Jumat, 26 Mei 2017

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM: ABDULLAH AHMAD AN-NAIM



BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI HUKUM ISLAM: ABDULLAH AHMAD AN-NAIM
1.      Latar Belakang
Istilah reformasi syari’ah yang digunakan an-Na’im sebagai gagasannya melampaui fundamentalisme dan sekulerisme umat Islam dalam menjawab wacana kontemporer di antaranya adalah keadilan, demokrasi, kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungan. Lalu muncul pertanyaan bahwa benarkah Islam telah mampu menjawab semua masalah kontemporer, benarkah masalah-masalah sosial ada jawabannya hanya di luar Islam? Bukankah Islam harus menjadi ideologi moderat yang tetap hidup?
Dalam hal ini an-Na’im berusaha memberikan solusinya yaitu hukum Islam harus direformasi melalui reaktualisasi hukum islam dengan interpretasi baru yang relevan agar sejalan dengan tantangan yang dihadapi sekarang, karena syari’ah bukan keseluruhan Islam itu sendiri melainkan produk pemahaman manusia tentang sumber-sumber Islam. Selanjutnya akan dijelaskan dalam makalah ini tentang apa yang dimaksud reformasi Islam oleh an-Na’im, mengapa ia bersikap demikian dan apa yang melatar belakangi pemikirannya?

2. Rumusan Masalah
1. Biografi An-Na’im dan Pemikiran An-Na’im
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi An-Na’im dan Pemikiran An-Na’im
An-Na’im adalah murid dari Mahmoed Mohamed Taha  pendiri partai Persaudaraan Republik (The Republican Brotherhood) pada akhir Perang Dunia II sebagai partai alternatif di tengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan. An-Na’im menerjemahkan karya besar gurunya Al-Risalah al-Tsaniyah minal Islam ke dalam bahasa Inggris menjadi The Second Message of Islam, kemudian dicetak tahun 1987 setelah sembilanbelas tahun ia resmi menjadi anggota Persaudaraan Republik yang pada saat itu masih studi di Universitas Khartoum fakultas hukum.
Pada tahun 1973 ia memperoleh gelar LL.B dan Diploma di Fakultas Kriminologi Universitas Cambridge dan tiga tahun kemudian (1976) memperoleh gelar Ph.D di bidang hukum dari Universitas Edinburgh, lalu kembali ke Sudan menjadi pengacara dan dosen hukum di Universitas Khatoum. Menjelang tahun 1979 ia menjadi kepala Departemen Hukum Publik di Fakultas Hukum Universitas Khartoum.[1]
Kaum Republikan ini tetap mendukung Numeyri sepanjang tahun 70-an sampai 80-an. Dukungan diberikan selama rezim tersebut mempertahankan kebijakan nasional tentang kesatuan dan menahan diri untuk tidak memakai yang merugikan kaum perempuan dan non-muslim Sudan. Setelah syari’ah diterapkan secara paksa melalui keputusan presiden awal Agustus 1983, yang menggoyahkan  kesatuan nasional antara Muslim Utara dengan non-Muslim Selatan, maka sejak itu kaum Republikan menyatakan oposisinya terhadap rezim ini.[2]
Akibat dari pernyataan oposisinya mereka terhadap program islamisasi Numeyri, maka selama kurang lebih satu setengah tahun, An-Na’im ditahan bersama sekitar 30 orang pimpinan Persaudaraan Republik, termasuk gurunya Taha. Pada akhir tahun 1984 mereka dibebaskan, namun Taha ditangkap kembali bersama beberapa pimpinan lainnya dengan tuduhan menghasut dan pelanggaran lainnya, tetapi hanya Taha yang kemudian dihukum mati pada tangal 18 Januari 1985 oleh rezim Sudan Ja’far Numeyry. Sejak itu kelompok ini sepakat untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik dan secara resmi membubarkan diri.[3]
Reaktualisasi hukum islam sebenarnya sudah dilakukan oleh negara-negara muslim sejak  pertengahan abad XIX, mereka telah melakukan pembaharuan dengan dua tipe. Pertama, mengganti syari’ah dengan hukum sekular dalam masalah perdagangan, sipil, konstitusi, dan pidana. Namun pembaharuan tersebut hanya terealisasi tentang hukum keluarga dan waris. Kedua, pembaharuan yang dilakukan dengan tetap mengakui prinsip-prinsip dan aturan syari’ah seperti halnya dalam hukum keluarga dan waris bagi umat islam.[4]
Melalui reaktualisasi syari’ah yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirann pembaharuan ulama’ tedahulu, an-Naim bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaharuan modernis murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”.[5]
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Voll, ada tiga term yang perlu dikembangkan dalam pembaharuan tersebut, yaitu: kembali kepada al-Qur’an dan hadits secara total, menguak pintu ijtihad dan mengadopsi hokum sekuler yang disesuaikan dengan kerangka hukum islam. Tiga terma pembaharuan tersebut bukan hanya mendominasi dalam ranah hukum tetapi merembet kepada reformasi dalam tatanan politik, pendidikan, ekonomi dan berbagai sektor kehidupan- kehidupan lainnya.[6]
Terlepas dari tiga terma diatas, an-Naim mencoba membangun sebuah bangunan hukum yang lebih mapan yang jauh lebih relevan dalam konteks zaman sekarang ini.Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak supaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”.[7]
Selanjutnya an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern mistical approach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis.
Prinsip naskh pembatalan teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari pendekata evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional.[8]
An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya dengan alasan bahwa[9]:
a. Pesan Mekah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekah ini belum siap diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.
b. Pemberlakuan teori naskh lama itu tidak permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari agamanya.
Mengingat Naskh merupakan pokok masalah yang mempunyaai kompleksitas dan pengaruh yang luas serta tinggi dalam teologi dan fiqih islam. Setidaknya ada dua jenis naskh yang diterima oleh mayoritas hukum islam, diantaranya :
1.      Naskh al-hukm wa at-tilawah ( penghapusan hukum maupun teksnya)
Naskh ini biasanya berkenaan dengan sejumlah ayat yang pada suatu saat dikatakan oleh nabi sebagai bagian dari al-quran, namun kemudian nabi sendiri mengatakan ayat-ayat tersebut tidak lagi dianggap menjadi bagian al-Quran. Namun ayat tersebut tidak dipermasalahkan secara serius karena ayat tersebut sudah jelas dan tidak mengandung hukum.
2.      Naskh al-hukm duna at-tilawah ( penghapusan hukum tetapi tidak teksnya)
Jenis naskh ini sebagian besar ulama’ ahli hukum islam telah menerimanya, namun banyak mengundang polemik, apakah ayat-ayat yang telah di naskh tidak mungkin digunakan kembali hukumnya?.[10]
Pemahan an-Na’im terhadap konsep naskh berbeda dengan apa yang telah berlaku dalam literatur yurisprudensi Islam. Hal ini didasarkan ayat naskh (2:106) yang diterjemahkan Taha sebagai berikut: “Ayat yang kami naskh (menghapuskan hukum suatu ayat) atau yang Kami tunda pelaksanaan hukumnya, maka Kami gantikan dengan ayat yang lebih dekat dengan pemahaman manusia, atau memulihkan berlakunya ayat itu pada saat yang tepat”.[11]
Fenomena naskh yang diakui oleh para ulama, merupakan bukti terbesar akan adanya dialektika hubungan antara wahyu dengan realitas. Namun muncul dua problem mendasar yaitu:
1.      bagaimana mengkompromikan antara fenomena ini dengan konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu perubahan teks dengan naskh dengan keyakinan umum dan kuat tentang adanya wujud azali dai teks di Lauh Mahfuz?
2.       Sebagian dari teks telah terlupakan dari ingatan ketika pengumpulan al-Qur’an masa Abu Bakar.[12]
Naskh yang dimaksud an-Na’im adalah suatu teks masih menjadi bagian al-Qur’an tetapi dianggap tidak berlaku secara hukum. Hal ini didasarkan atas pembedaan antara surat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Makkah dan Madinah. Surat Makkah lebih memperhatikan masalah spiritual dan cakrawala keagamaan, yang mana pada saat itu islam belum kuat dan Nabi memerintahkan pengikutnya untuk menerapkan dakwah secara damai dan mengizinkan kebebasan seseorang untuk memilih agamanya. Menurut Mahmoud ayat al-Quran yang turun di makkah merupakan pesan abadi dan fudamental yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, agama, ras, dan lain-lain. sedangkan surat Madinah menjelaskan tentang problem politik, sosial dan hukum  lebih ditekankan sehingga mengakibatkan diperbolehkannya menggunakan kekerasan guna memaksa orang kafir untuk mememeluk agama islam atau mengikuti syari’ah islam pada saat itulah islam sudah kuat.[13]
An-Na’im menegaskan bahwa kaum Muslim bebas menemukan ayat-ayat mana yang sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka. Dengan kata lain bahwa syari’ah historis yang dimaksud an-Na’im hanya berlaku bagi masyarakat muslim masa lampau, sedang bagi masyarakat sekarang adalah menerapkan ayat-ayat yang menekankan konstitusionalisme, hak asasi manusia dan internasionalisme.
An-Na’im dengan teori naskh yang diadopsi dari gurunya ingin mengatakan bahwa ayat yang digunakan sebagai basis hukum Islam pada saat ini dicabut dan digantikan dengan ayat yang terhapus untuk dijadikan basis hukum Islam modern karena mahmoed beranggapan bahwa ayat-ayat yang diturunkan di makkah tidak realistik dengan keadaan masyarakat madinah sehingga pesan makkah digantikan dengan pesan madinah yang lebih cocok dan realistik serta praktis dengan keaddan pada saat itu. Namun tidak berati pesan makkah tidak dapat digunakan sebagai hukum kembali. An-Naim di dalam tesisnya juga  mengugkapkan bahwa karena teknik-teknik naskh telah digunkan pada masa lalu untuk membangun syari’ah yang hingga sekarang masih diterima sebagai model islam yang murni dan otentik, maka sekarang teknik yang samapun dapat digunakan untuk menghasilkan hukum islam yang modern dan otentik pula.
