BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN FIQIH MODERNT: IMAM AL-SYAFI’I
A.
Latar
Belakang
Islam merupakan agama yang komplit dalam urusan aturan-aturan dan
tatacara-tatacara. Segala aspek hampir tidak luput dari cara agama Islam (ajaran)
memperhatikan aspek-aspek tersebut, demi mencapai suatu keteraturan yang apik.
Dalam sektor terkecil sampai terbesar, dari level rendah sampai level tinggi,
Islam dengan ajarannya setia dalam memberikan suatu aturan-aturan tatacara yang
menunjukan ke tujuan mulia, melalui aturan-aturan yang diverbalkan menjadi
istilah Fiqh.
Aturan maupun tatcara yang islam tawarkan tidak bersifat kekangan
terhadap gerak langkah bagi pemnatnya terutama untuk pemeluknya. Ketetapan
aturan serta tatcara dalam agama Islam sejatinya sebagai unsur peranti
pembentukan tatanan kehidupan yang teratur, rapih bahkan apik, baik pada ranah
ibadah yang bersifat individual maupun ibadan yang bersifat plural atau dapat
disebut dengan istilah muamalah. Persifatan tersebut tidak semata-mata
dalam kosmos hubungan vertikal saja tanpa menyentuh kesetaraan sebagai makhluk
sosial, melaikan juga dalam kosmos hubungan horisontal antar manusia dengan
manusia, manusia dengan alam.
Seperti telah diketahui semua kandungan tentang ajaran agama Islam
tertuang dalam rentetan kalam ilahi yang suci dan Hadis sebagai pelengkap,
penjelas bahkan penguatan kandungan isi dari Al-Qur’an, dengan dasar dua
tersebut Islam menjadi agama yang tidak lekang terpisahkan dengan kehidupan
sehari-hari; urusan masyarakat-sosial, ekonomi, politik terutama peribadahan.
Mengingat semua ajaran agama Islam tidak lain sebagai solusi maupun akternatif
dalam kehidupan, maka ajaran-ajaran tersebut dituntut agar dapat relevan
dipergunakan dalam dinamika masyarakat yang selalu berubah dan sebagai
fungsional untuk menyesesaikan problem masyarakat juga pengembangan sistem
hukum modern.[1]
Fiqh menjadi istilah yang terbilang baru, pasalnya baru ada
terbentuk sebagai konsep dan teknis pelaksanaannya dimulai di akhir abad 3 H.
Kebakuan ilmu fiqh secara resmi ada di tandai dengan adanya respon masyarakat
muslim terhadap kemajuan intelektual para cendekiawan muslim di akhir dinasti
umayah dan sampai pengujung dinasti Abbasiyah, dengan adanya pengakuan imam
disetiap generasi yang menjadi rujukan keilmuan Islam secara utuh, dan terus
disebarluarkan sebagai suatu komunitas pengikut dari seorang pemikir keilmuan
Islam, yang di sebut sebagai Madzhab beserta kecenerungan taqlit
mereka terhadap imamnya.
Keadaan tersebut berkembangan dari generasi hingga generasi
selanjutnya, dan sampai pada masa dimana kualitas keilmuan seorang keturunan
Quraisy diakui sebagai penerus tongkat estafet intelektual agama Islam dari
pendahulu-pendahulunya, dengan segala kekayaan ilmunya, yang belakangan menjadi
tokoh pemikir terkemuka sebagai sepesialis ilmu al-fiqh serta dipercaya
sebagai Imam madzhab yang namanya diabadikan sebagai nama Madzhab fiqh
oleh para murid dan pengikutnya, yaitu Imam al-Syafi’i.
Imam al-Syafi’i, dengan segala kelebihannya mampu memberikan nuansa
kesegaran baru dalam dunia intelektual islam. Atasnya, pembaharuaan pemikiran dalam
produk hukum pada khususnya mulai mengalami perkembangan secra signifikan dalam
segala cabang hukum, baik dalam ranah agama sendiri maupun dalam ranah
sosio-kultural bermasyarakat. Kekuatan kecerdasan al-Syafi’i menjadikan
kelahiran ide dan konsep baru sebuah tata aturan hukum islam, yang nantinya
akan lebih dijelaskan di pembahasan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAAN
A.
Biografi
Imam Al-Syafi’i dan Sejaran Pemikiran Fiqhnya.
Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris ibn Al-Abba
ibn Utsman ibn Syaafi’ ibn As-Saai’b ibn ‘Ubaid ibn Abdu Yazid ibn Hisyam ibn
Al-Muththalib ibn Abdu Manaf ibn Qushay[2]
ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib.[3]
Nasab dari jalur ayahnya, bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW. pada Abdu
Manaf kakek kesembilan imam al-Syafi’i.[4]
Adapun nasab imam al-Syafi’i dari jalur Ibunda Fatimah, terdapat perbedaan yang
masing-masing perbedaan mengaku mempunyai bukti otoritatif terkait masalah
tersebut. Menurut Nasihun, nasab imam al-Syafi’i memang benar adanya bahwa
nasab imam al-Syafi’i sampai pada Nabi Muhammad SAW. cucu dari Hasan ibn Ali
ibn Abu Thalib, dalam arti sebagai cicit Nabi Muhammad SAW.[5]
Berbeda dengan temuan Nasihun, Abu al-Yazid Abu Zaid menjelaskan bahwa nasab
Ibunda imam al-Syafi’i tidak dari keturunan Nabi, melaikan dari suku Azad, tidak lain merupakan orang dari Yaman.
Kendati demikian, Abu al-Yazid tidak memaparkan rangkaian nasab dari Ibunda Imam
al-Syafi’i, melainkan hanya argumen yang dinukilnya dari Tajuddin Al-Sabki
dalam kitab Thabaqatu al-Syafi’iyah.[6]
Imam al-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H/766 M bertepatan dengan
wafatnya Imam Abu Hanifah, di desa Gaza, Asqalan.
Imam al-Syafi’i dibesarkan dalam asuhan ibunya, karena ayah imam
al-Syafi’i telah meninggal sejak al-Syafi’i masih sangat kecil. Pada saat
usinya menginjak dua tahun, ibu dan pamannya membawa al-Syafi’i pindah ke Hijaz
untuk bergabung dengan sekaum dari ibunya. Setelah mengnjak umur 10 tahun imam
al-Syafi’i dibawa ibunya pindah ke Makkah, dengan harapan agar nasab mulianya
tidak dilupakan.[7]
Masa kecil Imam al-Syafi’i dilaluinya dalam kondisi perekonomian
yang terbilang sangat miskin, kendati demikian dalam segala keterbatasanya
perekonomian keluarganya, ibunya tidak membiarkan Imam al-Syafi’i hidup dalam
kebohohan sebab kondisi perekonomian keluarganya. Atas sebab kegigihan
keinginan ibunya, imam al-Syafi’i sejak kecil digembleng secara insentif dalam berbagai
keilmuan islam. Salah satu buah dari arahan ibunya, pada usia 7 tahun imam
al-Syafi’i sudah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan baik.[8] Diceritakan,
sebab kondisi perokonomian tersebut, Ibunya sampai tidak mampu untuk membayar
upah pendidikan yang ia lalui kepada guru pengajarnya, namun guru tersebut
masih mengijinkan imam al-Syafi’i untuk mengikuti pelajarannya tersebut di luar
jam pengajaran. Dismping itu, keterbatas perekonomian keluarganya, membuat imam
al-Syafi’i tidak mampu untuk membeli kertas sebagai media pencatatan keilmuan
yang ia dapati, sehingga imam al-Syai’i menjadikan tulang sebagai media
pencatatan keilmuan yang ia peroleh. Aktifitas tersebut terrus berlanjut hingga
dimana imam al-Syafi’i tidak lagi membutuhkan tulang belulang sebagai media
pencatata keilmuannya. [9]
Imam al-Syafi’i terbilang sebagai seorang anak yang cerdas dan daya
intelektual yang tinggi, hal ini terbukti dengan kemampuannya di masa anak-anak
yang mampu menguasai bahasa arab dan sya’ir dengan fasih. Kemampuan tersebut
menjadikan dorongan bagi Imam al-Syafi’i untuk memahami isi kandungan
Al-Qur’an, lantaran Al-Qur’an sendiri berbahsa Arab. Disebabkan oleh kemampuan
tersebut juga, menjadikan imam al-Syafi’i semakin mudah untuk mempelajari
keilmuan-keilmuan lainya. Disamping terkenal akan kemampuannya yang dapat
menghafalkan Al-Qur’an di usia 7 tahun, Imam al-Syafi’i dikenal sebagai seorang
anak yang pertama kali mampu mengahafal kitab Al-Muawaththa’ karya
gurunya, di usia ke-13 tahun Imam al-Syafi’i.[10] Selaian
itu, pada usia ke-20 tahunnya, Imam syafi’i sudah diberi kepercayaan untuk
menyampaikan fatwa serta menjadi imam, pada saat itu ia pun berpindah ke
Madinah. Di sana imam al-Syafi’i menjadi penyampai hadis-hadis yang terkandung
dalam Al-Muwaththa’, serta mengujikan hafalanya kepada Imam Malik ibn
Anas yan tidak laian merupakan gurunya.[11]
Perjalanan keilmuan Imam al-Syafi’i, pada dasarnya dimulai sejak ia
masih beilia dimana dirinya mulai belajar membaca dan menghafalkan Al-Qur’an.
Semangat dalam pencarian keilmuannya terbilang luar biasa, ia seringkali
berpindah-pindah tempat guna mencari ilmu dari berbagai guru. Bukti tersebut diwujudkan
adanya rentetan catatan para guru imam al-Syafi’i beserta tempat mukim mereka,
seperti di Makkah ia belajar kepada Muslim ibn Khalid al-Zanji selaku mufti
Makkah pada masa itu, Dawud ibn Abdurrahman al-Aththar, Muhammad ibn Ali ibn
Syafi’i selaku pamannya, Sufyan ibn Uyainah, Abdurrahman ibn Abu Bakar
al-Maliki, Said ibn Salim, Fudhail ibn Iyadh, Abdul Aziz al-Darawardi, Aththaf
ibn Khalid, Ismail ibn Ja’far, Ibrahim ibn Sa’d, dan masih banyak laianya dari
para tokoh pada masa itu. Di Yaman ia belajar pada Mutharrif ibn Mazin, Hisyam
ibn Yusuf al-Qadhi. Di Baghdad ia belajar kepada Umar ibn Hasan, Ismail ibn
Aliyah, Abdul Wahbah al-Tsaqafi.[12]
Di Madinah ia belajar fiqih kepada Imam Malik dan Muhammad ibn al-Hasan
al-Syaibany, yang mana Muhammad al-Syaibany merupakan tokoh utama dan pencetus
rasionalisme Abu Hanifah. Dari dua arus keilmuan yang berbeda tersebut
menimbulkan kesimpulan bahwa Imam al-Syafi’i tumbuh dalam dua tradisi pemikiran
besar, yaitu pemikiran rasionalisme Imam Abu Hanifah dan tradisionalisme Imam
Malik.[13]
Selain itu imam al-Syafi’i belajar fiqh dan hadis kepada Ibrahim ibn Yahya
al-Asami, disinyalir merupakan seorang ulama dari golongan Mu’tazilah, aka
tetapi pemikiran Mu’tazilah tersebut tidak mempengaruhi dirinya bahkan tidak
menggunakan pelajaran dari Ibrahim sebagai dasar suatu hukum dan memang
kenyataanya semua yang diperoleh Imam al-Syafi’i dari Ibramin bukanlah ilmu fiqh
dasar, melaikan hanya cabang.[14]
Dan di Mesir, imam al-syafi’i mempelajari fiqh Laits ibn Sa’d (ahli fiqih
Mesir) melalui karya-karya tulis peninggalan Laits ibn Sa’d.[15]
Pada tahun 195 H Imam al-Syafi’i pergi ke Baghdad menetap disana
selama dua tahun, setelah dua tahun berlalu, Imam al-Syafi’i kembali ke Mekkah pada tahun 198 H. Selang
beberapa tahun, Imam al-Syafi’i berangkat kembali ke Baghdad dan di lanjutkan
ke Mesir dan menetap di sana sampai tahun 204 H, dimana tahun tersebut juga
tahun wafatnya. [16]
Dilihat dari perjalanan keilmuannya, imam al-Syafi’i dinilai
sebagai sosok pribadi akademisi yang terbuka murni tentang dunia intelektual.
Hal ini dilihat dari sejarah keilmuan yang ia kaji dari berbagai golongan dan manhaj
tokoh pemikir pada masanya, seperti fakta sejarah bahwa imam al-Syafi’i pernah
belajar tafsir kepada penganut Syi’ah Zaidiyah yang bernama Muqatil ibn
Sulaiman, yang dijadikan imam al-Syafi’i sebagai imam dalam tafsir. Dari
keberagaman sumber keilmuan yang ia peroleh, menjadikan dirinya sebagai sososk
yang dipandang dapat mengetahui kecenderungan-kecenderungan wawasan keislaman
pada masanya. Begitu juga dengan pengakuan atas kualitas yang menonjol dari
sosok Imam al-Syafi’i sebagai petunjuk
yang orisinalitas akan semua pendapatnya. Di samping sisi sunnah yang
kuat sebagai unsur pembentukan pribadi intelektual dengan ciri tersendiri, Imam
al-Syafi’i juga memiliki sisi keilmuan bersifat logika dan memiliki sisi
keilmuan bersifat teks dalam problematika perihal akidah, fiqh, dan lain
sebagainya. Semua itu sebagai landasan imam al-Syafi’i menciptakan karya tulis
seputar keahliannya dan dalam perhatian lebih terhadap perihal tersebut.[17]
Karir imam al-Syafi’i dalam dunia intelektual pertamanya, saat
berada di Madinah. Kondisi di Madinah pada masa itu, membetuk imam al-Syafi’i
sebagai sosok yang beraliran tradisional (ahl al-Hadis), lantaran
pengaruh besar yang diberikan Imam Malik selaku pemikir fiqh tradisional (guru
iman al-Syafi’i) terhadap imam al-Syafi’i. Pengaruh pemikiran ini, digunakan
oleh imam al-Syafi’i pada saat ia menjabat sebagai staf pemerintahan di Yaman,
dimana pemikiran tradisionalnya ia gunakan untuk menyesesaikan berbagai masalah
di saat ia menjabat. Tidak hanya sampai disitu, awal mula imam al-Syafi’i
melakukan perdebat ia menggunakan pola pemikiran tradisionalnya. Selain adanya
traformasi keilmuan bercorakkan tradisionalistik yang sampai kepada imam
al-Syafi’i, faktor adanya gesekan dengan arus pemikiran rasionalistik saat
berada di Baghdad, menjadikan pengaruh perubahan cara berfikir imam al-Syafi’i.[18]
Sebagai pribadi intelektual, imam al-Syafi’i merupakan sosok yang
terbilang produktif. Banyak karya tulis telah ia ciptakan, tertatat sampai 200
juz[19]
karya tulis telah ia ciptakan dan dua diantaranya sebagai karya yang sangat
monumental yaitu Al-Umm dan Al-Risalah.[20]
Pertemua dua arus pemikiran –pemikiran tradisional dan pemikiran
rasional- yang dialami imam al-Syafi’i saat masa studynya, menjadikan dirinya
sebagai sosok yang dapat bersikap tenggah tanpa berat sebelah serta kemampuan
dapat memposisikan dirinya. Hal ini dijadikan landasar oleh para sejarawan dan
analisator sebagai penilaian bahwa imam al-Syafi’i merupakan sosok yang moderat
dalam pemikirannya. Kualitas kekuatan intelektualnya menjadikan ia dikenal
sebagai sosok pemikir yang berusaha dan mampu mengombinasikan dua arus
pemikiran terutama dalam bidang fiqh, yaitu fiqh Hijaz yang dipelopori sebagai
tokoh pemikir ialah Imam Malik, dan fiqh Baghdad yang dipelopori sebagai tokoh
pemikir ialah Imam Abu Hanifah. Kemampuan lebih yang dimiliki imam al-Syafi’i,
mengantarkan dirinya diakui sebagai tokoh imam madzhab yang ke tiga. Permulaan
arus pemikiran yang mengantarkan ia sebagai imam madzhab, terjadi sejak
domisilinya Baghdad pada tahun 810 M,
pada masa itu ia tampil sebagai guru pengajar di Baghdad. Dari hasil
pengajaranya, para murid-muridnya melalui insiatif sendiri, mereka mencatat
semua pemikiran yang disampaikan oleh imam al-Syafi’i dan dibukukan kedalam
satu buku yang diberi nama al-Hujjah (bukti) dan dikenal juga sebagai
bukti adanya Qaul Qadim.[21]
Seperti telah umum diketahui, imam al-Syafi’i memiliki dua pendapat
dalam menyikapi suatu permasalahan agama yang didasari pada pengalaman saat
jenjang pendidikanya beserta tempat saat studynya berlangsung. Selain Qaul
Qadim, imam al-Syafi’i juga memiliki Qaul Jadid yang mana Qaul
tersebut merupakan hasil interaksi imam
al-Syafi’i dengan keilmuan Imam al-Laits ibn Sa’d ulama fiqh di Mesir, di mana terjadi dialog
keilmuan antara keilmuan yang diperoleh saat berda di Madinah dan Baghdad
dengan keilmuan yang diperoleh imam al-Syafi’i saat di Mesir. Sebagian besar
dialog keilmuan tersebut dalam ranah ilmu fiqh, hasil dari Qaul Jadid
dituangkan dalam karya tulisnya yang bernama Al-Umm. Di dalamnya juga
memuat revisi pendapat-pendapatnya yang pertama titetapkan saat di Baghdad. [22]
Tidak jauh dari penepatan dasar istimbat al-hukm para
pendahulunya, Imam al-Syafi’i juga demikian menempatkan Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai dasar hukum utama. Selaian dua pokok dasar tersebut, Imam al-Syafi’i
jua mengunakan Qiyas sebagai dasar ber-istimbath, sekaligus
sebagai metodologi yang digunakan dalam tahapan beristimbath. Dengan
menggunakan metodologi qiyasnya, imam al-Syafi’i mampu memaparkan
penjelasan batasan-batasan dalam penggunaan al-Ra’yu secara jelas dengan
norma-norrma yang berlaku.
Pada perkebangan selanjutnya, imam al-Syafi’i menjadi seorang tokoh
yang dikenal dalam keahliannya tentang fiqh dan juga metodologi yang
diusungnya. Menurut al-Jabiri metodologi qiyas yang diusung imam
al-Syafi’i mengalami perubahan peningkatan dari asalnya hanya sekedar
metodelogi berubah menjadi sebuah status epistemologis, bahkan menurut
al-jabiri pengaruh yang disebabkan oleh imam al-Syafi’i sama dengan kondisi
daya pengaruh yang disebabkan keberadaan Rene Descartes di Barat dan khusunya
di benua Eropa.[23]
Lebih lajut, pengungkapan Qiyas imam al-Syafi’i dari segi
metodologi diutarakan oleh Nasihun dalam buku Sejarah Perkembangan Pemikiran
Islam atas kekuatan yang dapat digunakan untuk menentukan hukum yang
dilihat dari kualitas ‘Illat yang terdapat pada far’ dan ashl.
Bahwa ketika Qiyas yang illat hukum cabangnya (far’) lebih kuat dari
illat pada hukum ashl, maka Qiyas itu dinamakan Qiyas awlawi yang
kedudukanya lebih dihalukan dalam penggunaanya. Adapun Qiyas yang illat pada
hukum cabangnya sama dalam keadaan dan kekuatan yang ada pada illat ashl, Qiyas
tersebut al-Qiyas al-Musawi. Dan jika Qiyas yang illat hukum cabangnta
lebih lemah dibandingkan dengan illat hukum ashl, qiyas tersebut dinamakan Qiyas
al-adna.[24]
Sedangkan kedudukan Qiyas ini yang paling rendah dan lemah sebagai hujjah.
Sebagai tokoh intelektual yang mempunyai pola pemikiran ganda
secara seimbang, Imam al-Syafi’i menggunakan kemampunya itu sebagai manhaj
dalam analisa keilmuan yang hendak dikaji ataupun di terima, seperti contoh
dalam penyeleksian suatu hadis,[25]
ia menggunakan kemampuaan metodologi ahli hadisnya yang mana sebagai pola pikir
tradisionalnya dan disaat yang sama ia menggunakan kemampuan pola pikir logis (al-Ra’yu)
sebagai manhaj dalam usahanya mengali tujuan-tujuan moral dan illat yang
terkandung dibalik suatu hukum dalam teks yang tampak secara literal. Selain
konsep metodologi Qiyas yang diusung imam al-Syafi’i, ia juga menggunakan Ijma’
sebagai salah satu sumber hukum yang menempati peringkat kedudukan ketiga,
setelah hadis sebgai dasar hukum kedua yang diawali sebagai dasar utama dan
pertama yaitu Al-Qur’an. Kendati demikian dalam penggunaan Ijma’ bagi imam
al-Syafi’i tidak sama dengan penempatan Ijma’ yang dijadikan dasar oleh Imam
Malik sebagai gurunya. Dalam penggunaan Ijma’ imam al-Syafi’i memberikan ketentuan-ketemtuan
yang pasti serta ketetapan yang baku, seperti yang dilakukan oleh Imam Abu
Hanifah dalam kecenderunagnnya meggunakan ijtihad dan rasio dalam metodologi
untuk beristimbat (menentukan hukum). Meskipun adanya keterkaitan pemikiran
imam Abu Hanifah yang digunakan Imam al-Syafi, tetapi imam al-Syafi’i menolak
untuk menggunakan metode Ihtisan Imam Abu Hanifah. [26]
Secara sederhana, atas keahlian yang dimiliki imam al-Syafi’i
dengan kemampuannya dapat mengombinaskan dua arus corak pemikiran dari imam
Maliki dan imam Abu Hanifah dalam bidang keilmuan fiqh terutamanya, ia mampu
melahirkan sintesa pemikiran fiqh yang moderat antara ahli fiqh dan ahli hadis
yang orisinal. Dari implemtasi dua arus corak pemikiran tersebut, imam
al-Syafi’i memperkenalkan konsep dalam istilah Qual Qadim dan Qaul
Jadid. Kedua Qaul tersebut membuktikan bahwa adanya sifat fleksibelitas
dalam fiqh yang disertakan argumentasi atas adanya ruang gerak yang dinamis
bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan pemikiran dalam produk hukum pada
khususnya. Adapun kesederhanaan dalam penjelasan Qiyas yaitu bahwa qiyas
merupakan produk khas yang diciptakan imam al-Syafi’i yang mencakup cara kerja
secara ideal dan apik yaitu dari hukum ashl lalu berproses pada hukum ashl
dan berakhir pada hukum ashl, yang mana menandakan bahwa adanya penggunaan
rasio yang beratapkan sinar nash sebagai upaya menjaga batasan dan
norma-norma yang berlaku sehingga tetap menjadi suatu pemikiran yang moderat
dengan terkandung didalamnya sebuah perpaduan antara rasionalisme dan
tradisionalisme.
BAB III
PENUTUP
Ringkasan
Imam al-Syafi’i mengenalkan konsep metodologi baru yang moderat
dalam pemikiran hukum fiqh pada khusunya yang berkomposisikan arus corak
pemikiran rasio dan nash yang terkombinasikan secara apik. Pemikiran fiqh
moderat imam al-Syafi’i tertuang dalam dua Qaul; Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang
tercatat dalam karya tulisnya dengan
nama Al-Risalah (qaul qadim) dan Al-Umm (qaul jadid), yang
dilatar belakangi oleh adanya kombinasi keilmuan yang berdialog saat imam
al-Syafi’i mencari ilmu di Makkah, Madinah, Baghdad dan Mesir. Penekanan konsep
unggulan imam al-Syafi’i berada pada metodologi Qiyas sebgai cara tahapan serta
konsep dalam berIstimbath yang diusungnya sebagai cara pandang baru
dalam pemikiran keilmuan Islam.
[1] Musahadi HAM, CONTINUITY
AND CHANGE REFORMASI HUKUM ISLAM: Belajar pada Pemikiran Muhammad Iqbal dan
Fazlur Rahman, (Semarang: Walisongo Press, 2009). Vii.
[2] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: Cv. Karya Abdi
Jaya, 2015), h. 79.
[3] Prof. Dr. Abul
Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj. Faisal
Salah dan Umar Mujtahid, al-‘Aqidatu al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai
al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 317.
[4] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[5] Ibid.
[6] Prof. Dr. Abul
Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[7] Ibid, h.
317-318.
[8] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 80.
[9] Prof. Dr. Abul
Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit.
h. 318.
[10] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[11] Prof. Dr. Abul
Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit.
h. 324.
[12] Ibid.
[13] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[14] Prof. Dr. Abul
Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit.
h. 325.
[15] Ibid. h. 324.3
[16] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 81
[17] Prof. Dr. Abul
Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit.
h. 327.
[18] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[19] Prof. Dr. Abul
Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit.
h. 336..
[20] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit
[21] Ibid.
[22] Ibid. h. 82.
[23] Ibid.
[24] Ibid. h.
82-83.
[25] Ibid.
[26] Ibid.