.........
Saat itu aku menaiki sepeda ontel butut yang ku miliki, dengan mengayuh pedal, ku telurusi gerumunan orang-orang yang telah buyar dari surau tempat mereka berkumpul. Seraya aku sedikit membukkan pundakku diatas sepeda ontel yang ku gayuh pedalnya, sembari ku tebar salam kepada setiap orang yang ku lalui.
Saat itu aku menaiki sepeda ontel butut yang ku miliki, dengan mengayuh pedal, ku telurusi gerumunan orang-orang yang telah buyar dari surau tempat mereka berkumpul. Seraya aku sedikit membukkan pundakku diatas sepeda ontel yang ku gayuh pedalnya, sembari ku tebar salam kepada setiap orang yang ku lalui.
"Asaalamualaikum" dengan lugat mengarab
fasihku, aku mencoba melafalkan kalimat itu dengan sefasih mungkin tanpa
meninggalkan huruf 'ain dalam kalimat tersebut dengan menekan pangkal
tenggorokanku.
Seraya jawaban dari salamku terbalasi oleh setiap orang
yang mendengar salamku. Dari langkah mereka, mereka pun mendatangi teman yang
mereka kenal saat di Surau dan membuat kumpulan kecil. Dua, tiga,
empat dan ada yang lebih dari lima orang dalam kumpulan tersebut. Mereka pun bersama melangkah pergi
sembari mengobol apa yang menurut mereka perlu diobrolkan.
Sembari ku tetap mengayuh pedal sepeda, akupun melihat
itu. Mereka berpakaian ala Pakistan, dengan peci bundar berbagai motiv, berbaju
lengan panjang dengan panjang baju yang hampir menyerupai gamis ala Arab,
beserta celana tanpa menutup mata kaki mereka, mereka pun melangkah.
Setelah beberapa ku lewati gerumunan kecil mereka, ku tak sengaja mendengar perkataan mereka.
"Lah, apa sulitnya coba untuk ikut berdzikir, padahal bukannya itu perintah dari Allah?. Seprti itu pun mereka tidak mau." Ucap seorang dalam salah satu gerumunan kecil sembari melangkahkan kaki mereka.
"Lah, apa sulitnya coba untuk ikut berdzikir, padahal bukannya itu perintah dari Allah?. Seprti itu pun mereka tidak mau." Ucap seorang dalam salah satu gerumunan kecil sembari melangkahkan kaki mereka.
“Benar juga, tapi apa alasan mereka hanya mengaji yang dipentingkan?” Saut seseorang lainya. Dengan menganggukkan
kepala, sebagian lainnya memberikan isyarat atas obrolan tersebut.
Dalam hatiku bergunam,
"Apakah seperti itu kenyataanya?" Sembari ku
tetap ayunkan pedal sepeda seraya terus menebar salam kepada siapa yang kulalui,
begitupun masih menyisakan tanda tanya
dibenakku. Di atas sepeda akupun
memikirkan, sembari terus melaju.
Tak jauh dari gerumunan yang pertama, akupun berpapasan dengan
gerumunan kedua, dengan jumlah yang lebih banyak dari yang pertama ku jumpai. Masih
sama seperti kejadian gerumunan pertama, mereka pun buyar menyebar dan membentuk perkumpulan kecil sembari mengobrol mereka berjalan bersama.
Dengan acesoris peci yang beragam akan tetapi dominan
peci khas Bung Soekarno, mereka pun tampak mumringah. Dengan baju koko lengan
panjang yang beragam corak desain juga motiv, terlihat menempel erat di dada
mereka sebuah buku berkertaskan kuning kecoklatan yang tebalnya kurang lebih
5cm, mereka pegang erat oleh telapak jari-jari yang sedikit menekan ke dada mereka.
Dari langkah kaki yang tertutupi sarung bercorak dan bermotiv batik yang
bergam, merekapun berlalu.
Ku amati sebagain lainya adanya baru keluar dari sebuah
banguanan mengah besar bersakakan kayu jati yang termelamik bermawarna coklat kemreahan mengkilap, berderet setiap 2,5metran
sampai ujung bangunan. Sembari tetap ku ayunkan pedal sepeda menelusuri mereka
serta tak hentinya ku tebarkan salam kepada mereka, dengan cepatpun mereka
menjawab salamku seprti di gerumunan pertama yang ku lalui.
"Waalaikumsalam!" dengan nada nan semangat,
anak kecil itu menyempatkan menjawab salamku di sela-sela canda tawanya dengan
teman duduknya yang tengah santai berderet di emper salah satu rumah warga yang
tinggi.
Setelah sempat ku melihat jalan yang hendak aku tuju dengan
adanya tugu yang telah ku jadikan patokan arah, yang sebelumnya tertutup
gerumunan tersebut, kini telah terbuka lebar untuk ku lalui. Akupun melaju.
"Ko kenapa rasanya berbeda? Saat ku melewati
gerumunan yang kedua ini, ditengah-tengah gerumunan ini, hatimu merasa sejuk
nyaman bahagia, bahkan merasakan rasa yang seakan mengatakan bahwa "ini
lah golonganmu," padahal kan perlakuanku sama seperti gerumunan yang telah
ku lewati?" Ucapku dalam hati sambil tetap tanda tanya untuk ku, aku pun menuju ke arah yg
akan ku lalui.
Akan tetapi sesampainnya di tugu yg ku tuju sebagai patokan untuk
pulang, ternyata bukan tugu itu. Akupun merasa bingung dan hawatir tidak
akan bisa pulang. Disaat kegelisan yang aku rasa itu, akupun memperhentikan laju sepedaku. Sesaat ku tenggok
kanan dan kiri berharap ada yang memberikan aku petunjuk untuk pulang Sesaat
pun aku mencoba menenggok kebelakang sedikit lama dengan harapan yang sama,
dapat memperoleh petunjuk dari seseorang.
Dengan kedua kaki yang telah menempel tanah dan kedua
tangan yang masih memegang setang sepeda sembari menarik tuas rem kiri, akupun
masih tetap menenggok kanan kiri seperti orang yang bingung tidak tau arah. Setelah
beberapa menit akupun memperoleh jawaban dari salah satu gerumunan kedua yang
telah kulalui dan rupanya merekapun menuju ke arah yang mulanya ku yakini sebagai
jalur pulangku.
"Mas ndak usah pulang dulu, disini saja ikut ngaji
kitab ihya, nantipun sampean akan tau jalan pulang setelah sampean hatam"
ucap salah satu dari mereka yang melintasiku dengan mempercepat langkah mereka,
merekapun berlalu.
Akupun terkejut mendengar ucapan itu, seraya akupun
menyeleksi dengan teliti dari sekian banyak orang yang melintasi aku, akan
tetapi hasilnya nihil, akupun tak Mampu menemukan orang yang berkata itu, sebab
terlalu banyaknya yang tenggah melintasi aku. Beberapa menit selnjutnya aku pun
bengong dengan kejadian tersebut.
Tak lama diujung kejadian itu akupun mendengar suara kenceng sekali yang seakan suara itu ditujukan untukku.
"Dzikir !!! Dzikir !!! Dzikir !!!" Akupun masih
tak memperdulikan kata-kata itu, dengan tetap dalam keadaan hawatir dan sedih belum
bisa pulang. Tiba tiba aku pun mendengar suara lagi, dengan nanda lebih keres
dan menekan yang aku yakini ucapan itu benar-baner untukku berupa perintah.
"Dzikir !!!! Dzikir !!!! Fahmi jufri Bangun !!!
Dzikir segera !!!"
…………
Tak sempat aku melihat dengan jelas siap yang menyuruhku
bangun dalam mimpiku, sehingga membuatku serta merta bangun dengan kaget, dalam
keadaan dada yang berdebar kencang dan hawa merinding masih tersisa dari mimpi
itu. Lantas akupun bangun, memcoba mengiat mimpiku itu, terutama sosok yang tak
jelas ku lihat wajahnya, hanya kain putih bersih berjubah bersurban berridak
yang ku inggat. Bayangan itupun membuatku masih menyisakan tanda tanya besar
dalam salah satu mimpiku itu.
Bagaimana bisa aku berjalan menuju gerumunan menyusuri
meraka semua tetapi malahan terjebak dalam gerumunan?, siapa mereka dan siapa
beliau, sosok yang membangunkanku dari tidur pulasku?,
Semua tanda tanya itu masih membeelenggu pikiran dan
hatiku, sampai kelipatan hitungan jam.
............
............
Sujudku Kosong Karenamu-cerpen
By at-Takalli