BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN FIQH RASIONAL: ABU
HANIFAH
A. Latar Belakang
Hukum islam yang memahami
pembahasan dalam persoalan seputar tatacara pelaksanaan secara teknis dalam
ibadah, telah mengalami berbagai frase kedisiplinan dalam ranah keilmuan.
Dewasa ini menjadikan suatu pemahaman yang mandiri menjadi suatu disiplin
keilmuan seiring dengan perkembangan intelektual dalam dunia islam. Secara
priodik, perkembangan keilmuan Hukum Islam, sudah ada sejak Nabi Muhammad masih
hidup, akan tetapi keilmuan tersebut lebih cenderung pembahasan secara global
tentang semua persoalan agam, yangmana Nabi diposisikan sebagai sumber
penerjemah penafsir wahyu ilahi yang termaktub dalam Al-Qur’an. Hal ini
memberiakan pemahaman bahwasanya ide dan konsep
keilmuan hukum islam sudah ada, kendati belum terbentuk menjadi disiplin
keilmuan yang mandiri.
Perubahan dari berbagai fase
konsepsi hukum islam terus terjadi siring perkembangan intelektual di dunia
islam. Kebakuan akan konsep hukum islam dapat ditelusuri pada masa Dinasti
Umayah akhir sampai di awal Dinasti Abbasiyah, dimana hukum islam berubah
menjadi Al-Fiqh pada penamaannya serta konsep dalam
teknis pelaksanaannya.
Secara priodik produk
pemikiran, dewasa ini tercakup pada konsepsi produk pemikiran hukum islam.[1]
Hal ini dilihat dari perkembangan secara spesifik terkait hukum islam dalam
kemandiriannya.
Al-Fiqh dalam perkembangan yang ada, berubah
menjadi istilah baku yang familiar dikemal “Fiqh”. Secara etimologi berarti
Pemahaman, pengertian atau pengetahuan tantenag sesuatu.[2] Lebih
lanjut, Al-fiqh akbar –dalam pemahamannya- pada masa dulu
sebagai keilmuan yang berisikan tentang keimanan. Secara terminologi, Fiqh
merupakan pengetahuan tetang seseuatu serta dapat memahami sesuatu tersebut, yang
mana didominasi tentang pengetahuan keagamaan sebagai suatu cara untuk
mengatahuai dasar, kemuliaan dan keutamaan terhadap berbagai cabang keilmuan dalam
agama.[3]
Ali Yafie memberikan redaksi definisi tantang fiqh; al-ilmu bi al-ahkami al-Syar’iyyati al-‘amaliyyati
al-muktasabi min adillatiha al-tafshilyah.[4]
Setelah mengalama berbagai
fase dalam memahami hukum islam, pada akhirnya hal itu mengkristal menjadi
berbagai madzab selaku komunitas tertantu dalam perbedaan dan corak
masing-masing untuk acuan dalam perimbangan pengambilan keputusan hukum islam
dan dimasa awal madzhab kondisi masyarakat muslim memenuhi periode Taqlit dimana aktifitas Ijtihat sudah merasa tidak dilakukan, lantran
semua problematikan keagamaan sudah terjawab oleh ulam-ulama terdahulu yang
tertuang dalam karya mereka.
Seiring perkembangan yang
ada, disebabkan terdapat seleksi alam yang menjadikan madzhab-madzhab tersebut
tidak mampu bertahan lama bahkan pengikut mereka pun relatif sedikit. Hanya empat
madzhab yang masih eksis dari sekian banyak madzhab, yaitu madzhab Hanafiyyah,
Malikiyah, syafi’iyah dan Hanabilah.
Seperti yang pernah disingung diatas, setiap madzhab mempunyai ciri khas
dan corak sendiri-sendiri, adapun madzhab Hanafiyah corak pemikiranya cenderung
rasional, Malikiyah cenderung tradisional, syafi’iyah bercorak tradisional dan
Hanabilah cenderung fundamental.[5]
Abu Hanifa. sepanjang
sejarah yang ada, ia sering dinilai oleh sebagian orang murtad, melakukan
penyimpangan aqidah, kafir zindiq, dan menebarkan benih-benih kehancuran yang
diambil dari cara-cara para penyembah berhala dan penyembah api (majusi). Dan
menyebarkan isu bahwa Abu Hanifa beragama Majusi dan diselinapkan di dalam
Islam untuk membuat kerusakan di dalamnya. Sebagian lainya mengeluk-elukkan Abu
Hanifa, dengan branggapan bahwa Abu Hanifah mendapatkan seluruh hukmah dan ilmu
dari Rasulullah Saw. melalui mimpi dan pertemuan fisik.
Perbedaan pendapat yang
bertolakbelakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu di mana Abu
Hanifah hidup. Berdasarkan perjuangan, perilaku, pemikiran, keberanian yang
dilakukan Abu Hanifa sehingga dinilai kontroversial, sepakterjangnya melalui
medote pendidikannya, Abu Hanif mengajarkan untuk menggunakan akal secara maksimal.
Oleh karena itu, menurut
hemat penulis, mengetahui atau mengkaji biografi Abu hanifah dan metode yang
digunakannya dalam menggali hukum sangat menarik dikaji..
BAB II
PEMBAHASAAN
Biografi Imam Abu Hanifah.
Nama
lengkap imam Abu Hanifah adalah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zautha al-Taimy[6]
al-Kufi[7],
berasal dari keturunan bangsa Persia.[8]
Abu Hanifah dilahirkan di Kufah,[9] ibu
kota Irak,[10]
pada tahun 80 H/699M dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H/767 M[11]dimasa
kekuasaan al-Mansur,[12]
dinama bersamaan dengan tahun kelahiran calon ulama besar, yaitu Imam Syafi’i[13].
Adapun Nasab Imam Abu Hanifah dari ayahnya adalah Tsabit bin Zautha bin Maah
bin Muli Tamullah dan akhirnya Ta’labah. Ahli sejarah yang mengatakan bahwa
beliau berasal dari bangsa Arab yaitu dari Bani Yahya bin Asad, dan adapula
yang mengatakan bahwa beliau berasal dari keturunan Ibnu Rusyd Al-Anshari[14].
Ayah beliau keturunan dari bangsa Persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum
beliau dilahirkan, ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Kakek Abu Hanifah adalah
Zautha yang berasal dari Kabul (Afganistan) yaitu tawanan perang karena dia
berperang melawan Utsman bin Affan sewaktu menaklukkan Persia[15].
Penaklukan
tersebut bukan hanya di Persia tetapi sampai ke Khurasan dan Afganistan,
sedangkan Zautha termasuk salah satu pembesar negara yang ditaklukan oleh
tentara Utsman dan beliau menjadi tawanan perang, akhirnya diserahkan kepada
tentara Islam yang menang dalam peperangan tersebut. Setelah menjadi tawanan
perang ia dijadikan budak dan akhirnya bebas dari budak karena
masuk Islam. Setelah dibebaskan dari perbudakan ia menetap di Kufah
dan selanjutnya ia berdagang sutra di kota Kufah dan lahirlah anaknya yang
diberi nama Tsabit yaitu ayah Abu Hanifah[16].
Abu Hanifah hidup dalam masa dua daulah islam, tepatnya pada akhir kekuasaan
daulah Umayah dan diawal kekuasaah daulah Abbasiyah.[17]
Pada
waktu Abu Hanifah lahir, kekuasan daulah Umayyah di pegang oleh Malik ibn
marwan, dan Hajjaj ibn Yusuf sebagai Gubernur Irak, Abu Nahifah hidup selama 52
tahun di naungan pemerintah daulah Umayyah dan 18 tahun dibawah naungan
pemerintahan daulah Abbasiyah.[18]
Adapun
pendidikanya, pada mulanya ia mempelajari ilmu membaca, hadis, nahwu,
satra, puisi ilmu-kalam dan ilmu-ilmu lainya yang
populer pada masa itu. Seiring perkembangan pemikirannya, Abu Hanifah lebih
memusatkan perhatianya kepada ilmu-kalam dalam waktu
yang agak lama, sehingga is menjadi pandai dan unggul di bidang itu dan
termasuk salah seorang yang terpandang.[19]
Abu
Hanifah adalah panggilan dari Nu’man Ibnu Tsabit bin Zautha. Ada beberapa
riwayat yang menjelaskan sebab-sebab beliau di panggil Abu Hanifah, antara lain
yaitu :
a)
Karena salah
satu anaknya bernama Hanifah, maka Abu Hanifah berarti bapak dari Hanifah.
Menurut kebiasaan nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai
kata Abu (Bapak/Ayah), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah[20].
b)
Dia adalah
salah seorang yang sangat bertakwa kepada Allah dan prinsipnya tidak dapat
digoyahkan, dia tetap pada prinsipnya dan berpegang teguh pada agama Islam,
tidak tergoyah dengan bujukan apapun yang diajukan kepadanya baik itu yang
menguntungkan apalagi yang merugikannya[21].
c)
Karena paling
cinta pada tinta untuk menulis, sehingga beliau dipanggil oleh guru dan
teman-temanya dengan Abu Hanifah, karena Hanifah dalam bahasa Iraq berarti
tinta, jadi Abu Hanifah berarti bapak tinta[22].
Relita
keluarga dan hubungan Abu Hanifah dengan dunia Islam, mengharuskan dirinya
dituntut untuk menghafalkan Al-Qur’an, bertujuan sebagai persiapan untuk konsen
di bidang ilmu. Abu Hanifah merupakan pribadi yang konsen dalam membaca serta
menghatamkan Al-Qur’an, tidak jarang bahkan aktifitasnya dinilai melebihi batas
kewajaran. Disamping itu, Abu Hanifah dikenal sebagai sosok yang Zuhud, Wara’ dan
sebagai seorang yang ta’at tekun beribadah, semua hal itu tidak lain efek dari
hafalan dan renungan terhadap makna-makna Al-Qur’an yang dilakukannya.[23]
Seperti yang tercatat di kebanyakan sejarah, Abu Hanifah terkenal sebagai tokoh
salah satu madzhab fiqh berserta kemuliaan dan kejeniusannya dalam bidan
tersebut, hal ini tidak lain karena ketekunanya mempelajarai, memahami serta
mengamalkan hukum-hukum islam (fiqh) yang ia lakaukan, akan tetapi dari sekian
banyak ilmu yang ia kaji, Abu Hanifah lebih meminati disiplin keilmuan teologi.[24]
Adapun karya Abu Hanifah yang menandakan akan mitananya terhadap teologi, yaitu
al-Fiqh al-Akbar.
Dikabarkan juga, bahwa Abu Hanifah melalui pemikiran teologinya yang sebagian
besar diungkapkan dalam buku tersebut, ia dapat menangkis serangan golongan
Khawarij yang doktrin ajarannya terbilang sangat ekstrem,[25]
secara tajam dalam analisa, kecemerlangan dalam argumen dan dengan keleluasan
wawsan keilmuanya.
Seperti
yang telah disingung diawal, Abu Hanifah pernah menimba keilmuan fiqh di kufah
yang mana pada masa itu, Kufah merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang
cenderung Rasional.[26]
Hal ini sebagai unsur yang betangunag jawab atas pola pikir Abu Hanifah atas
kecenderunagannya terhadap sekema pemikiran yang rasional, menjadikan diri Abu
Hanifah terkenal sebagai ahli fiqh rasional. Dalam hal ini, karakteristik suatu
daerah terkaiat corak pemikiran dapat dianalisa. Nasihun Amin menemukan
berbagai asalan yang mendasar sebagai faktor yang membentuk karakteristik
rasional di Kufah (Baghdad) dalam bidang fiqh.[27]
1.
Sebagai pusat
pemerintahaan Abbasiyyah pada waktu itu, Baghdad merupakan sebuah kawasan yang
menjadi pusat peradaban, yang tentunya kental akan aktifitas yang bercorak
rasional. Baghdad juga merupakan kawasan metropolis denga tingkat perkembangan
dan masalah yang kompleks sehingga menuntut adanya penyelesaian hukum sesuai
dengan perihal masalah tersebut, baik persoalan lama ataupun baru.
2.
Baghdad
merupakka suatu wilayah yang pernah dikuasai Persi dengan durasi yang lama,
sehingga mempengaruhi hubungan keperdataan dan adat kebiasaan orang yang
tinggal didalamnya, yang mengandung ati bahwa karakteristik kemasyarakannya
tidak murni dari Islam.
Baghdad
merupakan kawasan yang relative jauh dari pusat produksi Hasits dan penggunan
fatwa-fatwa para shahabat yang cendrung lebih sedikit jika dibandingan di
Hijaz. Kondisi ini menjadikan Baghdad sebagai kota yang terbilang kurang dalam
rujukan sebagai dasar tumpu pemecahan masalah. Karena itu, para ahli fiqh
Baghdad dituntut memutar otak dengan berusaha keras untuk memahami pengertian
dan ‘illat
untuk menempatkan suatu hukum guna menciptakan suatu pengertian dan pemahaman
hukum yang tidak hanya terbatas pada redaksi yang terdapat dalam teks rujukan
hukum.
Islam
masuk ke negeri Irak mendapat bermacam-macam tantangan, namun berkat keuletan
para ulama dan atas pertolongan Allah, pada akhirnya agama selain agama Islam
kian hari semakin punah. Selain itu di Irak merupakan tempat timbulnya
bermacam-macam aliran-aliran filsafat, baik yang berasal dari Romawi, Yunani
dan negeri-negeri barat lainnya.
Berdasarkan
uraian-uraian tersebut diatas, maka terdapat beberapa faktor yang mendorong
atau mempermudah Abu Hanifah untuk belajar mendalami agama Islam dan ilmu
pengetahuan lainnya, yaitu :
a.
Dorongan dari keluarga, sehingga Abu Hanifah dapat memusatkan perhatiannya
dalam mempelajari serta mendalami ajaran Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan
lainnya, termasuk mempelajari bahasa Arab[28].
b.
Keyakinan yang mendalam tentang ajaran agama Islam yang mendalam dikalangan
keluarganya.
c.
Kekagumannya terhadap tingkah laku serta ilmu pengetahuan yang dimiliki
Sayidina Ali, Umar dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
d.
Kedudukan kota Kufah, Basrah, dan Baghdad sebagai kota ilmu pengetahuan dan
filsafat yakni kota tempat tinggalnya.
e.
Kota Kufah, Basrah dan Baghdad juga merupakan kota pusat ilmu pengetahuan agama
Islam[29].
Pada
mulanya Abu Hanifah menuntut ilmu agama hanya sebatas untuk keperluannya
sendiri, termasuk untuk berdagang, namun pada suatu hari ia bertemu dengan
gurunya yaitu Amir bin Syarahil wafat pada tahun 104 H/721 M. Dalam itu ia
menceritakan kepada gurunya itu bahwa ia lewat di muka rumah Asy-Sya’bi beliau
sedang duduk-duduk, lalu saya dipanggil dan ditanya, “Apakah kesibukanmu?”,
saya menjawab “Kepasar”, lalu ditanya “Mengapa tidak ke ulama?, saya menjawab
“saya tidak pergi ke ulama”, kemudian beliau mengatakan “Jangan sekarang pergi
ke pasar, pergilah ke ulama, sesungguhnya saya melihat engkau ada harapan”.
Dalam
hal ini Abu Hanifah mengatakan bahwa ia berkesan dengan perjumpaannya dengan
Asy-Sya’bi itu, kemudian saya tinggalkan berdagang dan mulailah menuntut ilmu.
Dengan demikian sejak itulah Abu Hanifah mulai menuntut ilmu dan yang mula-mula
dipelajarinya adalah ilmu kalam dan mengadakan diskusi dengan ulama-ulama yang
beraliran ilmu kalam, seperti dengan orang-orang yang beraliran Mu’tazilah,
Syi’ah Khawarij dan Maturidiyah[30].
Abu
Hanifah tidak segan-segan mencurahkan tenaga, fikiran dan bahkan harta bendanya
untuk membiayai keperluan berdiskusi. Abu Hanifah sering pergi ke luar kota
Irak untuk menuntut ilmu pengetahuan, setelah mendalami ilmu kalam barulah ia
berlatih mempelajari ilmu fiqh, dengan cara mendatangi ulama-ulama ahli fiqih
dari bermacam-macam aliran.
Selain
itu, Abu Hanifah bebrapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqh dan hadis
sebagai nilai tambah yang ia perolah di Kufah. Sepeninggal Hammad ibn Sulaiman,
guru sekaligud pimpinan madrasah Kufah (wafat 120 H), yangmana Abu Hanifah belajar kepadanya selama 18
tahun.[31]Abu
Hanifah mulai dipercara menduduki jabatan kepala madrasah kufah sebagai
penganti Hammad ibn Sulaiman. Tidak hanyau sampai disitu, Abu Hanifah juga
banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang masalah fiqh, yang mana ia lakukan saat
masih menjaban sebagai kepala madrasah. Adapun fatwa-fatwa tersebut, merupakan
dasar utama dari pemikiran madzhab Hanafi.[32]
Al-Imam al-Syafi’i pernah berkata bahwa para ahli fiqih sesudah Abu Hanifah
adalah berasal dari ilmu Abu Hanifah. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang
sebanyak-banyaknya, ia pergi ke Mesir, Mekkah dan Madinah guna menambah
wawasannya tentang Islam.[33]
Adapun
murid-murid beliau yang berjasa dalam pembukuan serta memploklamirkan pemikiran
Abu Hanifa, yaitu, Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Anshary, Muhammad ibn Hasan
al-Syaibany, Zufar ibn Huzalibin al-Kufy dan al-Hasan ibn Ziyad al-Lu’lu’iy.[34]
Secara
sederhana, pemikiran serta jiwa intelektual seseorang dapat dipastikan
mempunyai dasar yang melatarbelakangi terbentunya pemikiran tersebut, baik
pengaruh dari seseorang maupun dari hasil pemikirannya yang diinspirasi oleh
tokoh sejarah maupaun yang laianya. Tidak terkecualiAbu Hanifah, Ada empat
sahabat Rasul yang sangat berkesan bagi Abu Hanifah dan juga mempengaruhi pokok-pokok
pikiran atau jalan pikiran Abu Hanifah, adapun keempat sahabat itu ialah:
a.
Umar bin Khatab, Abu Hanifah tertarik pada metode umar dalam menetapkan hukum
dengan menggunakan “kemaslahatan ummah” kepentingan umum sebagai dasarnya[35].
b.
Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah terkesan kepada Ali dalam memahami hakikat
Islam dan pengamalan-pengamalanny secara sungguh-sungguh.
c.
Abdullah Ibnu Mas’ud, Abu Hanifah berkesan dengan ketekunannya dalam
mempelajari dan mendalami ajaran Islam.
d.
Abdullah ibnu Abbas, Abu Hanifah berkesan atas metodenya mempelajari ayat-ayat
Al-Qur’an dan dari Abdullah Ibnu Abbas inilah Abu Hanifah mendapat ilmu
pengetahuan Al-Qur’an dan cara-cara menafsirkannya[36].
Dalam
hal ini Abu Hanifah pernah dituduh bahwa imam Abu Hanifah dalam menetapkan
hukum hanya menggunakan akal saja, tuduhan tersebut disampaikan kepada khalifah
Abu Ja’far Al-Mansur (Khalifah Abasiyyah) karena tuduhan itu imam Abu Hanifah
akhirnya di panggil untuk menghadap khalifah, khalifah menanyakan antara lain
”Dari mana ilmu itu diperoleh?”, Abu Hanifah menjawab bahwa ilmunya diperoleh
dari sahabat Nabi yaitu Umar, Ali, Ibnu Mas’ud dan Abdullah Ibnu Abbas,
sahabat-sahabat tersebut merupakan ulama yang jauh melebihi kepandaiannya.
Mendengar jawaban imam Abu Hanifah, khalifah Abu Ja’far Al-Mansur merasa puas
dengan mengatakan, “Aku percaya kepadamu”[37].
Pada
tahun 130 Hijriyah, imam Abu Hanifah berangkat ke Makkah dan menetap disana
selama enam tahun, selama di Makkah beliau mengadakan diskusi atau musyawarah
dengan para ulama terkemuka diwaktu itu, beliau juga bertemu dengan ulama
Syi’ah, Zaidiyah, yakni ulama ahli hadits, sehingga imam Abu Hanifah dapat
mengadakan tukar pikiran dengan mereka dan juga berdiskusi dengan Ja’far al-Shidq.[38] Selain
itu, imam Abu Hanifah berjumpa dengan muridnya, yaitu Ibnu Abbas kemudian imam Abu
Hanifah mengajaknya pergi ke Madinah untuk bertemu dengan Ja’far al-Shidqi dengan
maksud tukar fikiran dengan Ja’far al-Shidiq. Setelah beliau pulang dari Makkah
dan Madinah beliau tetap mempelajari ilmu pengetahuan agama, Abu Hanifah sangat
menghargai pendapat orang lain walaupun bertentangan dengan pendapatnya, karena
perbedaan pendapat merupakan rahmat dari Allah[39].
Sederhana,
dari beberapa sumber yang ditemukan bahwa dasar pegangan Imam Abu Hanifah dalam
mengambil hukum adalah sebagai: pertama Al-Kitab, kedua As-Sunah, ketiga Qaul
Al-Shahabah, keempat Al- Ijma’, kelima Al-Qiyas, keenam Al-Istihsan, ketujuh
Al-‘Urf[40],
hal ini berdasarkan pernyataan Imam Abu Hanifah bahwa dalam menetapakan hukum
suatu suatu peristiwa atau suatu permasalahan imam Abu Hanifah mengambil kepada
kitab Allah, jika tidak saya temukan didalamnya, maka saya ambil sunnah
Rasulullah. Jika saya tidak ketemukan di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah,
maka saya mengambil satu diantaranya pendapat sahabat dan saya tidak
berpindah-pindah kepada pendapat sahabat yang lain. Adapun apabila telah sampai
urusan itu, atau telah datang kepada Ibrahim, Asy-Sya’bi, Ibnu Sirin, Al Hasan,
Atha’, Sa’id dan Abu Hanifah dan menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu
orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijithad sebagaimana
mereka berijtihad.[41]
Selain
itu, Hasbi Ash-Shiddiqy menguraikan dasar-dasar pegangan Imam Hanafi bahwa, pendirian
imam Abu Hanifah dan pengikut madzhab Hanafiyyah, ialah mengambil dari orang
yang dapat dipercaya dan jauh dari keburukan, memperhatikan muamalah manusia serta
apapun yang telah terbukti mendatangkan maslahat bagi urusan mereka. Abu
Hanifah melaksanakan urusan bersandarkan qiyas,
apabila qiyas tidak efektif dilakukan maka Abu Hanifah melakukan melalui istihsan
selama dapat dilakukan. Dan apabila tidak dapat dilakukan juga, Abu Hanifah
kembali berpegangan kepada ‘urf masyarakat.
Dan mengamalkan hadits yang terkenal yang telah di ijma’kan ulama,
kemudian imam Abu Hanifah mengqiyaskan sesuatu kepada hadits itu selama qiyas masih
dapat dilakukan. Kemudian kembali kepada istihsan, sebagai
penimbangan diantara kedua hal tersebut
untuk memilih yang lebih tepat.
Selain
itu, Nasihun Amin Menegaskan, bahwa Imam imam Abu Hanifah dalam beristidlal
atau menempatkan hukum syara’ yang tidak ditetepkan dalalahnya
secara qath’iy
dari Al-Qur’an atau Hadis yang mana diragukan keshahihannya, imam Abu Hanifah
menggunakan Ra’yu sebagai alternatifnya. Imam Abu Hanifah merupakan
pribadi yang selektif dalam menerima hadis, dengan alasan adanya hadis-hadis
yang palsu disebarkan, hal ini menjadikan Abu Hanifah sanggat hati-hati dalam
menggunakannya.[42]
Seperti yang telah disingung diatas, Imam Abu Hanifah dalam corak pola pikirnya
dipengaruhi oleh perkembangan msyarakat di Baghdad, yang mana Baghdad waktu itu
sebagai pusat peradaban kendati dalam problem hadis Baghdad terbilah minim
suber ke-dua ajaran Islam tersebut. Disebabkan sebagai pusat peradaban, Baghdad
banyak mengalami problematika kemasyarakatan yang cenderung baru, tidak pernah
ada pada zaman Nabi, Shahabat, Tabi’in. Disisi lain, pemalsuan hadis marak
terjadi, sehingga menjadikan Abu Hanifah lebih mengedepankan ijtihad atau ra’yu
sebagai cara beristibath.[43]
Secara
terperinci dalam memahami istibath al-ahkam Abu Hanifah, dijelaskan sebagai
berikut.
Al-Qur’an
Ulama
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pesan Al-Qur’an tidak semuanya qath’i
dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap hukum yang
ditunjukkan oleh Al-Qur’an, terutama terhadap ayat-ayat yang menerangkan
muamalah umum antar manusia[44],
dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, porsi penggunaan
akal dalam mencari hukum terhadap suatu masalah lebih besar.
Dalam
memahami Al-Qur’an ulama Hanafiyyah tidak hanya melakukan interpretasi terhadap
ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka
juga melakukan penelaahan terhadap ‘am dan khas
ayat Al-Qur’an tersebut. Dan inilah yang tampaknya menjadi ciri khas
ulama-ulama Irak yang dipelopori oleh Imam Hanafi dan ulama-ulama Hijaz yang
semazhab dengan mereka[45].
Al-Sunnah
Dasar
kedua yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah As-Sunnah. Martabat As-Sunnah
yang terletak di bawah Al-Qur’an. Imam Abu Yusuf berkata, “aku belum pernah
melihat seseorang yang lebih alim tentang menafsirkan hadits dari pada Abu
Hanifah. Ia adalah seorang yang mengerti tentang penyakit-penyakit hadits dan
menta’dil dan mentarjih hadits[46].
Tentang dasar yang kedua ini, Madzhab Hanafi sepakat mengamalkan As-Sunnah yang
mutawatir, masyhur dan shahih. Hanya saja Imam Hanafi dan begitu juga ulama
Hanafiyah agak selektif dalam menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk
menerima hadits ahad[47].
Abu
Hanifah menolak hadits ahad apabila berlawanan dengan makna Al-Qur’an baik
makna yang diambil dari nash atau yang diambil dari illat hukum.
Ali Hasan Abd. Al-Qadir mengatakan, “musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak
senang dengan Abu Hanifah) menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar
terhadap hadits, ia memprioritaskan ra’yu. Abu Shalih Al-Fura menuturkan, “aku
mendengar Ibn Asbath berkata, “Abu Hanifah menolak 400 hadits[48].
Terhadap
hadits mutawatir Imam Abu Hanifah menerimanya tanpa syarat karena tingkat
kehujahannya qath’i, meskipun terdapat pertentangan antara hadits
mutawatir dengan akal, beliau lebih mendahulukan hadits mutawatir. Hal ini
berbeda dengan hadits ahad, imam Abu Hanifah menerima dan mengamalkan hadits
ahad apabila hadits tersebut memenuhi beberapa persyaratan yaitu :
a.
Orang yang
meriwayatkan tidak boleh berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkannya.
b.
Hadits ahad
tidak boleh menyangkut persoalan umum yang sering terjadi, sebab kalau
menyangkut persoalan yang sering terjadi mestinya hadits ini di riwayatkan oleh
banyak perawi.
c.
Hadits ahad
tidak boleh bertentangan dengan kaidah umum atau dasardasar kulliyah[49].
Fatwa
Shahabi
Imam
Abu hanifah sangat menghargai para shahabat. Dia menerima, mengambil serta
mengharuskan umat islam mengikutinya. Jika ada pada suatu masalah beberapa
pendapat shahabat maka ia mengambil salah satunya, jika tidak ada pendapat
shahabat pada suatu masalah tersebut maka ia berijtihad dan tidak mengikuti
pendapat tabi’in. menurut Abu Hanifah ijma shahabat ialah, “kesepakatan para
mujtahidin dari umat islam di suatu masa sesudah Nabi SAW atas suatu urusan[50].
Ta’rif
itulah yang disepakati ulama Ahlul Ushul. Ulama Hanafiyyah menetapkan bahwa ijma’
itu dijadikan sebagai hujjah. Mereka menerima ijma’ qauli dan ijma’ sukuti.
Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru terhadap suatu urusan yang
telah disepakati oleh para ulama, karena membuat hukum baru adalah menyalahi
ijma’. Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyyah dalam menerima
ijma’ sebagai hujjah yaitu:
1.
Para shahabat berijtihad dalam menghadapi
masalah yang timbul. Umar bin Khattab dalam menghadapi suatu masalah sering
memanggil para shahabat untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran.
Apabila dalam musyawarah tersebut diambil kesepakatan maka umar pun melaksanakannya.
2.
Para imam
selalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah diambil oleh ulama-ulama
di negerinya, agar tidak dipandang ganjil dan tidak dipandang menyalahi aturan
umum. Abu Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah difatwakan oleh
ulama-ulama Kufah.
3.
Adanya sebuah
hadits yang menunjukkan keharusan menghargai ijma’ seperti :
ماَرَاْ هُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَھُوَ عِنْدَ للهِ حَسَنٌ
“Sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslimin,
maka dianggap baik pula di sisi Allah SWT”[51].
Dengan
demikian jelaslah bahwa ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’ merupakan
satu diantaranya hujjah dalam
beragama, yang merupakan hujjah qath’iyyah. Mereka tidak
membedakan antara macam-macam ijma’, oleh karena
itu apapun bentuk kesepakatan para ulama itu berhak atas penetapan hukum dan
sekaligus menjadi hujjah hukum[52].
Al-Qiyas
Qiyas adalah
“penjelasan dan penetapan suatu hukum tertentu yang tidak ada nashnya dengan
melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam kitabullah, sunnah ataupun ijma’
karena kesamaan illatnya”[53].
Yang menjadi pokok pegangan dalam menjalankan qiyas adalah bahwa segalanya
hukum syara’ ditetapkan untuk menghasilkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun
di akhirat. Hukum-hukum itu mengandung pengertian-pengertian dan hikmak-hikmah
yang menghasilkan kemaslahatan baik yang di perintah maupun yang di larang,
atau yang di bolehkan maupun yang di makruhkan, semuanya demi kemaslahatan
ummat[54]. Walaupun
demikian, tidak berarti semua masalah yang baru timbul dan tidak ada hukumnya
dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ boleh di qiyaskan begitu saja atas dalih
kemaslahatan umum, ada beberapa syarat dan rukun yang harus di penuhi untuk
melakukan qiyas, antara lain :
1.
Ashal, yaitu
sesuatu yang sudah di nashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan atau
dalam istilah ushul di sebut al-ashlu (al maqis alaih).
2.
Cabang ( furu’),
yaitu sesuatu peristiwa yang tidak di nashnya dan peristiwa itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya, atau dalam istilah ushul
disebut juga al maqis.
3.
Hukum Ashal,
yaitu hukum syara’ yang di nashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum
pada cabang.
4.
Illat hukum,
yaitu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau yang munasabah dengan
ada dan tidak adanya hukum, dan illat
inilah yang menjadi titik tolak serta pijakan dalam melaksanakan qiyas[55].
Al-Istihsan
Al-Istihsan merupakan
pola istimbath hukum Imam Abu Hanifah, istihsan secara terminologi difahami
dengan pindahnya para fuqaha dari qiyas jali (jelas) kepada qiyas khafi
(tersembunyi) atau dari hukum kully kepada hukum istisna.[56] Dalam
hal ini, Nasihun Amin mencantumkan definisi istihsan
dari berbagai tokoh Ushul fiqh yang ia kutip dari Fakhruddin. Menurut
al-Ghazali, istihsan merupakan semua hal yang
dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya. Menurut Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah,
suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil yang
bersifat global. Menurut Al-syatibi, pengambilah suatu kemaslahatan yang
bersifat juzi dalam menanggapi dalil yang bersifat global. Menurut Hasan
al-Karkhi, perbuatan adil terhadap sesuatu permasalahan hukum dengan memandang
hukum lain karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
Sedangkan sebagian Ulama lain mengatakan
bahwa isthsan
adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk
kemaslahatan manusia.[57]
Berbeda dengan imam Syafi’i, menurutnya menggunakan istihsan
sama saja dengan mengadakan syari’at baru dalam agama, hal ini disebabkan
karena terdapat penekanan yang sangat kuat pada rasio atau penggunaan rasio
dalam pengambilan hukum.[58]
Imam
Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan
tapi tidak memberikan penjelasan secara detail maksud dari pada istilah istihsan
tersebut. Ketika menetapkan hukum dengan cara istihsan,
beliau hanya mengatakan “astahsin” artinya saya
menanggap baik[59].
Penulis menemukan teori istihsan Imam Abu Hanifah
beserta pengikutnya, teori istihsan tersebut terbagi enam bentuk teori beserta
istilah nama yang digunakan, yaitu :
a.
Istihsan bi Al-Nash,
yaitu yang berdasarkan ayat atau hadits, maksudnya ada ayat atau hadits tentang
hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum, contoh : jual beli
saham, yaitu jual yang pembayarannya dilakukan lebih dahulu sedangkan barangnya
belum ada disaat akad.
b.
Istihsan bi Al Ijma’,
yaitu istihsan yang berdasarkan pada ijma’, maksudnya meninggalkan keharusan
menggunakan qiyas pada suatu kasus karena ada ijma’ contohnya tentang
jasa pemandian umum yang dalam kaidah umumnya jasa tersebut harus jelas berapa
lama seorang itu mandi dan berapa banyak air yang harus dipakainya, namun itu
menyulitkan banyak orang yang sehingga ulama sepakat untuk membolehkan hal tersebut
tanpa menentukan jumlah air dan lamanya pemakaian.
c.
Istihsan bi Al-Qiyas Al-Khafi,
istihsan ini memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas jali kepada
qiyas khafi,
tetapi keberadaannya lebih tepat untuk diamalkan, misalnya wakaf dalam lahan
pertanian.
d.
Istihsan bi Al-Maslahah,
yaitu istihsan yang berdasarkan kepada kemaslahatan, misalnya tentang keharusan
buruh suatu pabrik untuk bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik
baik disengaja ataupun tidak.
e.
Istihan bi Al-‘Urf,
yaitu terhadap ketentuan hukum yang bertentangan dengan qiyas karena
adanya ‘urf yang
biasa dipraktekkan oleh masyarakat. Misalnya tentang menyewakan wanita untuk
menyusukan bayinya dengan menjamin makanan, minuman dan pakaiannya.
f.
Istihsan bi Al-Dharurah,
yaitu istihsan
yang berdasarkan keadaaan darurat, maksudnya karena adanya keadaan darurat yang
menyebabkan seorang mujtahid untuk memberlakukan kaidah umum atau qiyas.
Misalnya tentang sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum air sumur itu tidak
boleh dipergunakan karena telah terkena najis dan sulit untuk membersihkannya,
akan tetapi dalam keadaan seperti ini cukup memasukkan beberapa galon air ke
dalam sumur untuk menghilangkan najis.[60]
Al-‘Urf
‘Urf merupakan
kebiasaan masyarakat (mayoritas umat islam) yang dijalankan secara terus
menerus, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Misalnya kebiasaan masyarakat
pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah
tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari maskawin yang diberikan oleh
suami[61].
Seluruh
ulama mazhab termasuk Imam Abu Hanifah menerima dan menjadikan ‘urf sebagai
dalil syara’
dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah
yang di hadapi. Adapun ‘urf yang dijadikan
sebagai hujjah adalah ‘urf yang tidak
bertentangan dengan syara’, baik berupa
perkataan dan perbuatan maupun ‘urf yang menyangkut
kebiasaan yang bersifat umum dan khusus atau biasa di sebut dengan ‘urf sharih[62].
Fiqh
Abu Hanifah bercorak fiqh spekulatif (fiqh taqdiry). Abu Zahra mendefinisikan
Fiqh taqdiry adalah
fatwa dalam sebuah masalah fiqh yang belum terjadi dengan cara menganalogikan
dengan permasalahan yang sudah terjadi. Corak seperti ini banyak digunakan oleh
ulama ahli ra’yi dan qiyas.
Awalnya,
corak fiqh pada periode Rasulullah Saw. hanya menjawab problematika umat yang
sudah terjadi. Pada masa sahabat dan awal masa tabi’in –sebelum datangnya
pemikiran dar Abu Hanifah-, berkembang dengan metode menjelaskan hukum yang ada
dan menjaga hukum-hukum fiqh yang sudah ada. Pada masa Abu Hanifah berkembang
menjadi fiqh spekulatif, yaitu mengqiyaskan sesuatu yang belum terjadi dengan
hukum yang sudah ada. Fiqh
taqdiri sebenarnya telah muncul sebelum Abu Hanifah. Syu’ba sering menjumpai
Fuqaha yang menggunakan kata “law kana kadza” dan itu termasuk Fiqh at-Taqdiri.
Ada perselisihan diantara sebagian fuqaha tentang boleh
tidaknya menggunakan metode Fiqh Taqdiri. Pada periode ke- 3 H, banyak fuqaha
yang menggunakan metode tersebut, bahkan merinci suatu permasalahan sampai pada
hal yang irasional, sesuatu yang tidak mungkin terjadi, seperti dalam
permasalahan Khunsta Musykil.
Secara faktual pemikiran Abu
Hanifah memang sangat mendalam dan rasional. Beliau memberi syarat yang cukup
ketat dan selektif dalam penerimaan hadits ahad. Bagi Abu Hanifah ada 3 syarat
yang harus di penuhi dialam penerimaan hadits ahad sebagai berikut :
v
Orang yang meriwayatkan hadits tidak boleh berbuat/berfatwa
yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan.
v
Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum dan sering
terjadi sebab kalau menyangkut persoalan umum dan sering terjadi mestinya
hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi tidak seorang saja.
v
Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah
umum atau dasar-dasar kulliyah.
Abu Hanifah lebih mengutamakan
hadits yang diriwayatkan oleh fuqoha’ dari pada seorang ahli hadits kejujuran
saja belum cukup unutk mengetahui seluk beluk hadits apalagi yang menyangkut
hukum. Oleh karena itu Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan
oleh orang-orang yang mengerti masalah fiqih.
[1] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya), h. 61.
[2] Ibdi.
[5] Ibd. h. 63.
[7] Prof. Dr. Abul Yazid Abu
Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj. Faisal Salah dan Umar Mujtahid, al-‘Aqidatu
al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2012), h. 180.
[8] Ibdi.
[10] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN
KERAJAAN, trj. Muhammad Al-Bagir, “Al-Khilafah wa
al-mulk,” (Bandung: Mizan Media Utama,
2007), h. 259.
[13] Muh.
Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan
Sejarah, (Jakarta: PT
Raja Grapindo, 1997),Cet ke 2, h. 97
[16] Ibid
[20] Dr.
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan
Mazhab, (Jakarta :
Logos Wacana
Ilmu, 1997), h. 95.
[22] Ibid.,
[25] Ibid, h. 64.
[26] Ibid.
[29] Ibid.,
[35] Ibid.,
[37] Ibid.,
[40] Romli,
Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pertama,
1999), h. 22. Lihat Dr. Nasihun Amin, Sejarah perkembangan
pemikiran islam, h.
67-68.
[41]T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab Dalam Membina
Hukum Islam, (Jakarta
: Bulan Bintang, th), h. 134. Lihat juga Muhammad Ali Al-Sais, Tarikh Al-Fqh Al-Islam, (Beirut : Daar Al Kitab
Al-Imamiyah, 1990), h. 91. Lihat juga Haswir, M.Ag, h.73. lihat Dr. Nasihun
Amin, Sejarah perkembangan pemikiran
islam, h. 66. Lihat
juga Dr. Zulkayandri, M.Ag, Fiqh Muqaran, (Pekanbaru : Program Pasca
Sarjana UIN Suka Riau, 2008), h.54. lihat juga DR. Ahmad Asy-Syurbasyi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, h. 19.
[44] Dedi
Supriyadi, Perbandingan Mazhab
Dengan Pendekatan Baru,
(Bandung : CV. Pustaka Setia, 2008), h. 159.
[53] Prof.
Dr. Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami,
(Bandung :PT. Al-Ma’arif, 1997), h. 66.
[59] Iskandar
Usman, Istihsan Dan Pemahaman Hukum
Islam, (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar