Senin, 01 Mei 2017

PEMIKIRAN FIQH FUNDAMENTAL: IMAM AHMAD IBN HAMBAL



BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN FIQH FUNDAMENTAL: IMAM AHMAD IBN HAMBAL
1.                  Latar Belakang
Fundamentaslisme dalam fiqh, merupakan suatu yang mungkin terdengar asing ataupun baru. Hal ini tidak lain lantara pengunaan bahasa dengan istilah yang baru, pada kenyataamya secara pemahaman istilah tersebut sudah ada bahkan terpraktekan pada masa imam Madzhab. Lebih spesifik pada masa imam Ahmad dan dirinyalah sebagai tokoh yang pemikir fiqh fundamental tersebut. Ahmad bin Hanbal adalah Imam yang keempat dari fuqaha Islam. Beliau memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi, Imam umat Islam seluruh dunia, imam Darussalam, Mufti di Irak, zuhud dan shaleh, sabar menghadap segala cobaan, seorang ahli hadis dan contoh teladan bagi orang-orang ahli hadits.
Sayyid Rasyid Ridha berpendapat bahwa Ahmad bin Hanbal adalah seorang mujaddid abad ketiga Hijriyah. Dilain pihak ada yang berpendapat bahwa sebenarnya Ahmad bin Hanbal lah yang berhak dinamakan mujaddid abad ketiga dibandingkan dengan Ibn Suraij, Syafi’i, Al Khilal atau An nasai. Lebih jelasnya penulis akan memaparkannya.
B. Rumusan Masalah.
I. Biografi dan Pemikiran Fiqh Fundamental Imam Ahmad ibn Hambal

BAB II
PEMBAHASAN

I.                   Biografi dan Pemikiran Fiqh Fundamental Imam Ahmad ibn Hambal
Nama lengkap Imam Ahmad ibn Hanbal,  seperti yang dikabarkan oleh Abdullah putra Imam Ahmad ibn Hambal. Ahmad[1] ibn Hanbal ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal bin Asad ibn Idris ibn Abdullah ibn Hayyan ibn Abdullah ibn Anas ibn Auf ibn Qasith ibn Mazin ibn Syaiban ibn Dzuhl ibn Tsa’labah ibn Uqabah ibn Sha’ab ibn Ali ibn Bakar ibn Wail ibn Qasith ibn Hinb ibn Afsha ibn Da’my ibn Jadzilah ibn Asad ibn Rabiah ibn Nazar ibn Ma’d ibn Adnan Asy-Syaibani al-Marwazy al-Baghdadi,[2] yang dikenal dengan gelar Al-Maruri atau Al Baghdadi.  Beliau termasyhur dengan nama datuknya Hanbal karena datuknya lebih masyhur dari ayahnya.[3] Dan kunyah[4] Imam Ahmad adalah Abu Abdillah.
Imam Ahamd bin Hanbal lahir pada bulan Rabi’ul Awwal[5] tahun 164 H/780 M di Baghdad, sedangkan tahun wafatnya terdapat perbedaan, menurut Nasihun Amin, Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada tahun 231 H,[6] menurut Abu Yazid Al-‘Ajami wafat imam Ahmad tahun 241 H yang berarti bertepatan dengan 77 tahun umur Imam Ahmad, pendapat tersebut berdasarkan data yang diinformasikan oleh Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal putra imam Ahmad,[7] dan di kota kelahirannya tersebut, Imam Ahmad ibn Hanbal wafat dan dikebumikan. Imam Ahmad Ibn Hanbal berasal dari suku Arab, kabilah Syaiban baik dari pihak bapak maupun ibu. Kabilah Syaiban berasal dari kabilah Rabiyah Adaniyah, bertemu dengan nasab Nabi Muhammad saw. pada Nazar bin Ma’ad bin Adnan.
Masa kecil Imam Ahmad Ibn Hanbal dilaluinya dalam status Yatim, lantaran ayahnya meninggal dunia disaat ibn Hambal baru berumur tiga tahun.[8] Ayahnya meninggal saat bertugas sebagai komandan Militer di Marv yang berada dibawah pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, tutup usia di umur tiga puluhnya.[9] Selain ayahnya yang pernah menjabat diperintahan, kakek Imam Ahmad –Hanbal- juga penah menjadi Gubernur di Khurasan[10] pada masa pemerintahan Dinasti Umawiyah, akan tetapi ia merupakan salah satu aktor intelektual yang menyerukan untuk membekot lalu membalik untuk mendukung Dinasti Abbasiyah.[11] Sebab sepakterjangnya (Kakek imam Ahmad), kemungkinan besar menjadi dasar atas kepopularitas namanya melambung tinggi, sehingga nama Hanbal tersohor diberbagai kalangan. Dari nama kakek imam Ahmad itu, yang digunakan sebagai nama nasab “Ibn” dinisbatkan kepada kakek bukan ayah imam Ahmad. hal ini dapat diasumsikan bahwa dasar kepopularitasan nama imam Ahmad yang di nisbatkan kepada kakeknya –Ibn Hanbal- lantaran ayah imam Ahmad tidaklah tersohor seperti nama Kakek imam Ahmad, disamping itu karena ayah imam Ahmad meninggal di usia muda yang tentunya peranannya dalam dunia politik dan perjuangan masih minim sehingga mengalanginya untuk terkenal.
Masa pertumbuhan Ahmad kecil diasuh oleh Ibunya, Shafiyah binti Maimunah binti Malik al-Syaibani, yang merupakan perempuan dari golongan terkemuka dari kaum Banu Amir.[12] Ahmad kecil sejak balita sudah berada di Baghdad, meskipun sebetulnya saat mengandung Imam Ahmad, ibunya masih berada di Marv, hal ini lantaran kondisi ayah dari ibunda Imam Ahmad yang kala itu ditugaskan sebagai pejabat di Marv. Dalam asuhan ibundanya tersebut, Ahmad kecil diarahkan untuk dicetak sebagai seorang intelektual yang berkualitas, lantaran ibundanya telah melihat potensi kejeniusan dan kecerdasan yang dimiliki anaknya, sehingga imam Ahmad diarahkan untuk konsen terhadap segala keilmuan melalui lembaga pendidikan pada masa itu. Mulai dari pendidikan hafalan Al-Qur’an, pendidikan bahasa sampai dimana imam Ahmad dapat mandiri mencarai penghasilan untuk membiayai pendidikanya. Selain dari hasil jerih payahnya sendiri untuk membiayai pendidikanya, imam Ahmad juga mempergunakan harta warisan -Bangunan seperti toko pada umumnya- dari ayahnya yang digunakan untuk menunjang biaya pendidikan serta kehidupan keluarganya, dengan cara menjadikan warisan yang berupa bangunan tersebut sebagai tempat yang dikontrakan. Dari sinilah imam Ahmad ibn Hanbal mulai sedikit demi sedikit mengamalkan ilmu keagamaanya dalam bidang fiqh, yang difahaminya melalui pengaplikasian hukum zakat profesi atau pengahsilan dari uang sewa tempat yang dimiliki, tindakkan itu tidak lain lebih dipengaruhi oleh perkataan yang diutarakan shahabat Umar ibn al-Khatab terkaiat hasil tanah perkampungan. Dengan pemahaman humanis imam Ahmad, bahwa dalam laba dari pembayaran sewa tempat yang ia miliki sekaligus sebagai barang warisan, didalamnya terdapat bagian hak orang lain yang membutuhkan, kendati laba yang ia peroleh belum memenuhi untuk wajib dikeluarkan menurut fiqh imam Syaf’i.[13] Dalam arti lain, bahawa kualitas yang telah diperoleh imam Ahmad ibn Hanbal tidak lain lantaran perjuangan besar yang dilakukan Ibundanya. Dikabarkan karena keinginan yang kuat serta gigih dari Ibu Imam Ahmad  untuk memujudkan anaknya menjadi orang yang besar, ia rela hidup menjanda untuk fokus mendidik anak semata wayangnya, walaupun pada masa itu Ibunda imam Ahmad terbilang masih muda dan cantik, bahkan banyak yang silih berganti mencoba untuk menikahinya, akan tetapi Ibunda imam Ahmad tetap menolaknya.[14]
Kondisi status yatim sekaligus kondisi finansial Imam Ahmad tidak menjadikan dirinya tertinggal dalam dunia keilmuan bahkan pengetahuan moralitas. Hal ini tercerminkan dalam sikap kepribadiannya sehari-hari, imam Ahmad ibn Hanbal dikenal sebagai pribadi yang pendiam, jarang berbicara bahkan tidak suka berdebat.[15]Kemuliaan nasab, kesederhanaan hidup, sifat bersahaja, dan ketaqwaanya membawa diri Imam Ahmad Ibn Hanbal sebagai sosok yang dikenal karena berjiwa mulianya, selain itu kecerdasan dan kejeniusannya menjadikan dirinya sebagai seorang yang gemar menimba ilmu. Pembentukan karakter yang dibimbingan Ibundanya, menjadikan Imam Ahmad ibn Hanbal sebagai seorang berkarakter teguh, optimis, percaya diri terhadap apapun yang ia lakukan, terutama dalam riwayat pendidikanya.[16]
Seperti halnya pendahulu-pendahulu serta guru-guru imam Ahmad ibn Hanbal, aktifitas keseharianya lebih dominan yang berorientasi pada duunia keilmuan sebagai bekal di dunia dan akherat. Imam Ahmad ibn Hanbal lebih menyibukan diri pada keilmuan dalam usaha pencarian ilmu yang dilakukannya, adapun aktifitasnya dalam ranah duniawi –perdagangan dan penjual jasa- tidak lain untuk membiayai pendidikanya. Diceritakan suatu ketika Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengadaikan sandalnya untuk dibelikan makanan, bahakan dirinya rela menjadi kuli panggul,[17] pengantar barang dan juga sebagai penjual jasa pencatatan naskhah dikarenakan tulisan Imam Ahmad terbilang bagus.[18] Karirnya dalam dunia pendidikan terbilang sangat mengagumkan, dirinya rela berpindah-pindah daerah untuk menimba ilmu, juga silih berganti-ganti majikan yang memperkerjakannya untuk diganti uang maupun makanan sebagai imbalan atas kerjanya. Secara kuantitas sebagian besar khazanah keilmuan yang didapati Imam Ahmad diperolehnya melalui para ulama Baghdad, yang mana ia memperoleh ilmu hadis melalui Hasyim ibn Basyir ibn Abu Hazim al-Wasiti, imam Ahmad belajar kepadnya selama empat tahun[19] yang mana pendidikan tersebut kali pertamanya imam Ahmad ibn Hanbal mempelajari Hadis, saat itu ia baru berusia lima belas tahun.[20] Akan tetapi sebelum Imam Ahmad memfokuskan diri dalam bidah hadis, ia lebih dahulu kenal dengan sorang ulama serta hakim agung dari pemerintahan dinasti Abbasiyah[21] yaitu Abu Yusuf al-Qadhi denganya Imam Ahmad belajar akan pengantar tentang keilmuan yang bersangkutan dengan hadis,[22] selain itu Abu Yusuf merukan Ulama yang beraliran Rasionalis sebab ia termasuk salah satu murid Abu Hanifah[23] dan juga belajar kepada Muhammad ibn Hasan. Dari dua ulama tersebut Imam Ahmad mengenal pemikiran kedua tokoh tersebut melalui karya-karya mereka, bahkan imam Ahmad terakui sebagai seorang murid yang benar-benar paling mampu memahami karya-karya gurunya ketimbang diri mereka sendiri.[24] Ketika menginjak umur dua puluh tahun, ia pergi menggembara ke  Basrah, untuk mencari para guru hadis dan disana Imam Ahmad bermukin semala satu tahun, di Basrah imam Ahmad mendengarkan hadis dari Sulaiman ibn Harb dan Abu an-Nu’man Arim pada tahun 194H.[25] Setelah itu pengelanaanya dilanjutkan dengan tujuan yang sama kewilayah Hijaz, disanalah pertemuan dirinya dengan sang guru Imam Syafi’i. Peretmuanya dengan Imam Syafi’i tidak disia-siakan Imam Ahmad, ia pun mulai mempelajari Hadis dari sang guru dengan cara mendengarkanya, ketika itu majlis ta’lim imam Syafi’i diselengarakan di Masjidil Haram. Dikesempatan lain imam Ahmad kembali ke perkampunganya di Baghdad, akan tetapi kepulanganya ke tanah kelahirannya tersebut tidak mampu membendung kehausaanya terhadap ilmu. Imam Ahmad dilain waktu kembali lagi ke Hijaz untuk kedua kalinya, berbeda dengan misi yang pertama, Imam Ahmad di pengelanaanya ke kedua kalinya ke Hijza bertujuan untuk belajar hadis kepada Imam Malik (pemikir tradisionalis) dan kepada imam Al-Laits ibn Sa’d Al-Mishri yang tidak lain merupakan murid dari Imam Abu Hanifah (pemikir rasionalis). Tidak sampai disitu saja, pengelanaan Imam Ahmad dalam rangka sebagai pencari ilmu dan Hadis pada umumnya, Imam Ahmad pun melanjutkan pengembaraanya menuju Yaman. Disana ia hendak bertemu dengan seorang ilmuan terkenal yang bernama Abdurrazaq ibn Hammam, tidak laian merupak orang yang pernah dia kenal saat pertemuannya dengan Abdurrazaq pada musim Haji, ia dikenal oleh Imam Ahmad sebagai orang banyak memiliki hadis. Dari alasan itulah imam Ahmad memantapkan dirinya untuk bermuqim di Yaman guna mendapatkan hadis dari Abdurrazaq. Dari semua yang dilalui dan dilakukan Imam Ahmad, nampaknya ia masih belum mersa kenyang ats ilmu yang telah ia dapati, sehingga menjadikanya berhasrat selalu keluar dari tanah kelahiranya untuk mencari ilmu, seperti perjalananya ke Khurasan, Persia dan Tursus dan di daerah-daerah lainya yang dimana ia mendengar terdapat periwayatan hadis di daerah tersebut.[26]
Atas jeriah payah yang telah ia lalui, menghantarkan dirinya sebagai seorang ulama yang dikenal, saking antusianya terhadap keilmuan dan majlis ta’lim ia bahkan pernah dilantik menjadi anggota tetap pada kelompok diskusi Qadli Abu Yusuf. Selain aktif dalam diskusi kelompok Abu Yusuf, imam Ahmad juga aktif di kelompoh diskusi imam Syafi’i, pada saat imam Syafi’i berada di Baghdad.[27] Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling terkenal di Baghdad. Popularitasnya berdasarkan kekagumanya terhadap kebesaran dan keluasan ilmu imam Syafi’i, sehingga menjadikan dirinya sangat giat serta antusias mengikuti pengajian kelompok diskusi Imam Syafi’i, bahkan kemanapun imam syafi’i berpindah imam Ahmad ibn Hanbal dapat dipastikan mengikuti langkah imam Syafi’i, hanya pada saat Imam Syafi’i berpindah ke Mesir, Imam Ahmad tidak mengkuti gurunya itu. Kekonsistenan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam mengikuti kelompok diskusi Imam Syafi’i, membawanya menjadi seorang yang istimewa karena kedalaman ilmu fiqh dan hadis. Bahkan kualitas penguasaan fiqh Imam Ahamd tersebut mendapat pengakuan dari Imam Syafi’i dan Yahya ibn Ma’in.[28] Selain dari pihak guru, dari  kalangan teman-temannya ikut memberikan pengakuaan atas keteguhanya sehingga imam Ahmad ibn Hanbal dikenal sebagai penghafal hadits, pembela dan pengumpul hadits-hadits yang berserakan, disamping itu Imam Ahmad juga mendapatkan penghargaan atas pembendaraan hadis yang ia miliki dengan menyandang gelar Amirul-Mu’minin fil-Hadis.[29] Salah satu contoh karya monumental sebagai bukti kekayaan hadis yang ia miliki yaitu Musnad yang memuat tiga puluh ribu hadits.[30] Bahkan diceritakan kitab tersebut merupakan seleksi dari 750.000 hadis.[31] Selain Musnad salah satu karya Imam Ahmad ibn Hanbal, ada beberapa lainya, diantaranya:
I.          Karya-karya Imam Ahmad bin Hanbal.[32]                                                      
1.                  Kitab Tafsir Al-Qur’an                                                          
2.                  Kitab Nasikh wa Mansukh                
3.                  Kitab al-Muqoddam Wa al-Muakhkar fi Al-Qur’an
4.                  Kitab Jawabu al-Qur’an
5.                  Kitab at-Tarikh
6.                  Kitab Manasiku al-Kabir
7.                  Kitab Manasiku al-shagir
8.                  Kitab al-Illah
9.                  Kitabal-Shalah
Setelah lama pengelanaannya untuk mencari ilmu ke berbagai negara, Imam Ahmad kembali ke tanah kelahiranya, disana ia mengabdi di Istana. Mulai dari masa itulah, Imam Ahmad mulai menonjolkan kemampuan intelektualnya, bahkan terbilang berbeda pada umumnya seorang ulama di masa itu. Hal ini kemungkinan besar sebagai cikal bakal perbedaan dari produk pemikiran yang ditawarkan oleh imam Ahmad –yang pada akhirnya diakui sebgai landasar dan haluan pemikiran madzhab Hanabilah- untuk merubah tatanan sosial yang pada saat itu dinilai oleh imam Ahmad sebagai suatu tatanan yang telah melenceng dari syari’ah dan hadis Nabi.[33]
Sebagai intelektual muda, imam Ahmad dikenal sebagai seorang yang Zuhud, bersih hatinya dan berwawasan luas namun tetap rendah hati. Disetiap diskusi yang diadakannya, imam Ahmad tidak gengsi maupun malu untuk meralat pendapatnya ketika terdapat jelas pendapat orang lain lebih benar,[34] dalam hal ini dapat dianalisa bahwa terdapat pengaruh pemikiran golongan rasionalis telah mewarnai intelektualitas Imam Ahmad. Sebagai seorang yang telah masyhur sebagai ahli hadis, imam Ahmad semasa hidupnya selalu menpraktekkan ajaran yang terkandung dalam hadis, bahkan menurut Nasihun, imam Ahmad bukan saja hanya menghapal suatu hadis tetapi ia pun mengamalkan isi hadis tersebut.[35]     
Kondisi sosial-politik pada masa Imam Ahmad terbilang sangat kacau, lantaran pada masa itu ritus-ritus maupun aktifis yang tergolong bid’ad tumbuh subur, sedangkan kedudukan agama dijadikan sebagai komoditas yang berimbas terhadap sendi-sendi agama menjadi tidak stabil bahkan dapat terbilang telah melenceng dari rel keagamaan. Tidak cukup di situ, Nasihun mengambarkan  pada masa itu peran para ulama kebanyakan pada masa itu menjadi institusi yang selalu melegitimasi dan menjustifikasi kehendak penguasa, yang mengamdung misi penyelamatan jabatan mereka agar tetap eksis dipegang oleh penguasa tersebut, juga telah terjadi ketumpuan hukum di pihak para ulama sedangkan mereka sebagai badan penegak hukum baik hukum agama maupun negara, mereka juga seringkali menutup mata terhadap kemungkaran dan kelaliman disekeliling mereka.
Masa itu terbilang sebagai kerusakan dalam tatana kehidupan secara global, lantaran telah ramai bahkan menjadi hal yang lumrah adanya, ketika orang yang berpendidikan tidak memberikan keilmuan mereka melainkan mencelakakan oarang-orang yamg tidak tahu, para oknum maupun komunal penganut faham kapitalisme kendati mereka muslim, disibukan dengan menimbun emas dan perak sedangkan mereka tidak tahu mempergunakan harta mereka bahkan terbilang enggan memperbelanjankan herta mereka demi kemaslahatan agama maupun negara. Bukan hanya itu saja, sebagin dari kalangan wanita maupun laki-lakirela menjerumuskan diri mereka ke lembah kehinaan dalam rangka mendapatkan kehidupan yang dirasa baik dan layak, meliputi makanan, minumam, pakean dan rumah. Tidak jarang mereka rela berteman dengan kemunafikan dan berkoslisi dengan kejahatan, semua itu terbungkus dalam bujuk rayuan yang melenakan dan penipuan yang mengiring mereka untuk meninggalkan kesejateraan hidup yang dihalalkan.
Bahkan dalam lingkuangan kerajaan (ke-Khalifahan) jauh dari prilaku bahkan adat para ulama terdahulu yang lebih mengedepankan kesederhanaan, ketawadlu’an, sebaliknya mereka merasa gengsi untuk menjalankan amaliyah sunnah Nabi dan penerus ajaran Nabi yang syarat moralitas tinggi dan kesederhanaan utuh. Keadaan tersebut dapat dietahui dari prilaku mereka –para khalifah- yang tercontohkan pada pesta-pesta perkawinan putra mahkota yang sangat mewah dan bernilai israf  terhadap pembelanjaan harta kerajaan, terbikti disetiap undangan yang dibagikan kepada para pemuka masyarakat, didalamnya terlampir sebuah cek hadian yang berisikan  harta benda, hamba perempuan, hewan kendaraan dan juga intan berlian. Dan keadaan masyarakatnya yang hidup berhamburkan uang dinar, dirham dan berlumurkan minyak misk dan ‘anbar.[36] Semua itu menjadikan imam Ahmad untuk memutuskan selalu berpegang teguh pad nas Al-Qur’an dan Sunnah.[37]
Dalam ranah politik, pada masa itu kekuasaan kekhalifahan berada di tangan khalifah Al-Makmun khalifah Dinasti Abbasiyah, yang mana Al-Makmun melakukan tindak pemaksaan keyakinan dan paham rasionalisme Mu’tazilah kepada semua ilmuwan yang diperjelas dengan cara menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara. Salah satu ketetapan konstitusi-doktrinalnya yaitu memaksa menyakini bahwa Al-Qur’an bersifat makhluk, kendati demikian Imam Ahmad tetap tidak tunduk untuk merubah keyakinannya bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah (firman Allah) yang bersifatan Qoadim. Dari kekukugan dan kegigihan memegang pendapatnya, Imam Ahmad rela mendapat konsekuensi berupa penyiksaan oleh pemerintahan.[38] Sebab keruwetan yang konstan tersebut, imam Ahmad berhasrat membuat suatu pegangan yang kokoh supaya kehidupan berkeagamaan tidak mudah goyah, yang mana hal tersebul bertujuan memberikan pemahaman yang mengesankan bahwa dirinya membenci kehidupan yang telah menympang dari nilai-nilai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dengan cara menjadikan hadis sebagai pegangan utama dalam menentukan hukum.[39] Oleh karena itu imam Ahmad ibn Hanbal menglahirkan konsep pemahaman terhadap hadis sebagai suatu pegangan utama serta karena hadis menenpati posisi uatama dalam pemutusan hukum, imam Ahmad memberikan suatu landasan-landasan pokok haluan dalam menempatkan hadis. Adapun nilai dasar pergerakan yang dilakukan Imam Ahmad selaku pembela sunnah, Nasihun Amin memaparkannya sebagai berikut: Bagi Imam Ahmad, pokok pakal sunnah ialah memegang teguh dang mengikuti dengan sungguh-sunggh apa-apa yang pernah dilakukan oleh para shahabat Nabi dan serta menjauhi atau meninggalkan perbuatan bid’ah. Kareana menurut Imam Ahmad, bahwa perbuatan bid’ah dalam urusan agama merupakan tindakan yang sesat bahkan dapat menyesatkan sedangkan konsekuensi dari perbuatan bid’ah tersebut ialah masuk neraka, pemhamanhya berarti semua alhi bid’ah tempat kembalinya di Neraka. Selanjutnya, Imam Ahmad memberikan ultimatum kepada masyarakat untuk menjauhi bahkan melaran untuk berdiskusi apalagi bertukar pikiran pikran dengan orang-orang ahli bid’ah dalam urusan agma, bahkan berkawan dengan mereka pun dilarang. [40]
Dengan demikian imam Ahmad dapat digolongkan sebagai seorang ilmuan hukum yang paling tekstual dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah, dengan kata lain imam Ahmad merupakan seorang ilmuan yang bercoka fiqh fundamentalis.[41] Salah satu contoh tentang pemahaman tekstual dalam corak fiqh fundamentalnya terhadap hadis, yaitu hadis yang menerangkan bahwa Nabi pernah melakukan bekam dan memberikan satu dinar kepada tukang bekam tersebut, Imam Ahmad pun mengamalkan isi hadis tersebut sesuai pemahamnaya yang diimplementasikan secara aplikatif sesuai perbuatan yang dilakukan Nabi -melakukan bekam dan memberikan uang satu dinar kepada tukang bekam- dalam hadis tersebut.[42] Dari penjelas tersebut, imam Ahmad dikenal juga sebagai seorang fiqh as-Sunnah, lantaran pemahamnnya murni benar berdasarkan apa adanya kabar yang terdapat dalam hadis, pengaruh tersebut hingga memberikan lebel terhadap madzhab yang di kenal sebagai Madzhab Fiqhu al-Sunnah-Fundamentalis. Sebagai pembela hadis Nabi Muhammad yang sangat gigih, tidak kenal takut dapat dilihat dari bagaimana Imam Ahmad menggunakan cara-cara untuk menentukan hukum, yang mana ia tidak menggunakan Akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
Seperti pada umunya seorang tokoh pembaharu dalam agama dan tentunya intelektual, Imam Ahmad tidakjauh berbeda juga mempunyai suatu konsep, teori bahkan aplikasi secara teksi tentag pemikirannya. Dari itu, terkandunglah sebuah dasar-dasar pokok untuk beristimbat yaitu: Al-Quran; al-Sunnah; pendapat/fatwa sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa sahabat dengan syarat sesuai dengan Al-Quran serta Sunnah; Hadits mursal dan dhaif dengan catatan bahwa tidak ada dalil yang menghalanginya; dan Qiyas. Secara jelasnya Nasihun Amin memaparkan sebagai berikut:
I.         Al-Quran dan al-Sunnah, jika telah terdapat ketentuan yang terkandung dalam dua sumber tersebut secara tersurat, maka pemahaman tersirat harus diabaikan. Dengan alaasan, bahwa pemahaman tersirat sangat rawan dimungkinkan justru akan dapat keluar dari apa yang dikehendaki oleh pemahaman tersurat. Sedangkan Sunnah sendiri menpunyai posisi sebagai pelengkap dan penjelas bagi Al-Qur’an.
II.      Pendapat atau fatwa shahabat, yang diketahui tidak adanya penentangan dari shaahabat lain atau dalam arti disepakati oelh shahabat lain. Dengan alasan, bahwa shahabt merupakan orang yang terdekat dengan Nabi Muhammad, maka fatwa shahabat pun dianggap sebagai hadis yang harus diamalkan jika memang benar periwayatannya, lebih khusus dari Khalifa al-Rasyidin, hal ini tentunya jika tidak ada nas dalam masalah tersebut. Atau dengan pehaman bahwa shahabat dapat dipastikan tidak melakukan kesalahan sebab pastinya akan terdeteksi oleh Nabi sekalu pemberi dan penilai terhadap implikasi ajaran yang dilakukan para shahabatnya.
III.   Jika terdapat perbedaan di antara para shahabta, makan yang harus dipilih adalah pendapat yang dinilai paling sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun jika ternyata pendapat tersebut tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka pendapat tersebut tidak akan dapat menetapkan salah satunya akan tetapi harus mengambil sikap dia, atau meriwayatkan keduanya.
IV.   Hadis Mursal dan Hadis Dhaif, dapat diterima diambil sebgai dasar hukum sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya. Adapun maksud Dhaif disini ialah bukan dhaif dalam arti yang batil dan yang mungkar, akan tetapi hadis yang tergolong shahih atau hasan yang beluh jelas kedudukan kualitas hadis tersebut. Karena menurut imam Ahmad kualitas kedudukan hadis hanya dua; Shahih dan Dhaif. Sedangkan penggunaan hadis semacam itu lebih utama daripada menggunakan Qiyas.
V.      Qiyas,
Ini  merupakan cara tingkatan terakhir dalam dasar-dasar pokok istimbath yang imam Ahmad gunakan. Qiyas digunakan apabila tidak didapatkan sumber-sumber tersebut seperti diatas, maka penggunaan atau pengambilan qiyas apabila sudah dalam keadaan terpaksa (dhorurat).[43] Qiyas tersebut merupakan cara untuk beristibath hukum terhadap sebuah persoalan baru dengan cara menialai hukum atau masalah yang tidak ada nshnya dengan masalah yang sudah ada nashnya hal ini berdasarkan karena persamaan dalam aspek ‘illatnya.
Mengenai sikap intelektualnya, Ahmad Ibn Hanbal pernah berkata : Laa tuqallidiniy wa laa maalikan wa laa al-syafi’iya wa laa tsauriyya wa khuz min haitsu akhazu.[44] Ahmad bin hanbal berpendirian dan bersikap keras perbuatan “taqlid” dan orang yang bertqlid dalam urusan agama, sebagaimana pendirian dan sikap para ulama besar yang hidup di masa sebelumnya.
Ahmad bin Hanbal menjelaskan referensi fiqihnya dengan meringkas ucapannya ketika mendifinisikan agama, lantas dijadikan sebagai referensi fundamental yang darinya mengalir sumber hukum-hukum fiqih. Dalam pemikiranya Agama adalah kitab Allah, Sunnah, Atsar serta riwayat yang shahih dari orang-orang kepercayaan yang sebagian membenarkan sebagian lainnya. Ahmad bin Hanbal adalah orang yang sangat berpegang kepada sunnah Rasulullah karena sunnah itulah yang menafsirkan Quran dan hukum-hukumnya. Maka tidak heran bila beliau menjadikan Al-quran dan sunnah sebagai sumber hukum pertama, karena beliau tidak mengakui adanya pertentangan antara Al-quran dan sunnah seperti yang telah dijelaskan diawal.
Imam Ahmad terkenal sangt keras dan ketat, Kekerasan beliau itu tampaknya disebabkan karena sifat wara’ yang sangat tinggi, sehingga beliau mewajibkan kepada diri sendiri hal-hal yang tidak diwajibkan kepada orang lain, menjauhi hal-hal yang syubhat dan berpegang teguh kepada hukum yang ada. Sikap kepribadian Imam Ahmad nampaknya terekam kedalam Madzhab yang dinisbatkan kepada namanya, yaitu keketatan hukum dalam mensucikan najis.[45]
Kendati demikian nama  Imam Ahmad ibn Hanbal yang telah melebur bersama ajaranya kedalam Madzhab Hanabilah, telah dicemarkan oleh sebagian orang yang mana mereka mengatasnamakan diri sebagai pengikut imam Ahmad dengan mengisukan suatu yang tidak dikatakan dan juga tidak pernah dilakukan oleh imam Ahmad. Mereka juga menisbatkan sejumlah masalah cabang keagamaan kepada pokok-pokok madzhab, padahal imam Ahmad tidak tahu menau. Lebih ekstreem, mereka bahkan seringkali berkeliling kota-kota untuk menyerang apa saja yang mereka anggap sebagai bid’ah atau kemungkaran seraya mengemukakan apapun yang mereka khayalkan sebagai Sunnah, dan mereka juga sering sekali menyakiti dan menyusahkan orang. Dari semua prilaku yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut, menjadikan madzhab Hanabilah sebagai madzhab yang diidentikan dengan kebodohan, eksklusivisme, ekstrimisme, dan fanatisme yang tercela.[46]
Ahmad bin Hanbal meninggal dunia pada hari Jum’at 12 Rabiul Awaal 241 H. Dalam usia tujuh puluh tujuh tahun. Ia meninggal sejenak setelah mengambil wudlu. Kematiannya ini merupakan bukti untuk kesekian kalinya atas keimamahannya, baik dari negara maupun masyarakat secara luas.saat beliau wafat, Puluhan ribu rakyat ikut mengantarkan jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir dan di makamkan di Baghdad.[47]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ahmad bin Hanbal Imam yang keempat dari fuqaha Islam. Beliau memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi, Imam umat Islam seluruh dunia, imam Darussalam, Mufti di Irak, zuhud dan shaleh, sabar menghadap segala cobaan, seorang ahli hadis dan contoh teladan bagi orang-orang ahli hadits. Ahmad bin Hanbal dikenal luas sebagai pembela Hadits Nabi yang sangat gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak ditemukan Hadits yang menjelaskannya.
Di dalam pemikiran intelektualnya dalam bidang hukum, Ahmad Ibn Hanbal menggunakan lima sumber, yaitu : Al-Quran, al-Sunnah, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa sahabat dengan syarat sesuai dengan Al-Quran serta Sunnah, Hadits mursal, dan Qiyas.
Apabila keketatan dalam fiqih madzhab Hanbali tampak jelas sekali dalam berbagai perkara thaharah, maka itu dikarenakan thaharah sangat erat kaitannya dengan kebersihan, sementara kebersihan dalam agama Islam merupakan salah satu dasar iman.


[1] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj. Faisal Salah dan Umar Mujtahid, al-‘Aqidatu al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h.403.
[2] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: Cv. Karya Abdi Jaya, 2015), h. 85.
[3] Imam Munawwir, 30 pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, (Surabaya: PT bina Ilmu, ttd),  h. 293
[4] Kunyah merupakan nama lain dari seseorang yang ditandai dengan adanya imbuhan “Abu” atau “Abi” brearti “Ayah dari” berada di awal dan diikuti dengan nama anak pertama atau tertua dari seseorang tersebut. Contoh Anak pertama/tertua dari seseorang Ayah bernama Zaid, sedangkan nama ayah Zaid adalah Umar. Maka pengunaan Kunyah Umar selaku ayah Zaid, yaitu Abu Zaid. Kendati tidak selalu yang digunakan nama anak tertua dari sepasang suami istri, seperti nama Abu Hurairah yang mempunyai arti “Ayah dari Kucing”. Abdul Aziz Ash-Shannawi, The Ministers around the Prophet SAW, (Riyadh: Maktaba Dar-us-Salam, 2004), h. 12.
[5] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h.404.
[6] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[7] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[8] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[9]  Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[10] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[11] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[12] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 86.
[13] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op.  Cit. h. 405-407.
[14] Abdurrahman al-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, trj. Drs. Mujiyao Nurkholis, A’immatu al-Fiqh al-Tis’ah, (Bandung: AL-Bayan Kelompok Penerbit MIZAN, 1994), h. 139-140.
[15] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Loc. Cit.
[16] Ibid.
[17] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op.  Cit. h. 408
[18] Abdurrahman al-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, op. Cit. h. 144-145.
[19] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Loc. Cit.
[20] Abdurrahman al-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, op. Cit. 145.
[21] Ibid.
[22]  Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op.  Cit. h. 412.
[23] Abdurrahman al-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, loc. cit
[24] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[25] Ibd. h. 414.
[26] Ibid.
[27] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 87, Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM, op. Cit. h. 416
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Khozin Siraj, Aspek-Aspek Fundamental Hukum Islam, (Yogyakarta: UII 1981), hal 68, Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM, op. Cit. h. 416
[31] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM, op. Cit. h. 417.
[32] Ibid.
[33] Abdurrahman al-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, op. Cit. h. 140.
[34] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN, op.cit. h. 88.
[35] Ibd.
[36] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN, op.cit. h. 89, Abdurrahman al-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran, op. Cit. h. 140.
[37] Ibid.
[38] Ibid. h. 90.
[39] Ibid.
[40] Ibid. h. 90-91.
[41] Ibid.
[42] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM, op. Cit. h. 421.
[43] Kh.Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, jakarta;bulan bintang, hal 322
[44] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Sejarah Sosial Intelektual Islam dab Institunsi pendidikannya, PT RajaGrafndo Persada :Jakarta, hal  49
[45] Opcit, hal 300
[46] Abdurrahman al-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran, op. Cit. h. 140-141.
[47] Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikiran Islam dari masa ke masa, PT bina Ilmu, hal 311