Senin, 24 April 2017

PEMIKIRAN FIQIH MODERNT: IMAM AL-SYAFI’I



BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN FIQIH MODERNT: IMAM AL-SYAFI’I
A.    Latar Belakang
Islam merupakan agama yang komplit dalam urusan aturan-aturan dan tatacara-tatacara. Segala aspek hampir tidak luput dari cara agama Islam (ajaran) memperhatikan aspek-aspek tersebut, demi mencapai suatu keteraturan yang apik. Dalam sektor terkecil sampai terbesar, dari level rendah sampai level tinggi, Islam dengan ajarannya setia dalam memberikan suatu aturan-aturan tatacara yang menunjukan ke tujuan mulia, melalui aturan-aturan yang diverbalkan menjadi istilah Fiqh.
Aturan maupun tatcara yang islam tawarkan tidak bersifat kekangan terhadap gerak langkah bagi pemnatnya terutama untuk pemeluknya. Ketetapan aturan serta tatcara dalam agama Islam sejatinya sebagai unsur peranti pembentukan tatanan kehidupan yang teratur, rapih bahkan apik, baik pada ranah ibadah yang bersifat individual maupun ibadan yang bersifat plural atau dapat disebut dengan istilah muamalah. Persifatan tersebut tidak semata-mata dalam kosmos hubungan vertikal saja tanpa menyentuh kesetaraan sebagai makhluk sosial, melaikan juga dalam kosmos hubungan horisontal antar manusia dengan manusia, manusia dengan alam.
Seperti telah diketahui semua kandungan tentang ajaran agama Islam tertuang dalam rentetan kalam ilahi yang suci dan Hadis sebagai pelengkap, penjelas bahkan penguatan kandungan isi dari Al-Qur’an, dengan dasar dua tersebut Islam menjadi agama yang tidak lekang terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari; urusan masyarakat-sosial, ekonomi, politik terutama peribadahan. Mengingat semua ajaran agama Islam tidak lain sebagai solusi maupun akternatif dalam kehidupan, maka ajaran-ajaran tersebut dituntut agar dapat relevan dipergunakan dalam dinamika masyarakat yang selalu berubah dan sebagai fungsional untuk menyesesaikan problem masyarakat juga pengembangan sistem hukum modern.[1]
Fiqh menjadi istilah yang terbilang baru, pasalnya baru ada terbentuk sebagai konsep dan teknis pelaksanaannya dimulai di akhir abad 3 H. Kebakuan ilmu fiqh secara resmi ada di tandai dengan adanya respon masyarakat muslim terhadap kemajuan intelektual para cendekiawan muslim di akhir dinasti umayah dan sampai pengujung dinasti Abbasiyah, dengan adanya pengakuan imam disetiap generasi yang menjadi rujukan keilmuan Islam secara utuh, dan terus disebarluarkan sebagai suatu komunitas pengikut dari seorang pemikir keilmuan Islam, yang di sebut sebagai Madzhab beserta kecenerungan taqlit mereka terhadap imamnya.
Keadaan tersebut berkembangan dari generasi hingga generasi selanjutnya, dan sampai pada masa dimana kualitas keilmuan seorang keturunan Quraisy diakui sebagai penerus tongkat estafet intelektual agama Islam dari pendahulu-pendahulunya, dengan segala kekayaan ilmunya, yang belakangan menjadi tokoh pemikir terkemuka sebagai sepesialis ilmu al-fiqh serta dipercaya sebagai Imam madzhab yang namanya diabadikan sebagai nama Madzhab fiqh oleh para murid dan pengikutnya, yaitu Imam al-Syafi’i.
