andra Pradesh sampai sekarang-,[1] India Selatan.[2] Ia wafat pada tanggal 23 September 1979 di salah satu rumah sakit yang berada di New York, Amerika skrikat.[3] Ia anak termuda dari tiga bersaudara.[4] Menurut sejarah, namanya yang tertera “Abu al-A’la” sempat menimbulkan masalah, arti leksikal dari  nama tersebut. Abu al-A’la mengandung arti “ayah dari Yang Maha Tinggi”, sedangkan pengertian “Yang Maha Tinggi” merupakan salh satu atribut Tuhan yang faktanya memang ada dalam beberapa ayat Al-Qur’an, dalam pembelaan atas namanya, al-Maududi menggunakan ayat Al-Qur’an yang ia kutip sebagai dasar nama yang di berikan kepadanya oleh Ahmad Hasan yang tidak lain merupakan Ayahnya. Adapun atribut al-A’la dan al-A’launa merupakan kata jama’ dari kata al-A’ala yang memang digunakan sebagai nama laqab yang diberikan kepada Manusia, yaitu kepada Nabi Musa. A.S. dan juga kepada orang-orang yang beriman. Pemberian mana tersebut dilatar belakangi saat tiga tahun sebelum, Ayahnya berkunjung ke salah satu tokoh Sufi, dari kunjunganya diperolehlah informasi dari Sufi tersebut bahwa Allah akan menganugerahinya seorang anak laki-laki yang akan dihormati rakyat dan menduduki jabatan dan berkedudukan tinggi, dalam informasi tersebut, Sufi tersebut berpesan agar nantinya anak tersebut setelah lahir diberi nama Abu al-A’la. Dari informasi tersebut membuat gembira ayahnya dan ayahnya lantas mebrnadzar akan memberikan nama sesuai pesan dari tokoh Sufi tersebut jika ramalan tersebut terbukti. Kembali menggungkap masa lalu, sebetulnya nama “Abu al-A’la” sudah pernah ada yaitu seorang kepala atau pemimpin pertama di keluarga besar al-Maududi yang menetap di Indian dahulu, sigkat kata pendahulu al-Maududi.[5]
Ayah al-Mududi yang lahir pada tahun 1884[6] merupakan seorang pengikut tarekat sufi,[7] hal ini kemungkinan besar alasan dasar ayah al-Maududi berkunjung ke seorang tokoh Sufi lantas diperolehkannya pesan untuk memberikan nama anaknya dengan nama sesuai pesan Sufi tersebut. Sebab dalam tradisi Tarekat, antara seorang Murid tarekat (salik) dangan guru tarekat (Mursyid) mempunyai aturan yang dianggap sebagai akhlak atau Adab yang berupa kepatuhan absolut seorang murid terhadap mursyidnya tanpa ada bantahan, dengan alasan yang berdasarkan filsafat tarekat tentang salik menegaskan bahwa kepatuhan atau pengabdian total seorang salik terhadap mursyidnya yang merupakan wujud penghambaan total terhadap Allah melalui kepatuhan dan pengabdian total terhadap wakil Allah –Mursyid- selaku sorang pengantar untuk menuju kedekatan salik dengan Sang khalik sehingga mendapatkan derajat keluhuran atau Haqiqat. Ayah al-Maududi berprofesi sebagai pengacara yang ta’at memegang teguh nilai-nilai ajaran Islam disamping itu, ia terkenal sebagai seorang Da’i yang semanggat menyebarkan Islam di India.[8] Sebab itu, ketika ia menemukan banyak sekali prektek kepengacaraan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, menjadikan hatinya berontak. Selain itu, ia juga melihat banyak penyimpangan yang terjadi dikalangan pengacara terlebih teman-teman seprofesinya yang bergaya hidup kebarat-baratan, hal ini menurut pandangannya sebagai prilaku yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim.[9] Seperti yang sering didengar, praktek dalam dunia kepengacaraan terkadang digunakan hanya memcari keuntungan dan mencari reputasi dengan membolak balikan fakta sesuai dengan keingginanya yang bertujuan untuk memenangkan sidang. Sedangkan fenomena yang terjadi pada ayah al-Maududi, menjadikanya memilih untuk melepas profesinya.
Lain waktu, suatu saat ayah al-Maududi mencoba membuka kembali kantor kepengacaraannya atas bujukan salah seorang pemannya, meskipun masih terbendam kekecewaan yang pernah dialaminya dalam dunia kepengacaraan, sebab bujukan tersebut lantas ayah al-Maududi menuruti bujukan tersebut. Akan tetapi lantaran ayah al-Maududi over selective dan menolak prektek untuk menghitamkan putih dan memputihkan hitam atas kasus yang ditawarkan oleh client kepadanya, hal ini yang menjadikan dia tidak laku sebab ditinggalkan lenganannya.[10]
Karir intelektualnya dimulai dari proses belajar dirumahnya sendiri dalam bimbingan ayahnya, setelah berusia sebelas tahun ia masuk ke sekolah lanjutan di Madrasah Fauqaniyah, disini permualaannya mengenal  ilmu kimia, ilmu alam, matematika dan sebagainya. Madrasah tersebuat merupakan madrasah yang mengkombinasikan pendidikan Barat moderen dengan Islam tardisional.[11] Sebagai seorang yang cerdas, ia pun dapat menyelesaikan pendidikanya tepat waktu dengan mendapatkan ijazah Maulawi.[12] Kemudian ia melanjutkan pendidikanya di perguruan tinggi di Dar al-Ulum Heyderabad, merupakan salah satu perguruan tinggi yang telah berhasil mencetak ulama-ulama di India pada waktu itu.[13] Namun setelah ayahnya meninggal, pendidikanya pun terpaksa berhenti. Ia pun akhirnya ikut kakaknya untuk pindah ke kota dimana perguruan tinggi itu berada, ia bertempat tinggal dirumah kakak tertuanya.[14] Dengan ditandai wafat ayahnya, awal perjuangan al-kemandiriannya dimulai, sepeninggal ayahnya ia pun melanjutkan belajarnya secara autodidak di luar pendidikan formalnya, disamping itu ia pun akhirnya memutuskan untuk berkiprah di dunia jurnalis sebagai wartawan.[15]  Karir kewartawanannya dimulai sejak usia lima belas tepatnya pada tahun 1918 M, dimana ia dan kakak tertuanya yang bernama Abu Khair[16] bersama-sama menjad pengasuh majalah islam Al-Madinah. Pada tahun 1919 M ia pindah ke Jabalpur dan bekerja pada mingguan kongres Taji dan ikut kelangsuangan perjuangan gerakan Khalifah Islamiyyah Dinasti Usmaniyyah yang berpusat di Istambul. Pada tahun 1920 tepat di usia tujuh belas tahunya, ia sudah di percayai mampu memimpin harian Taj,[17] di tahun itu juga kualitas bahasa al-Muadudi terakui dengan wujud keahliannya menguasai bahasa Arab, Persia, Inggris dan terutama bahasa Urdu selaku bahasa ibu.[18]
Bergabungnya kedalam gerakan Khalifah, memberiakan pengaruh besar bagi dirinya dengan lahirnya berbagai karangan; dan terhadap pergerakan Khilafah tersebut yang mana dari pidato-pidatonya menjadikan sumbangan besar dalam pergerakan tersebut. Keterlibatanya dalam gerakan tersebut dapat dijadikan alasan dasar penilaian  tentang awal mitannya dalam dunia politik. Dari semua itu, menjadikanya sebagai seorang yang terkemuka, sebab itulah ia dipercayai mengemban amanah sebagai pimpinan penerbit yang diberi nama al-Jami’ah pada tahun 1924-1928, yang mana harian tersebut merupakan harian yang paling berpengaruh dan popular di New Delhi tepatnya pada tahun 1920an.[19] Pada tahun itu yang juga bertepatann dengan umur al-maududi yang diperkirakan menginjak umur dua puluh tahun, dimana pada usia itu al-Maududi menerbitkan bukunya yang berjudul al-Jihad fi al-islam, suatu buku yang sangat cermat dan tajam mengani hukum islam dalm perang damai. Atas karyanya tersebut, al- Maududui mendapatkan pujian dari Sir Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jauhar, tokoh-tokoh terkenal gerakan khilafah dan kemerdekaan, yangmana saat itu India masih berada dicengkraman penjaahan Ingris.[20] Selain haian al- Jami’ah, al-Maududi juga pernah memimpin surat kabar Nasional “Hamdard” di Delhi dimana ia bekerja sama dengsn pemimpin gerakan Khilafah, Muhammad Ali Jauhar.[21]     
Pada tahun 1932 al-Maududi memimpin majalah bulanan Tarjuman al-Qur’an yang sebelumnya dijabat oleh Abu Muhammad Muslih[22] seorang tokoh Islam di Hayderabad.[23] Majalah  ini pun dimanfaatkannya sebagi media komunikasi utama untuk memperkenalkan gagasan-gagasanya kepada masyarakat islam.  Sekitar tahun 1930-an tulisan-tulisan al-Maududi semakin banyak dan sebagaian besar tulisanya mencoba memecahkan masalah-masalah politik yang menurutnya pada masa itu tidak sesuai dengan ajaran Islam dan budaya yang di hadapi oleh kaum muslimin India yang tidak lain dilihat dari sudut pandang islam. Dalam responnya terhadap ideologi moderen sebagai cara berfikir sementara kaum muslimin, ia menyerang habis-habisan dengan menunjukan bukti empiris akan kesosongan dan kesesatan ideologi-ideologi man made dan juga sikap Nasionalisme yang mengarah pada jingoisme serta xenophobisme tidak luput dari respon analisa al-Maududi melebihi batas kewajaran. Tidak hanya mengkritisi, al-Maududi memberipenjelasan atas bahaya yang kandung didalam semua itu, dengan anggapanya bahwa semua itu, terutama Nasionalisme tersenut tidaklah ada keserasian denga ajaran Islam sebab praktek tersebut. Sebab gagasan-gagasannya, al-Maududi diajak oleh Muhammad Iqbal untuk bekerjasama mendirikan suatu pusat riset yang dinamakan Dar al-Islam dengan maksud untuk memdidik sarjanah-sarjanah Islam agar merekan dapat berkarya secara positif dalam berkhidmah pada Islam, terutama untuk melakukan rekonstruksi syariat Islam, aktifitas tersebut terjadi di distrik Pathankot suatu daerah di bagian timur punjab. Pada tahun 1940-an al-Maududi mendirikan suatu gerakan Islam yang dipimpinnya sendiri yang dinamai Jama’ati Islam.[24]
Pada tahun 1947 berdirinya negara Pakistan -salah satu distrik bagian di India yang luas sebelum pisah dari india-, al-Maududi segara pindah ke pakistan dan mulai memusatkan seluruh tenaga dan pikrannya untuk ikut menggagas dan memperjuangkan konsep untuk mendirikan suatu negara yang berasaskan Islam sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Demi merealisasikan tujuannya tersebut, al-Maududi mulai lebih gencar menulis berbagai karangan sosial-politik-agama yang berdasarkan kacamata ajaran Islam, kendati kegiatan tersebut seringkali bertolak belaka dengan kebijakan pemerintah Pakistan yang dinilai bahwa al-Maududi telah meninggalkan cita-cita didirikanya negara Pakistan. Sebab gerakan al-Maududi, ia pun seringkali keluar masuk penjara dengan perkara dan kasus yang sama. Pada tahun 1953 al-Maudui difonis hukuman mati, sebab dakwaan subversif yang berkaitan dengan masalah sakte Ahmadiyah Qadiani, namung akhirnya ia pun lolos dari fonis kematian tersebut, akan tetapi diganti dengan hukuman seumur hidup. Perubahan fonis tersebut, lantaran adanya keteguhan al-Maududi dalam mengahadapi konsekuensi gerakan yang ia lakukan, serta adanya tekanan yang datang pada pemerintahanan Pakistan baik dari dalam negeri maupun dalam negeri.[25]  
Sebagai seorang jurnalis-intelektual, al-Maududi telah banyak melihirkan karya-karya monumental sepanjang sejarah, diantara karya-karya sejaranya yaitu: Understanding islam, al-Khilafah wa al-Mulk, In Islamic law and Constitution, Human Right in Islam dan lain sebagainya, yang juga sudah banyak diterjemah ke dalam bahasa lain, salah satunya bahasa Indonesia.[26]
II.                Bagaimana Konsep Negara Teo-Demokrasi Al-Maudud?
Pemikiran al-Maududi pada awalnya tidak bercirikan fundamental. Menurut Nasihun, titik balik fundamentalis al-Maududi bermula pada tahun 1927, ia menerbitkan risalah kecil yang berjudul al-Jihad fi al-Islam.[27] Seperti yang telah disinggung di atas, buku tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat pada masa itu. lebih spesifik, kemunculan buku tersebut -tidak lain merupakan rangkuman berbagai artikel yang pernah dia tulis kemudian diterbitkan dengan bentuk buku- dilator belakangi peristiwa dua tahun silam, tepatnya pada tahun 1925. Terjadi pembunuhan tokoh gerakan kebangunan Hindu, Swami Shradhanand oleh seorang ekstrimis Islam yang meyakini bahawa tindandakan pembunuhan tersebut merupakan salah satu tugas si pelaku yaitu membunuh orag kafir. Peristiwa tersebut pun berlanjut menjadi serangkaian perdebadan terbuka serta sengit, sampai wunculnya kabar tuduhan terhadap Islam, bahwa Islam merupakan agama yang disiarkan dengan pedang atau kekerasan. Bertepatan waktu itu, Muhammad Ali Jauhar pernah di suatau pidadotnya seraya dengan nada pilu dalam menangisannya, Ali Jauhar menghimbau apakah tidak ada diantara kotoh-tokoh Islam yang mampu menjawab tuduhan keji tersebut, seraya al-Maududi tergugah untuke memenuhi himbauan itu.[28]     
Pemikiran fundamentalis al-Maududi sangat jelat terlihat dalam pemikiran-pemikirannya tentang politik yang bertumpu pada konsep alam semesta yang ia gagas,[29] al-Hakimiyah al-Ilahiyah[30] dan konsep kekuasaan[31] dalam bidang perudang-undangan, yang mana ketiga konsep tersebut dirujukan dari Al-Qur’an.  Konsepsinya tersebut menjelaskan bahwa alam dan sisinya termasuk manusia adalah ciptaan Allah, maka Allah adalah pemilik makhluk itu atas kekuasaan yang ada serta aturan yang mengurusi alam dan seisinya. Dalam penilaian Nasihun, demikian ini merupakan kesimpulan bahwa kekuasan yurisdiksi dan ketaulatan hokum tertingga berada ditanggal Allah,[32] sedangkan makhluk selaku pelaksana ketetapan yang ada. Lebih spesifik, bahwa aturan ini lah menghasilkan putusan berupa aturan yang menyatakan kekuasaan untuk berkuasa hanya pada Allah; kekuasaan untuk memerintah dan pemberi keputusan haya pada Allah; ketetapan akan semua hal tersebut bersifat absolut dalam kebenaran dan keadilan, karena hanya Allah yang memahami semua hakikat yang ada.
Konsekuensi, mekanisme  konstitusi dan hierarki berada pada aspek ketaatan total kepada Allah dan RasulNya yang bersifat paling tertinggi dalam urutan serta tidak mengenal amnesti dalam praktek pelaksanaannya. Sedangkan ketaatan terhadap kepala Negara ataupun pemerintah bersifat feksibel dalam arti ketaatan terhadap kepala Negara atau pemerintah wajib ada selama kepala Negara tersebut masih setia dalam ketaatannya kepada Allah dan RasulNya, sebaliknya ketaatan terhadap kepala Negara akan hilang atau tidak lagi wajib di taati ketika kepala Negara tersebut telah terbukti penyelewenganya atas ketaatanya kepada Allah dan RasulNya dengak kata lain seorang kepala Negara harus mukmin bukan hanya muslim. Sebab menurut hemat penulis, derajad mukmin dalam pemakaian istilah tersebut mengandung implikasi bahwa seseorang tersebut telah dan masih memenuhi janjinya atas keimananya dan kepatuhan total kepada Allah dan Rasulnya, beserta konsekuensi atauran yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasulnya, yang mana ia aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam segala sector aktifitas.
Adapun jika terjadi perbedaan pendapat antara rakyat dengan pemerintah, maka wewenang penyelesaian akhir berada pada landasan dasar hokum Allah dan Rasulnya sebagai rujukan penimbah serta hakim putusan.
Secara global, Nasihun Amin memaparkan kesimpulan pandangan-pandangan politik al-Maududi yang dikutip dari buku Islam dan Tata Negara karya Munawir Sjadzali, berupa tiga postulat:
  1. Islam adalah agama yang paripurna lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dengan arti di dalam Islam terdapat pula sistem politik. Oleh karenanya dalam kehidupan umat Islam dengan menunjuk kepada pola semasa al khulafa al-Raasyidun sebagai model sistem Negara menurut Islam.
  2. Kekuasaan tertinggi dalam Istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana-pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi. Dengan demikian maka kedaulatan rakyat tidak dapat dibenarkan. Umat manusia sebagai pelaksana kedaulatan Allah harus tunduk pada hukum-hukum sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
  3. Sistem politik Islam adalah sistem universal. Dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
Berdasarkan tiga postulat itu, kemudian al-Maududi menurunkan berbagai gagasan politik islamnya yang dapat disebut dengan[33] istilah teodemokrasi karena dalam sisitem ini umat islam mempuanyai kedaulatan rakyat kendati terbatas.[34] Dari ketiga dasar keyakinan atau anggapan tersebut, maka lahirlah suatu konsep kenegaraan Islam yang pokok-pokonya adalah sebagai berikut:
  1. Sistem kenegaraan islam tidak dapat disebut demokrasi, oleh karena sistem demokrasi kekuasaan negara itu sepenuhnya ditangan rakyat, dalam arti bahwa undang-undang diubah dan diganti semata-mata berdasarkan pendapat dan keyakinan rakyat. Sistem politik Islam lebih tepat disebut theokrasi. Akan tetapi berbeda dengan theokrasi di Eropa. Sedangkan menurut penulis teokrasi dalam Islam kekuasaan umat Islam itu berada ditangan umat Islam yang malaksanakannya sesuai al-Qur’an dan Sunnah.
Konsep kenegaraan yang di anut al-Maudidi tersebut berawal dari keyakinannya bahwa ajaran tauhid yang menjadi dasar dari seluruh ajaran Islam, dengan sendirinya membawa implikasi terhadap dianutnya kedaulatan Tuhan di dalam Negara Islam. Atau dengan kata lain istilah demokrasi yang selama ini dipakai, diganti dengan istilah tauhid. Ideom-ideom demokrasi seperti konsep kebebasan, persamaan sudah masuk kedalam konsepsi tauhid. Dalam tauhid ada kebebasan manusia, ada pengakuan bahwa suatu kelompok manusia tidak boleh menindas kelompok yang lain. Hal tersebut bisa dimaklumi kemudian jika buku-buku mutakhir pemikiran Islam.
  1. Pemerintah atau badan eksekutif hanya dibentuk oleh umat Islam, dan pada merekalah hak untuk memecatnya dari jabatannya. Demikian juga penyelesaian soal-soal (kenegaraan) Islam harus diputuskan oleh kesepakatan umat Islam.
Sistem politik Islam adalah sistem konstitusional yang dibentuk atas syarat-syarat yang digariskan oleh syariah, yang merupakan sistem kehidupan yang lengkap dan meliputi semua tatanan sosial. Syariah menurut al-Maududi adalah persoalan yang meyentu pada aspek ritual-ritual keagamaan, karakter pribadi, moral, kebiasaan-kebiasaan, hubungan keluarga, unsur-unsur sosial dan ekonomi, hak-hak dan kewajiban warga, sistem hukum, hukum perang dan damai serta hubungan internasional, yang diaplikasikan secara nyata.
Menurut al-Maududi syariah tidak menkhususkan sifat-sifat stuktural dan fungsi-fungsi sistem politik. Umat Islam seharusnya mengenbankan metode-metode yang tepat untuk pelaksanaan hukum Islam, arah metode tersebut tidak bertentangan dengan perintah-perintah syariah, konsekwensinya para sarjana muslim, dengan mengunakan ijtihad mendukung prinsip peleburan kekuasaan sebagai metode yang paling tepat untuk merealisasikan kehendak Allah SWT. Ajaran ini merupakan sumbangan Islam terpenting, terutama bagi teori politik, peleburan kekuasaan ini menghendaki lembaga-lembaga eksekutif, legeslatif dan yudikatif harus saling melengkapi dan menjalankan fungsi melaksanakan kekuasaan otoritatif, memetahkan kebijakan-kebijakan, menjalankan kekuasaan-kekuasaan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari kekuasaan yang dijalankan.
  1.  Kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan-badan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif, adalah ketentuan sebagai berikut:
a)      Kepala negara juga merangkap kepala eksekutif merupakan pimpinan tertinggi Negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan kepada rakyatnya. Dalam melaksanakan tugasnya dia harus berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapatkan kepercayaan dari umat Islam atau lembaga legislative.
b)      Keputusan pada majelis syura pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak, dengan catatan bahwa menurut Islam banyaknya suara bukan ukuran kebenaran.
c)      Kepala Negara tidak harus mengikuti pendapat majelis yang didukung oleh suara terbanyak. Dia dapat mengambil pendapat yang dilakukan oleh kelompok kecil dari majelis, atau bahkan tidak menghiraukan sama sekali pendapat-pendapat majelis, baik mayoritas atau minoritas.
d)     Untuk jabatan kepala Negara, untuk keanggotaan majelis syura atau untuk jabatan-jabatan penting yang lain, jagan dipilih orang yang mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan tersebut atau mereka yang berupaya untuk menduduki jabatan-jabatan lainnya, karena menurut Abu a’la al-Maududi pesan nabi beliau tidak akan menyerahkan jabatan kepada seseorang yang meminta untuk berusaha mendapatkan jabatan itu.
e)      Anggota majelis syura tidak dibenarkan terbagi dalam kelompok-kelompok atau partai-partai masing-masing majelis harus mengemukakan pendapatnya yang benar sebagai perorangan, Islam melarang angota majelis terbagi dalam partai-partai dan kalau harus ada partai hanyalah satu partai, yaitu partai kepala Negara (pemerintah).
f)       Badan Yudikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada di luar lembaga eksekutif yang berarti mandiri, oleh karena itu hakim tugasnya adalah melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hambanya, bukan mewakili atas nama kepala Negara, tetapi mewakili atas nama Allah.
  1. Menurut Abu al-A’la al-Maududi ada lima syarat yang harus dimiliki oleh seorang untuk dipilih menjadi kepalah Negara adalah:
a)      Beragama Islam
b)      Laki-Laki
c)      Dewasa
d)     Sehat Fisik dan Mental
e)      Warga Negara terbaik (Shaleh dan komitmen terhadap Islam).
  1. Keanggotaam majelis syura terdiri dari warga Negara yang beragama Islam, dewasa dan laki-laki yang terhitung fasih serta cukup terlatih untuk dapat menafsirkan dan menerapkan syariat-syariat Islam serta menyusun undang-undang yang tak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunah Nabi.Selanjutnya tugas majelis syura sebagai berikut :
a)      Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara jelas dalam al Qur’an dan hadits, serta peraturan pelaksanaannya.
b)      Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al Qur’an atau hadits, maka harus dapat memutuskan mana yang lebih tepat untuk ditetapkan.
c)      Jika terdapat petunjuk yang jelas, maka penentuan hukum dilakukandengan memperhatikan petunjuk umum dari al Qur’an.
  1. Dalam negara Islam, terdapat dua kategori kewarganegaraan ; warga negara muslim dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan perlindungan dari negara, hak serta kewajiban tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut ajaran agamanya. Dalam masalah keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, mereka tunduk kepada hukum Islam sebagai hukum mayoritas.
Adapun konsep politik demokrasi yang telah marak diterapkan di berbagai Negara, dalam respon al-Maududi, ia menolaknya disebabkan ketidak cocokan konsepsi demokrasi (dari, oleh dan untuk rakyat) dengan konsepsi yang ia gagas sebagai alternative Islami dalam membangun landasan politik kenegaraan, meskipun demikian al-Maududi mengakuai bahwa ada sebagian nilai-nilai demokrasi tersebut mempunyai kemiripan dengan ajaran Islam. Kendati hal itu tetap menjadi perbedaan yang sanggat mendasar dalam pandangan al-Maududi,[35]  yang lebih menekankan pada teknis pelaksanaanya.