Teori naskh yang dikedepankan oleh an-Na’im seirama dengan teori fenomenologi yang yang dibangun Edmund Husserl. Dimana teori tersebut membiarkan fakta (al-Qur’an) berbicara apa adanya tanpa ada penilaian subyektif. Namun salah satu kelemahan pendekatan an-Na’im adalah perhatiannya yang terlalu besar terhadap teori naskh, karena hanya sebagian kecil saja ayat-ayat madaniyah yang berfungi sebagai nasikh bagi ayat-ayat Makkiyah, selebihnya ayat-ayat tersebut berfungsi sebagai tafshil al-mujmal, takhshish al-‘aam, taqyid al-muthlaq dan sebagai penyempurna.
As-Suyuti menjelaskan bahwa hanya 21 ayat al-Qur’an yang menerima naskh.[14] Adapun mengenai alasan sedikitnya ayat yang dinaskh, menurut asy-Syatibi adalah karena hukum-hukum kulliyat dan kaidah ushuliyah dalam agama.
Disamping itu, menurut Arkoun metodologi Reaktualisasi hukum Islam an-Na’im merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses revolusioner dalam bentuk konstitusionalisme modern, hukum internasional modern, hak asasi manusia dan hukum pidana yang telah berlangsung untuk pertama dan hanya di Eropa. Oleh sebab itu, tidak heran jika an-Na’im banyak menggunakan kesimpulan-kesimpulan para orientalis untuk memastikan relevansi upayannya dengan tuntutan modernitas. Hal itu nampak dari pengakuan an-Na’im bahwa sains Barat, walaupun tidak dapat memberikan moralitas global dan kerangka hukum anutan bagi perlindungan hak asasi manusia, sangat berguna dalam mempertajam metodologi penelitian ilmiah yang berusaha menemukan landasan lintas budaya bagi hak asasi manusia internasional.
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
Istilah konstitusionalisme mengimplikasikan pembatasan hukum atas Kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban politiknya terhadap sekelompok manusia lain.[15] Beberapa ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri pembuat undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan legislatif di bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
Ada suatu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar yang mampu menopang standar universal hak-hak asasi manusia. Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Aturan yang teramat indah ini mengacu pada prinsip resiprositas yang sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi agama besar di dunia. Selain itu kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi filosofis.[16]
Menurut Mahmoed bahwa prinsip murni dalam Islam adalah kebebasan. Perbudakan bukan ajaran murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan perempuan bukan ajaran murni Islam, poligami bukan ajaran murni Islam dan perceraian juga bukan ajaran murni Islam.[17] Problem berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam konteks ini adalah kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama yang lain, bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri. Konsepsi prinsip resiprositas historis berdasarkan syari’ah tidak berlaku bagi perempuan dan non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut an-Na’im bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan pemeliharaan hidup. Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama dari penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis, tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam modern tidak dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus diterapkan sekarang.[18]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Latar belakang pemikiran an-Na’im sangat dipengaruhi oleh keadaan politik di Sudan yang sempat menimbulkan konflik dan ketegangn antara Sudan Utara dengan Sudan Selatan di bawah pemerintahan Numeyry yang juga menghukum mati gurunya Mahmoed Muhamaed Taha.
Syari’ah dipahami oleh an-Na’im sebagai hasil dari interpretasi generasi muslim awal terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Berangkat dari pemahaman inilah, kemudian an-Na’im mengembangkan teori gurunya Taha yaitu evolusi hukum Islam (naskh) dan menjadikannya sebagai solusi terhadap kebuntuan syari’ah yang dipahami kaum fundamental dalam menjawab wacana kontemporer seperti keadilan, demokrasi, kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungan. Namun reformasi hukum islam yang di lakukan an-Na’im ini masih belum selesai (final) masih banyak perjuangan, pikiran dan aksi yang di lakukannya.reformasi hukum islam an-Na’im masih tergantung di awang-awang, dan untuk membumikannya masih butuh banyak waktu, pikiran, perjuangan, dan juga aksi nyata.




[1]Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), h. Xi
[2]Mahmoud Mohamed Taha, Syari’ah Demokaratik, terj. Nur Rachman, (Surabaya: eLSaD, 1996), hal. 36-37
[3]Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi, op. cit, h. 27-52
[4]Ibid. h. 75
[5]Ibid. h. 21
[6]Ibid. h. 80-82
[7]ibid. h. 69
[8]Ibid. h. 69-70
[9]Ibid. h. ix
[10] Ibid. h  96
[11] Ibid. h. 70
[12] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoirun Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 153-154
[13]M. Arkoun, Dekonstruksi Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h. 18
[14]Manna‘ al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: al-‘Asr al-Hadits, tt.), h. 242
[15] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruks, op. Cit. h. 150
[16] Ibid. h. 190
[17] Charles Kurxman, Liberal Islam, (New York: Oxford university press, 1998), h. 223
[18] Ibid. h. 310-313