Imam al-Syafi’i, dengan segala kelebihannya mampu memberikan nuansa kesegaran baru dalam dunia intelektual islam. Atasnya, pembaharuaan pemikiran dalam produk hukum pada khususnya mulai mengalami perkembangan secra signifikan dalam segala cabang hukum, baik dalam ranah agama sendiri maupun dalam ranah sosio-kultural bermasyarakat. Kekuatan kecerdasan al-Syafi’i menjadikan kelahiran ide dan konsep baru sebuah tata aturan hukum islam, yang nantinya akan lebih dijelaskan di pembahasan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAAN
A.    Biografi Imam Al-Syafi’i dan Sejaran Pemikiran Fiqhnya.
Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris ibn Al-Abba ibn Utsman ibn Syaafi’ ibn As-Saai’b ibn ‘Ubaid ibn Abdu Yazid ibn Hisyam ibn Al-Muththalib ibn Abdu Manaf ibn Qushay[2] ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib.[3] Nasab dari jalur ayahnya, bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW. pada Abdu Manaf kakek kesembilan imam al-Syafi’i.[4] Adapun nasab imam al-Syafi’i dari jalur Ibunda Fatimah, terdapat perbedaan yang masing-masing perbedaan mengaku mempunyai bukti otoritatif terkait masalah tersebut. Menurut Nasihun, nasab imam al-Syafi’i memang benar adanya bahwa nasab imam al-Syafi’i sampai pada Nabi Muhammad SAW. cucu dari Hasan ibn Ali ibn Abu Thalib, dalam arti sebagai cicit Nabi Muhammad SAW.[5] Berbeda dengan temuan Nasihun, Abu al-Yazid Abu Zaid menjelaskan bahwa nasab Ibunda imam al-Syafi’i tidak dari keturunan Nabi, melaikan dari suku  Azad, tidak lain merupakan orang dari Yaman. Kendati demikian, Abu al-Yazid tidak memaparkan rangkaian nasab dari Ibunda Imam al-Syafi’i, melainkan hanya argumen yang dinukilnya dari Tajuddin Al-Sabki dalam kitab Thabaqatu al-Syafi’iyah.[6] Imam al-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H/766 M bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah, di desa Gaza, Asqalan.
Imam al-Syafi’i dibesarkan dalam asuhan ibunya, karena ayah imam al-Syafi’i telah meninggal sejak al-Syafi’i masih sangat kecil. Pada saat usinya menginjak dua tahun, ibu dan pamannya membawa al-Syafi’i pindah ke Hijaz untuk bergabung dengan sekaum dari ibunya. Setelah mengnjak umur 10 tahun imam al-Syafi’i dibawa ibunya pindah ke Makkah, dengan harapan agar nasab mulianya tidak dilupakan.[7]
Masa kecil Imam al-Syafi’i dilaluinya dalam kondisi perekonomian yang terbilang sangat miskin, kendati demikian dalam segala keterbatasanya perekonomian keluarganya, ibunya tidak membiarkan Imam al-Syafi’i hidup dalam kebohohan sebab kondisi perekonomian keluarganya. Atas sebab kegigihan keinginan ibunya, imam al-Syafi’i sejak kecil digembleng secara insentif dalam berbagai keilmuan islam. Salah satu buah dari arahan ibunya, pada usia 7 tahun imam al-Syafi’i sudah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan baik.[8] Diceritakan, sebab kondisi perokonomian tersebut, Ibunya sampai tidak mampu untuk membayar upah pendidikan yang ia lalui kepada guru pengajarnya, namun guru tersebut masih mengijinkan imam al-Syafi’i untuk mengikuti pelajarannya tersebut di luar jam pengajaran. Dismping itu, keterbatas perekonomian keluarganya, membuat imam al-Syafi’i tidak mampu untuk membeli kertas sebagai media pencatatan keilmuan yang ia dapati, sehingga imam al-Syai’i menjadikan tulang sebagai media pencatatan keilmuan yang ia peroleh. Aktifitas tersebut terrus berlanjut hingga dimana imam al-Syafi’i tidak lagi membutuhkan tulang belulang sebagai media pencatata keilmuannya. [9]
Imam al-Syafi’i terbilang sebagai seorang anak yang cerdas dan daya intelektual yang tinggi, hal ini terbukti dengan kemampuannya di masa anak-anak yang mampu menguasai bahasa arab dan sya’ir dengan fasih. Kemampuan tersebut menjadikan dorongan bagi Imam al-Syafi’i untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an, lantaran Al-Qur’an sendiri berbahsa Arab. Disebabkan oleh kemampuan tersebut juga, menjadikan imam al-Syafi’i semakin mudah untuk mempelajari keilmuan-keilmuan lainya. Disamping terkenal akan kemampuannya yang dapat menghafalkan Al-Qur’an di usia 7 tahun, Imam al-Syafi’i dikenal sebagai seorang anak yang pertama kali mampu mengahafal kitab Al-Muawaththa’ karya gurunya, di usia ke-13 tahun Imam al-Syafi’i.[10] Selaian itu, pada usia ke-20 tahunnya, Imam syafi’i sudah diberi kepercayaan untuk menyampaikan fatwa serta menjadi imam, pada saat itu ia pun berpindah ke Madinah. Di sana imam al-Syafi’i menjadi penyampai hadis-hadis yang terkandung dalam Al-Muwaththa’, serta mengujikan hafalanya kepada Imam Malik ibn Anas yan tidak laian merupakan gurunya.[11]
Perjalanan keilmuan Imam al-Syafi’i, pada dasarnya dimulai sejak ia masih beilia dimana dirinya mulai belajar membaca dan menghafalkan Al-Qur’an. Semangat dalam pencarian keilmuannya terbilang luar biasa, ia seringkali berpindah-pindah tempat guna mencari ilmu dari berbagai guru. Bukti tersebut diwujudkan adanya rentetan catatan para guru imam al-Syafi’i beserta tempat mukim mereka, seperti di Makkah ia belajar kepada Muslim ibn Khalid al-Zanji selaku mufti Makkah pada masa itu, Dawud ibn Abdurrahman al-Aththar, Muhammad ibn Ali ibn Syafi’i selaku pamannya, Sufyan ibn Uyainah, Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Maliki, Said ibn Salim, Fudhail ibn Iyadh, Abdul Aziz al-Darawardi, Aththaf ibn Khalid, Ismail ibn Ja’far, Ibrahim ibn Sa’d, dan masih banyak laianya dari para tokoh pada masa itu. Di Yaman ia belajar pada Mutharrif ibn Mazin, Hisyam ibn Yusuf al-Qadhi. Di Baghdad ia belajar kepada Umar ibn Hasan, Ismail ibn Aliyah, Abdul Wahbah al-Tsaqafi.[12] Di Madinah ia belajar fiqih kepada Imam Malik dan Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibany, yang mana Muhammad al-Syaibany merupakan tokoh utama dan pencetus rasionalisme Abu Hanifah. Dari dua arus keilmuan yang berbeda tersebut menimbulkan kesimpulan bahwa Imam al-Syafi’i tumbuh dalam dua tradisi pemikiran besar, yaitu pemikiran rasionalisme Imam Abu Hanifah dan tradisionalisme Imam Malik.[13] Selain itu imam al-Syafi’i belajar fiqh dan hadis kepada Ibrahim ibn Yahya al-Asami, disinyalir merupakan seorang ulama dari golongan Mu’tazilah, aka tetapi pemikiran Mu’tazilah tersebut tidak mempengaruhi dirinya bahkan tidak menggunakan pelajaran dari Ibrahim sebagai dasar suatu hukum dan memang kenyataanya semua yang diperoleh Imam al-Syafi’i dari Ibramin bukanlah ilmu fiqh dasar, melaikan hanya cabang.[14] Dan di Mesir, imam al-syafi’i mempelajari fiqh Laits ibn Sa’d (ahli fiqih Mesir) melalui karya-karya tulis peninggalan Laits ibn Sa’d.[15]