1.      Demokrasi barat berdasarkan kedaulatan rakyat sedangakan demokrasi dalam islam berdasarkan  kedaulatan Tuhan dan rakyat hanyalah khalifah atau wakilnya yang harus melaksanakan kehendak pemegang kedaulatan.
2.      Demokrasi Barat, rakyat berwenang membuat undang-undang sendiri, sedangkan dalam islam rakyat harus mengikuti undang-udang yang diberiakan Tuhan.
3.      Demokrasi barat, pemerintah berusaha memenuhi kehendak rakyat, sedangkan dalam Islam pemerintah dan rakyat secara bersam-sam berusaha memenuhi kehendak Tuhan.
Teknis pelaksanaan demokrasi di Barat seperti telah diungkap dahulu banyak dikritik oleh al-Maududi yangmana ia lihat dari sudut pandang Islam akan tetapi pandngannya lebih condong terhadap radikal pemahaman. Hemat penulis, meskipun demikian al-Maududi tampak tidak murni penolakannya secara keseluruhan atas praktek pelaksanaan demokrasi Barat, terbukti bahwa ia pun sedikit mengadopsi mekanisme runtutan pengambilan keputusan suatu kasus perkara, hanya berbeda dalam ujung ketetapan landasar pengambilan hukum yang mana jika al-Maududi bertumpu pada dalial Al-Qur’an dan hadis sedangkan Barat bertumpu pada undang-undang legal dalam suatu Negara dan juga sedikit mirip dengan praktek pelaksanaan pemilihan kepala Negara –keluar dari factor sabotase dan manipulasi parlemen-. Selain demokrasi Barat sebagai objek kritikan serta pembahsan al-Maududi sekaligus pengadopsiannya walaupun hanya sedikit, teokrasi barat pun tidak luput dari analisa kritis serta tajam dari al-Maududi. Dewasa ini senasip dengan demokrasi Barat, satu sisi al-Maududi mengkritisi, mengkritiki bahkan penolakan temporal dan disisi lain al-Maududi mengadopsi system tersebut dalam teknis mekanisme alur pemahaman istilah teokrasi untuk dipraktekkan. Teokrasi merupakan suatu Negara yang diperintah ‘’ATAS NAMA TUHAN’’ atau tuhan-tuhan, sedangkan manifestasi teokrasi Barat adalah penyatuan kekuasaan para raja ke dalam diri jabatan kepala Negara, tidak hanya itu, pada zaman abad petengahan, kekuasaan kepala Negara –yang telah menyatu dengan kekuasaan raja- menyatu dengan konsep kedudukan kependetaan dalam agama Nasrani, sehingga teokrasi tersebut melehirkan system absolut. Sedangkan teokrasi dalam islam merupakan sisitem Negara yang memanifestasikan atau memberikan kedaulatan kepada rakyat tetapi kedaulatan tersebut itu terbatas.



                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              



[1] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, trj. Al-KHilafah wa al-mulk, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h.7.
[2] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 50.
[3] Ibid.
[4] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, loc. Cit.
[5] H. Munawir Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI-Press, 1993), h. 158.  
[6] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, loc. Cit.
[7] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] H. Munawir Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA, loc. Cit.
[11] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 51.
[12] H. Munawir Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA, op. Cit. 159.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[17] Ibid.
[18] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, op. Cit. h. 7.
[19] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. 51-52.
[20] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, Loc. Cit.
[21] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h.52.
[22] Ibid
[23] H. Munawir Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA, op. Cit. h. 161.
[24] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, op. Cit. h. 8-9.
[25] Ibid. h.9.
[26] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h.52.
[27] Ibid.
[28] H. Munawir Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA, op. Cit. h. 160.
[29] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, op. Cit. h. 39.
[30] Ibid. h.41
[31] Ibid. h. 40.
[32] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. cit. h. 53.
[33] Ibid. h.54
[34] H. Munawir Sjadzali, M.A, ISLAM DAN TATA NEGARA, op. Cit. h. 167.
[35] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJERAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. cit. h.55.