BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI HUKUM
ISLAM: ABDULLAH AHMAD AN-NAIM
1.
Latar Belakang
Istilah reformasi syari’ah yang digunakan an-Na’im
sebagai gagasannya melampaui fundamentalisme dan sekulerisme umat Islam dalam
menjawab wacana kontemporer di antaranya adalah keadilan, demokrasi, kebebasan
manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungan. Lalu muncul
pertanyaan bahwa benarkah Islam telah mampu menjawab semua masalah kontemporer,
benarkah masalah-masalah sosial ada jawabannya hanya di luar Islam? Bukankah
Islam harus menjadi ideologi moderat yang tetap hidup?
Dalam hal ini an-Na’im berusaha memberikan solusinya
yaitu hukum Islam harus direformasi melalui reaktualisasi hukum islam dengan
interpretasi baru yang relevan agar sejalan dengan tantangan yang dihadapi
sekarang, karena syari’ah bukan keseluruhan Islam itu sendiri melainkan produk
pemahaman manusia tentang sumber-sumber Islam. Selanjutnya akan dijelaskan
dalam makalah ini tentang apa yang dimaksud reformasi Islam oleh an-Na’im,
mengapa ia bersikap demikian dan apa yang melatar belakangi pemikirannya?
2. Rumusan Masalah
1. Biografi An-Na’im
dan Pemikiran An-Na’im
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi An-Na’im
dan Pemikiran An-Na’im
An-Na’im adalah murid dari Mahmoed Mohamed Taha
pendiri partai Persaudaraan Republik (The Republican Brotherhood) pada
akhir Perang Dunia II sebagai partai alternatif di tengah-tengah perjuangan
nasionalis Sudan. An-Na’im menerjemahkan karya besar gurunya Al-Risalah
al-Tsaniyah minal Islam ke dalam bahasa Inggris menjadi The Second
Message of Islam, kemudian dicetak tahun 1987 setelah sembilanbelas tahun
ia resmi menjadi anggota Persaudaraan Republik yang pada saat itu masih studi
di Universitas Khartoum fakultas hukum.
Pada tahun 1973 ia memperoleh gelar LL.B dan Diploma
di Fakultas Kriminologi Universitas Cambridge dan tiga tahun kemudian (1976)
memperoleh gelar Ph.D di bidang hukum dari Universitas Edinburgh, lalu kembali
ke Sudan menjadi pengacara dan dosen hukum di Universitas Khatoum. Menjelang
tahun 1979 ia menjadi kepala Departemen Hukum Publik di Fakultas Hukum
Universitas Khartoum.[1]
Kaum Republikan ini tetap mendukung Numeyri sepanjang
tahun 70-an sampai 80-an. Dukungan diberikan selama rezim tersebut
mempertahankan kebijakan nasional tentang kesatuan dan menahan diri untuk tidak
memakai yang merugikan kaum perempuan dan non-muslim Sudan. Setelah syari’ah
diterapkan secara paksa melalui keputusan presiden awal Agustus 1983, yang
menggoyahkan kesatuan nasional antara Muslim Utara dengan non-Muslim
Selatan, maka sejak itu kaum Republikan menyatakan oposisinya terhadap rezim
ini.[2]
Akibat dari pernyataan oposisinya mereka terhadap
program islamisasi Numeyri, maka selama kurang lebih satu setengah tahun,
An-Na’im ditahan bersama sekitar 30 orang pimpinan Persaudaraan Republik,
termasuk gurunya Taha. Pada akhir tahun 1984 mereka dibebaskan, namun Taha
ditangkap kembali bersama beberapa pimpinan lainnya dengan tuduhan menghasut
dan pelanggaran lainnya, tetapi hanya Taha yang kemudian dihukum mati pada
tangal 18 Januari 1985 oleh rezim Sudan Ja’far Numeyry. Sejak itu kelompok ini
sepakat untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik dan secara resmi
membubarkan diri.[3]
Reaktualisasi hukum islam sebenarnya sudah dilakukan
oleh negara-negara muslim sejak
pertengahan abad XIX, mereka telah melakukan pembaharuan dengan dua
tipe. Pertama, mengganti syari’ah dengan hukum sekular dalam masalah
perdagangan, sipil, konstitusi, dan pidana. Namun pembaharuan tersebut hanya
terealisasi tentang hukum keluarga dan waris. Kedua, pembaharuan yang
dilakukan dengan tetap mengakui prinsip-prinsip dan aturan syari’ah seperti
halnya dalam hukum keluarga dan waris bagi umat islam.[4]
Melalui reaktualisasi syari’ah yang digagas an-Na’im
yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap
pemikirann pembaharuan ulama’ tedahulu, an-Naim bermaksud memberikan solusi
bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar
Islam dan bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar
pembaharuan modernis murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat
Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua alternative, yaitu
mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan dalam menjawab dinamika
zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”.[5]
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Voll, ada
tiga term yang perlu dikembangkan dalam pembaharuan tersebut, yaitu: kembali
kepada al-Qur’an dan hadits secara total, menguak pintu ijtihad dan mengadopsi
hokum sekuler yang disesuaikan dengan kerangka hukum islam. Tiga terma
pembaharuan tersebut bukan hanya mendominasi dalam ranah hukum tetapi merembet
kepada reformasi dalam tatanan politik, pendidikan, ekonomi dan berbagai sektor
kehidupan- kehidupan lainnya.[6]
Terlepas dari tiga terma diatas, an-Naim mencoba
membangun sebuah bangunan hukum yang lebih mapan yang jauh lebih relevan dalam
konteks zaman sekarang ini.Menurut an-Na’im,
selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka
tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang
mendesak supaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”.[7]
Selanjutnya an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu
metodologi pembaharuan yang revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi
legislasi Islam (modern mistical approach), yang intinya suatu ajakan
untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat
al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan
kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah
historis.
Prinsip naskh pembatalan teks al-Qur’an dan
Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an
dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah
yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek
dari pendekata evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut
dengan prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap
implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak
muslim dan non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib
sendiri. Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik
syari’ah tradisional.[8]
An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya dengan
alasan bahwa[9]:
a. Pesan Mekah adalah
pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat
manusia. Karena pesan Mekah ini belum siap diterapkan oleh manusia pada abad
ketujuh, maka Allah menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi
zaman waktu itu.
b. Pemberlakuan teori naskh
lama itu tidak permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak
sebagian dari agamanya.
Mengingat Naskh merupakan pokok masalah yang
mempunyaai kompleksitas dan pengaruh yang luas serta tinggi dalam teologi dan
fiqih islam. Setidaknya ada dua jenis naskh yang diterima oleh mayoritas hukum
islam, diantaranya :
1.
Naskh al-hukm wa
at-tilawah ( penghapusan hukum
maupun teksnya)
Naskh ini biasanya
berkenaan dengan sejumlah ayat yang pada suatu saat dikatakan oleh nabi sebagai
bagian dari al-quran, namun kemudian nabi sendiri mengatakan ayat-ayat tersebut
tidak lagi dianggap menjadi bagian al-Quran. Namun ayat tersebut tidak
dipermasalahkan secara serius karena ayat tersebut sudah jelas dan tidak
mengandung hukum.
2.
Naskh al-hukm duna
at-tilawah ( penghapusan hukum
tetapi tidak teksnya)
Jenis naskh ini
sebagian besar ulama’ ahli hukum islam telah menerimanya, namun banyak
mengundang polemik, apakah ayat-ayat yang telah di naskh tidak mungkin
digunakan kembali hukumnya?.[10]
Pemahan an-Na’im terhadap konsep naskh berbeda dengan
apa yang telah berlaku dalam literatur yurisprudensi Islam. Hal ini didasarkan
ayat naskh (2:106) yang diterjemahkan Taha sebagai berikut: “Ayat yang
kami naskh (menghapuskan hukum suatu ayat) atau yang Kami tunda
pelaksanaan hukumnya, maka Kami gantikan dengan ayat yang lebih dekat dengan
pemahaman manusia, atau memulihkan berlakunya ayat itu pada saat yang tepat”.[11]
Fenomena naskh yang diakui oleh para ulama,
merupakan bukti terbesar akan adanya dialektika hubungan antara wahyu dengan
realitas. Namun muncul dua problem mendasar yaitu:
1.
bagaimana
mengkompromikan antara fenomena ini dengan konsekuensi yang ditimbulkannya,
yaitu perubahan teks dengan naskh dengan keyakinan umum dan kuat tentang
adanya wujud azali dai teks di Lauh Mahfuz?
2.
Sebagian dari teks telah terlupakan dari
ingatan ketika pengumpulan al-Qur’an masa Abu Bakar.[12]
Naskh yang dimaksud an-Na’im adalah suatu teks masih
menjadi bagian al-Qur’an tetapi dianggap tidak berlaku secara hukum. Hal ini
didasarkan atas pembedaan antara surat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode
Makkah dan Madinah. Surat Makkah lebih memperhatikan masalah spiritual dan
cakrawala keagamaan, yang mana pada saat itu islam belum kuat dan Nabi
memerintahkan pengikutnya untuk menerapkan dakwah secara damai dan mengizinkan
kebebasan seseorang untuk memilih agamanya. Menurut Mahmoud ayat al-Quran yang
turun di makkah merupakan pesan abadi dan fudamental yang menekankan martabat
yang inheren pada seluruh umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, agama,
ras, dan lain-lain. sedangkan surat Madinah menjelaskan tentang problem politik,
sosial dan hukum lebih ditekankan
sehingga mengakibatkan diperbolehkannya menggunakan kekerasan guna memaksa
orang kafir untuk mememeluk agama islam atau mengikuti syari’ah islam pada saat
itulah islam sudah kuat.[13]
An-Na’im menegaskan bahwa kaum Muslim bebas menemukan
ayat-ayat mana yang sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka. Dengan kata lain
bahwa syari’ah historis yang dimaksud an-Na’im hanya berlaku bagi masyarakat
muslim masa lampau, sedang bagi masyarakat sekarang adalah menerapkan ayat-ayat
yang menekankan konstitusionalisme, hak asasi manusia dan internasionalisme.
An-Na’im dengan teori naskh yang diadopsi dari
gurunya ingin mengatakan bahwa ayat yang digunakan sebagai basis hukum Islam
pada saat ini dicabut dan digantikan dengan ayat yang terhapus untuk dijadikan
basis hukum Islam modern karena mahmoed beranggapan bahwa ayat-ayat yang
diturunkan di makkah tidak realistik dengan keadaan masyarakat madinah sehingga
pesan makkah digantikan dengan pesan madinah yang lebih cocok dan realistik
serta praktis dengan keaddan pada saat itu. Namun tidak berati pesan makkah
tidak dapat digunakan sebagai hukum kembali. An-Naim di dalam tesisnya juga mengugkapkan bahwa karena teknik-teknik naskh
telah digunkan pada masa lalu untuk membangun syari’ah yang hingga sekarang
masih diterima sebagai model islam yang murni dan otentik, maka sekarang teknik
yang samapun dapat digunakan untuk menghasilkan hukum islam yang modern dan
otentik pula.
Teori naskh yang dikedepankan oleh an-Na’im
seirama dengan teori fenomenologi yang yang dibangun Edmund Husserl. Dimana
teori tersebut membiarkan fakta (al-Qur’an) berbicara apa adanya tanpa ada
penilaian subyektif. Namun salah satu kelemahan pendekatan an-Na’im adalah
perhatiannya yang terlalu besar terhadap teori naskh, karena hanya
sebagian kecil saja ayat-ayat madaniyah yang berfungi sebagai nasikh
bagi ayat-ayat Makkiyah, selebihnya ayat-ayat tersebut berfungsi sebagai tafshil
al-mujmal, takhshish al-‘aam, taqyid al-muthlaq dan sebagai penyempurna.
As-Suyuti menjelaskan bahwa hanya 21 ayat al-Qur’an
yang menerima naskh.[14]
Adapun mengenai alasan sedikitnya ayat yang dinaskh, menurut asy-Syatibi
adalah karena hukum-hukum kulliyat dan kaidah ushuliyah dalam agama.
Disamping itu, menurut Arkoun metodologi Reaktualisasi
hukum Islam an-Na’im merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses
revolusioner dalam bentuk konstitusionalisme modern, hukum internasional
modern, hak asasi manusia dan hukum pidana yang telah berlangsung untuk pertama
dan hanya di Eropa. Oleh sebab itu, tidak heran jika an-Na’im banyak
menggunakan kesimpulan-kesimpulan para orientalis untuk memastikan relevansi
upayannya dengan tuntutan modernitas. Hal itu nampak dari pengakuan an-Na’im
bahwa sains Barat, walaupun tidak dapat memberikan moralitas global dan
kerangka hukum anutan bagi perlindungan hak asasi manusia, sangat berguna dalam
mempertajam metodologi penelitian ilmiah yang berusaha menemukan landasan
lintas budaya bagi hak asasi manusia internasional.
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang menyeluruh,
mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional, dan
hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im
lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan
non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal,
diantaranya berikut ini:
Istilah konstitusionalisme mengimplikasikan pembatasan
hukum atas Kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban politiknya terhadap
sekelompok manusia lain.[15]
Beberapa ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri pembuat
undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan
legislatif di bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan
manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan
aturan-aturan syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus
ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
Ada suatu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh
semua tradisi kebudayaan besar yang mampu menopang standar universal hak-hak
asasi manusia. Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang
lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Aturan yang teramat
indah ini mengacu pada prinsip resiprositas yang sesungguhnya dimiliki oleh
semua tradisi agama besar di dunia. Selain itu kekuatan moral dan logika dari
proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat
manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi filosofis.[16]
Menurut Mahmoed bahwa prinsip murni dalam Islam adalah
kebebasan. Perbudakan bukan ajaran murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan
perempuan bukan ajaran murni Islam, poligami bukan ajaran murni Islam dan
perceraian juga bukan ajaran murni Islam.[17]
Problem berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam konteks ini
adalah kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi
penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama yang lain,
bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri. Konsepsi
prinsip resiprositas historis berdasarkan syari’ah tidak berlaku bagi perempuan
dan non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut an-Na’im
bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang
memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak
untuk bebas. Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras
untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan
pemeliharaan hidup. Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama
dari penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap
jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan
syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis,
tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena
konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam modern tidak
dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus
diterapkan sekarang.[18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Latar belakang
pemikiran an-Na’im sangat dipengaruhi oleh keadaan politik di Sudan yang sempat
menimbulkan konflik dan ketegangn antara Sudan Utara dengan Sudan Selatan di
bawah pemerintahan Numeyry yang juga menghukum mati gurunya Mahmoed Muhamaed
Taha.
Syari’ah dipahami oleh
an-Na’im sebagai hasil dari interpretasi generasi muslim awal terhadap
al-Qur’an dan Sunnah. Berangkat dari pemahaman inilah, kemudian an-Na’im
mengembangkan teori gurunya Taha yaitu evolusi hukum Islam (naskh) dan
menjadikannya sebagai solusi terhadap kebuntuan syari’ah yang dipahami kaum
fundamental dalam menjawab wacana kontemporer seperti keadilan, demokrasi,
kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungan. Namun reformasi hukum islam yang di lakukan an-Na’im
ini masih belum selesai (final) masih banyak perjuangan, pikiran dan aksi yang
di lakukannya.reformasi hukum islam an-Na’im masih tergantung di awang-awang,
dan untuk membumikannya masih butuh banyak waktu, pikiran, perjuangan, dan juga
aksi nyata.
[1]Abdullah Ahmed
an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani,
(Yogykakarta: LkiS, 1997), h. Xi
[2]Mahmoud Mohamed Taha, Syari’ah
Demokaratik, terj. Nur Rachman, (Surabaya: eLSaD, 1996), hal. 36-37
[3]Abdullah Ahmed
an-Na’im, Dekonstruksi, op. cit, h. 27-52
[4]Ibid.
h. 75
[5]Ibid. h. 21
[6]Ibid.
h. 80-82
[7]ibid. h. 69
[8]Ibid. h. 69-70
[9]Ibid. h. ix
[10] Ibid.
h 96
[11] Ibid.
h. 70
[12] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap
Ulumul Qur’an, terj. Khoirun Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS, 2001),
h. 153-154
[13]M. Arkoun, Dekonstruksi
Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h.
18
[14]Manna‘ al-Qaththan, Mabahis
fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: al-‘Asr al-Hadits, tt.), h. 242
[15] Abdullah Ahmed an-Na’im,
Dekonstruks, op. Cit. h. 150
[16] Ibid. h. 190
[17] Charles Kurxman, Liberal
Islam, (New York: Oxford university press, 1998), h. 223
[18] Ibid. h.
310-313