Pada tahun 195 H Imam al-Syafi’i pergi ke Baghdad menetap disana selama dua tahun, setelah dua tahun berlalu, Imam al-Syafi’i  kembali ke Mekkah pada tahun 198 H. Selang beberapa tahun, Imam al-Syafi’i berangkat kembali ke Baghdad dan di lanjutkan ke Mesir dan menetap di sana sampai tahun 204 H, dimana tahun tersebut juga tahun wafatnya. [16]
Dilihat dari perjalanan keilmuannya, imam al-Syafi’i dinilai sebagai sosok pribadi akademisi yang terbuka murni tentang dunia intelektual. Hal ini dilihat dari sejarah keilmuan yang ia kaji dari berbagai golongan dan manhaj tokoh pemikir pada masanya, seperti fakta sejarah bahwa imam al-Syafi’i pernah belajar tafsir kepada penganut Syi’ah Zaidiyah yang bernama Muqatil ibn Sulaiman, yang dijadikan imam al-Syafi’i sebagai imam dalam tafsir. Dari keberagaman sumber keilmuan yang ia peroleh, menjadikan dirinya sebagai sososk yang dipandang dapat mengetahui kecenderungan-kecenderungan wawasan keislaman pada masanya. Begitu juga dengan pengakuan atas kualitas yang menonjol dari sosok Imam al-Syafi’i sebagai petunjuk  yang orisinalitas akan semua pendapatnya. Di samping sisi sunnah yang kuat sebagai unsur pembentukan pribadi intelektual dengan ciri tersendiri, Imam al-Syafi’i juga memiliki sisi keilmuan bersifat logika dan memiliki sisi keilmuan bersifat teks dalam problematika perihal akidah, fiqh, dan lain sebagainya. Semua itu sebagai landasan imam al-Syafi’i menciptakan karya tulis seputar keahliannya dan dalam perhatian lebih terhadap perihal tersebut.[17]
Karir imam al-Syafi’i dalam dunia intelektual pertamanya, saat berada di Madinah. Kondisi di Madinah pada masa itu, membetuk imam al-Syafi’i sebagai sosok yang beraliran tradisional (ahl al-Hadis), lantaran pengaruh besar yang diberikan Imam Malik selaku pemikir fiqh tradisional (guru iman al-Syafi’i) terhadap imam al-Syafi’i. Pengaruh pemikiran ini, digunakan oleh imam al-Syafi’i pada saat ia menjabat sebagai staf pemerintahan di Yaman, dimana pemikiran tradisionalnya ia gunakan untuk menyesesaikan berbagai masalah di saat ia menjabat. Tidak hanya sampai disitu, awal mula imam al-Syafi’i melakukan perdebat ia menggunakan pola pemikiran tradisionalnya. Selain adanya traformasi keilmuan bercorakkan tradisionalistik yang sampai kepada imam al-Syafi’i, faktor adanya gesekan dengan arus pemikiran rasionalistik saat berada di Baghdad, menjadikan pengaruh perubahan cara berfikir imam al-Syafi’i.[18]
Sebagai pribadi intelektual, imam al-Syafi’i merupakan sosok yang terbilang produktif. Banyak karya tulis telah ia ciptakan, tertatat sampai 200 juz[19] karya tulis telah ia ciptakan dan dua diantaranya sebagai karya yang sangat monumental yaitu Al-Umm dan Al-Risalah.[20]
Pertemua dua arus pemikiran –pemikiran tradisional dan pemikiran rasional- yang dialami imam al-Syafi’i saat masa studynya, menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat bersikap tenggah tanpa berat sebelah serta kemampuan dapat memposisikan dirinya. Hal ini dijadikan landasar oleh para sejarawan dan analisator sebagai penilaian bahwa imam al-Syafi’i merupakan sosok yang moderat dalam pemikirannya. Kualitas kekuatan intelektualnya menjadikan ia dikenal sebagai sosok pemikir yang berusaha dan mampu mengombinasikan dua arus pemikiran terutama dalam bidang fiqh, yaitu fiqh Hijaz yang dipelopori sebagai tokoh pemikir ialah Imam Malik, dan fiqh Baghdad yang dipelopori sebagai tokoh pemikir ialah Imam Abu Hanifah. Kemampuan lebih yang dimiliki imam al-Syafi’i, mengantarkan dirinya diakui sebagai tokoh imam madzhab yang ke tiga. Permulaan arus pemikiran yang mengantarkan ia sebagai imam madzhab, terjadi sejak domisilinya Baghdad pada tahun 810 M,  pada masa itu ia tampil sebagai guru pengajar di Baghdad. Dari hasil pengajaranya, para murid-muridnya melalui insiatif sendiri, mereka mencatat semua pemikiran yang disampaikan oleh imam al-Syafi’i dan dibukukan kedalam satu buku yang diberi nama al-Hujjah (bukti) dan dikenal juga sebagai bukti adanya Qaul Qadim.[21]
Seperti telah umum diketahui, imam al-Syafi’i memiliki dua pendapat dalam menyikapi suatu permasalahan agama yang didasari pada pengalaman saat jenjang pendidikanya beserta tempat saat studynya berlangsung. Selain Qaul Qadim, imam al-Syafi’i juga memiliki Qaul Jadid yang mana Qaul tersebut merupakan  hasil interaksi imam al-Syafi’i dengan keilmuan Imam al-Laits ibn Sa’d  ulama fiqh di Mesir, di mana terjadi dialog keilmuan antara keilmuan yang diperoleh saat berda di Madinah dan Baghdad dengan keilmuan yang diperoleh imam al-Syafi’i saat di Mesir. Sebagian besar dialog keilmuan tersebut dalam ranah ilmu fiqh, hasil dari Qaul Jadid dituangkan dalam karya tulisnya yang bernama Al-Umm. Di dalamnya juga memuat revisi pendapat-pendapatnya yang pertama titetapkan saat di Baghdad. [22]
Tidak jauh dari penepatan dasar istimbat al-hukm para pendahulunya, Imam al-Syafi’i juga demikian menempatkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar hukum utama. Selaian dua pokok dasar tersebut, Imam al-Syafi’i jua mengunakan Qiyas sebagai dasar ber-istimbath, sekaligus sebagai metodologi yang digunakan dalam tahapan beristimbath. Dengan menggunakan metodologi qiyasnya, imam al-Syafi’i mampu memaparkan penjelasan batasan-batasan dalam penggunaan al-Ra’yu secara jelas dengan norma-norrma yang berlaku.
Pada perkebangan selanjutnya, imam al-Syafi’i menjadi seorang tokoh yang dikenal dalam keahliannya tentang fiqh dan juga metodologi yang diusungnya. Menurut al-Jabiri metodologi qiyas yang diusung imam al-Syafi’i mengalami perubahan peningkatan dari asalnya hanya sekedar metodelogi berubah menjadi sebuah status epistemologis, bahkan menurut al-jabiri pengaruh yang disebabkan oleh imam al-Syafi’i sama dengan kondisi daya pengaruh yang disebabkan keberadaan Rene Descartes di Barat dan khusunya di benua Eropa.[23]
Lebih lajut, pengungkapan Qiyas imam al-Syafi’i dari segi metodologi diutarakan oleh Nasihun dalam buku Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam atas kekuatan yang dapat digunakan untuk menentukan hukum yang dilihat dari kualitas ‘Illat yang terdapat pada far’ dan ashl. Bahwa ketika Qiyas yang illat hukum cabangnya (far’) lebih kuat dari illat pada hukum ashl, maka Qiyas itu dinamakan Qiyas awlawi yang kedudukanya lebih dihalukan dalam penggunaanya. Adapun Qiyas yang illat pada hukum cabangnya sama dalam keadaan dan kekuatan yang ada pada illat ashl, Qiyas tersebut al-Qiyas al-Musawi. Dan jika Qiyas yang illat hukum cabangnta lebih lemah dibandingkan dengan illat hukum ashl, qiyas tersebut dinamakan Qiyas al-adna.[24] Sedangkan kedudukan Qiyas ini yang paling rendah dan lemah sebagai hujjah.
Sebagai tokoh intelektual yang mempunyai pola pemikiran ganda secara seimbang, Imam al-Syafi’i menggunakan kemampunya itu sebagai manhaj dalam analisa keilmuan yang hendak dikaji ataupun di terima, seperti contoh dalam penyeleksian suatu hadis,[25] ia menggunakan kemampuaan metodologi ahli hadisnya yang mana sebagai pola pikir tradisionalnya dan disaat yang sama ia menggunakan kemampuan pola pikir logis (al-Ra’yu) sebagai manhaj dalam usahanya mengali tujuan-tujuan moral dan illat yang terkandung dibalik suatu hukum dalam teks yang tampak secara literal. Selain konsep metodologi Qiyas yang diusung imam al-Syafi’i, ia juga menggunakan Ijma’ sebagai salah satu sumber hukum yang menempati peringkat kedudukan ketiga, setelah hadis sebgai dasar hukum kedua yang diawali sebagai dasar utama dan pertama yaitu Al-Qur’an. Kendati demikian dalam penggunaan Ijma’ bagi imam al-Syafi’i tidak sama dengan penempatan Ijma’ yang dijadikan dasar oleh Imam Malik sebagai gurunya. Dalam penggunaan Ijma’ imam al-Syafi’i memberikan ketentuan-ketemtuan yang pasti serta ketetapan yang baku, seperti yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah dalam kecenderunagnnya meggunakan ijtihad dan rasio dalam metodologi untuk beristimbat (menentukan hukum). Meskipun adanya keterkaitan pemikiran imam Abu Hanifah yang digunakan Imam al-Syafi, tetapi imam al-Syafi’i menolak untuk menggunakan metode Ihtisan Imam Abu Hanifah. [26]
Secara sederhana, atas keahlian yang dimiliki imam al-Syafi’i dengan kemampuannya dapat mengombinaskan dua arus corak pemikiran dari imam Maliki dan imam Abu Hanifah dalam bidang keilmuan fiqh terutamanya, ia mampu melahirkan sintesa pemikiran fiqh yang moderat antara ahli fiqh dan ahli hadis yang orisinal. Dari implemtasi dua arus corak pemikiran tersebut, imam al-Syafi’i memperkenalkan konsep dalam istilah Qual Qadim dan Qaul Jadid. Kedua Qaul tersebut membuktikan bahwa adanya sifat fleksibelitas dalam fiqh yang disertakan argumentasi atas adanya ruang gerak yang dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan pemikiran dalam produk hukum pada khususnya. Adapun kesederhanaan dalam penjelasan Qiyas yaitu bahwa qiyas merupakan produk khas yang diciptakan imam al-Syafi’i yang mencakup cara kerja secara ideal dan apik yaitu dari hukum ashl lalu berproses pada hukum ashl dan berakhir pada hukum ashl, yang mana menandakan bahwa adanya penggunaan rasio yang beratapkan sinar nash sebagai upaya menjaga batasan dan norma-norma yang berlaku sehingga tetap menjadi suatu pemikiran yang moderat dengan terkandung didalamnya sebuah perpaduan antara rasionalisme dan tradisionalisme.

BAB III
PENUTUP
Ringkasan
Imam al-Syafi’i mengenalkan konsep metodologi baru yang moderat dalam pemikiran hukum fiqh pada khusunya yang berkomposisikan arus corak pemikiran rasio dan nash yang terkombinasikan secara apik. Pemikiran fiqh moderat imam al-Syafi’i tertuang dalam dua Qaul; Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang tercatat dalam  karya tulisnya dengan nama Al-Risalah (qaul qadim) dan Al-Umm (qaul jadid), yang dilatar belakangi oleh adanya kombinasi keilmuan yang berdialog saat imam al-Syafi’i mencari ilmu di Makkah, Madinah, Baghdad dan Mesir. Penekanan konsep unggulan imam al-Syafi’i berada pada metodologi Qiyas sebgai cara tahapan serta konsep dalam berIstimbath yang diusungnya sebagai cara pandang baru dalam pemikiran keilmuan Islam.


[1] Musahadi HAM, CONTINUITY AND CHANGE REFORMASI HUKUM ISLAM: Belajar pada Pemikiran Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman, (Semarang: Walisongo Press, 2009). Vii.
[2] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: Cv. Karya Abdi Jaya, 2015), h. 79.
[3] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj. Faisal Salah dan Umar Mujtahid, al-‘Aqidatu al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 317.
[4] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[5] Ibid.
[6] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[7] Ibid, h. 317-318.
[8] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 80.
[9] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 318.
[10] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[11] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 324.
[12] Ibid.
[13] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[14] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 325.
[15] Ibid. h. 324.3
[16] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 81
[17] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 327.
[18] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[19] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 336..
[20] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit
[21] Ibid.
[22] Ibid. h. 82.
[23] Ibid.
[24] Ibid. h. 82-83.
[25] Ibid.
[26] Ibid.