BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN FIQH
FUNDAMENTAL: IMAM AHMAD IBN HAMBAL
1.
Latar Belakang
Fundamentaslisme dalam
fiqh, merupakan suatu yang mungkin terdengar asing ataupun baru. Hal ini tidak
lain lantara pengunaan bahasa dengan istilah yang baru, pada kenyataamya secara
pemahaman istilah tersebut sudah ada bahkan terpraktekan pada masa imam Madzhab.
Lebih spesifik pada masa imam Ahmad dan dirinyalah sebagai tokoh yang pemikir
fiqh fundamental tersebut. Ahmad bin Hanbal adalah Imam yang keempat dari
fuqaha Islam. Beliau memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi, Imam umat
Islam seluruh dunia, imam Darussalam, Mufti di Irak, zuhud dan shaleh, sabar
menghadap segala cobaan, seorang ahli hadis dan contoh teladan bagi orang-orang
ahli hadits.
Sayyid Rasyid Ridha
berpendapat bahwa Ahmad bin Hanbal adalah seorang mujaddid abad ketiga
Hijriyah. Dilain pihak ada yang berpendapat bahwa sebenarnya Ahmad bin Hanbal
lah yang berhak dinamakan mujaddid abad ketiga dibandingkan dengan Ibn Suraij,
Syafi’i, Al Khilal atau An nasai. Lebih
jelasnya penulis akan memaparkannya.
B. Rumusan Masalah.
I. Biografi dan Pemikiran Fiqh Fundamental Imam Ahmad ibn Hambal
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Biografi dan Pemikiran Fiqh Fundamental Imam Ahmad ibn Hambal
Nama lengkap Imam Ahmad ibn Hanbal,
seperti yang dikabarkan oleh Abdullah putra Imam Ahmad ibn Hambal. Ahmad[1]
ibn Hanbal ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal bin Asad ibn Idris ibn
Abdullah ibn Hayyan ibn Abdullah ibn Anas ibn Auf ibn Qasith ibn Mazin ibn
Syaiban ibn Dzuhl ibn Tsa’labah ibn Uqabah ibn Sha’ab ibn Ali ibn Bakar ibn
Wail ibn Qasith ibn Hinb ibn Afsha ibn Da’my ibn Jadzilah ibn Asad ibn Rabiah
ibn Nazar ibn Ma’d ibn Adnan Asy-Syaibani al-Marwazy al-Baghdadi,[2] yang
dikenal dengan gelar Al-Maruri atau Al Baghdadi. Beliau termasyhur dengan nama datuknya Hanbal
karena datuknya lebih masyhur dari ayahnya.[3]
Dan kunyah[4]
Imam Ahmad adalah Abu Abdillah.
Imam Ahamd bin Hanbal
lahir pada bulan Rabi’ul Awwal[5]
tahun 164 H/780 M di Baghdad, sedangkan tahun wafatnya terdapat perbedaan,
menurut Nasihun Amin, Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada tahun 231 H,[6]
menurut Abu Yazid Al-‘Ajami wafat imam Ahmad tahun 241 H yang berarti
bertepatan dengan 77 tahun umur Imam Ahmad, pendapat tersebut berdasarkan data
yang diinformasikan oleh Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal putra imam Ahmad,[7] dan
di kota kelahirannya tersebut, Imam Ahmad ibn Hanbal wafat dan dikebumikan. Imam
Ahmad Ibn Hanbal berasal dari suku Arab, kabilah Syaiban baik dari pihak bapak
maupun ibu. Kabilah Syaiban berasal dari kabilah Rabiyah Adaniyah, bertemu
dengan nasab Nabi Muhammad saw. pada Nazar bin Ma’ad bin Adnan.
Masa kecil Imam Ahmad Ibn
Hanbal dilaluinya dalam status Yatim, lantaran ayahnya meninggal dunia disaat
ibn Hambal baru berumur tiga tahun.[8]
Ayahnya meninggal saat bertugas sebagai komandan Militer di Marv yang berada
dibawah pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, tutup usia di umur tiga puluhnya.[9] Selain
ayahnya yang pernah menjabat diperintahan, kakek Imam Ahmad –Hanbal- juga penah
menjadi Gubernur di Khurasan[10]
pada masa pemerintahan Dinasti Umawiyah, akan tetapi ia merupakan salah satu
aktor intelektual yang menyerukan untuk membekot lalu membalik untuk mendukung
Dinasti Abbasiyah.[11]
Sebab sepakterjangnya (Kakek imam Ahmad), kemungkinan besar menjadi dasar atas
kepopularitas namanya melambung tinggi, sehingga nama Hanbal tersohor
diberbagai kalangan. Dari nama kakek imam Ahmad itu, yang digunakan sebagai
nama nasab “Ibn” dinisbatkan kepada kakek bukan ayah imam Ahmad. hal ini dapat
diasumsikan bahwa dasar kepopularitasan nama imam Ahmad yang di nisbatkan
kepada kakeknya –Ibn Hanbal- lantaran ayah imam Ahmad tidaklah tersohor seperti
nama Kakek imam Ahmad, disamping itu karena ayah imam Ahmad meninggal di usia
muda yang tentunya peranannya dalam dunia politik dan perjuangan masih minim
sehingga mengalanginya untuk terkenal.
Masa pertumbuhan Ahmad
kecil diasuh oleh Ibunya, Shafiyah binti Maimunah binti Malik al-Syaibani, yang
merupakan perempuan dari golongan terkemuka dari kaum Banu Amir.[12]
Ahmad kecil sejak balita sudah berada di Baghdad, meskipun sebetulnya saat
mengandung Imam Ahmad, ibunya masih berada di Marv, hal ini lantaran kondisi
ayah dari ibunda Imam Ahmad yang kala itu ditugaskan sebagai pejabat di Marv.
Dalam asuhan ibundanya tersebut, Ahmad kecil diarahkan untuk dicetak sebagai
seorang intelektual yang berkualitas, lantaran ibundanya telah melihat potensi
kejeniusan dan kecerdasan yang dimiliki anaknya, sehingga imam Ahmad diarahkan
untuk konsen terhadap segala keilmuan melalui lembaga pendidikan pada masa itu.
Mulai dari pendidikan hafalan Al-Qur’an, pendidikan bahasa sampai dimana imam Ahmad
dapat mandiri mencarai penghasilan untuk membiayai pendidikanya. Selain dari
hasil jerih payahnya sendiri untuk membiayai pendidikanya, imam Ahmad juga
mempergunakan harta warisan -Bangunan seperti toko pada umumnya- dari ayahnya yang
digunakan untuk menunjang biaya pendidikan serta kehidupan keluarganya, dengan
cara menjadikan warisan yang berupa bangunan tersebut sebagai tempat yang
dikontrakan. Dari sinilah imam Ahmad ibn Hanbal mulai sedikit demi sedikit
mengamalkan ilmu keagamaanya dalam bidang fiqh, yang difahaminya melalui
pengaplikasian hukum zakat profesi atau pengahsilan dari uang sewa tempat yang
dimiliki, tindakkan itu tidak lain lebih dipengaruhi oleh perkataan yang
diutarakan shahabat Umar ibn al-Khatab terkaiat hasil tanah perkampungan. Dengan
pemahaman humanis imam Ahmad, bahwa dalam laba dari pembayaran sewa tempat yang
ia miliki sekaligus sebagai barang warisan, didalamnya terdapat bagian hak
orang lain yang membutuhkan, kendati laba yang ia peroleh belum memenuhi untuk
wajib dikeluarkan menurut fiqh imam Syaf’i.[13]
Dalam arti lain, bahawa kualitas yang telah diperoleh imam Ahmad ibn Hanbal tidak
lain lantaran perjuangan besar yang dilakukan Ibundanya. Dikabarkan karena
keinginan yang kuat serta gigih dari Ibu Imam Ahmad untuk memujudkan anaknya menjadi orang yang
besar, ia rela hidup menjanda untuk fokus mendidik anak semata wayangnya,
walaupun pada masa itu Ibunda imam Ahmad terbilang masih muda dan cantik,
bahkan banyak yang silih berganti mencoba untuk menikahinya, akan tetapi Ibunda
imam Ahmad tetap menolaknya.[14]
Kondisi status yatim
sekaligus kondisi finansial Imam Ahmad tidak menjadikan dirinya tertinggal
dalam dunia keilmuan bahkan pengetahuan moralitas. Hal ini tercerminkan dalam
sikap kepribadiannya sehari-hari, imam Ahmad ibn Hanbal dikenal sebagai pribadi
yang pendiam, jarang berbicara bahkan tidak suka berdebat.[15]Kemuliaan
nasab, kesederhanaan hidup, sifat bersahaja, dan ketaqwaanya membawa diri Imam
Ahmad Ibn Hanbal sebagai sosok yang dikenal karena berjiwa mulianya, selain itu
kecerdasan dan kejeniusannya menjadikan dirinya sebagai seorang yang gemar
menimba ilmu. Pembentukan karakter yang dibimbingan Ibundanya, menjadikan Imam
Ahmad ibn Hanbal sebagai seorang berkarakter teguh, optimis, percaya diri
terhadap apapun yang ia lakukan, terutama dalam riwayat pendidikanya.[16]
Seperti halnya
pendahulu-pendahulu serta guru-guru imam Ahmad ibn Hanbal, aktifitas
keseharianya lebih dominan yang berorientasi pada duunia keilmuan sebagai bekal
di dunia dan akherat. Imam Ahmad ibn Hanbal lebih menyibukan diri pada keilmuan
dalam usaha pencarian ilmu yang dilakukannya, adapun aktifitasnya dalam ranah
duniawi –perdagangan dan penjual jasa- tidak lain untuk membiayai pendidikanya.
Diceritakan suatu ketika Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengadaikan sandalnya
untuk dibelikan makanan, bahakan dirinya rela menjadi kuli panggul,[17]
pengantar barang dan juga sebagai penjual jasa pencatatan naskhah dikarenakan
tulisan Imam Ahmad terbilang bagus.[18] Karirnya
dalam dunia pendidikan terbilang sangat mengagumkan, dirinya rela
berpindah-pindah daerah untuk menimba ilmu, juga silih berganti-ganti majikan
yang memperkerjakannya untuk diganti uang maupun makanan sebagai imbalan atas
kerjanya. Secara kuantitas sebagian besar khazanah keilmuan yang didapati Imam
Ahmad diperolehnya melalui para ulama Baghdad, yang mana ia memperoleh ilmu
hadis melalui Hasyim ibn Basyir ibn Abu Hazim al-Wasiti, imam Ahmad belajar
kepadnya selama empat tahun[19]
yang mana pendidikan tersebut kali pertamanya imam Ahmad ibn Hanbal mempelajari
Hadis, saat itu ia baru berusia lima belas tahun.[20]
Akan tetapi sebelum Imam Ahmad memfokuskan diri dalam bidah hadis, ia lebih
dahulu kenal dengan sorang ulama serta hakim agung dari pemerintahan dinasti
Abbasiyah[21]
yaitu Abu Yusuf al-Qadhi denganya Imam Ahmad belajar akan pengantar tentang
keilmuan yang bersangkutan dengan hadis,[22]
selain itu Abu Yusuf merukan Ulama yang beraliran Rasionalis sebab ia termasuk
salah satu murid Abu Hanifah[23]
dan juga belajar kepada Muhammad ibn Hasan. Dari dua ulama tersebut Imam Ahmad
mengenal pemikiran kedua tokoh tersebut melalui karya-karya mereka, bahkan imam
Ahmad terakui sebagai seorang murid yang benar-benar paling mampu memahami
karya-karya gurunya ketimbang diri mereka sendiri.[24] Ketika
menginjak umur dua puluh tahun, ia pergi menggembara ke Basrah, untuk mencari para guru hadis dan
disana Imam Ahmad bermukin semala satu tahun, di Basrah imam Ahmad mendengarkan
hadis dari Sulaiman ibn Harb dan Abu an-Nu’man Arim pada tahun 194H.[25]
Setelah itu pengelanaanya dilanjutkan dengan tujuan yang sama kewilayah Hijaz,
disanalah pertemuan dirinya dengan sang guru Imam Syafi’i. Peretmuanya dengan
Imam Syafi’i tidak disia-siakan Imam Ahmad, ia pun mulai mempelajari Hadis dari
sang guru dengan cara mendengarkanya, ketika itu majlis ta’lim imam Syafi’i
diselengarakan di Masjidil Haram. Dikesempatan lain imam Ahmad kembali ke
perkampunganya di Baghdad, akan tetapi kepulanganya ke tanah kelahirannya
tersebut tidak mampu membendung kehausaanya terhadap ilmu. Imam Ahmad dilain
waktu kembali lagi ke Hijaz untuk kedua kalinya, berbeda dengan misi yang
pertama, Imam Ahmad di pengelanaanya ke kedua kalinya ke Hijza bertujuan untuk
belajar hadis kepada Imam Malik (pemikir tradisionalis) dan kepada imam Al-Laits
ibn Sa’d Al-Mishri yang tidak lain merupakan murid dari Imam Abu Hanifah
(pemikir rasionalis). Tidak sampai disitu saja, pengelanaan Imam Ahmad dalam
rangka sebagai pencari ilmu dan Hadis pada umumnya, Imam Ahmad pun melanjutkan
pengembaraanya menuju Yaman. Disana ia hendak bertemu dengan seorang ilmuan
terkenal yang bernama Abdurrazaq ibn Hammam, tidak laian merupak orang yang
pernah dia kenal saat pertemuannya dengan Abdurrazaq pada musim Haji, ia
dikenal oleh Imam Ahmad sebagai orang banyak memiliki hadis. Dari alasan itulah
imam Ahmad memantapkan dirinya untuk bermuqim di Yaman guna mendapatkan hadis
dari Abdurrazaq. Dari semua yang dilalui dan dilakukan Imam Ahmad, nampaknya ia
masih belum mersa kenyang ats ilmu yang telah ia dapati, sehingga menjadikanya
berhasrat selalu keluar dari tanah kelahiranya untuk mencari ilmu, seperti
perjalananya ke Khurasan, Persia dan Tursus dan di daerah-daerah lainya yang
dimana ia mendengar terdapat periwayatan hadis di daerah tersebut.[26]
Atas jeriah payah yang
telah ia lalui, menghantarkan dirinya sebagai seorang ulama yang dikenal, saking
antusianya terhadap keilmuan dan majlis ta’lim ia bahkan pernah dilantik
menjadi anggota tetap pada kelompok diskusi Qadli Abu Yusuf. Selain aktif dalam
diskusi kelompok Abu Yusuf, imam Ahmad juga aktif di kelompoh diskusi imam
Syafi’i, pada saat imam Syafi’i berada di Baghdad.[27]
Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling terkenal di Baghdad.
Popularitasnya berdasarkan kekagumanya terhadap kebesaran dan keluasan ilmu
imam Syafi’i, sehingga menjadikan dirinya sangat giat serta antusias mengikuti
pengajian kelompok diskusi Imam Syafi’i, bahkan kemanapun imam syafi’i
berpindah imam Ahmad ibn Hanbal dapat dipastikan mengikuti langkah imam
Syafi’i, hanya pada saat Imam Syafi’i berpindah ke Mesir, Imam Ahmad tidak
mengkuti gurunya itu. Kekonsistenan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam mengikuti
kelompok diskusi Imam Syafi’i, membawanya menjadi seorang yang istimewa karena
kedalaman ilmu fiqh dan hadis. Bahkan kualitas penguasaan fiqh Imam Ahamd tersebut
mendapat pengakuan dari Imam Syafi’i dan Yahya ibn Ma’in.[28] Selain
dari pihak guru, dari kalangan
teman-temannya ikut memberikan pengakuaan atas keteguhanya sehingga imam Ahmad
ibn Hanbal dikenal sebagai penghafal hadits, pembela dan pengumpul
hadits-hadits yang berserakan, disamping itu Imam Ahmad juga mendapatkan
penghargaan atas pembendaraan hadis yang ia miliki dengan menyandang gelar Amirul-Mu’minin
fil-Hadis.[29] Salah
satu contoh karya monumental sebagai bukti kekayaan hadis yang ia miliki yaitu
Musnad yang memuat tiga puluh ribu hadits.[30]
Bahkan diceritakan kitab tersebut merupakan seleksi dari 750.000 hadis.[31]
Selain Musnad salah satu karya Imam Ahmad ibn Hanbal, ada beberapa lainya,
diantaranya:
I.
Karya-karya
Imam Ahmad bin Hanbal.[32]
1.
Kitab Tafsir Al-Qur’an
2.
Kitab Nasikh
wa Mansukh
3.
Kitab al-Muqoddam
Wa al-Muakhkar fi Al-Qur’an
4.
Kitab Jawabu
al-Qur’an
5.
Kitab
at-Tarikh
6.
Kitab Manasiku
al-Kabir
7.
Kitab Manasiku
al-shagir
8.
Kitab al-Illah
9.
Kitabal-Shalah
Setelah lama
pengelanaannya untuk mencari ilmu ke berbagai negara, Imam Ahmad kembali ke
tanah kelahiranya, disana ia mengabdi di Istana. Mulai dari masa itulah, Imam
Ahmad mulai menonjolkan kemampuan intelektualnya, bahkan terbilang berbeda pada
umumnya seorang ulama di masa itu. Hal ini kemungkinan besar sebagai cikal
bakal perbedaan dari produk pemikiran yang ditawarkan oleh imam Ahmad –yang
pada akhirnya diakui sebgai landasar dan haluan pemikiran madzhab Hanabilah-
untuk merubah tatanan sosial yang pada saat itu dinilai oleh imam Ahmad sebagai
suatu tatanan yang telah melenceng dari syari’ah dan hadis Nabi.[33]
Sebagai intelektual muda,
imam Ahmad dikenal sebagai seorang yang Zuhud, bersih hatinya dan
berwawasan luas namun tetap rendah hati. Disetiap diskusi yang diadakannya,
imam Ahmad tidak gengsi maupun malu untuk meralat pendapatnya ketika terdapat
jelas pendapat orang lain lebih benar,[34]
dalam hal ini dapat dianalisa bahwa terdapat pengaruh pemikiran golongan
rasionalis telah mewarnai intelektualitas Imam Ahmad. Sebagai seorang yang
telah masyhur sebagai ahli hadis, imam Ahmad semasa hidupnya selalu
menpraktekkan ajaran yang terkandung dalam hadis, bahkan menurut Nasihun, imam
Ahmad bukan saja hanya menghapal suatu hadis tetapi ia pun mengamalkan isi
hadis tersebut.[35]
Kondisi sosial-politik
pada masa Imam Ahmad terbilang sangat kacau, lantaran pada masa itu ritus-ritus
maupun aktifis yang tergolong bid’ad tumbuh subur, sedangkan kedudukan
agama dijadikan sebagai komoditas yang berimbas terhadap sendi-sendi agama
menjadi tidak stabil bahkan dapat terbilang telah melenceng dari rel keagamaan.
Tidak cukup di situ, Nasihun mengambarkan
pada masa itu peran para ulama kebanyakan pada masa itu menjadi
institusi yang selalu melegitimasi dan menjustifikasi kehendak penguasa, yang
mengamdung misi penyelamatan jabatan mereka agar tetap eksis dipegang oleh
penguasa tersebut, juga telah terjadi ketumpuan hukum di pihak para ulama
sedangkan mereka sebagai badan penegak hukum baik hukum agama maupun negara,
mereka juga seringkali menutup mata terhadap kemungkaran dan kelaliman
disekeliling mereka.
Masa itu terbilang
sebagai kerusakan dalam tatana kehidupan secara global, lantaran telah ramai
bahkan menjadi hal yang lumrah adanya, ketika orang yang berpendidikan tidak
memberikan keilmuan mereka melainkan mencelakakan oarang-orang yamg tidak tahu,
para oknum maupun komunal penganut faham kapitalisme kendati mereka muslim,
disibukan dengan menimbun emas dan perak sedangkan mereka tidak tahu
mempergunakan harta mereka bahkan terbilang enggan memperbelanjankan herta
mereka demi kemaslahatan agama maupun negara. Bukan hanya itu saja, sebagin
dari kalangan wanita maupun laki-lakirela menjerumuskan diri mereka ke lembah
kehinaan dalam rangka mendapatkan kehidupan yang dirasa baik dan layak,
meliputi makanan, minumam, pakean dan rumah. Tidak jarang mereka rela berteman
dengan kemunafikan dan berkoslisi dengan kejahatan, semua itu terbungkus dalam
bujuk rayuan yang melenakan dan penipuan yang mengiring mereka untuk
meninggalkan kesejateraan hidup yang dihalalkan.
Bahkan dalam lingkuangan
kerajaan (ke-Khalifahan) jauh dari prilaku bahkan adat para ulama terdahulu
yang lebih mengedepankan kesederhanaan, ketawadlu’an, sebaliknya mereka merasa
gengsi untuk menjalankan amaliyah sunnah Nabi dan penerus ajaran Nabi yang
syarat moralitas tinggi dan kesederhanaan utuh. Keadaan tersebut dapat dietahui
dari prilaku mereka –para khalifah- yang tercontohkan pada pesta-pesta
perkawinan putra mahkota yang sangat mewah dan bernilai israf terhadap pembelanjaan harta kerajaan,
terbikti disetiap undangan yang dibagikan kepada para pemuka masyarakat,
didalamnya terlampir sebuah cek hadian yang berisikan harta benda, hamba perempuan, hewan kendaraan
dan juga intan berlian. Dan keadaan masyarakatnya yang hidup berhamburkan uang
dinar, dirham dan berlumurkan minyak misk dan ‘anbar.[36]
Semua itu menjadikan imam Ahmad untuk memutuskan selalu berpegang teguh pad nas
Al-Qur’an dan Sunnah.[37]
Dalam ranah politik, pada
masa itu kekuasaan kekhalifahan berada di tangan khalifah Al-Makmun khalifah
Dinasti Abbasiyah, yang mana Al-Makmun melakukan tindak pemaksaan keyakinan dan
paham rasionalisme Mu’tazilah kepada semua ilmuwan yang diperjelas dengan cara
menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara. Salah satu ketetapan
konstitusi-doktrinalnya yaitu memaksa menyakini bahwa Al-Qur’an bersifat
makhluk, kendati demikian Imam Ahmad tetap tidak tunduk untuk merubah
keyakinannya bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah (firman Allah) yang
bersifatan Qoadim. Dari kekukugan dan kegigihan memegang pendapatnya, Imam
Ahmad rela mendapat konsekuensi berupa penyiksaan oleh pemerintahan.[38] Sebab
keruwetan yang konstan tersebut, imam Ahmad berhasrat membuat suatu pegangan
yang kokoh supaya kehidupan berkeagamaan tidak mudah goyah, yang mana hal tersebul
bertujuan memberikan pemahaman yang mengesankan bahwa dirinya membenci
kehidupan yang telah menympang dari nilai-nilai yang diajarkan Nabi Muhammad
SAW dengan cara menjadikan hadis sebagai pegangan utama dalam menentukan hukum.[39]
Oleh karena itu imam Ahmad ibn Hanbal menglahirkan konsep pemahaman terhadap
hadis sebagai suatu pegangan utama serta karena hadis menenpati posisi uatama
dalam pemutusan hukum, imam Ahmad memberikan suatu landasan-landasan pokok
haluan dalam menempatkan hadis. Adapun nilai dasar pergerakan yang dilakukan
Imam Ahmad selaku pembela sunnah, Nasihun Amin memaparkannya sebagai berikut:
Bagi Imam Ahmad, pokok pakal sunnah ialah memegang teguh dang mengikuti dengan
sungguh-sunggh apa-apa yang pernah dilakukan oleh para shahabat Nabi dan serta
menjauhi atau meninggalkan perbuatan bid’ah. Kareana menurut Imam Ahmad, bahwa
perbuatan bid’ah dalam urusan agama merupakan tindakan yang sesat bahkan dapat
menyesatkan sedangkan konsekuensi dari perbuatan bid’ah tersebut ialah masuk
neraka, pemhamanhya berarti semua alhi bid’ah tempat kembalinya di Neraka.
Selanjutnya, Imam Ahmad memberikan ultimatum kepada masyarakat untuk menjauhi
bahkan melaran untuk berdiskusi apalagi bertukar pikiran pikran dengan
orang-orang ahli bid’ah dalam urusan agma, bahkan berkawan dengan mereka pun
dilarang. [40]
Dengan demikian imam
Ahmad dapat digolongkan sebagai seorang ilmuan hukum yang paling tekstual dalam
memahami Al-Qur’an dan Sunnah, dengan kata lain imam Ahmad merupakan seorang
ilmuan yang bercoka fiqh fundamentalis.[41]
Salah satu contoh tentang pemahaman tekstual dalam corak fiqh fundamentalnya
terhadap hadis, yaitu hadis yang menerangkan bahwa Nabi pernah melakukan bekam
dan memberikan satu dinar kepada tukang bekam tersebut, Imam Ahmad pun
mengamalkan isi hadis tersebut sesuai pemahamnaya yang diimplementasikan secara
aplikatif sesuai perbuatan yang dilakukan Nabi -melakukan bekam dan memberikan
uang satu dinar kepada tukang bekam- dalam hadis tersebut.[42]
Dari penjelas tersebut, imam Ahmad dikenal juga sebagai seorang fiqh as-Sunnah,
lantaran pemahamnnya murni benar berdasarkan apa adanya kabar yang terdapat
dalam hadis, pengaruh tersebut hingga memberikan lebel terhadap madzhab yang di
kenal sebagai Madzhab Fiqhu al-Sunnah-Fundamentalis. Sebagai pembela hadis Nabi
Muhammad yang sangat gigih, tidak kenal takut dapat dilihat dari bagaimana Imam
Ahmad menggunakan cara-cara untuk menentukan hukum, yang mana ia tidak
menggunakan Akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
Seperti pada umunya seorang tokoh pembaharu dalam agama dan tentunya
intelektual, Imam Ahmad tidakjauh berbeda juga mempunyai suatu konsep, teori
bahkan aplikasi secara teksi tentag pemikirannya. Dari itu, terkandunglah
sebuah dasar-dasar pokok untuk beristimbat yaitu: Al-Quran; al-Sunnah; pendapat/fatwa
sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat
seorang atau beberapa sahabat dengan syarat sesuai dengan Al-Quran serta Sunnah;
Hadits mursal dan dhaif dengan catatan bahwa tidak ada dalil yang
menghalanginya; dan Qiyas. Secara jelasnya Nasihun Amin memaparkan sebagai
berikut:
I.
Al-Quran dan
al-Sunnah, jika telah terdapat ketentuan yang terkandung dalam dua sumber
tersebut secara tersurat, maka pemahaman tersirat harus diabaikan. Dengan
alaasan, bahwa pemahaman tersirat sangat rawan dimungkinkan justru akan dapat
keluar dari apa yang dikehendaki oleh pemahaman tersurat. Sedangkan Sunnah
sendiri menpunyai posisi sebagai pelengkap dan penjelas bagi Al-Qur’an.
II.
Pendapat atau
fatwa shahabat, yang diketahui tidak adanya penentangan dari shaahabat lain
atau dalam arti disepakati oelh shahabat lain. Dengan alasan, bahwa shahabt
merupakan orang yang terdekat dengan Nabi Muhammad, maka fatwa shahabat pun
dianggap sebagai hadis yang harus diamalkan jika memang benar periwayatannya,
lebih khusus dari Khalifa al-Rasyidin, hal ini tentunya jika tidak ada
nas dalam masalah tersebut. Atau dengan pehaman bahwa shahabat dapat dipastikan
tidak melakukan kesalahan sebab pastinya akan terdeteksi oleh Nabi sekalu
pemberi dan penilai terhadap implikasi ajaran yang dilakukan para shahabatnya.
III.
Jika terdapat
perbedaan di antara para shahabta, makan yang harus dipilih adalah pendapat
yang dinilai paling sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun jika ternyata
pendapat tersebut tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka
pendapat tersebut tidak akan dapat menetapkan salah satunya akan tetapi harus
mengambil sikap dia, atau meriwayatkan keduanya.
IV.
Hadis Mursal
dan Hadis Dhaif, dapat diterima diambil sebgai dasar hukum sekiranya tidak ada
dalil yang menghalanginya. Adapun maksud Dhaif disini ialah bukan dhaif dalam
arti yang batil dan yang mungkar, akan tetapi hadis yang tergolong shahih atau
hasan yang beluh jelas kedudukan kualitas hadis tersebut. Karena menurut imam
Ahmad kualitas kedudukan hadis hanya dua; Shahih dan Dhaif. Sedangkan
penggunaan hadis semacam itu lebih utama daripada menggunakan Qiyas.
V.
Qiyas,
Ini merupakan cara tingkatan
terakhir dalam dasar-dasar pokok istimbath yang imam Ahmad gunakan. Qiyas
digunakan apabila tidak didapatkan sumber-sumber tersebut seperti diatas, maka
penggunaan atau pengambilan qiyas apabila sudah dalam keadaan terpaksa
(dhorurat).[43]
Qiyas tersebut merupakan cara untuk beristibath hukum terhadap sebuah persoalan
baru dengan cara menialai hukum atau masalah yang tidak ada nshnya dengan
masalah yang sudah ada nashnya hal ini berdasarkan karena persamaan dalam aspek
‘illatnya.
Mengenai sikap intelektualnya, Ahmad Ibn Hanbal pernah berkata : Laa
tuqallidiniy wa laa maalikan wa laa al-syafi’iya wa laa tsauriyya wa khuz min
haitsu akhazu.[44] Ahmad
bin hanbal berpendirian dan bersikap keras perbuatan “taqlid” dan orang yang
bertqlid dalam urusan agama, sebagaimana pendirian dan sikap para ulama besar
yang hidup di masa sebelumnya.
Ahmad bin Hanbal
menjelaskan referensi fiqihnya dengan meringkas ucapannya ketika mendifinisikan
agama, lantas dijadikan sebagai referensi fundamental yang darinya mengalir
sumber hukum-hukum fiqih. Dalam pemikiranya Agama adalah kitab Allah, Sunnah,
Atsar serta riwayat yang shahih dari orang-orang kepercayaan yang sebagian
membenarkan sebagian lainnya. Ahmad bin Hanbal adalah orang yang sangat
berpegang kepada sunnah Rasulullah karena sunnah itulah yang menafsirkan Quran
dan hukum-hukumnya. Maka tidak heran bila beliau menjadikan Al-quran dan sunnah
sebagai sumber hukum pertama, karena beliau tidak mengakui adanya pertentangan
antara Al-quran dan sunnah seperti yang telah dijelaskan diawal.
Imam Ahmad terkenal sangt
keras dan ketat, Kekerasan beliau itu tampaknya disebabkan karena sifat wara’
yang sangat tinggi, sehingga beliau mewajibkan kepada diri sendiri hal-hal yang
tidak diwajibkan kepada orang lain, menjauhi hal-hal yang syubhat dan
berpegang teguh kepada hukum yang ada. Sikap kepribadian Imam Ahmad nampaknya
terekam kedalam Madzhab yang dinisbatkan kepada namanya, yaitu keketatan hukum
dalam mensucikan najis.[45]
Kendati demikian
nama Imam Ahmad ibn Hanbal yang telah
melebur bersama ajaranya kedalam Madzhab Hanabilah, telah dicemarkan oleh
sebagian orang yang mana mereka mengatasnamakan diri sebagai pengikut imam
Ahmad dengan mengisukan suatu yang tidak dikatakan dan juga tidak pernah
dilakukan oleh imam Ahmad. Mereka juga menisbatkan sejumlah masalah cabang
keagamaan kepada pokok-pokok madzhab, padahal imam Ahmad tidak tahu menau.
Lebih ekstreem, mereka bahkan seringkali berkeliling kota-kota untuk menyerang
apa saja yang mereka anggap sebagai bid’ah atau kemungkaran seraya
mengemukakan apapun yang mereka khayalkan sebagai Sunnah, dan mereka juga sering
sekali menyakiti dan menyusahkan orang. Dari semua prilaku yang dilakukan oleh
oknum-oknum tersebut, menjadikan madzhab Hanabilah sebagai madzhab yang
diidentikan dengan kebodohan, eksklusivisme, ekstrimisme, dan fanatisme yang
tercela.[46]
Ahmad bin Hanbal
meninggal dunia pada hari Jum’at 12 Rabiul Awaal 241 H. Dalam usia tujuh puluh
tujuh tahun. Ia meninggal sejenak setelah mengambil wudlu. Kematiannya ini
merupakan bukti untuk kesekian kalinya atas keimamahannya, baik dari negara
maupun masyarakat secara luas.saat beliau wafat, Puluhan ribu rakyat ikut
mengantarkan jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir dan di makamkan
di Baghdad.[47]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ahmad bin Hanbal Imam yang keempat dari
fuqaha Islam. Beliau memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi, Imam umat
Islam seluruh dunia, imam Darussalam, Mufti di Irak, zuhud dan shaleh, sabar
menghadap segala cobaan, seorang ahli hadis dan contoh teladan bagi orang-orang
ahli hadits. Ahmad bin Hanbal dikenal luas sebagai pembela Hadits Nabi yang
sangat gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya dalam
memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam keadaan sangat
terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak ditemukan Hadits yang
menjelaskannya.
Di dalam pemikiran intelektualnya dalam bidang hukum, Ahmad Ibn Hanbal
menggunakan lima sumber, yaitu : Al-Quran, al-Sunnah, pendapat sahabat yang
diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seorang atau
beberapa sahabat dengan syarat sesuai dengan Al-Quran serta Sunnah, Hadits
mursal, dan Qiyas.
Apabila keketatan dalam fiqih madzhab Hanbali tampak jelas sekali dalam
berbagai perkara thaharah, maka itu dikarenakan thaharah sangat erat kaitannya
dengan kebersihan, sementara kebersihan dalam agama Islam merupakan salah satu
dasar iman.
[1] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj. Faisal Salah
dan Umar Mujtahid, al-‘Aqidatu al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai al-Arba’ah,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h.403.
[2] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: Cv. Karya Abdi Jaya, 2015), h. 85.
[3] Imam Munawwir, 30
pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, (Surabaya: PT bina Ilmu,
ttd), h. 293
[4] Kunyah merupakan
nama lain dari seseorang yang ditandai dengan adanya imbuhan “Abu” atau “Abi” brearti
“Ayah dari” berada di awal dan diikuti dengan nama anak pertama atau tertua
dari seseorang tersebut. Contoh Anak pertama/tertua dari seseorang Ayah bernama
Zaid, sedangkan nama ayah Zaid adalah Umar. Maka pengunaan Kunyah Umar
selaku ayah Zaid, yaitu Abu Zaid. Kendati tidak selalu yang digunakan nama anak
tertua dari sepasang suami istri, seperti nama Abu Hurairah yang mempunyai arti
“Ayah dari Kucing”. Abdul Aziz Ash-Shannawi, The Ministers around the
Prophet SAW, (Riyadh: Maktaba Dar-us-Salam, 2004), h. 12.
[5] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h.404.
[6] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[7] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[8] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[9] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH
ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[10] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[11] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[12] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 86.
[13] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 405-407.
[14] Abdurrahman al-Syarqawi,
Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, trj. Drs.
Mujiyao Nurkholis, A’immatu al-Fiqh al-Tis’ah, (Bandung: AL-Bayan
Kelompok Penerbit MIZAN, 1994), h. 139-140.
[15] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Loc. Cit.
[16] Ibid.
[17] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 408
[18] Abdurrahman al-Syarqawi,
Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, op. Cit. h.
144-145.
[19] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Loc. Cit.
[20] Abdurrahman al-Syarqawi,
Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, op. Cit. 145.
[21] Ibid.
[22] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH
ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op.
Cit. h. 412.
[23] Abdurrahman al-Syarqawi,
Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, loc. cit
[24] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, loc. Cit.
[25] Ibd. h. 414.
[26] Ibid.
[27] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 87, Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid
Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM, op. Cit. h. 416
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Khozin Siraj,
Aspek-Aspek Fundamental Hukum Islam, (Yogyakarta: UII 1981), hal 68,
Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM, op. Cit. h. 416
[31] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM, op. Cit. h. 417.
[32] Ibid.
[33] Abdurrahman al-Syarqawi,
Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, op. Cit.
h. 140.
[34] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN, op.cit. h. 88.
[35] Ibd.
[36] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH
PERKEMBANGAN, op.cit. h. 89, Abdurrahman al-Syarqawi, Kehidupan,
Pemikiran, op. Cit. h. 140.
[37] Ibid.
[38] Ibid. h. 90.
[39] Ibid.
[40] Ibid. h. 90-91.
[41] Ibid.
[42] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM, op. Cit. h. 421.
[43] Kh.Munawar Khalil, Biografi
Empat Serangkai Imam Madzhab, jakarta;bulan bintang, hal 322
[44] Prof. Dr. H. Abuddin
Nata, M.A., Sejarah Sosial Intelektual Islam dab Institunsi pendidikannya, PT
RajaGrafndo Persada :Jakarta, hal 49
[45] Opcit, hal 300
[46] Abdurrahman al-Syarqawi,
Kehidupan, Pemikiran, op. Cit. h. 140-141.
[47] Imam Munawwir, Mengenal
Pribadi 30 Pendekar dan Pemikiran Islam dari masa ke masa, PT bina Ilmu,
hal 311