Jumat, 26 Mei 2017

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM: FAZLUR RAHMAN



BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI HUKUM ISLAM: FAZLUR RAHMAN
A.    Latar Belakang.
Al-Quran yang merupakan bukti kebenaraan agam islam yang datang dari Allah SWT melaui pewahyuan dan disyi’arkan oleh Nabi Muhammad Saw. Dan fungsinya, sebagai petunjuk untuk umat manusia dimanapun dan kapanpun, yang terkandung dalamnya berbagai macam keistimewaan. Antara lain susunan bahasanya yang indah bersasatra tinggi, memuat konsep dan teknis bentuk undang-undang yang komprehensif melebihi undang-undang buatan manusia, kaya akan ilmu dan pengetahuan tanpa adanya pertentangan dengan diskurus keilmuan pengetahuan mutakhir dan tidak berlawanan dengan logika secara ilmiah.
Interpretasi al-Qur’an bagi umat Islam, merupakan upaya untuk memahami kandungan teks kalam ilahi dalam memuat pesan-pesan Tuhan. Karenannya al-Qur’an diturunkan tidak lain sebagai petunjuk dan penjelas atas tuntunan yang Tuhan berikan bagi manusia selaku makhluk sosial juga seorang hamba (QS. al-Baqarah: 185).  Kendati demikian seberapapun kemampuan manusia mampu menguak kandungan pesan teks, manusia hanya dapat berada pada pemahamn yang bersifat relatif. Jikapun terbilang sebagai kebenaran, maka keberanaran tersebut hanya bersifat personal daripada ijtihadnya.[1] Disamping itu, pesan Tuhan yang terekam dalam al-Qur’an tidak hanya dapat dipahami dalam satu waktu tanpa perkembangan dan perubahan, melaikan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Untuk merekisasikan pengalian pesan-pesan Tuhan dalam Al-Qur’an, maka tentulah senantiasa berusaha memahaminya selaras dengan realitas dan kondisi sosial yang berjalan seiring perubahan zaman. Dengan kata lain wahyu Tuhan dipahami secara sangat variatif, selaras kebutuhan umat manusia sebagai konsumennya dalam arti sebagai sumber pijakan beribadah. Pemahaman yang beragam ini pada gilirannya, menempatkan interpretasi sebagai disiplin keilmuan yang tidak mengenal kering. Para penafsir telah banyak menunjukan berbagai model interpretasi semenjak awal kemunculan disiplin tersebut sampai dengan era kontemporer.
Fazlur Rahman adalah salah seorang pemikir dan tokoh intelektual Islam kontemporer yang terkemuka. Kepiawaiannya tercermin dari gagasan–gagasan yang ditawarkannya melalui berbagai artikel dan buku yang berbentuk banyak varian. Dari persoalan filsafat, teologi, mistik, hukum sampai pada persoalan perkembangan kontemporer yang kaya akan persoalan pemahaman teks ilahi, dari itu dirasa perlu adaanya penafsiran baru terhadap kandungan al-Qur’an. Tantangan kehidupan moderen dan kontemporer mengharuskan Fazlur Rahman untuk berpikir keras dalam menemukan preskripsi untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang muncul. Melalui reaktualisasi pengkajian ulang terhadap beberapa pandangan yang baku di kalangan umat Islam yang cenderung tidak akomodatif bahkan sulit diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat kontemporer.   
Fazlur Rahman memandang perlu diupayakan reinterpretasi al-Qur’an. Dalam hal ini, ia menawarkan metode tafsir kontemporer yang berbeda dengan metode tafsir-tafsir era sebelumnya. Metode tafsir yang memiliki nuansa unik dan menarik untuk dikaji secara intensif, yaitu metode yang populer dengan nama metode “ Double Movement”( Gerak Ganda) sebagai reaktualisasi hukum Islam.[2]
A.    RUMUSAN MASALAH
1.      Biografi Fazlur Rahman dan Pemikiran Fazlur Rahman
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada 21 September 1919 M di daerah Barat Laut Pakistan. Rahman bukanlah satu-satunya pemikir yang ada di Pakistan, sebelum dirinya ada pemikir di daerah tersebut, antara lain: Abu ‘Ala al-Maududi, Syah Waliyullah al-Dahlawi, Sayyid Ahmad Khan, Amir Ali dan M. Iqbal. Karena itu tidak mengherankan bila Rahman berkembang menjadi seorang pemikir bebas. Dia dibesarkan di keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi, sebuah madzhab sunni yang bercorak lebih rasionalis, karena lebih menggunakan ra`yu daripada riwayah (hadits) bila dibandingkan tiga madzhab besar lainnya (Maliki, Syafi`I, Hambali). Akan tetapi sejak berumur belasan tahun Rahman telah melepaskan diri dari ikatan madzhab-madzhab sunni dan mengembangkan pemikirannya secara bebas.
Di samping memperoleh pendidikan secara formal di madrasah, awal pendidikan Rahman diperoleh dari ayahnya, Maulana Sihabuddin.[3] Sihabuddin merupakan seorang kiyai dari Deoban, sebuah madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. Namun ajaran ayahnya yang berakar tradisional itu tampaknya tidak banyak mempengaruhi Rahman, selain menanamkan rasa keterikatan dan keterlibatannya terhadap Islam. Dalam salah satu kesempatan, Rahman pernah mengisahkan bahwa semasa kecil ayahnya sering memberi pelajaran Hadits di samping syari`ah. Akan tetapi, sejak berumur belasan tahun ia telah skeptic terhadap hadits. Dan sikap ini merupakan warisan Sir Sayyid dan gerakan Aligarh-nya terhadap modernisme Islam di anak benua Indo-Pakistan.
Setelah menamatkan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya di Departemen ketimuran Universitas Punjab Pada 1942,[4] ia berhasil menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas tersebut dan mendapat gelar M.A. dalam sastra arab.[5] Ketika telah meraih gelar tersebut dan tengah belajar untuk program ph. D. di Universitas Oxford selesai dan mendapatkan gelar doctor nya (Ph. D) pada tahun 1951.[6] Dengan mengajukan sebuah disertasi tentang Ibnu Sina. Dua tahun kemudian, Oxford University press menerbitkan terjemahan Inggrisnya dari karya monumental Ibnu Sina, kitab An-Najat dengan judul Avicenna`s psychology. Kitab An-Najat merupakan ringkasan Ibnu Sina sendiri terhadap karya agungnya, kitab Al-Syifa. Penerjamahan kitab tesebut juha dilakukan oleh Rahman, disamping kajian-kajiannya yang mendalam tentang Ibnu Sina, Rahman juga memperdalam kajiannya tentang Ibnu Sina. Atas apa yang dikerjakanya menghantarkan dirinya mendapatkan reputasi dari kalangan sarjana-sarjana ketimuran sebagai seorang yang dinilai ahli tentang Ibnu Sina. Kegiatan kejian tersebut dilanjutkanya dengan menyunting karya Ibnu Sina lainnya, yaitu kitab Al-Nafs yang juga merupakan bagian dari kitab Al-Syifa`. Karya tersebut diterbitkan oleh penerbit yang sama pada tahun 1959, dengan judul Avicenna`s De Anima. Dalam menyunting karya Ibnu Sina yang tebalnya sekitar 300-an halaman dan dari 269 halaman ditulis dalam bahasa Arab. Kualitas intelektual kesarjanahahnya dalam karyanya tersebut ditampilkanya, dengan melalui cara pengkajian berupa pemeriksaan dan pembandingan delapan buah manuskrip bahasa Arab, dua teks Latin, dan teks letografis Teheran (1303 H) untuk mendeterminasi apa yang disebutnya sebagai editio princeps. Perbedaan baca serta sumber-sumbernya juga disebutkan secara lengkap dan kritis.
Adapun Keputusan untuk melanjutkan studi ke Barat (Oxford) dilatarbelakangi ketidakpuasan Rahman terhadap mutu pendidikan tinggi Islam di negeri-negeri Muslim. Ketika bertemu dengan seorang pendeta Hindu, Sir S. Radhakhishnan, di Inggris, Rahman pernah ditanya oleh sang pendeta: “mengapa anda tidak pergi ke Mesir saja, tapi malah ke Oxford?” Rahman menjawab, “studi-studi Islam di sana sama tidak kritisnya dengan di India. Ketidakpuasan Rahman terhadap pendidikan tinggi Islam di negeri-negeri Muslim ini belakangan terjelma dalam kritisismenya yang pedas terhadap lembaga-lembaga tersebut. Tentang al-Azhar di Mesir misalnya, ia mengatakan bahwa lembaga pendidikan itu dalam kenyataan “mewakili sosok akhir pemikiran Islam abad pertengahan dengan berbagai modifikasi baru”, serta posisi intelektual-spiritualnya tetap statis.
Dalam kesejarahan hidupnya, Rahman pernah diajak Maududi bergabung dengan jama`at Islami dengan syarat harus meninggalkan studinya, sebab menurut Maududi “semakin banyak engkau belajar, maka semakin beku kemampuan-kemampuan praktismu. Namun, pada waktu itu Rahman menolak ajakan Maududi dan melanjutkan studinya karena dia lebih mencintainya. Kisah yang dituturkan Rahman ini menunjukkan betapa eratnya hubungan Rahman dengan Maududi pada waktu itu. Namun, belakangan Rahman berkembang menjadi seorang kritikus pemikiran keagamaan Maududi yang paling tangguh. Kritisme ini bahkan telah tertuang dalam tulisan-tulisan awalnya ketika ia tengah mengajar di Barat, setelah merampungkan studi doktoralnya. Atas kualitas yang telah dimlikinya, menjadikan dirinya diakui oleh dunia luar. Sehingga ia dipercaya untuk mengajar pada Lembaga Studi ke-Islaman di Universitas McGill Monteal Kanada.[7]
Meskipun ia telah resmi diangkat sebagai tenaga pengajar di McGill, akan tetapi keinginan untuk kembali ke Pakistan sangat kuat. Hal ini lantaran motif keinginannya menjabat direktur Lembaga Pengkajian Islam (Islamic Rescearch Institute) dan sekaligus menjabat sebgai Anggota Dewan Penasehat Ideology Islam (Advisory Concil of Islamic Ideplogy) di pemerintahan Pakistan. Selain dari beberapa jabatan yang perhan ia embah, Rahman pernah menjabat sebagai Guru Besar Studi ke-Islaman di Universitas Chicago Amerika Serikat. [8]
Setelah meraih doctor of philosophy (D. phil.) dari Oxford University, ia tidak langsung kembali ke Pakistan yang baru saja merdeka beberapa tahun. Kecemasan yang ia alami sebagai seorang sarjana yang terdidik dari Barat, menjadikannya untuk sementara menunda kepulanganya ke tanah kelahiran. Dimasa penundaannya pulang ke Pakistan, Fazlur Rahman mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris. Kemudian di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dimana ia menjabat sebagai Associate Professor of Philophy. Di Kanada inilah Rahman menjalin persahabatan yang erat orientalis ternama, W.C. Smith, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies, McGill University.
prophecy in Islam: philosophy and orthodoxy, merupakan salah satu karya Fazlur Rahman yang bernilai dari sekian banyak karyanya.[9] Penulisan karya ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama itu sarjana-sarjana modern yang mengkaji pemikiran keagamaan kaum muslim kurang menaruh perhatian terhadap masalah doktrin kenabian. Dari alasan daar tersebut karya tersebut muncul yang tidak lain bertujuan memfokuskan perhatian pada era pemikiran religio-filosofis Islam, yang mana melalui karyanya tersebut ia mengajak kepada seluruh komponen Islam untuk menyegarkan kembali terhadap berbagai pemahaman terhadap islam.[10] Menurut Fazlur Rahman bahwa obyek kajian ini sangat penting, karena merupakan titik sentral yang sama-sama dihadapi oleh arus pemikiran Islam tardisional dan Helenis. Melalui penelaahan formulasi para filosof Muslim mengenai doktrin kenabian, yang berada di bawah pengaruh helenisme, serta penerimaan ortodoksi terhadap doktrin tersebut, Fazlur Rahman berharap dapat menjelaskan nasib helenisme dalam Islam. Sementara problem studi tersebut kajiannya dalam latar penetrasi interkultural yang luas, melalui karyanya tersebut di dalamnya telah di jelaskan berbagai sumber-sumber helenis dari dokrin filofis dalam setiap aspek yang ditelusurinya.
Selain ranah kajian seperti yang disebutkan diatas, Fazlur Rahman juga melakukan pengkajian yang berkaitan dengan sejarah pemikiran religio-filosofis Islam, Rahman juga memberi perhatian terhadap modernism Islam. Meskipun dalam tulisan-tulisannya pada masa ini ia dengan jelas mengidentifikasi dirinya sebagai modernis, namun ia juga sangat kritis terhadap pemikiran keagamaan para modernis pendahulunya, apalagi terhadap kalangan tradisionalis dan fundamentalis. Bentuk kritisnya terhadap kalangan tradisionalis dan fundamentalis -terutama mawdudi- semakin intens ketika ia mengemukakan pandangan-pandangannya dalam rangka memberi definisi “Islam” bagi Pakistan, baik selaku Direktur lembaga Riset Islam maupun sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam, dan ketika ia hijrah ke Chicago.[11] 
Setelah mengembara cukup lama di Barat, Rahman kembali ke Pakistan di awal tahun 60-an. Pendidikan formal yang didapatkan di Barat serta pengalaman akademisnya selama bertahun-tahun di berbagai Universitas di Barat dan latar belakang liberalism Indo-Pakistan membuatnya menjadi seorang pemikir bebas, kritis dan radikal. Pada tahun 1962, Fazlur Rahman ditunjuk sebagai Direktur lembaga Riset Islam. Pada tahun 1964, ia ditunjuk sebagai dewan penasehat Ideologi Islam pemerintah Pakistan. Karena tugas dua lembaga ini, maka Rahman terlibat dalam upaya menafsirkan kembali Islam. Namun gagasannya sering bertentangan dengan pandangan kalangan tradisionalis dan fundamentalis yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan.
Keadaan demikian menjadi dasar Fazlur Rahman melepas kedua jabatannya itu dan hijrah ke Los Angeles menjadi visiting provessor di Universitas California pada musim semi, 1969. Pada musim gugur ia pergi ke Universitas Chicago sebagai professor pemikiran Islam di Universitas tersebut, Rahman menjadi salah seorang guru besar yang dihormati. Ketenaran Universitas ini juga disebabkan oleh penunjukan Rahman sebagai guru besarnya. Tidak kurang belasan tahun, rahman menetap di Chicago, menulis, meneliti, dan mengkomunikasikan gagasannya, Rahman menghembuskan nafas terakhirnya di Chicago, Illionis pada 26 Juli 1988.[12]
Karya-karya Rahman yang sangat penting
1.      Avicenna`s psychology (London, 1952)
2.      Avicenna`s De Anima ( London, 1959)
3.      Propechi in Islam (Chicago, 1958)
4.      Major theme of the Qur`an (Minneapolis, 1979)
5.      Islamic Methodology in History (1965)
6.      Islam and Modernity
7.      Transformation of the Intelectual Tradition (1984)
8.      Philosophy of Mulla Sadra (AlBany, 1975)
9.      Islam (Chicago, 1079)
10.  Health and Medicine in the Islamic Tradition.(New York, 1987)
Bagi Fazlur Rhaman, problem studi Al-Qur`an adalah problem pemahaman, bukan problem keaslian. Berangkat dari pemahman mengenai keberadaan al-Qur’an, menurutnya kegeglan memahami al-Qur’an merupakan suatu kesatupaduan yang terikat kuat sehingga menghasilkan yang dinamakan weltanschauung yang pasti nyatanya. Hal ini telah mengakibatkan bencana besar sebagai suatu yang perlu ditangani. Oleh karena itu, Fazlur Rahman megajak mendiskusikan kembali menganai al-Qur’an seputar hakikat, fungi dan legislasi al-Qur’an.[13]
Dalam pandangan Rahman, Qur`an muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis. Qur`an adalah sebuah respon terhadap situasi yang sebagian besarnya adalah pernyataan-pernyataan moral, religious dan sosial yang menanggapi berbagai persoalan spesifik dalam situasi kongkrit. Kadang-kadang Qur`an memberikan jawaban bagi situasi pernyataan atau masalah khusus, tetapi juga menjelaskan hukum-hukum yang bersifat umum. Menurut Rahman untuk membuat Islam selalu relevan dengan lingkungan spesifik pada saat sekarang ini, orang-orang muslim harus mengatasi penafsiran Qur`an tradisional dan harfiah serta beralih ke pemahaman spirit Qur`an. Mereka harus mengkaji untuk menemukan esensi kewahyuan. Kemudian, ia harus mengkaji lingkungan spesifik dimana ayat itu diturunkan sehingga mereka dapat menerapkan prinsip-prinsip umum yang bersumber dari wahyu itu di saat sekarang. Lah ini berdasarkan pendangan Fazlur Rahman bahwa, Al-Qur’an memeng benar kebenarannya sebagai kalam ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan dari al-Qur’an lah seorang mu’min ataupun muslim mendapatkan dasar keimanan serta referensi otoritatif segala prilaku dan ibdahnya. Lebih detail, Fazlur Rahman menegaskan bahwa al-Qur’an berasal dari Allah dalam nemtuk ide-kata. Dalam arti bukan berbentuk rangkaian kata-kata yang bersuara yang mana dalam keterangan lebih lanjut, bahwa dalam al-Qur’an bersatu dua unsur yaitu al-Qur’an yang memeng keseluruhannya merupakan kata-kata Tuhan, dan dalam pengertian bahwa al-Qur’an pun perkataan Nabi Muhammad.
Bagi Fazlur Rahman proses pemwahyuan lebih merupakan peristiwa psikilogis daripada fisis, proses tersebut bermula dari inspirasi kata-kata Tuhan dan berakhir dengan perumusan susuanan kata-kata yang menjad perkataan al-Qur’an melalui perkataan Nabi Muhammad SAW yang mana peristiwa tersebut terjadi internal dalam hati Nabi Muhamamd.[14]
Adapun fungsi yang dimaksudkan diawal atas tiga hal dasar untuk didiskusikan, merupakan fungsi al-Qur’an yang harus diletakkan pada semangat dasar dari fungsi tersebut, yaitu semangat moral yang menekankan pada ajaran monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral tersebut bersifat abad, yang mana tidak lain merupakan perintah Allah yang tidak dapat dibuat ataupun dimusnahkan oleh manusia, melainkkan hanya dengan penyerahan diri secara totalitas kepadanya yang bersifat menekan (harus). Penyerahamn seperti ini (manusia terhadap hukum moral) menurut Fazlur Rahman yang dinamakan islam dan aimplementasinya dalam kehidupan disebut Ibadah.[15]
Sedangkan pada tataran legislasi adalah pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang bermuatan hukum, dimana didalam muatan hukum tersebut terkandung dua unsur yaitu perinsip umum yang menjadi dasar dan legal spesifik yang menjadi ketentuan hukumnya.
Dalam gagsan yang di tawarkan oleh Fazlur rahman untuk memahami esensi Qur`an seseorang harus memahami situasi di mekkah sebelum kedatangan Islam secara mendalam. Berbagai upaya harus dilakukan tidak hanya untuk memahami agama Arab pra-Islam, tetapi juga pranata-pranata sosial, kehidupan ekonomis dan hubungan-hubungan politik. Peran penting suku Quraisy dan pengaruh kekuasaan religio-ekonomisnya di kalangan orang-orang Arab juga harus dipahami. Tanpa memahami semua itu, tidak mungkin memahami pesan Qur`an secara utuh. Ini disebabkan karena Qur`an memiliki sebuah latar belakang historis (asbabun nuzul). Oleh karena itu, Qur`an harus dipahami dalam konteksnya, yaitu konteks dan latar  belakang perjuangan Nabi di Mekkah dan Madinah.[16]
Dalam kajian hermeneutika Al-Qur`an Rahman menawarkan dua langkah untuk memahami al-Qur`an. Teori ini disebut sebagai “gerakan ganda” (double movement). sebagaimana sering dikatakan oleh para penafsir, teori gerakan ganda adalah memusatkan analisa ke akar sejarah untuk menemukan ide moral suatu ayat dan membawa ide moral itu ke dalam konteks kekinian. Tujuannya jelas: suatu proyeksi Qur`ani atas segala dinamika yang timbul dalam masyarakat kontemporer, dengan misi akhir pembentukan masyarakat islam. Teori “double movement” tidak digunakan Rahman untuk ayat-ayat metafisis-teologis semisal ayat tentang neraka, surga dan Tuhan. Teori ini digunakan hanya diranah permasalahan hukum.
Sebagamana dkemukakan, metode tafsir yang ditawarkan Fazlur Rahman adalah merupakan proses penafsiran al-Quran yang bermuara pada gerakan ganda; dari situasi kontemporer menuju era al-Quran diturunkan, lalu kembali lagi ke masa sekarang Elaborasi definitif metode gerakan ganda ini adalah sebaga berkut:
Gerakan pertama, bertolak dari situasi kontemporer menuju ke era al-Quran diwahyukan, dalam pengertian bahwa perlu dipahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan cara mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al-Quran itu hadir sebagai jawabannya. Dengan kata lain. Memahami al-Quran sebagai suatu totalitas disamping sebagai ajaran-ajaran sepesifik yang merupakan respon terhadap situasi-situasi sepesifik. Kemudian, respon-respon yang sepesifik ini digeneralisir dan dinyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memepunyai tujuan-tujuan moral umum yang dapat disaring dari ayat-ayat sepesifik yang berkaitan dengan latarbelakang sosio historis dan ratio legis yang sering diungkapkan.[17]
Selama proses ini, perhatian harus diberikan pada ajaran al-Quran sebagai suatu totalitas sehingga setiap arti atau makna tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, setiap tujuan atau sasaran yang dinformasikn akan bertalian dengan lainnya. Ringkasnya, pada gerakan pertama ini, kajian diawali dari hal-hal yang yang sepesifik dalam al-Quran (arti atau maknaayat), kemudian menggali dan mensistematisir prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya.
Selanjutnya gerakan kedua dari masa al-Quran diturunkan (setelah menemukan prinsip-prinsip umum) kembali lagi ke masa sekarang. Dalam pengertian bahwa ajaran-ajaran (prinsip) yang bersifat umum tersebut harus ditubuhkan dalam konteks sosio historis yang kongkrit dimasa sekarang. Untuk itu perlu dikaji secara cermat situasi sekarang dan dianalisa unsur unsurnya sehingga situasi tersebut bisa dinilai dan diubah sejauh yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas baru dengan mengimplementasikan nilai-nilai al-Quran secara baru pula.
Gerakan kedua ini juga akan berfungsi sebagai pengoreksi dari hasil-hasil pemahaman dan penafsiran yang dilakukan pada gerak pertama. Karena jika hasil-hasil pemahaman itu tidak bisa diterapkan pada situasi sekarang, itu artinya terjadi kegagalan dalam menilai situasi sekarang dengan tepat atau kegagalan dalam memahami al-Quran. Merupakan mustahil bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sunguh telah terealisir dalam tatanan secara sepesifik (masyarakat Arab) dimasa lampau tidak bisa direalisasikan dalam konteks sekarang denga melihat ‘illat yang sama,[18] ini dilakukan dengan jalan memepertimbangkan perbedaan dalam hal sepesifik yang ada pada situasi sekarang yang mencakup baik pengubahan aturan-aturan dimasa lampau sehingga selaras dengan tuntutan situasi sekarang (sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip umum di masa lampau) maupun mengubah situasi sekarang sepanjang diperlukan hingga sesuai dengan dengan prinsip umum tersebut.[19]
Selama proses ini berlangsung , perhatian harus tetap ditunjukan kepada ajaran al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan, sehingga dimaksudkan dapat menangkap memahami setiap arti tertentu. Setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan bersifat koheren sebab memnag satu dnegan lainya saling berhubngan karena memnag al-Qur’an tidak mengandung kontradiksi sama sekali melainkan koheren secara keseluruhan dan utuh.[20] Dalam pengungkapannya terhadap konsep gerak ganda tersebut, fazlur Rahman disebut sebagai Jihad intelektual yang dimaksudkan suatu upaya untuk memahami makna darisuatu teks atau preseden di masa lampau yang mempunyai suatu aturan dan untuk menggubah atauran tersebut dengan memperluas atau membatasi ataupun memodifikasikannya dengan cara sedemikian, hingga suatu situasi baru dapat dicakup di dalamnya denga suati solusi baru.[21]
Sebagai suatu metodologi pemikiran hukum islam, jihad hanya dapat dilaksanakan jika memenuhi tujuh langkahyang ada, yaitu, kesatu, melepskan diri dari keterjebakan formalisme pemikiran yang ada. Kedua, menempatkan akal sebagai ladasan dalam keyakinan kaum muslimin dismpiang al-Qur’an dan sunnah. Ketiga, setiap orang harus berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan ijtihad.menurut Fazlur Rahaman pintu ijtihad masih terbuka lebar, ia menolak pandangan bhawa ijtihad telah tertutup. Keempat, kebenaran bukanlah tunggal, melainkan banyak dan bawa setiap mujtahid yang menghasilkan sesuatu merupakan hak yang benar dalam penemuan-penemuannya sendirir. Kelima, sekalipun kebenaran tidak tunggal, tetap masih perlu adanya suatu kepastian. Keenam, harus diamkan bahwa setiap manusia bisa berbuat kesalahan, sekalipun Nabi Muhammaad SAW lantaran terdapat sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Nabi. Ketujuh, memiliki kaliber intelektual yang memadai.[22] Dari kualifikasi tersebut, menurut pendapat Dr. Nasihun Amin, merupakan suatu yang paling penting sebagai syarat untuk berijtihad. Berdasrkan ini, Fazlur Rahman menolak ijtihad sebagai hak-hak istimewa kelangan tertentu saja, yang tetapi seharusnya bisa melibatkan pihak-pihak lain. Dalam penekanan seorang mujtahid, menurut Fazlur rahman hendaknya seorang yang lengkap ilmu penegtahuannya, terutama orang yang memehami filsafat sebagai sarana berfikir, kritis dan memahami sins-sains modernt.[23]
Pemikiran Rahman bisa membantu untuk memahami teks Al-Qur`an, dalam konteks inilah Rahman menawarkan metode interpretasi sistematis, yang mencakup pendekatan sosio-historis dan teori gerakan ganda, serta pendekatan sintetis-logis. Konsep pemikiran memahami Al-Qu`an Rahman diakui memang baru, tapi diadopsi dari tradisi klasik. Materi-materi historis semisal asbabun nuzul dan kebiasaan Nabi memiliki arti penting dalam teorinya. Semuanya itu tentu didapatkan Rahman berkat jasa-jasa para pengumpul hadits, penulis sejarah Nabi, sejarawan awal, sampai penafsir konvensional. Tapi yang harus dicatat adalah  bahwa unsur-unsur tradisional tradisional tersebut di tangan Rahman diracik lagi setelah sebelumnya dikritisi dan dipoles sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil yang lebih dapat diterima secara ilmiah-akademis. Dengan demikian, Rahman telah menjawab atas kekeliruan interpretasi Al-Qur`an yang dimunculkan baik dari kalangan Barat maupun dari Muslim sendiri.
           


[1] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abdi Jaya, 2015), h. 141.
[2] Sahiron dkk., Studi al-Qur’an Metode dan Konsep, (Yogyakarta: elsaq press. 2010), hal. 3.
[3] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, loc. Cit.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. h. 134.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung: penerbit Mizan. 1989), h. 79-84.
[12] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abdi Jaya, 2015), h 133.
[13] Ibid. h. 135.
[14] Ibid.
[15] Ibid. h. 136.
[16] Syamsudin, Sahiron dkk., Studi al-Qur`an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 47-48.
[17] Ibid. h. 139.
[18] Ibid. h. 139.
[19] Sahiron dkk., Studi al-Qur’an Metode dan Konsep, (Yogyakarta: elsaq press, 2010), h. 112.
[20] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, loc. Cit.
[21] Ibid.
[22] Ibid. h. 141
[23] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar