BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI HUKUM ISLAM: FAZLUR RAHMAN
A. Latar Belakang.
Al-Quran yang merupakan bukti kebenaraan agam islam
yang datang dari Allah SWT melaui pewahyuan dan disyi’arkan oleh Nabi Muhammad Saw. Dan fungsinya, sebagai petunjuk untuk umat manusia dimanapun dan
kapanpun, yang terkandung dalamnya berbagai macam keistimewaan.
Antara lain susunan bahasanya yang indah bersasatra tinggi, memuat konsep dan teknis bentuk
undang-undang yang komprehensif melebihi undang-undang
buatan manusia, kaya akan ilmu dan pengetahuan tanpa adanya pertentangan dengan
diskurus keilmuan pengetahuan mutakhir dan tidak berlawanan dengan logika
secara ilmiah.
Interpretasi al-Qur’an bagi umat Islam, merupakan upaya untuk memahami
kandungan teks kalam ilahi dalam memuat pesan-pesan Tuhan. Karenannya al-Qur’an
diturunkan tidak lain sebagai petunjuk dan penjelas atas tuntunan yang Tuhan
berikan bagi manusia selaku makhluk sosial juga seorang hamba (QS. al-Baqarah:
185). Kendati demikian seberapapun kemampuan
manusia mampu menguak kandungan pesan teks, manusia hanya dapat berada pada
pemahamn yang bersifat relatif. Jikapun terbilang sebagai kebenaran, maka
keberanaran tersebut hanya bersifat personal daripada ijtihadnya.[1]
Disamping itu, pesan Tuhan yang terekam dalam al-Qur’an tidak hanya dapat dipahami dalam
satu waktu tanpa perkembangan dan perubahan, melaikan dapat berubah dari waktu
ke waktu.
Untuk merekisasikan pengalian pesan-pesan Tuhan dalam Al-Qur’an, maka
tentulah senantiasa berusaha memahaminya selaras dengan realitas dan kondisi
sosial yang berjalan seiring perubahan zaman. Dengan kata lain wahyu Tuhan dipahami
secara sangat variatif, selaras kebutuhan umat manusia sebagai konsumennya
dalam arti sebagai sumber pijakan beribadah. Pemahaman yang beragam ini pada
gilirannya, menempatkan interpretasi sebagai disiplin keilmuan yang tidak
mengenal kering. Para penafsir telah banyak menunjukan berbagai model interpretasi semenjak awal kemunculan
disiplin tersebut sampai dengan era kontemporer.
Fazlur Rahman adalah salah seorang pemikir dan tokoh intelektual Islam
kontemporer yang terkemuka. Kepiawaiannya tercermin dari gagasan–gagasan yang
ditawarkannya melalui berbagai artikel dan buku yang berbentuk banyak varian.
Dari persoalan filsafat, teologi, mistik, hukum sampai pada persoalan
perkembangan kontemporer yang kaya akan persoalan pemahaman teks ilahi, dari
itu dirasa perlu adaanya penafsiran baru terhadap kandungan al-Qur’an.
Tantangan kehidupan moderen dan kontemporer mengharuskan Fazlur Rahman untuk
berpikir keras dalam menemukan preskripsi untuk mengatasi masalah-masalah
kehidupan yang muncul. Melalui reaktualisasi pengkajian ulang terhadap beberapa
pandangan yang baku di kalangan umat Islam yang cenderung tidak akomodatif
bahkan sulit diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat kontemporer.
Fazlur Rahman memandang perlu diupayakan reinterpretasi al-Qur’an. Dalam
hal ini, ia menawarkan metode tafsir kontemporer yang berbeda dengan metode
tafsir-tafsir era sebelumnya. Metode tafsir yang memiliki nuansa unik dan
menarik untuk dikaji secara intensif, yaitu metode yang populer dengan nama
metode “ Double Movement”( Gerak Ganda) sebagai reaktualisasi hukum Islam.[2]
A.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Biografi Fazlur Rahman dan Pemikiran Fazlur Rahman
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada 21 September 1919 M di daerah Barat Laut Pakistan. Rahman bukanlah satu-satunya pemikir yang ada di Pakistan, sebelum dirinya
ada pemikir di daerah tersebut, antara lain: Abu ‘Ala al-Maududi, Syah
Waliyullah al-Dahlawi, Sayyid Ahmad Khan, Amir Ali dan M. Iqbal. Karena itu tidak mengherankan
bila Rahman berkembang menjadi seorang pemikir bebas. Dia dibesarkan di
keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi, sebuah madzhab sunni yang bercorak
lebih rasionalis, karena lebih menggunakan ra`yu daripada riwayah (hadits) bila dibandingkan
tiga madzhab besar lainnya (Maliki, Syafi`I, Hambali). Akan tetapi sejak berumur belasan tahun Rahman telah melepaskan diri dari ikatan
madzhab-madzhab sunni dan mengembangkan pemikirannya secara bebas.
