Selasa, 11 April 2017

PEMIKIRAN FIQH RASIONAL: ABU HANIFAH

 BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN FIQH RASIONAL: ABU HANIFAH
A.    Latar Belakang
Hukum islam yang memahami pembahasan dalam persoalan seputar tatacara pelaksanaan secara teknis dalam ibadah, telah mengalami berbagai frase kedisiplinan dalam ranah keilmuan. Dewasa ini menjadikan suatu pemahaman yang mandiri menjadi suatu disiplin keilmuan seiring dengan perkembangan intelektual dalam dunia islam. Secara priodik, perkembangan keilmuan Hukum Islam, sudah ada sejak Nabi Muhammad masih hidup, akan tetapi keilmuan tersebut lebih cenderung pembahasan secara global tentang semua persoalan agam, yangmana Nabi diposisikan sebagai sumber penerjemah penafsir wahyu ilahi yang termaktub dalam Al-Qur’an. Hal ini memberiakan pemahaman bahwasanya ide dan konsep  keilmuan hukum islam sudah ada, kendati belum terbentuk menjadi disiplin keilmuan yang mandiri.
Perubahan dari berbagai fase konsepsi hukum islam terus terjadi siring perkembangan intelektual di dunia islam. Kebakuan akan konsep hukum islam dapat ditelusuri pada masa Dinasti Umayah akhir sampai di awal Dinasti Abbasiyah, dimana hukum islam berubah menjadi Al-Fiqh pada penamaannya serta konsep dalam teknis pelaksanaannya.
Secara priodik produk pemikiran, dewasa ini tercakup pada konsepsi produk pemikiran hukum islam.[1] Hal ini dilihat dari perkembangan secara spesifik terkait hukum islam dalam kemandiriannya.
Al-Fiqh dalam perkembangan yang ada, berubah menjadi istilah baku yang familiar dikemal “Fiqh”. Secara etimologi berarti Pemahaman, pengertian atau pengetahuan tantenag sesuatu.[2] Lebih lanjut, Al-fiqh akbar –dalam pemahamannya- pada masa dulu sebagai keilmuan yang berisikan tentang keimanan. Secara terminologi, Fiqh merupakan pengetahuan tetang seseuatu serta dapat memahami sesuatu tersebut, yang mana didominasi tentang pengetahuan keagamaan sebagai suatu cara untuk mengatahuai dasar, kemuliaan dan keutamaan terhadap berbagai cabang keilmuan dalam agama.[3] Ali Yafie memberikan redaksi definisi tantang fiqh; al-ilmu bi al-ahkami al-Syar’iyyati al-‘amaliyyati al-muktasabi min adillatiha al-tafshilyah.[4]
Setelah mengalama berbagai fase dalam memahami hukum islam, pada akhirnya hal itu mengkristal menjadi berbagai madzab selaku komunitas tertantu dalam perbedaan dan corak masing-masing untuk acuan dalam perimbangan pengambilan keputusan hukum islam dan dimasa awal madzhab kondisi masyarakat muslim memenuhi periode Taqlit dimana aktifitas Ijtihat sudah merasa tidak dilakukan, lantran semua problematikan keagamaan sudah terjawab oleh ulam-ulama terdahulu yang tertuang dalam karya mereka.
Seiring perkembangan yang ada, disebabkan terdapat seleksi alam yang menjadikan madzhab-madzhab tersebut tidak mampu bertahan lama bahkan pengikut mereka pun relatif sedikit. Hanya empat madzhab yang masih eksis dari sekian banyak madzhab, yaitu madzhab Hanafiyyah, Malikiyah, syafi’iyah dan Hanabilah.  Seperti yang pernah disingung diatas, setiap madzhab mempunyai ciri khas dan corak sendiri-sendiri, adapun madzhab Hanafiyah corak pemikiranya cenderung rasional, Malikiyah cenderung tradisional, syafi’iyah bercorak tradisional dan Hanabilah cenderung fundamental.[5]
Abu Hanifa. sepanjang sejarah yang ada, ia sering dinilai oleh sebagian orang murtad, melakukan penyimpangan aqidah, kafir zindiq, dan menebarkan benih-benih kehancuran yang diambil dari cara-cara para penyembah berhala dan penyembah api (majusi). Dan menyebarkan isu bahwa Abu Hanifa beragama Majusi dan diselinapkan di dalam Islam untuk membuat kerusakan di dalamnya. Sebagian lainya mengeluk-elukkan Abu Hanifa, dengan branggapan bahwa Abu Hanifah mendapatkan seluruh hukmah dan ilmu dari Rasulullah Saw. melalui mimpi dan pertemuan fisik.
Perbedaan pendapat yang bertolakbelakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu di mana Abu Hanifah hidup. Berdasarkan perjuangan, perilaku, pemikiran, keberanian yang dilakukan Abu Hanifa sehingga dinilai kontroversial, sepakterjangnya melalui medote pendidikannya, Abu Hanif mengajarkan untuk menggunakan akal secara maksimal.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, mengetahui atau mengkaji biografi Abu hanifah dan metode yang digunakannya dalam menggali hukum sangat menarik dikaji..
BAB II
PEMBAHASAAN
Biografi Imam Abu Hanifah.
Nama lengkap imam Abu Hanifah adalah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zautha al-Taimy[6] al-Kufi[7], berasal dari keturunan bangsa Persia.[8] Abu Hanifah dilahirkan di Kufah,[9] ibu kota Irak,[10] pada tahun 80 H/699M dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H/767 M[11]dimasa kekuasaan al-Mansur,[12] dinama bersamaan dengan tahun kelahiran calon ulama besar, yaitu Imam Syafi’i[13]. Adapun Nasab Imam Abu Hanifah dari ayahnya adalah Tsabit bin Zautha bin Maah bin Muli Tamullah dan akhirnya Ta’labah. Ahli sejarah yang mengatakan bahwa beliau berasal dari bangsa Arab yaitu dari Bani Yahya bin Asad, dan adapula yang mengatakan bahwa beliau berasal dari keturunan Ibnu Rusyd Al-Anshari[14]. Ayah beliau keturunan dari bangsa Persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Kakek Abu Hanifah adalah Zautha yang berasal dari Kabul (Afganistan) yaitu tawanan perang karena dia berperang melawan Utsman bin Affan sewaktu menaklukkan Persia[15].
Penaklukan tersebut bukan hanya di Persia tetapi sampai ke Khurasan dan Afganistan, sedangkan Zautha termasuk salah satu pembesar negara yang ditaklukan oleh tentara Utsman dan beliau menjadi tawanan perang, akhirnya diserahkan kepada tentara Islam yang menang dalam peperangan tersebut. Setelah menjadi tawanan perang ia dijadikan budak dan akhirnya bebas dari budak karena masuk Islam. Setelah dibebaskan dari perbudakan ia menetap di Kufah dan selanjutnya ia berdagang sutra di kota Kufah dan lahirlah anaknya yang diberi nama Tsabit yaitu ayah Abu Hanifah[16]. Abu Hanifah hidup dalam masa dua daulah islam, tepatnya pada akhir kekuasaan daulah Umayah dan diawal kekuasaah daulah Abbasiyah.[17]
Pada waktu Abu Hanifah lahir, kekuasan daulah Umayyah di pegang oleh Malik ibn marwan, dan Hajjaj ibn Yusuf sebagai Gubernur Irak, Abu Nahifah hidup selama 52 tahun di naungan pemerintah daulah Umayyah dan 18 tahun dibawah naungan pemerintahan daulah Abbasiyah.[18]
Adapun pendidikanya, pada mulanya ia mempelajari ilmu membaca, hadis, nahwu, satra, puisi ilmu-kalam dan ilmu-ilmu lainya yang populer pada masa itu. Seiring perkembangan pemikirannya, Abu Hanifah lebih memusatkan perhatianya kepada ilmu-kalam dalam waktu yang agak lama, sehingga is menjadi pandai dan unggul di bidang itu dan termasuk salah seorang yang terpandang.[19]
Abu Hanifah adalah panggilan dari Nu’man Ibnu Tsabit bin Zautha. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab-sebab beliau di panggil Abu Hanifah, antara lain yaitu :
a)      Karena salah satu anaknya bernama Hanifah, maka Abu Hanifah berarti bapak dari Hanifah. Menurut kebiasaan nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (Bapak/Ayah), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah[20].
b)      Dia adalah salah seorang yang sangat bertakwa kepada Allah dan prinsipnya tidak dapat digoyahkan, dia tetap pada prinsipnya dan berpegang teguh pada agama Islam, tidak tergoyah dengan bujukan apapun yang diajukan kepadanya baik itu yang menguntungkan apalagi yang merugikannya[21].
c)      Karena paling cinta pada tinta untuk menulis, sehingga beliau dipanggil oleh guru dan teman-temanya dengan Abu Hanifah, karena Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta, jadi Abu Hanifah berarti bapak tinta[22].
Relita keluarga dan hubungan Abu Hanifah dengan dunia Islam, mengharuskan dirinya dituntut untuk menghafalkan Al-Qur’an, bertujuan sebagai persiapan untuk konsen di bidang ilmu. Abu Hanifah merupakan pribadi yang konsen dalam membaca serta menghatamkan Al-Qur’an, tidak jarang bahkan aktifitasnya dinilai melebihi batas kewajaran. Disamping itu, Abu Hanifah dikenal sebagai sosok yang Zuhud, Wara’ dan sebagai seorang yang ta’at tekun beribadah, semua hal itu tidak lain efek dari hafalan dan renungan terhadap makna-makna Al-Qur’an yang dilakukannya.[23] Seperti yang tercatat di kebanyakan sejarah, Abu Hanifah terkenal sebagai tokoh salah satu madzhab fiqh berserta kemuliaan dan kejeniusannya dalam bidan tersebut, hal ini tidak lain karena ketekunanya mempelajarai, memahami serta mengamalkan hukum-hukum islam (fiqh) yang ia lakaukan, akan tetapi dari sekian banyak ilmu yang ia kaji, Abu Hanifah lebih meminati disiplin keilmuan teologi.[24] Adapun karya Abu Hanifah yang menandakan akan mitananya terhadap teologi, yaitu al-Fiqh al-Akbar. Dikabarkan juga, bahwa Abu Hanifah melalui pemikiran teologinya yang sebagian besar diungkapkan dalam buku tersebut, ia dapat menangkis serangan golongan Khawarij yang doktrin ajarannya terbilang sangat ekstrem,[25] secara tajam dalam analisa, kecemerlangan dalam argumen dan dengan keleluasan wawsan keilmuanya.
Seperti yang telah disingung diawal, Abu Hanifah pernah menimba keilmuan fiqh di kufah yang mana pada masa itu, Kufah merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung Rasional.[26] Hal ini sebagai unsur yang betangunag jawab atas pola pikir Abu Hanifah atas kecenderunagannya terhadap sekema pemikiran yang rasional, menjadikan diri Abu Hanifah terkenal sebagai ahli fiqh rasional. Dalam hal ini, karakteristik suatu daerah terkaiat corak pemikiran dapat dianalisa. Nasihun Amin menemukan berbagai asalan yang mendasar sebagai faktor yang membentuk karakteristik rasional di Kufah (Baghdad) dalam bidang fiqh.[27]
1.      Sebagai pusat pemerintahaan Abbasiyyah pada waktu itu, Baghdad merupakan sebuah kawasan yang menjadi pusat peradaban, yang tentunya kental akan aktifitas yang bercorak rasional. Baghdad juga merupakan kawasan metropolis denga tingkat perkembangan dan masalah yang kompleks sehingga menuntut adanya penyelesaian hukum sesuai dengan perihal masalah tersebut, baik persoalan lama ataupun baru.
2.      Baghdad merupakka suatu wilayah yang pernah dikuasai Persi dengan durasi yang lama, sehingga mempengaruhi hubungan keperdataan dan adat kebiasaan orang yang tinggal didalamnya, yang mengandung ati bahwa karakteristik kemasyarakannya tidak murni dari Islam.
Baghdad merupakan kawasan yang relative jauh dari pusat produksi Hasits dan penggunan fatwa-fatwa para shahabat yang cendrung lebih sedikit jika dibandingan di Hijaz. Kondisi ini menjadikan Baghdad sebagai kota yang terbilang kurang dalam rujukan sebagai dasar tumpu pemecahan masalah. Karena itu, para ahli fiqh Baghdad dituntut memutar otak dengan berusaha keras untuk memahami pengertian dan ‘illat untuk menempatkan suatu hukum guna menciptakan suatu pengertian dan pemahaman hukum yang tidak hanya terbatas pada redaksi yang terdapat dalam teks rujukan hukum.
Islam masuk ke negeri Irak mendapat bermacam-macam tantangan, namun berkat keuletan para ulama dan atas pertolongan Allah, pada akhirnya agama selain agama Islam kian hari semakin punah. Selain itu di Irak merupakan tempat timbulnya bermacam-macam aliran-aliran filsafat, baik yang berasal dari Romawi, Yunani dan negeri-negeri barat lainnya.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka terdapat beberapa faktor yang mendorong atau mempermudah Abu Hanifah untuk belajar mendalami agama Islam dan ilmu pengetahuan lainnya, yaitu :
a. Dorongan dari keluarga, sehingga Abu Hanifah dapat memusatkan perhatiannya dalam mempelajari serta mendalami ajaran Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, termasuk mempelajari bahasa Arab[28].
b. Keyakinan yang mendalam tentang ajaran agama Islam yang mendalam dikalangan keluarganya.
c. Kekagumannya terhadap tingkah laku serta ilmu pengetahuan yang dimiliki Sayidina Ali, Umar dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
d. Kedudukan kota Kufah, Basrah, dan Baghdad sebagai kota ilmu pengetahuan dan filsafat yakni kota tempat tinggalnya.
e. Kota Kufah, Basrah dan Baghdad juga merupakan kota pusat ilmu pengetahuan agama Islam[29].
Pada mulanya Abu Hanifah menuntut ilmu agama hanya sebatas untuk keperluannya sendiri, termasuk untuk berdagang, namun pada suatu hari ia bertemu dengan gurunya yaitu Amir bin Syarahil wafat pada tahun 104 H/721 M. Dalam itu ia menceritakan kepada gurunya itu bahwa ia lewat di muka rumah Asy-Sya’bi beliau sedang duduk-duduk, lalu saya dipanggil dan ditanya, “Apakah kesibukanmu?”, saya menjawab “Kepasar”, lalu ditanya “Mengapa tidak ke ulama?, saya menjawab “saya tidak pergi ke ulama”, kemudian beliau mengatakan “Jangan sekarang pergi ke pasar, pergilah ke ulama, sesungguhnya saya melihat engkau ada harapan”.
Dalam hal ini Abu Hanifah mengatakan bahwa ia berkesan dengan perjumpaannya dengan Asy-Sya’bi itu, kemudian saya tinggalkan berdagang dan mulailah menuntut ilmu. Dengan demikian sejak itulah Abu Hanifah mulai menuntut ilmu dan yang mula-mula dipelajarinya adalah ilmu kalam dan mengadakan diskusi dengan ulama-ulama yang beraliran ilmu kalam, seperti dengan orang-orang yang beraliran Mu’tazilah, Syi’ah Khawarij dan Maturidiyah[30].
Abu Hanifah tidak segan-segan mencurahkan tenaga, fikiran dan bahkan harta bendanya untuk membiayai keperluan berdiskusi. Abu Hanifah sering pergi ke luar kota Irak untuk menuntut ilmu pengetahuan, setelah mendalami ilmu kalam barulah ia berlatih mempelajari ilmu fiqh, dengan cara mendatangi ulama-ulama ahli fiqih dari bermacam-macam aliran.
Selain itu, Abu Hanifah bebrapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqh dan hadis sebagai nilai tambah yang ia perolah di Kufah. Sepeninggal Hammad ibn Sulaiman, guru sekaligud pimpinan madrasah Kufah (wafat 120 H), yangmana  Abu Hanifah belajar kepadanya selama 18 tahun.[31]Abu Hanifah mulai dipercara menduduki jabatan kepala madrasah kufah sebagai penganti Hammad ibn Sulaiman. Tidak hanyau sampai disitu, Abu Hanifah juga banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang masalah fiqh, yang mana ia lakukan saat masih menjaban sebagai kepala madrasah. Adapun fatwa-fatwa tersebut, merupakan dasar utama dari pemikiran madzhab Hanafi.[32] Al-Imam al-Syafi’i pernah berkata bahwa para ahli fiqih sesudah Abu Hanifah adalah berasal dari ilmu Abu Hanifah. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyaknya, ia pergi ke Mesir, Mekkah dan Madinah guna menambah wawasannya tentang Islam.[33]

Adapun murid-murid beliau yang berjasa dalam pembukuan serta memploklamirkan pemikiran Abu Hanifa, yaitu, Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Anshary, Muhammad ibn Hasan al-Syaibany, Zufar ibn Huzalibin al-Kufy dan al-Hasan ibn Ziyad al-Lu’lu’iy.[34]
Secara sederhana, pemikiran serta jiwa intelektual seseorang dapat dipastikan mempunyai dasar yang melatarbelakangi terbentunya pemikiran tersebut, baik pengaruh dari seseorang maupun dari hasil pemikirannya yang diinspirasi oleh tokoh sejarah maupaun yang laianya. Tidak terkecualiAbu Hanifah, Ada empat sahabat Rasul yang sangat berkesan bagi Abu Hanifah dan juga mempengaruhi pokok-pokok pikiran atau jalan pikiran Abu Hanifah, adapun keempat sahabat itu ialah:
a. Umar bin Khatab, Abu Hanifah tertarik pada metode umar dalam menetapkan hukum dengan menggunakan “kemaslahatan ummah” kepentingan umum sebagai dasarnya[35].
b. Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah terkesan kepada Ali dalam memahami hakikat Islam dan pengamalan-pengamalanny secara sungguh-sungguh.
c. Abdullah Ibnu Mas’ud, Abu Hanifah berkesan dengan ketekunannya dalam mempelajari dan mendalami ajaran Islam.
d. Abdullah ibnu Abbas, Abu Hanifah berkesan atas metodenya mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dan dari Abdullah Ibnu Abbas inilah Abu Hanifah mendapat ilmu pengetahuan Al-Qur’an dan cara-cara menafsirkannya[36].
Dalam hal ini Abu Hanifah pernah dituduh bahwa imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum hanya menggunakan akal saja, tuduhan tersebut disampaikan kepada khalifah Abu Ja’far Al-Mansur (Khalifah Abasiyyah) karena tuduhan itu imam Abu Hanifah akhirnya di panggil untuk menghadap khalifah, khalifah menanyakan antara lain ”Dari mana ilmu itu diperoleh?”, Abu Hanifah menjawab bahwa ilmunya diperoleh dari sahabat Nabi yaitu Umar, Ali, Ibnu Mas’ud dan Abdullah Ibnu Abbas, sahabat-sahabat tersebut merupakan ulama yang jauh melebihi kepandaiannya. Mendengar jawaban imam Abu Hanifah, khalifah Abu Ja’far Al-Mansur merasa puas dengan mengatakan, “Aku percaya kepadamu”[37].
Pada tahun 130 Hijriyah, imam Abu Hanifah berangkat ke Makkah dan menetap disana selama enam tahun, selama di Makkah beliau mengadakan diskusi atau musyawarah dengan para ulama terkemuka diwaktu itu, beliau juga bertemu dengan ulama Syi’ah, Zaidiyah, yakni ulama ahli hadits, sehingga imam Abu Hanifah dapat mengadakan tukar pikiran dengan mereka dan juga berdiskusi dengan Ja’far al-Shidq.[38] Selain itu, imam Abu Hanifah berjumpa dengan muridnya, yaitu Ibnu Abbas kemudian imam Abu Hanifah mengajaknya pergi ke Madinah untuk bertemu dengan Ja’far al-Shidqi dengan maksud tukar fikiran dengan Ja’far al-Shidiq. Setelah beliau pulang dari Makkah dan Madinah beliau tetap mempelajari ilmu pengetahuan agama, Abu Hanifah sangat menghargai pendapat orang lain walaupun bertentangan dengan pendapatnya, karena perbedaan pendapat merupakan rahmat dari Allah[39].
Sederhana, dari beberapa sumber yang ditemukan bahwa dasar pegangan Imam Abu Hanifah dalam mengambil hukum adalah sebagai: pertama Al-Kitab, kedua As-Sunah, ketiga Qaul Al-Shahabah, keempat Al- Ijma’, kelima Al-Qiyas, keenam Al-Istihsan, ketujuh Al-‘Urf[40], hal ini berdasarkan pernyataan Imam Abu Hanifah bahwa dalam menetapakan hukum suatu suatu peristiwa atau suatu permasalahan imam Abu Hanifah mengambil kepada kitab Allah, jika tidak saya temukan didalamnya, maka saya ambil sunnah Rasulullah. Jika saya tidak ketemukan di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka saya mengambil satu diantaranya pendapat sahabat dan saya tidak berpindah-pindah kepada pendapat sahabat yang lain. Adapun apabila telah sampai urusan itu, atau telah datang kepada Ibrahim, Asy-Sya’bi, Ibnu Sirin, Al Hasan, Atha’, Sa’id dan Abu Hanifah dan menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijithad sebagaimana mereka berijtihad.[41]
Selain itu, Hasbi Ash-Shiddiqy menguraikan dasar-dasar pegangan Imam Hanafi bahwa, pendirian imam Abu Hanifah dan pengikut madzhab Hanafiyyah, ialah mengambil dari orang yang dapat dipercaya dan jauh dari keburukan, memperhatikan muamalah manusia serta apapun yang telah terbukti mendatangkan maslahat bagi urusan mereka. Abu Hanifah melaksanakan urusan bersandarkan qiyas, apabila qiyas tidak efektif dilakukan maka Abu Hanifah melakukan melalui istihsan selama dapat dilakukan. Dan apabila tidak dapat dilakukan juga, Abu Hanifah kembali berpegangan kepada ‘urf masyarakat. Dan mengamalkan hadits yang terkenal yang telah di ijma’kan ulama, kemudian imam Abu Hanifah mengqiyaskan sesuatu kepada hadits itu selama qiyas masih dapat dilakukan. Kemudian kembali kepada istihsan, sebagai penimbangan  diantara kedua hal tersebut untuk memilih yang lebih tepat.
Selain itu, Nasihun Amin Menegaskan, bahwa Imam imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menempatkan hukum syara’ yang tidak ditetepkan dalalahnya secara qath’iy dari Al-Qur’an atau Hadis yang mana diragukan keshahihannya, imam Abu Hanifah menggunakan Ra’yu sebagai alternatifnya. Imam Abu Hanifah merupakan pribadi yang selektif dalam menerima hadis, dengan alasan adanya hadis-hadis yang palsu disebarkan, hal ini menjadikan Abu Hanifah sanggat hati-hati dalam menggunakannya.[42] Seperti yang telah disingung diatas, Imam Abu Hanifah dalam corak pola pikirnya dipengaruhi oleh perkembangan msyarakat di Baghdad, yang mana Baghdad waktu itu sebagai pusat peradaban kendati dalam problem hadis Baghdad terbilah minim suber ke-dua ajaran Islam tersebut. Disebabkan sebagai pusat peradaban, Baghdad banyak mengalami problematika kemasyarakatan yang cenderung baru, tidak pernah ada pada zaman Nabi, Shahabat, Tabi’in. Disisi lain, pemalsuan hadis marak terjadi, sehingga menjadikan Abu Hanifah lebih mengedepankan ijtihad atau ra’yu sebagai cara beristibath.[43]
Secara terperinci dalam memahami istibath al-ahkam Abu Hanifah, dijelaskan sebagai berikut.
Al-Qur’an
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pesan Al-Qur’an tidak semuanya qath’i dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap hukum yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an, terutama terhadap ayat-ayat yang menerangkan muamalah umum antar manusia[44], dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, porsi penggunaan akal dalam mencari hukum terhadap suatu masalah lebih besar.
Dalam memahami Al-Qur’an ulama Hanafiyyah tidak hanya melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka juga melakukan penelaahan terhadap ‘am dan khas ayat Al-Qur’an tersebut. Dan inilah yang tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama Irak yang dipelopori oleh Imam Hanafi dan ulama-ulama Hijaz yang semazhab dengan mereka[45].
Al-Sunnah
Dasar kedua yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah As-Sunnah. Martabat As-Sunnah yang terletak di bawah Al-Qur’an. Imam Abu Yusuf berkata, “aku belum pernah melihat seseorang yang lebih alim tentang menafsirkan hadits dari pada Abu Hanifah. Ia adalah seorang yang mengerti tentang penyakit-penyakit hadits dan menta’dil dan mentarjih hadits[46]. Tentang dasar yang kedua ini, Madzhab Hanafi sepakat mengamalkan As-Sunnah yang mutawatir, masyhur dan shahih. Hanya saja Imam Hanafi dan begitu juga ulama Hanafiyah agak selektif dalam menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk menerima hadits ahad[47].
Abu Hanifah menolak hadits ahad apabila berlawanan dengan makna Al-Qur’an baik makna yang diambil dari nash atau yang diambil dari illat hukum. Ali Hasan Abd. Al-Qadir mengatakan, “musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak senang dengan Abu Hanifah) menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar terhadap hadits, ia memprioritaskan ra’yu. Abu Shalih Al-Fura menuturkan, “aku mendengar Ibn Asbath berkata, “Abu Hanifah menolak 400 hadits[48].
Terhadap hadits mutawatir Imam Abu Hanifah menerimanya tanpa syarat karena tingkat kehujahannya qath’i, meskipun terdapat pertentangan antara hadits mutawatir dengan akal, beliau lebih mendahulukan hadits mutawatir. Hal ini berbeda dengan hadits ahad, imam Abu Hanifah menerima dan mengamalkan hadits ahad apabila hadits tersebut memenuhi beberapa persyaratan yaitu :
a.              Orang yang meriwayatkan tidak boleh berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkannya.
b.             Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum yang sering terjadi, sebab kalau menyangkut persoalan yang sering terjadi mestinya hadits ini di riwayatkan oleh banyak perawi.
c.              Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah umum atau dasardasar kulliyah[49].
Fatwa Shahabi
Imam Abu hanifah sangat menghargai para shahabat. Dia menerima, mengambil serta mengharuskan umat islam mengikutinya. Jika ada pada suatu masalah beberapa pendapat shahabat maka ia mengambil salah satunya, jika tidak ada pendapat shahabat pada suatu masalah tersebut maka ia berijtihad dan tidak mengikuti pendapat tabi’in. menurut Abu Hanifah ijma shahabat ialah, “kesepakatan para mujtahidin dari umat islam di suatu masa sesudah Nabi SAW atas suatu urusan[50].
Ta’rif itulah yang disepakati ulama Ahlul Ushul. Ulama Hanafiyyah menetapkan bahwa ijma’ itu dijadikan sebagai hujjah. Mereka menerima ijma’ qauli dan ijma’ sukuti. Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru terhadap suatu urusan yang telah disepakati oleh para ulama, karena membuat hukum baru adalah menyalahi ijma’. Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyyah dalam menerima ijma’ sebagai hujjah yaitu:
1.       Para shahabat berijtihad dalam menghadapi masalah yang timbul. Umar bin Khattab dalam menghadapi suatu masalah sering memanggil para shahabat untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila dalam musyawarah tersebut diambil kesepakatan maka umar pun melaksanakannya.
2.      Para imam selalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah diambil oleh ulama-ulama di negerinya, agar tidak dipandang ganjil dan tidak dipandang menyalahi aturan umum. Abu Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah difatwakan oleh ulama-ulama Kufah.
3.      Adanya sebuah hadits yang menunjukkan keharusan menghargai ijma’ seperti :
ماَرَاْ هُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَھُوَ عِنْدَ للهِ حَسَنٌ
“Sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dianggap baik pula di sisi Allah SWT”[51].
Dengan demikian jelaslah bahwa ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’ merupakan satu diantaranya hujjah dalam beragama, yang merupakan hujjah qath’iyyah. Mereka tidak membedakan antara macam-macam ijma’, oleh karena itu apapun bentuk kesepakatan para ulama itu berhak atas penetapan hukum dan sekaligus menjadi hujjah hukum[52].

Al-Qiyas
Qiyas adalah “penjelasan dan penetapan suatu hukum tertentu yang tidak ada nashnya dengan melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam kitabullah, sunnah ataupun ijma’ karena kesamaan illatnya”[53]. Yang menjadi pokok pegangan dalam menjalankan qiyas adalah bahwa segalanya hukum syara’ ditetapkan untuk menghasilkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hukum-hukum itu mengandung pengertian-pengertian dan hikmak-hikmah yang menghasilkan kemaslahatan baik yang di perintah maupun yang di larang, atau yang di bolehkan maupun yang di makruhkan, semuanya demi kemaslahatan ummat[54]. Walaupun demikian, tidak berarti semua masalah yang baru timbul dan tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ boleh di qiyaskan begitu saja atas dalih kemaslahatan umum, ada beberapa syarat dan rukun yang harus di penuhi untuk melakukan qiyas, antara lain :
1.      Ashal, yaitu sesuatu yang sudah di nashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan atau dalam istilah ushul di sebut al-ashlu (al maqis alaih).
2.       Cabang ( furu’), yaitu sesuatu peristiwa yang tidak di nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya, atau dalam istilah ushul disebut juga al maqis.
3.      Hukum Ashal, yaitu hukum syara’ yang di nashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang.
4.      Illat hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau yang munasabah dengan ada dan tidak adanya hukum, dan illat inilah yang menjadi titik tolak serta pijakan dalam melaksanakan qiyas[55].

Al-Istihsan
Al-Istihsan merupakan pola istimbath hukum Imam Abu Hanifah, istihsan secara terminologi difahami dengan pindahnya para fuqaha dari qiyas jali (jelas) kepada qiyas khafi (tersembunyi) atau dari hukum kully kepada hukum istisna.[56] Dalam hal ini, Nasihun Amin mencantumkan definisi istihsan dari berbagai tokoh Ushul fiqh yang ia kutip dari Fakhruddin. Menurut al-Ghazali, istihsan merupakan semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya. Menurut Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah, suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil yang bersifat global. Menurut Al-syatibi, pengambilah suatu kemaslahatan yang bersifat juzi dalam menanggapi dalil yang bersifat global. Menurut Hasan al-Karkhi, perbuatan adil terhadap sesuatu permasalahan hukum dengan memandang hukum lain karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan. Sedangkan  sebagian Ulama lain mengatakan bahwa isthsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia.[57] Berbeda dengan imam Syafi’i, menurutnya menggunakan istihsan sama saja dengan mengadakan syari’at baru dalam agama, hal ini disebabkan karena terdapat penekanan yang sangat kuat pada rasio atau penggunaan rasio dalam pengambilan hukum.[58]  
Imam Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan tapi tidak memberikan penjelasan secara detail maksud dari pada istilah istihsan tersebut. Ketika menetapkan hukum dengan cara istihsan, beliau hanya mengatakan “astahsin” artinya saya menanggap baik[59]. Penulis menemukan teori istihsan Imam Abu Hanifah beserta pengikutnya, teori istihsan tersebut terbagi enam bentuk teori beserta istilah nama yang digunakan, yaitu :
a.        Istihsan bi Al-Nash, yaitu yang berdasarkan ayat atau hadits, maksudnya ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum, contoh : jual beli saham, yaitu jual yang pembayarannya dilakukan lebih dahulu sedangkan barangnya belum ada disaat akad.
b.      Istihsan bi Al Ijma’, yaitu istihsan yang berdasarkan pada ijma’, maksudnya meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu kasus karena ada ijma’ contohnya tentang jasa pemandian umum yang dalam kaidah umumnya jasa tersebut harus jelas berapa lama seorang itu mandi dan berapa banyak air yang harus dipakainya, namun itu menyulitkan banyak orang yang sehingga ulama sepakat untuk membolehkan hal tersebut tanpa menentukan jumlah air dan lamanya pemakaian.
c.       Istihsan bi Al-Qiyas Al-Khafi, istihsan ini memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas jali kepada qiyas khafi, tetapi keberadaannya lebih tepat untuk diamalkan, misalnya wakaf dalam lahan pertanian.
d.      Istihsan bi Al-Maslahah, yaitu istihsan yang berdasarkan kepada kemaslahatan, misalnya tentang keharusan buruh suatu pabrik untuk bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik baik disengaja ataupun tidak.
e.        Istihan bi Al-‘Urf, yaitu terhadap ketentuan hukum yang bertentangan dengan qiyas karena adanya ‘urf yang biasa dipraktekkan oleh masyarakat. Misalnya tentang menyewakan wanita untuk menyusukan bayinya dengan menjamin makanan, minuman dan pakaiannya.
f.        Istihsan bi Al-Dharurah, yaitu istihsan yang berdasarkan keadaaan darurat, maksudnya karena adanya keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid untuk memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya tentang sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum air sumur itu tidak boleh dipergunakan karena telah terkena najis dan sulit untuk membersihkannya, akan tetapi dalam keadaan seperti ini cukup memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur untuk menghilangkan najis.[60]
 Al-‘Urf
‘Urf merupakan kebiasaan masyarakat (mayoritas umat islam) yang dijalankan secara terus menerus, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Misalnya kebiasaan masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari maskawin yang diberikan oleh suami[61].
Seluruh ulama mazhab termasuk Imam Abu Hanifah menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah yang di hadapi. Adapun ‘urf yang dijadikan sebagai hujjah adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik berupa perkataan dan perbuatan maupun ‘urf yang menyangkut kebiasaan yang bersifat umum dan khusus atau biasa di sebut dengan ‘urf sharih[62].
Fiqh Abu Hanifah bercorak fiqh spekulatif (fiqh taqdiry). Abu Zahra mendefinisikan Fiqh taqdiry adalah fatwa dalam sebuah masalah fiqh yang belum terjadi dengan cara menganalogikan dengan permasalahan yang sudah terjadi. Corak seperti ini banyak digunakan oleh ulama ahli ra’yi dan qiyas.
Awalnya, corak fiqh pada periode Rasulullah Saw. hanya menjawab problematika umat yang sudah terjadi. Pada masa sahabat dan awal masa tabi’in –sebelum datangnya pemikiran dar Abu Hanifah-, berkembang dengan metode menjelaskan hukum yang ada dan menjaga hukum-hukum fiqh yang sudah ada. Pada masa Abu Hanifah berkembang menjadi fiqh spekulatif, yaitu mengqiyaskan sesuatu yang belum terjadi dengan hukum yang sudah ada. Fiqh taqdiri sebenarnya telah muncul sebelum Abu Hanifah. Syu’ba sering menjumpai Fuqaha yang menggunakan kata “law kana kadza” dan itu termasuk Fiqh at-Taqdiri.
Ada perselisihan diantara sebagian fuqaha tentang boleh tidaknya menggunakan metode Fiqh Taqdiri. Pada periode ke- 3 H, banyak fuqaha yang menggunakan metode tersebut, bahkan merinci suatu permasalahan sampai pada hal yang irasional, sesuatu yang tidak mungkin terjadi, seperti dalam permasalahan Khunsta Musykil.
Secara faktual pemikiran Abu Hanifah memang sangat mendalam dan rasional. Beliau memberi syarat yang cukup ketat dan selektif dalam penerimaan hadits ahad. Bagi Abu Hanifah ada 3 syarat yang harus di penuhi dialam penerimaan hadits ahad sebagai berikut :
v  Orang yang meriwayatkan hadits tidak boleh berbuat/berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan.
v  Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum dan sering terjadi sebab kalau menyangkut persoalan umum dan sering terjadi mestinya hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi tidak seorang saja.
v  Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum atau dasar-dasar kulliyah.
Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh fuqoha’ dari pada seorang ahli hadits kejujuran saja belum cukup unutk mengetahui seluk beluk hadits apalagi yang menyangkut hukum. Oleh karena itu Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang mengerti masalah fiqih.


[1] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya), h. 61.
[2] Ibdi.
[3] Ibnu Mandhzur, Lisanu al-‘Arab, (Kairo: Daarul Ma’arif, 1119), h. 3450.
[4] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 62.
[5] Ibd. h. 63.
6 ibid.
[7] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj. Faisal Salah dan Umar Mujtahid, al-‘Aqidatu al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 180.
[8] Ibdi.
[9] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 63.
[10] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, trj. Muhammad Al-Bagir, “Al-Khilafah wa al-mulk,”  (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h. 259.
[11] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Loc. Cit..
[12] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, op.cit. h. 260.
[13] Muh. Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT Raja Grapindo, 1997),Cet ke 2, h. 97
[14] Ahmad Al Syurbasi, loc. cit,
[15] M. Bahri Ghazali, Perbandingan Mazhab, ( Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1992), Cet ke-2, h. 49
[16] Ibid
[17] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 63.
[18] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, Op. Cit. h. 260.
[19] Abul A’la al-Maududi, KHILAFAH DAN KERAJAAN, Op. Cit. h. 260-261.
[20] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 95.
[21] Hasan, M, Ali, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 1996), h.184.
[22] Ibid.,
[23]  Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, Op. Cit. h.181.
[24] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Loc. Cit.
[25] Ibid, h. 64.
[26] Ibid.
[27] Ibid. 64-65
[28] M. Bahri Ghazali, op.cit., h.51
[29] Ibid.,
[30] Ibid., h. 52
[31] KH. Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Mazhab, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), h. 23.
[32] Dr. Nasihun Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 65.
[33] M. Bahri Ghazali, op. cit, h. 53
[34] Ibid.
[35] Ibid.,
[36] Ibid., h. 53.
[37] Ibid.,
[38] Ibid., h. 53-54
[39] Ibid., h. 54
[40] Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pertama, 1999), h. 22. Lihat Dr. Nasihun Amin, Sejarah perkembangan pemikiran islam, h. 67-68.
[41]T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, th), h. 134. Lihat juga Muhammad Ali Al-Sais, Tarikh Al-Fqh Al-Islam, (Beirut : Daar Al Kitab Al-Imamiyah, 1990), h. 91. Lihat juga Haswir, M.Ag, h.73. lihat Dr. Nasihun Amin, Sejarah perkembangan pemikiran islam, h. 66. Lihat juga Dr. Zulkayandri, M.Ag, Fiqh Muqaran, (Pekanbaru : Program Pasca Sarjana UIN Suka Riau, 2008), h.54. lihat juga DR. Ahmad Asy-Syurbasyi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, h. 19.
[42] Dr. Nasihun Amin, Sejarah perkembangan pemikiran islam, Op. Cit. h. 66.
[43] Ibid.
[44] Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2008), h. 159.
[45] Dedi Supriyadi, op. cit, h. 160
[46] KH. Moenawir Chalil., op.cit, h. 57
[47] Ibid.,
[48] Jalaludin Rakhmat, op. cit, h.295.
[49] A. Qadir Hasan, Ilmu Hadits, (Bandung : Diponegoro, 1984), h. 43-48.
[50] Dedi Supriyadi, op. cit, h. 162
[51] T.M Hasbi Ash Shiddiqi, op. cit, h. 153
[52] Dedi Supriyadi, op. cit, h, h. 163
[53] Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung :PT. Al-Ma’arif, 1997), h. 66.
[54] Dedi Supriyadi, op. cit, h. 164
[55] Nazar bakri, Fiqih dan Ushul Fiqh, ( Bandung : Rajawali Press, 1993), h. 47.
[56] Romli, op. cit, h. 79.
[57] Dr. Nasihun Amin, Sejarah perkembangan pemikiran islam, Op. Cit. h. 69.
[58] Ibid.
[59] Iskandar Usman, Istihsan Dan Pemahaman Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 6.
[60] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 202
[61] Nasroen Haroen, op. cit, h. 138-139.
[62] Ibid., h. 142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar