Kamis, 13 April 2017

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN- HAK ASASI MANUSIA

BAB I
PENDAHULUAN
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN- HAK ASASI MANUSIA
A.    Latar Belakang
Kesenjangan sosial, kesenjangan hukum, kesenjangan ekonomi dan kesenjangan lainnya, menjadi isu masalah yang tidak kunjung tuntas di setiap tahunnya. Menjadikan kondisi tersebut seakan bukan semakin berkurang malah semakin menumpuk, dilihat dari sudut pandang manapun problematika tersebut tetaplah sama dalam penilaiannya “stagnan”. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya  faktor kekuasaan yang kedudukannya melangit serta kebal terhadap hukum, sehingga kesenjangan pun terus terjadi seiring perkembangan yang ada, menurut hemat penulis, hal ini dipicu adanya sistem politik yang digunakan tanpa mengemban asas dasar pelaksanaan suatu politik, yang mempunyai kekuasaannya digunakan untuk menekan yang lemah, yang memiliki kekayaan digunakan melecehakan yang miskin. Fenomena seperti itu terus berulang seiring kemajuan zaman, hal ini dipengaruhi oleh faktor nurani yang kian hari semakin berkurang dalam kepedulian, perhatian, tengang rasa, simpati, empati bahkan untuk saling berbagi pun hampir-hampir hilang di muka bumi.
Sedangkan fenomena tersebut sering terlihat di kota-kota metropolit, penampakan itu tentulah berlawanan dengan pemahaman pada umumnya tentang kondisi kota metro yang penuh dengan kemajuan hampir di segala aspek, baik pendidikan maupun perekonomian yang seharusnya jika tatanan sosial tersebut kaya akan pendidikan bahkan jengang strata, semakin juga kepekaan sosial serta pemahaman terhadap masyarakat-sosial atas kondisi yang ada, harusnya lebih mendalam, lebih peka dan lebih dapat mersa derita masyarakat dengan cara mengaktualisasikan serta mengaplikasikan keilmuan untuk membangun tatanan masyarakat-sosial yang sejatera. Disamping faktor nurani yang semakain terkikis, faktor individual (egoisme) dan paradigma pemikiran praktis serta kapitalis juga menjadi penentu perubahan kondisi masyarakat-sosial yang semakin tidak menentu. Akan tetapi semua itu dapat teratasi dan berkurang jika ditanggani secara intens menyeluruh melalui hukum kebijakan yang menyeluruh tanpa keperpihakan kemanapun.
Seperti yang diketahui, polemik tersebut telah ada sejak dahulu kala begitu juga respon penanggulangannya untuk menyikapi problem tersebut, segala cara dipraktekkan untuk meminimalisir dampak polemik tersebut bahkan sering kali berusaha untuk menghilangkannya, dari mulai ranah adat istiadat, kerajaan, keratonan bahkan parlemen pemerintahan dikerahkan. Mengingat bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang kental nuasa interaksi dalam memenuhi kebutuhnya, tidak dapat dipungkiri bahwasannya polemik kemasyarakatan dalam dunia sosial dapat dipastikan akan terjadi, baik berdampak pada individual maupun golongan. Tetapi bukan hanya pembacaan problematika masyarakat-sosial saja yang harus gencar digalangkan, lebih positif dengan gerakan riil baik melalui lembaga swadaya maupun lembaga perlindungan dalam ataupun diluar pemerintahan, seperti halnya adanya badan Hukum dan HAM sebagai bentuk wujud nyata akan kepedualian terhadap polemik yang ada, dengan berlandaskan pada undang-undang yang disahkan serta tindakan pelindungan ataupun penghukuman sebagai tindakan representatif berupa ection.
HAM seperti yang diketahui, meruakan suatu bentuk wadah kepedulian terhadap kesenjangan-kesenjangan dalam interaksi antar manusia yang bertujuan sebagai pembelaan ataupun putusan hukum terhadap pelanggarnya, dalam fungsi kegunaannya. Sebagai konsep yang disemarakan, HAM sering kali mengalami pembacaan ulang bahkan reinterpretasi menjadi konsep yang teraktualisasi pengaplikasinya sesuai dengan keberadaan akan pemahaman HAM disuatu tempat, seperti di Indonesia. HAM pernah mengalami perdebadan konsep serta pemahaman arti sebagai gagasan yang akan dipake dan diperkuat dengan landasan undang-undang. Adapun pembahsan lanjut, akan dibahas pada bab selanjutnya.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa dan Bagaimana pengertian HAM?
2.      Bagaimana penerapan HAM?
BAB II
PEMBAHASAN
1.    APA dan BAGAIMANA PENGERTIAN HAM.
Hak Asasi Manusi menjadi isu sentral dalam berbagai perbincangan. Pengakuan, pembelaan Hak Asasi Manusi sering kali digunakan sebagai dalil dalam segala pemberontakan, kerusuhan, kriminalitas, ekstrimisme dan kerugian lainnya, bahkan tidak jarang digunakan sebagai alat untuk mencari pembenaran. Akan tetapi relita tersebut ancap kalai kurang mendapat perhatian dari masyarakat, sehingga HAM pun menjadi kambing hitam sebagai senjatan tempur untuk mengalahkan bahkan menghancurkan rival politik maupun perekonomian. Meskipun demikian masyarakat tidak mengatahui bahwa sejatinya mereka -yang mengunakan HAM sebagai alat kepentingan pribadinya- bukan sesuai dengan dalil yang mereka gunakan, melainkan semua itu wujud dari pelanggaran HAM yang mereka lakukan.
HAM sebagai konsepsi untuk kepentingan umat serta penghapusan kesenjangan dalam sosial-masyarakat sampai sekarang masih ada yang beluh dapat memahami betul tentang Hak Asasi Manusia, terutama dalam istilah “Asasi”, menurut hemat penulis hal ini penyebab adanya pemanfaatan oleh oknum terhadap HAM sebagai senaja ampun memenangkan tujuannya. Dimana Hak asasi manusia belum dapat dipahami oleh masyarakat luas, selama itu pula hak asasi manusia akan selalu digunakan oleh oknum negatif. Maka sebab itu, tentulah sangat perlu bahkan urgen adanya kajian yang mendalam untuk mencari kesimpulan maksud dari rekdasional HAM terutama yang masih menjadi pemahaman keliru istilah “ASASI” di masyaraka. Karenanya perlu adanya kajian redefinisi seara akademis untuk mengungkap hak asasi manusia, agar nantinya dapat diterapkan sesuai dengan keadaan suatu tempat tersebut.
Asalan perlu meredefinifi dan memahami redaksional HAM dikarenakan istilah tersebut merupakan turunan (terjemahan) dari berbagai istilah asing, Human Rights (bahasa jerman), Mensen Rechten (bahasa Belanda). Selain HAM, terdapat juga istilah yang dinilai pada kata dari HAM, yaitu Hak Dasar Manusia (HDM), tidak berbeda jauh dengan HAM, hak dasar manusia juga istilah turunan dari istilah Fundamental Rights (bahasa inggris) dan Grond Rechten (bahasa Belanda)[1]. Sebab itu tentulah dapat dijadikan perhatian bahwa antara hak “asasi” manusia dan hak “dasar” manusia memiliki perbedaan yang sangat tipis, untuk dapat menggunakan istilah HAM tetulah perlu ditegasan penggunaan pengertian mana yang tepat dalam menginterpretasikannya, sehingga nantinya tidak ada kesalahan penggunaan pengertian tersebut antara HAM atau HDM, serta agar tidak terjadi bias pemaknaan secara kontekstual ataupun implementasi dalam tatanan pengaplikasiannya.
Redefinisi sangat lah penting diperlukan untuk dapat menentukan posisi HAM yang tepat serta sebab adanya terjemahan atas HAM yang memiliki varian bahkan pengertiannnya dalam hukum di Indonesia. Lebih lanjut, penulis akan mengulasnya sesuai dengan data yang didapat. Antara ketetapan MPR, Undang-undang HAM dan Undang-Undang peradilan HAM terdapat perbedaan redaksional serta subtansional dalam definisi HAM. Dari perbedaan tersebut terkandung problematika yuridis tentang pertanyaan posisi yang tepat terhadap pengaturan masalah HAM dalam hukum posistif di Indonesia. Menurut Jazim dan Mustafa, problematika yuridis yang paling terakhir sangat perlu dikaji sebab implikasi yuridis dari penegakan HAM akan berdampak luas yang dapat mempengaruhi semua khalayak umum.[2] Sebagai awal pembahasan istilah ‘asas’ dalam rekadi HAM, penulis sertakan contohnya; ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM:
“HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai kerunia Tuhan Yang maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.”
          Redaksi di atas terlihat memiliki kesamaan dalam memberikan pengertian antara “hak dasar” dengan “hak asasi” yangmana dalam pemahaman  bahwa hak “dasar” manusia tercakup dalam hak “asasi” manusia, meliputi semua sifat kodratiyah dan universal manusia atas karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan sifat-sifat tersebut berperan sebagai lantaran dalam usaha menjamin kelangsungan, merdekan, perkembangan manusia dan masyarakt. Akan tetapi, bahwasanya terdapat sifat-sifat yang tidak kodrati dan juga tidak universal yang malahan juga masuk dalam wujud suatu hak asasi.[3] Kendati demikian menurut penulis redaksional tersebut masih perlu pemahanan yang jelas secara redaksionis serta semantiknya. Merupakan suatu keharusan akan hal itu, guna sebagai respon menjauhkan kesalah fahaman dalam arti dan pengunaan pengertian HAM secara aplikatifnya, maka dari itu merupakan alasan kenapa harus adanya redefinisi. Jangan sampai ada kata gerakan penghijauan tetapi disisi lain tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM dengan penggusuran tempat tinggal tanpa adanya relokasi yang pantas dan lebih baik dari yang sebelumnya.
          Menurut sejarah yang ada, potret penegakan HAM merupakan mosaik bagi perjuangan sebuah kemerdekaan, kebebasan, keadilan, persamaan, persaudaraan, perdamaian dan perlindungan. Pada mulanya praktik pelanggaran HAM beranjak dari sikap superioritas primordialistik kelompok tertentu yang didukung oleh intrumen rasisme, bahasa, agama dan stratifikasi sosial serta berbagai penyimpangan lainnya. Maka dari itu, tentulah menjadi keharusan dalam menela’ah lebih jauh akar kata dari ideom HAM tersebut agar dapat diterapkan di Indonesia sesuai dengan kondisi yang ada, dan tidak hanya memahamai HAM sepeti pehamanan konsep HAM oleh Barat yang hanya dipandangan sebagai produk sejarah dan pemikran ideologis serta alat kepentingan politik semata. Seperti yang diungkap di awal, bahwa HAM merupakan pemahaman dari terjemahan istilah-istilah bahasa asing yang di poles ulang dengan istilah bahasa ibu tetapi belum dapat mewakili pemahaman yang pas terhadap realitas di Indonesia.
Pada dasarnya istilah HAM dibahasa-bahasa asing tidak sama bahkan terbilang ada penambahan kata dari terjemahan istilah “Droits del homme” (bahasa Prancis), “Human Rights” (bahasa Inggris) dan “Mensen Rechten” (bahasa Belanda).[4] Bila ditelusuri perkata maka akan dapat mengetahui perbedaan dari istilah asli dangan istilah hasil terjemahan, seperti human, mensen dan rights, rechten yang mana bila dilacak dari segi etimologis kata tersebut tidak sama dengan terjemahan istilah HAM di Indonesia, sebab human, mensen mempunyai arti Manusia dan rights, rechten mempunyai arti hak-hak, bila diungkapkan berartikan “Hak-hak Manusia”. Begitu juga pada istilah droits del homme yang mempunyai arti “hak-hak Manusia”[5] bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, akan tetapi yang menjadikan tanda tanya adalah kata “asasi” dalam istilah Hak “Asasi” Manusia, dari mana kata asasi menjadi pemahaman penerjemahan istilah-istilah bahasa asing yang dijadikan istilah di Indonesia (HAM).
Maka dari itu, penulis mencantumkan tiga metode pendektan[6] sebagai cara memahami istilah HAM di Indonesia; pertama pendekatan bahasa, pendekatan sejarah dan pendekatan hukum.
Pertama. Pendekatan bahasa, kata “asasi” berakar kata dari “asasun” dalam kamus bahasa Arab berarti asas, dasar. Yang mana kata asasun mengandung sifat atau persifatan dasar, mendasar, menurut dasar[7] bahkan bersifat murni. Secara sederhana, istilah HAM yang sekarang lazim digunakan dipengaruhi bahkan berasal dari terminologi bahasa Arab dalam konteks Al-Huquq al-Asasiun al-Insaniyah[8], kendati demikian dari kalangan sarjanah kebanyakan lebih sering menguakan istilah; hak-hak manusia, hak dasar manusia, hak fundamental dan lain sebagainya. Dilihat dari kegunaan dan kepantasan bahasa, kata asasi dalam istilah HAM, lebih tepat dimasukan ke istilah HAM sebagai penguat sekaligus penjelas dari unsur hak-hak yang terdapat pada manuisia. Karena kandungan makna dari kata asasi bersifat kodrati, universal, tidak dapat dicabut dan tidak dapat dipindah tangankan dengan alasan sebab bawaan bukan buatan. Sedangkan jika di rangkai dalam hak asasi, makan muatan maknanya menjadi hak-hak yang melekat pada manusia secara kodrati di setiap makhluk yang bersosok biologis sebagai manusia yang memberika jaminan moral dan legas kepada setiap manusia dalam bentuk kebebasan mengekspresikan serta mengeksistensikan dirinya dalam erbagai hal; kebebasan sebuah penghambaaan, dari penindasan, dari perampasaan, dari penganiayaan, ataupun perlakuan apapun yang menghalangi hidup seseorang bahkan sekalipun hanya merugikan. Lugasnya, bahwa asasi disini merupakan suatu ketetapan yang tidak dapat dihilangkan, dicabut, dipindah tangankan yang ada sebagai fitrah dari ALLAH Subhanallahu Wa Ta’ala yang wajib dijaga dan dihormati tanpa adanya diskriminasi dari atau kepada pihak lain.
Kedua. Pendekatan Sejarah, menurut Subhi Mahmassani,sejarah perkembangan pemikiran tentang HAM -atau sebutah asli hak-hak manusia- dapat dilacak dari zaman adat kuno (masa Jahiliyyah) dimana adanya pengakuan terhadap hak untuk hiduap, hak kawin dengan cara membeli istri, hak poligami dan hak melakukan penuntutan di depan kepala suku.[9] Demikian juga yang terjadi pada masa Yunani dan Romawi kuno, semisal para filosof Yunani mengatakan bahwa perbudakan merupakan hal yang alamu dan diperlukan untuk kelangsungan kerja dalam perekonomian pada waktu itu dan banyak linnya. Sejarah mencatat, diskursus dewasa ini, semakin mendapat tempat dalam praktiknya tepatnya pada masa pertengahan dimana Rasulullah Muhammad SAW muncul sebagai the founding father konsep HAM dalam agama islam dengan cara mengakomodir nilai-nilai HAM yang tertuang dalam Piagam Madinah (622M)[10] yang mana dalam piagam tersebut tertera banyak poin; prisnsip pesamaan, prinsip demokrasi, prinsip keadilan, prinsip hak kebebasan memilih agama, prinsip konstitusi, prinsip kerjasama. Menurut Franz Magnis Suseno, yang dikutip oleh Jazim Hamidi, perkembangan paham HAM –menggunakan “asasi” di dalamnya- pertama muncul pada adab ke-17 di Inggris yang mana dipengaruhi oleh zaman dan lingkuangn pada masanya, tapatnya di ambang zaman modern, akan tetapi saat itu, HAM belum dirumuskan sekaligus, maliankan ketergantungan pada situasi yang menantang, anaman atau rangsangan social khas sebuah konteks tertentu. Seperti halnya yang terjadi pada abad ke 17 tersebut, dimana masyarakat tersebut pada masa itu berhadapan dengan kebrutalan absolutism raja-raja pada waktu itu. Penolakan tersebut dilandaskan pada pemahaman bahwasannya setiap manusia memiliki hak-hak sebagai manusia dalm segala kefitrahannya.
Ketiga. Pendekatan Hukum positif (normative). Dalam konteks hokum positif Indonesia, pengaturan mengenai HAM –dengan istilah yang beragam- dapat ditemukan dalam konstitusi. Secara eksplisit, UUd 1945 belum mengenal istilah HAM, akan tetapi sudah mengenal prinsip-prinsip atau beberapa jenis dari HAM dan secara implisit sudah dijadikan normatif dalam beberapa pasal. Seperti hak berserikat atau berkumpul tertera pada Pasal 28, hak beribadat dan menjalankan syari’at agama tertera pada Pasal 29, hak mendapatkan Pendididkan pada Pasal 31. Pada konstitusi RIS 1949. Secara eksplisit telah mengatur masalah ersebut, tetapi dengan sebuatn istilah Hak-hak Dasar Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia.[11] Sejauh perkembangan yang ada, HAM telah mengalami berbagai redefinisi disetiap masanya bahkan tanpa meninggalkan pertimbangan dari berbagai ahli terkaiat redaksional HAM. Sedangkan ketetapan definisi yang dinilai pantas digunakan sebagai landasan undang-undang dalam wujud dari tindakan kepedulian terhadap HAM, adapun definisi yang pandas dalam menguak arrti HAM, tertuang dalam rumusan UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No.Tahun 2000. Sebab masing-masing mencakup akan makna HAM, adapun redaksional tersebut, sebagai berikut
“HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, diri manusia, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”  
HAM. Seperti yang pernah disinggung di atas,  bahwa HAM tidak lain merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri setiap manusia atas segala penghormatan serta penjagaanya. Meskipun demikian, masih sering ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM. Untuk dapat menjadikan pemahaman yang lebih mendalam dalam konteks kewarganegaaran di Indonesia, tentulah lebih baiknya dapat memahami semua landasan UU dan ideologi bangsa, sebab agar nantinya penerapan serta aplikasi tentang HAM itu dapat berfungsi sesuai dengan kegunaanya.
Pancasila, seperti yang telah diketahui. Merupakan ideologi bangsa yang merangkum semua kontitusi dalam praktek kenegaraan kerakyatan. Selaian itu, Pancasila juga mengandung ajaran tentang hak asasi manusia.[12] Dalam kehidupan bermasyarakat-sosial dan bernegara seseorang harus dapat mengahargai dan menghormati hak orang lain, sebab manusia hidup saling bergantung dan berkaitan dalam segala hal untuk memenuhi kebutuhannya dari dasar keterkaitan dan ketergantungan itulah yang menjadikan manusia sebabai makhluk sosial serta memiliki kelemahan dalam memenuhi kebutuhan tanpa adanya bantuan pihak lain.[13] Selain itu, faktor yang menentukan agar terlaksana dan tarjalin ketergantungan serta keterkaitan yang harmoni, menurut hemat penulis tentulah perlu akan wajib mendapatkan kemerdekaan dan persamaan dalam harkat dan martabatnya yangmana hal tersebut tidak lain sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal itu, tentulah dapat menjadi dasar bagi setiap individual harus menerima HAM sebagai anugerah sekaligus sebagai amanat yang terwujud dalam Kewajiban Asasi Manusia (KAM).
Dapat dipahami, bahwa ada keterkaitan antara HAM dan KAM satu sama lain, bahkan disinilah hukum kausasitas terjadi. Ketetapan HAM akan sertamerta terwujud ataupun penuntutan untuk terwujud yang wajib dijaga, jika amanat Kewajiaban Asasi Manusia sudah dilaksanakan dengan baik dan bijak, guna sebagai alat pencapai kesejateraan bersama tanpa adanya diskriminasi dari atau kepada pihak lain dan tanpa adanya perusakan terhadap kepentingan orang laian, sejatinya orang lain juga memiliki hak-haknya sendriri.
Dalam hakikat HAM penekanan penerapannya bukan dari keegoisan pribadi atas penuntutan HAM, melainkan sebagai penjagaan keselamatan dan eksisitensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, berartikan adanya saling keteraitan, kesinambungan dan perpaduan secara seimbang antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Dalam hal ini, H. Abdul Salam memberiakan penekanan bahwa dalam menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM, merupakan kewajiabn dan tanggung jawab bersama baik antra individu non-pemerintahan, maupun pemerintahan  dan negara.[14] Dengan kata lain bahwa setiap pemenuhan kebutuhan (kepentingan) tidak boleh mengesampiangkan ataupun menggangu kepentingan orang lainnya, sebab setiap individu maupun kelompok mempunyai persaman hak dan kedudukan, karena itu pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM harus disertai dengan pemenuhan terhadap Kewajiban Asai Manusia secara Tanggung jawab atas Asasi Manusi dalam kehiduapan pribadi, masyarakat-sosial dan negara. Dari semua itu, akan terwujudnya keharmonisan antara kewajiban, tangung jawab dan hak asasi manusia secara sinergis.
Perlu ditegaskan, poin dari hakikat HAM  merupakan suatu yang tidak perlu diberikan sebab memang sejatinya sudah ada, bahkan tidak dibeli ataupun diwariskan akan tetapi HAM merupakan suatu yang otomatis ada pada diri manusia; tidak adanya perbedaan dalam pemberlakuan HAM semua individu ada dibawah atas yang sama “asas kemanusiaan”; secara harfiyah pelangaran HAM tidak dapat dilakukan sebab HAM merupkan suatu yang tetap ada tidak akan hilang dan selalu mendapatkan kebebasanya pada diri manusia.
Diatas telah banyak menyebutkan landasan HAM dan keterkaitannya dengan HDM, KAM dan TAM, bahkan redaksional defininya. Akan tetapi nampak belum terjama wujud dari HAM secara kongkrit, baik contoh maupun implikasi efek dari aplikasi pemahamn tentang HAM. I
Islam merupakan agama yang kaya akan tata cara bahkan regulasi dalam menjalani kehidupan baik dalam ranah sebagai Hamba Allah SWT maupaun sebagai Makhluk sosial, dua dimensi tersebut memberikan pengertian bahwa manusia memiliki dua kedudukan sekaligus tangung jawab yang mengahsilkan suatu hak sebagai ganjaran atas perbuatanya. Seperti yang telah banyak bahas, islam hadir sebagai pembaharu tatanan masyarakat-sosial-negara bahkan individu. Melalui ajaran yang di bawa Rasul Muhammad SAW, islam mampu memberiakan warna baru dalam kehidupan yang rumit. Berlandaskan kalam ilahiyah serta hadis Nabi, islam mampu menjawab semua problematikan yang ada, tidak terkecuali tentang HAM.
Perlu diketahui, bahwa asas akan kewajiban, tangunag jawab serta hak manusia baik selaku hamba maupun makhluk sosial banyak tertuang dalam ayat-ayat suci kalam ilahi (Al-Qur’an al-Karim) serta tidak jarang juga digamblangkan oleh hadis Nabi. Tidak hanya sebatas pencantuman kaitan dengan semua hal tersebut, lebih komplit, Al-Qur’an hadir sebagai motivator sekaligus solusi problematika tentang Ham. Adapun pion asas kemanusia dalam HAM, tertuang dalam berbagai ayat-ayat suci Al-Qur’an. Seperti yang disebutkan oleh Abu A’ala al-Maududi.[15]
1.      Hak untuk Hidup.
Setiap individu pasti menginginkan hidup meskipun dengan keadaan yang dia mampu dapati walaupun kapan saatnya ia kan mati juga. Akan tetapi kebebasan hak perolehan hidup merupakan suatu yang memang harus dijaga. Kaitan dengan kehidupan, Al qur’an menegaskan QS. Al-Ma’idah: 32.
 مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”
Ayat tersebut menegaskan bahwasanya kehidupan seseorang (manusia) sangatlah berharga, sebab satu kehidupan merupakan usur untuk menumbuhkan kehidupan yang lainya, jika unsur tersebut dihilangkan makan sisi laian kehidupan pun akan binasa, dan dalam ayat tersebut di uangkapkan bahwasanya hukum mati atau membunuh harus dengan landasan hukum yang jelas dan dasar yang kuat. Dalam ayat tersebut mengambarkan juga kondisi bila tidak adanya keadilan hukum serta tidak ada penghormatan terhadap kehidupan seseorang, maka suatu ketataan akan hacur.
2.      Hak atas keselamatan hiduap
Keselamatan merupakan asas yang diperlukan setelah diperolehkannya didapatkannya suatu kehidupan, sebab keselamat ini selaku penentu kelangsungan hidup seseorang. Ditegaskan dalam QS. Al-Ma’idah:32
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Analogi logis serta sarat akan hukum kausalitas, bahwa seselamatan hidup akan terjadi jika adanya yang mempertahankan serta kekuatan tersebut yang akan menjadikan kehidupan yang terselamatkan dimuka bumi.
3.      Penghormatan terhadap kesucian kaum wanita.
Dalam hak penghormatan atas kesucian kaum wanita, al-Maududi menjelaskan bahwa islam telah menegaskan akan kehormatan wanita dengan kesucian wanita tersebut dalam keadaan apapun wanita tersebut maka kedudukan kehormatan atas kesucian kaum wanita tetap harus dijaga. Wujud adanya penjagaan ats kehormatan terhadap kesucian kaum wanita, dalam Al-Qur’an menyebutkan sebuah ilustrasi yang memuat ancaman serta peringatan atas penghinaan terhadap kaum wanita termaktub dalam QS. Al-Isra’: 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk"
4.      Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup pokok
Disini lebih ditekankan pada tangung jawab dalam pemerintahan suatu Negara atau sektor kecil; rumah tangga, kebutuh yang dimaksud ialah kebutuhan ekonomi guna agar terkecukupannya segala yang menunjang untuk dapat melangsungkan hidup serta mengembangkan kualitas hidup bahkan keturunan. Ditegaskan dalam QS. Al-Dzaariyat: 19
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
5.      Hak Individu Ats Kebebasan
Islam secara terang menegaskan bahwa praktek primitive penangkapan orang yang merdekan untuk dijadikan budak, dijual belikan da lain-lain. Tentang hal ini Rasul SAW mengatakan sebagai berikut: ada tiga katagori manusia yang aku sendiri akan mengguatkannya pada hari kiamat. Dari ketiga ini, salah satu adalah mereka yang menyebabkan seseorang yang merdeka menjadi hamba sahaya, lalu menjual dan memakan uang hasil penjualanya” Bukhari dan Ibnu Majah.
6.      Hak atas keadilan
Hak ini, merupakan hak yang subtasial bahkan terbilang isi ajaran agama islam seperti halnya yang ditekankan oleh Ibnu Taimiyah bahwa suatu kekuasaan yang palinag penting adalah keadilan bahkan Allah akan menolong pemimpin yang adil kendati ia orang kafir, tetapi Allah tidak akan menolong terhadap pemimpin yang dholim kendati ia seorang muslim. Pada hak ini, Al-Qur’an banyak menegaskannya seperti QS.  Al-Ma’idah: 2
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا
"Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka"
QS.  Al-Ma’idah: 8
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
QS. Al-Nisa: 135.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu”
7.      Kesamanan derajat umat manusia.
Islam tidak saja mengakui prinsip kesamaan derajat mutlak sesama manusia tanpa melihat perbedaan yang ada, lebih dari itu, islam hanya mengenal perbedaan dalam kedudukan keimanan dan ketaqwaan, disebutkan QS. Al-Hujrat: 13
…….. إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ……..
“Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi ALLAH adalah yang paling bertaqwa diantara kamu sekalian.”
8.      Hak untuk menentukan kerjasama dan pemutusan hubungan kerja sama
Asas pokok dalam HAM yang ke 8 ini, ALLAH SWT telah mengaturnya dalam Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penyeimbang hubungan serta respek tindakan yang harus dilakukan dalam ranah kerjasama   dengan melihat situasi dan kondisi yang ada.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Dalam lingkaran HAM ini tamapak terang sekali bagaimana Isalm peduli terhadap gerakan HAM, bukan hanya sebagai konsep melaiankan sebagai tolak ukur terhadap pengamalan seorang mu’min dan muslim dalam mengaplikasikan ajaran mualia dalam  Islam di kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia terlihat masih perlunya pemahaman secara menyeluruh akan sebuah arti dari HAM, sebab jika keadaan ketidak tauhan hakiki gerakan HAM makan dapat menibulkan keambiguan disetiap kasus yang “dianggap” pelanggaran HAM atau sebaliknya “bukan tindakan” yang dianggap pelanggaran HAM. Seperti contoh berita dibawah ini.
Jakarta- Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendatangi kantor staf Kepresidenan (KSP) di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, senin (13/2/2017)
Meraka datang bersama korban HAM untuk menyampaikan penolakan terhadap pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) oleh pemeritah.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma menilai keberadan DKN bukan perintah Presiden Joko Widodo (jokowi) dan tidak sesuai dengan janji politik Jokowi.
“Secara teknis, DKN yang kataya sudah ada draf perpresnya itu melenceng dari beberapa aturan,” ujar Feri di kantor KSP, Jakarta, Senin (13/2/2017).
Menurut feri, pembentukan DKN dianggap tidak sesuai dengan penangaan Konflik, yakni bertentangan dengan Udang-undang Penanganan Konflik Sosial (PKS).
Terkait penanganan HAM  masa lalu, kehadiran DKN dianggap bertentangan dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000.
Feri mengatakan, kedatangannya menemui KSP untuk menyampaikan secara tegas penolakan terhadpa pembentukan DKN tersebut.
“Karena sudah sangat jelas, Ibu Sumarsih (korban) sudah menyebutkan, periatiwa-peristiwa masa lalu ini kan sudah ada, tinggal bagaimana Presiden Jokowi mengintruksikan kejaksaaan  Agung untuk penyelidikan, jadi bukan lewat mekanisme seperti yang hari ini dugagas Wiranto (Menko Polhukam),” tuturnya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Mentri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) menginisiasi pembentukan DKN untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam semangatnya, DKN memutuskan penyelesaian HAM masa lalu akan dilakukan melalui jalur rekonsiliasi, bukan jalur hukum termasuk kasus HAM berat peristiwa Trisakti dan Semanggi I, Semanggi II.
(dam)
Pada kasusu tersebut dari dua kubu Nampak masih berbeda persepsi dalam membedakan pelangaran dan tidak pelangaran, dapat dilihat dari kubu KONTRAS yang menolak didirikanya DKN, dengan alasan pembentukan DKN bukan sebagai solusi penyelesaian kasus perkara HAM sebaliknya sebagai penyalah gunakan kebijakan yang mana bertentangan dengan UU No. 26 Tahun 2000. Sedangkan dari pihak  pemerintahan yang kali ini melalui Menko Polhukam, memberikan argument bahwa pembentukan DKN untuk memutuskan penyelesaian HAM yang belum terselesaikan dengan menggunakan jalur rekonsiliasi.  Menurut hemat penulis hal inilah yang selau menjadikan HAM akan berada di tempat yang salah dan digunakan sebagai alat kekuasaan tertent dalam mengalahkan saingan yang akan dikalahkan. Perlu ditekankan problem ini dapat  merembet ke ranah SARA sebagai alat senjata.
BAB III
PENUTUP
A.    Rangkuman
HAM, HDM, KAM, TAM, seuatu asas yang salisng keterkaitan dan memiliki hokum kasualitas dalam penerapannya. Dan dalam pengaplikasianya perlulah keseimbangan disetiap pelaksanaanya, penekanan HAM berada pada definisi akan maksud dari unsur kondrat manusia yang tidak dapat dihilangkan, dirampas, dipindah tangankan, hanya dapat dijaga dengan segala tangung jawab bersama dan penghormatan yang murni, dalam islam HAM sudah ada baik konsep aturan tekis pelaksnaanya maupu praktek pelaksanaanya dan itu sudah ada sejak pertama kali wahyu turun, dengan disahkan secara konstitusi saat disahkannya piagam Madinan.
B.     Daftar Pustaka
Al-Maudui, Maulana Abu A’la, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, trj.  Human Rights in Islam, Jakarta: BUMI AKSARA, 2005.
Hamidi, Dr. Jazim, S.H., M.H. dan Mustafa Luthfi S.Pd., S.H., M.H., Civic Educaton: antara realitas politik dan implementasi hukumnya, Jakarta: PT. Gramedia Puataka Utama Kompas Gramedia, 2010.
Narmoatmojo, Dr. Winarno, M.Si, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Penerbit OMBAK, 2015.
Sjadzali, H. Munawir,  M.Ag., Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI-Press, 1990.


[1] Dr. Jazim Hamidi, S.H., M.H. dan Mustafa Luthfi S.Pd., S.H., M.H., Civic Educaton: antara realitas politik dan implementasi hukumnya, (Jakarta: PT. Gramedia Puataka Utama Kompas Gramedia, 2010), h. 209.
[2] Ibid, h. 210.
[3] Ibid.
[4] Ibid, h. 111
[5] Dr. Winarno narmoatmojo, M.Si, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Penerbit OMBAK, 2015), h. 111.
[6] Dr. Jazim Hamidi, S.H., M.H. dan Mustafa Luthfi S.Pd., S.H., M.H., Civic Educaton, Loc. Cit.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid
[10] Ibid,
[11] Ibid, h. 114.
[12] Dr. Winarno narmoatmojo, M.Si, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Op. Cit. h. 109.
[13]  H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 1990), h. 60.
[14] Dr. Winarno narmoatmojo, M.Si, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Op. Cit. h. 113..
[15] Maulana Abu A’la al-Maudui, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, trj.  Human Rights in Islam (Jakarta: BUMI AKSARA, 2005), h. 21.