Di samping memperoleh pendidikan secara formal di madrasah, awal pendidikan Rahman diperoleh dari ayahnya, Maulana Sihabuddin.[3]
Sihabuddin merupakan seorang kiyai dari
Deoban, sebuah madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua
Indo-Pakistan. Namun ajaran ayahnya yang berakar tradisional itu tampaknya
tidak banyak mempengaruhi Rahman, selain menanamkan rasa keterikatan dan
keterlibatannya terhadap Islam. Dalam salah satu kesempatan, Rahman pernah
mengisahkan bahwa semasa kecil ayahnya sering memberi pelajaran Hadits di
samping syari`ah. Akan tetapi, sejak berumur belasan tahun ia telah skeptic
terhadap hadits. Dan sikap ini merupakan warisan Sir Sayyid dan gerakan Aligarh-nya terhadap modernisme Islam di anak benua
Indo-Pakistan.
Setelah menamatkan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya di
Departemen ketimuran Universitas Punjab Pada 1942,[4]
ia berhasil menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas tersebut dan
mendapat gelar M.A. dalam sastra arab.[5]
Ketika telah meraih gelar tersebut dan tengah belajar untuk program ph. D. di Universitas
Oxford selesai dan mendapatkan gelar doctor nya (Ph. D) pada tahun 1951.[6] Dengan mengajukan sebuah disertasi tentang Ibnu
Sina. Dua tahun kemudian, Oxford University press menerbitkan terjemahan
Inggrisnya dari karya monumental Ibnu Sina, kitab An-Najat dengan
judul Avicenna`s psychology. Kitab An-Najat merupakan
ringkasan Ibnu Sina sendiri terhadap karya agungnya, kitab Al-Syifa.
Penerjamahan kitab tesebut juha dilakukan oleh Rahman, disamping kajian-kajiannya yang mendalam tentang Ibnu Sina, Rahman juga memperdalam kajiannya tentang Ibnu Sina. Atas apa yang
dikerjakanya menghantarkan dirinya mendapatkan reputasi dari kalangan
sarjana-sarjana ketimuran sebagai seorang yang dinilai ahli tentang Ibnu Sina. Kegiatan kejian tersebut dilanjutkanya dengan menyunting karya Ibnu Sina lainnya, yaitu kitab Al-Nafs
yang juga merupakan bagian dari kitab Al-Syifa`. Karya tersebut diterbitkan oleh
penerbit yang sama pada tahun 1959, dengan judul Avicenna`s De Anima.
Dalam menyunting karya Ibnu Sina yang tebalnya sekitar 300-an halaman dan dari 269 halaman ditulis dalam bahasa Arab. Kualitas intelektual kesarjanahahnya dalam karyanya tersebut
ditampilkanya, dengan melalui cara pengkajian berupa pemeriksaan dan
pembandingan delapan buah manuskrip
bahasa Arab, dua teks Latin, dan teks letografis Teheran (1303 H) untuk
mendeterminasi apa yang disebutnya sebagai editio princeps. Perbedaan
baca serta sumber-sumbernya juga disebutkan secara lengkap dan kritis.
Adapun Keputusan untuk
melanjutkan studi ke Barat (Oxford) dilatarbelakangi
ketidakpuasan Rahman terhadap mutu pendidikan tinggi Islam di negeri-negeri
Muslim. Ketika bertemu dengan seorang pendeta Hindu, Sir S. Radhakhishnan, di
Inggris, Rahman pernah ditanya oleh sang pendeta: “mengapa anda tidak pergi ke
Mesir saja, tapi malah ke Oxford?” Rahman menjawab, “studi-studi Islam di sana
sama tidak kritisnya dengan di India. Ketidakpuasan Rahman terhadap pendidikan
tinggi Islam di negeri-negeri Muslim ini belakangan terjelma dalam
kritisismenya yang pedas terhadap lembaga-lembaga tersebut. Tentang al-Azhar di
Mesir misalnya, ia mengatakan bahwa lembaga pendidikan itu dalam kenyataan “mewakili
sosok akhir pemikiran Islam abad pertengahan dengan berbagai modifikasi baru”,
serta posisi intelektual-spiritualnya tetap statis.
Dalam kesejarahan hidupnya, Rahman pernah
diajak Maududi bergabung
dengan jama`at Islami dengan syarat harus meninggalkan studinya, sebab menurut
Maududi “semakin banyak engkau belajar, maka
semakin beku kemampuan-kemampuan praktismu.” Namun, pada waktu itu Rahman menolak ajakan Maududi dan melanjutkan studinya karena dia lebih
mencintainya. Kisah yang dituturkan Rahman ini menunjukkan betapa eratnya
hubungan Rahman dengan Maududi pada waktu itu. Namun, belakangan Rahman berkembang menjadi seorang
kritikus pemikiran keagamaan Maududi yang paling tangguh. Kritisme ini bahkan telah tertuang dalam
tulisan-tulisan awalnya ketika ia tengah mengajar di Barat, setelah
merampungkan studi doktoralnya. Atas kualitas yang telah
dimlikinya, menjadikan dirinya diakui oleh dunia luar. Sehingga ia dipercaya
untuk mengajar pada Lembaga Studi ke-Islaman di Universitas McGill Monteal
Kanada.[7]
Meskipun ia telah resmi diangkat sebagai tenaga pengajar di McGill, akan
tetapi keinginan untuk kembali ke Pakistan sangat kuat. Hal ini lantaran motif
keinginannya menjabat direktur Lembaga Pengkajian Islam (Islamic Rescearch
Institute) dan sekaligus menjabat sebgai Anggota Dewan Penasehat Ideology
Islam (Advisory Concil of Islamic Ideplogy) di pemerintahan Pakistan.
Selain dari beberapa jabatan yang perhan ia embah, Rahman pernah menjabat
sebagai Guru Besar Studi ke-Islaman di Universitas Chicago Amerika Serikat. [8]
Setelah meraih doctor of philosophy (D. phil.) dari Oxford University, ia tidak langsung kembali ke Pakistan yang baru
saja merdeka beberapa tahun. Kecemasan yang ia alami sebagai seorang sarjana yang
terdidik dari Barat, menjadikannya untuk
sementara menunda kepulanganya ke tanah kelahiran. Dimasa penundaannya pulang
ke Pakistan, Fazlur Rahman mengajar
selama beberapa tahun di Durham University, Inggris. Kemudian di
Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dimana ia menjabat
sebagai Associate Professor of Philophy. Di Kanada
inilah Rahman menjalin persahabatan yang erat orientalis ternama, W.C. Smith,
yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies, McGill
University.
prophecy in Islam: philosophy and orthodoxy, merupakan salah satu karya Fazlur Rahman yang bernilai dari sekian banyak
karyanya.[9] Penulisan
karya ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama itu sarjana-sarjana
modern yang mengkaji pemikiran keagamaan kaum muslim kurang menaruh perhatian
terhadap masalah doktrin kenabian. Dari alasan daar tersebut karya tersebut muncul yang tidak lain bertujuan
memfokuskan perhatian pada era pemikiran religio-filosofis Islam, yang mana melalui karyanya tersebut ia mengajak kepada seluruh komponen
Islam untuk menyegarkan kembali terhadap berbagai pemahaman terhadap islam.[10] Menurut Fazlur Rahman bahwa obyek
kajian ini sangat penting, karena merupakan titik sentral yang sama-sama
dihadapi oleh arus pemikiran Islam tardisional dan Helenis. Melalui penelaahan formulasi para filosof
Muslim mengenai doktrin kenabian, yang berada di bawah pengaruh helenisme,
serta penerimaan ortodoksi terhadap doktrin tersebut, Fazlur Rahman berharap dapat
menjelaskan nasib helenisme dalam Islam. Sementara problem studi tersebut
kajiannya dalam latar penetrasi interkultural yang luas, melalui karyanya tersebut di dalamnya telah di jelaskan berbagai sumber-sumber
helenis dari dokrin filofis dalam setiap aspek yang
ditelusurinya.
Selain ranah kajian seperti yang disebutkan diatas, Fazlur Rahman juga
melakukan pengkajian yang berkaitan dengan
sejarah pemikiran religio-filosofis Islam, Rahman juga memberi perhatian
terhadap modernism Islam. Meskipun dalam tulisan-tulisannya pada masa ini ia
dengan jelas mengidentifikasi dirinya sebagai modernis, namun ia juga sangat
kritis terhadap pemikiran keagamaan para modernis pendahulunya, apalagi
terhadap kalangan tradisionalis dan fundamentalis. Bentuk kritisnya terhadap
kalangan tradisionalis dan fundamentalis -terutama mawdudi- semakin intens ketika ia mengemukakan pandangan-pandangannya
dalam rangka memberi definisi “Islam” bagi Pakistan, baik selaku Direktur
lembaga Riset Islam maupun sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam, dan ketika ia hijrah ke
Chicago.[11]
Setelah mengembara cukup lama di Barat, Rahman kembali ke Pakistan di awal
tahun 60-an. Pendidikan formal yang didapatkan di Barat serta pengalaman
akademisnya selama bertahun-tahun di berbagai Universitas di Barat dan latar
belakang liberalism Indo-Pakistan membuatnya menjadi seorang pemikir bebas,
kritis dan radikal. Pada tahun 1962, Fazlur Rahman ditunjuk sebagai Direktur lembaga Riset Islam. Pada tahun 1964, ia
ditunjuk sebagai dewan penasehat Ideologi Islam pemerintah Pakistan. Karena
tugas dua lembaga ini, maka Rahman terlibat dalam upaya menafsirkan kembali
Islam. Namun gagasannya sering bertentangan dengan pandangan kalangan
tradisionalis dan fundamentalis yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan.
Keadaan demikian menjadi dasar Fazlur Rahman melepas kedua
jabatannya itu dan hijrah ke Los Angeles menjadi visiting provessor di
Universitas California pada musim semi, 1969. Pada musim gugur ia pergi ke
Universitas Chicago sebagai professor pemikiran Islam di Universitas tersebut,
Rahman menjadi salah seorang guru besar yang dihormati. Ketenaran Universitas
ini juga disebabkan oleh penunjukan Rahman sebagai guru besarnya. Tidak kurang
belasan tahun, rahman menetap di Chicago, menulis, meneliti, dan mengkomunikasikan
gagasannya, Rahman menghembuskan nafas terakhirnya di Chicago, Illionis pada 26 Juli 1988.[12]
Karya-karya Rahman yang sangat penting
1.
Avicenna`s
psychology (London, 1952)
2.
Avicenna`s De
Anima ( London, 1959)
3.
Propechi in
Islam (Chicago, 1958)
4.
Major theme of
the Qur`an (Minneapolis, 1979)
5.
Islamic
Methodology in History (1965)
6.
Islam and
Modernity
7.
Transformation
of the Intelectual Tradition (1984)
8.
Philosophy of
Mulla Sadra (AlBany, 1975)
9.
Islam (Chicago,
1079)
10.
Health and
Medicine in the Islamic Tradition.(New York, 1987)
Bagi Fazlur Rhaman, problem studi Al-Qur`an adalah problem
pemahaman, bukan problem keaslian. Berangkat dari
pemahman mengenai keberadaan al-Qur’an, menurutnya kegeglan memahami al-Qur’an
merupakan suatu kesatupaduan yang terikat kuat sehingga menghasilkan yang
dinamakan weltanschauung yang pasti nyatanya. Hal ini telah
mengakibatkan bencana besar sebagai suatu yang perlu ditangani. Oleh karena
itu, Fazlur Rahman megajak mendiskusikan kembali menganai al-Qur’an seputar
hakikat, fungi dan legislasi al-Qur’an.[13]
Dalam pandangan Rahman, Qur`an muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan
dengan latar belakang sosio-historis. Qur`an adalah sebuah respon terhadap
situasi yang sebagian besarnya adalah pernyataan-pernyataan moral, religious
dan sosial yang menanggapi berbagai persoalan spesifik dalam situasi kongkrit.
Kadang-kadang Qur`an memberikan jawaban bagi situasi pernyataan atau masalah
khusus, tetapi juga menjelaskan hukum-hukum yang bersifat umum. Menurut Rahman
untuk membuat Islam selalu relevan dengan lingkungan spesifik pada saat
sekarang ini, orang-orang muslim harus mengatasi penafsiran Qur`an tradisional
dan harfiah serta beralih ke pemahaman spirit Qur`an. Mereka harus mengkaji
untuk menemukan esensi kewahyuan. Kemudian, ia harus mengkaji lingkungan
spesifik dimana ayat itu diturunkan sehingga mereka dapat menerapkan
prinsip-prinsip umum yang bersumber dari wahyu itu di saat sekarang. Lah ini berdasarkan pendangan Fazlur Rahman bahwa, Al-Qur’an memeng benar
kebenarannya sebagai kalam ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan
dari al-Qur’an lah seorang mu’min ataupun muslim mendapatkan dasar keimanan
serta referensi otoritatif segala prilaku dan ibdahnya. Lebih detail, Fazlur
Rahman menegaskan bahwa al-Qur’an berasal dari Allah dalam nemtuk ide-kata.
Dalam arti bukan berbentuk rangkaian kata-kata yang bersuara yang mana dalam
keterangan lebih lanjut, bahwa dalam al-Qur’an bersatu dua unsur yaitu
al-Qur’an yang memeng keseluruhannya merupakan kata-kata Tuhan, dan dalam
pengertian bahwa al-Qur’an pun perkataan Nabi Muhammad.
Bagi Fazlur Rahman proses pemwahyuan lebih merupakan peristiwa psikilogis
daripada fisis, proses tersebut bermula dari inspirasi kata-kata Tuhan dan
berakhir dengan perumusan susuanan kata-kata yang menjad perkataan al-Qur’an
melalui perkataan Nabi Muhammad SAW yang mana peristiwa tersebut terjadi
internal dalam hati Nabi Muhamamd.[14]
Adapun fungsi yang dimaksudkan diawal atas tiga hal dasar untuk
didiskusikan, merupakan fungsi al-Qur’an yang harus diletakkan pada semangat
dasar dari fungsi tersebut, yaitu semangat moral yang menekankan pada ajaran
monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral tersebut bersifat abad, yang mana
tidak lain merupakan perintah Allah yang tidak dapat dibuat ataupun dimusnahkan
oleh manusia, melainkkan hanya dengan penyerahan diri secara totalitas
kepadanya yang bersifat menekan (harus). Penyerahamn seperti ini (manusia
terhadap hukum moral) menurut Fazlur Rahman yang dinamakan islam dan
aimplementasinya dalam kehidupan disebut Ibadah.[15]
Sedangkan pada tataran legislasi adalah pernyataan-pernyataan al-Qur’an
yang bermuatan hukum, dimana didalam muatan hukum tersebut terkandung dua unsur
yaitu perinsip umum yang menjadi dasar dan legal spesifik yang menjadi
ketentuan hukumnya.
Dalam gagsan yang di tawarkan oleh Fazlur rahman untuk memahami esensi Qur`an seseorang harus memahami situasi di mekkah
sebelum kedatangan Islam secara mendalam. Berbagai upaya harus dilakukan tidak
hanya untuk memahami agama Arab pra-Islam, tetapi juga pranata-pranata sosial,
kehidupan ekonomis dan hubungan-hubungan politik. Peran penting suku Quraisy
dan pengaruh kekuasaan religio-ekonomisnya di kalangan orang-orang Arab juga
harus dipahami. Tanpa memahami semua itu, tidak mungkin memahami pesan Qur`an
secara utuh. Ini disebabkan karena Qur`an memiliki sebuah latar belakang historis (asbabun nuzul). Oleh karena
itu, Qur`an harus dipahami dalam konteksnya, yaitu konteks dan latar belakang perjuangan Nabi di Mekkah dan
Madinah.[16]
Dalam kajian hermeneutika Al-Qur`an Rahman menawarkan dua langkah untuk
memahami al-Qur`an. Teori ini disebut sebagai “gerakan ganda” (double
movement). sebagaimana
sering dikatakan oleh para penafsir, teori gerakan ganda adalah memusatkan analisa ke akar sejarah untuk menemukan ide moral suatu ayat dan membawa ide moral
itu ke dalam konteks kekinian. Tujuannya jelas: suatu proyeksi Qur`ani atas
segala dinamika yang timbul dalam masyarakat kontemporer, dengan misi akhir
pembentukan masyarakat islam. Teori “double movement” tidak digunakan
Rahman untuk ayat-ayat metafisis-teologis semisal ayat tentang neraka, surga
dan Tuhan. Teori ini digunakan hanya diranah permasalahan hukum.
Sebagamana dkemukakan, metode tafsir yang ditawarkan Fazlur Rahman adalah
merupakan proses penafsiran al-Quran yang bermuara pada gerakan ganda; dari situasi
kontemporer menuju era al-Quran diturunkan, lalu kembali lagi ke masa sekarang
Elaborasi definitif metode gerakan ganda ini adalah sebaga berkut:
Gerakan pertama, bertolak dari situasi
kontemporer menuju ke era al-Quran diwahyukan, dalam pengertian bahwa perlu dipahami
arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan cara mengkaji situasi atau
problem historis dimana pernyataan al-Quran itu hadir sebagai jawabannya. Dengan
kata lain. Memahami al-Quran sebagai suatu totalitas disamping sebagai ajaran-ajaran
sepesifik yang merupakan respon terhadap situasi-situasi sepesifik. Kemudian,
respon-respon yang sepesifik ini digeneralisir dan dinyatakan sebagai
pernyataan-pernyataan yang memepunyai tujuan-tujuan moral umum yang dapat disaring
dari ayat-ayat sepesifik yang berkaitan dengan latarbelakang sosio historis dan
ratio legis yang sering diungkapkan.[17]
Selama proses ini, perhatian harus diberikan pada ajaran al-Quran sebagai
suatu totalitas sehingga setiap arti atau makna tertentu yang dipahami, setiap
hukum yang dinyatakan, setiap tujuan atau sasaran yang dinformasikn akan bertalian
dengan lainnya. Ringkasnya, pada gerakan pertama ini, kajian diawali dari hal-hal
yang yang sepesifik dalam al-Quran (arti atau maknaayat), kemudian menggali dan
mensistematisir prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya.
Selanjutnya gerakan kedua dari masa al-Quran diturunkan (setelah menemukan
prinsip-prinsip umum) kembali lagi ke masa sekarang. Dalam pengertian bahwa
ajaran-ajaran (prinsip) yang bersifat umum tersebut harus ditubuhkan dalam konteks
sosio historis yang kongkrit dimasa sekarang. Untuk itu perlu dikaji secara
cermat situasi sekarang dan dianalisa unsur unsurnya sehingga situasi tersebut
bisa dinilai dan diubah sejauh yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas
baru dengan mengimplementasikan nilai-nilai al-Quran secara baru pula.
Gerakan kedua ini juga akan berfungsi
sebagai pengoreksi dari hasil-hasil pemahaman dan penafsiran yang dilakukan
pada gerak pertama. Karena jika hasil-hasil pemahaman itu tidak bisa diterapkan
pada situasi sekarang, itu artinya terjadi kegagalan dalam menilai situasi
sekarang dengan tepat atau kegagalan dalam memahami al-Quran. Merupakan mustahil
bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sunguh telah terealisir dalam
tatanan secara sepesifik (masyarakat Arab) dimasa lampau tidak bisa direalisasikan
dalam konteks sekarang denga melihat ‘illat yang sama,[18] ini
dilakukan dengan jalan memepertimbangkan perbedaan dalam hal sepesifik yang ada
pada situasi sekarang yang mencakup baik pengubahan aturan-aturan dimasa lampau
sehingga selaras dengan tuntutan situasi sekarang (sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip
umum di masa lampau) maupun mengubah situasi sekarang sepanjang diperlukan hingga
sesuai dengan dengan prinsip umum tersebut.[19]
Selama proses ini berlangsung , perhatian harus tetap ditunjukan kepada
ajaran al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan, sehingga dimaksudkan dapat
menangkap memahami setiap arti tertentu. Setiap hukum yang dinyatakan dan
setiap tujuan yang dirumuskan bersifat koheren sebab memnag satu dnegan lainya
saling berhubngan karena memnag al-Qur’an tidak mengandung kontradiksi sama
sekali melainkan koheren secara keseluruhan dan utuh.[20]
Dalam pengungkapannya terhadap konsep gerak ganda tersebut, fazlur Rahman
disebut sebagai Jihad intelektual yang dimaksudkan suatu upaya untuk
memahami makna darisuatu teks atau preseden di masa lampau yang mempunyai suatu
aturan dan untuk menggubah atauran tersebut dengan memperluas atau membatasi
ataupun memodifikasikannya dengan cara sedemikian, hingga suatu situasi baru
dapat dicakup di dalamnya denga suati solusi baru.[21]
Sebagai suatu metodologi pemikiran hukum islam, jihad hanya dapat
dilaksanakan jika memenuhi tujuh langkahyang ada, yaitu, kesatu, melepskan
diri dari keterjebakan formalisme pemikiran yang ada. Kedua, menempatkan
akal sebagai ladasan dalam keyakinan kaum muslimin dismpiang al-Qur’an dan
sunnah. Ketiga, setiap orang harus berusaha sekuat tenaga untuk
melaksanakan ijtihad.menurut Fazlur Rahaman pintu ijtihad masih terbuka lebar,
ia menolak pandangan bhawa ijtihad telah tertutup. Keempat, kebenaran
bukanlah tunggal, melainkan banyak dan bawa setiap mujtahid yang menghasilkan
sesuatu merupakan hak yang benar dalam penemuan-penemuannya sendirir. Kelima,
sekalipun kebenaran tidak tunggal, tetap masih perlu adanya suatu kepastian.
Keenam, harus diamkan bahwa setiap manusia bisa berbuat kesalahan,
sekalipun Nabi Muhammaad SAW lantaran terdapat sifat kemanusiaan yang ada dalam
diri Nabi. Ketujuh, memiliki kaliber intelektual yang memadai.[22] Dari
kualifikasi tersebut, menurut pendapat Dr. Nasihun Amin, merupakan suatu yang
paling penting sebagai syarat untuk berijtihad. Berdasrkan ini, Fazlur Rahman
menolak ijtihad sebagai hak-hak istimewa kelangan tertentu saja, yang
tetapi seharusnya bisa melibatkan pihak-pihak lain. Dalam penekanan seorang
mujtahid, menurut Fazlur rahman hendaknya seorang yang lengkap ilmu
penegtahuannya, terutama orang yang memehami filsafat sebagai sarana berfikir,
kritis dan memahami sins-sains modernt.[23]
Pemikiran Rahman bisa membantu untuk memahami teks Al-Qur`an, dalam konteks
inilah Rahman menawarkan metode interpretasi sistematis, yang mencakup
pendekatan sosio-historis dan teori gerakan ganda, serta pendekatan
sintetis-logis. Konsep pemikiran memahami Al-Qu`an Rahman diakui memang baru,
tapi diadopsi dari tradisi klasik. Materi-materi historis semisal asbabun
nuzul dan kebiasaan Nabi memiliki arti penting dalam teorinya. Semuanya itu
tentu didapatkan Rahman berkat jasa-jasa para pengumpul hadits, penulis sejarah
Nabi, sejarawan awal, sampai penafsir konvensional. Tapi yang harus dicatat
adalah bahwa unsur-unsur tradisional
tradisional tersebut di tangan Rahman diracik lagi setelah sebelumnya dikritisi
dan dipoles sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil yang lebih dapat diterima
secara ilmiah-akademis. Dengan demikian, Rahman telah menjawab atas kekeliruan interpretasi Al-Qur`an yang dimunculkan
baik dari kalangan Barat maupun dari Muslim sendiri.
[1] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abdi Jaya, 2015), h. 141.
[12] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abdi Jaya, 2015), h 133.
[16] Syamsudin, Sahiron dkk., Studi al-Qur`an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 47-48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar