BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN TEOLOGI TRADISIONAL: AL-ASY’ARIYYAH
A.
Latar
belakang
Al-Asy’ari merupakan tokoh monumental dalam sejarah pemikiran
teologi islam. Dari pemikirannya mampu mengisnpirasi berdirinya kelompok Sunni,
sebagai golongan yang terbilang cukup besar penganutnya. Berkatnya, dalam
perkembangan pemikiran teologi islam, mampu memberikan rumusan teologi yang
sangat sisitematis.[1]
Sehingga hal ini memberikan kesan berbeda dalam pemahaman teologi islam yang
secara khusus sebagai pewarna lain dalam pemikiran teologi islam paska
sepeninggal Nabi.
Sebagai pemikir bebas, Abu al-Hasan al-Asy’ari mampu menciptakan
konsep teologi islam yang terbilang baru. Melalui kerangka pemikiran
teologinya, al-Asy’ari mencoba memahami konsep-konsep dasar teologi islam yang
pernah diungkapkan Nabi Muhammad SAW. Dari ungkapan tersebut yang terdekte
dalam rangkaian sanad rawi, berupa ungkapan (matt’ni) penjelasan maupun
penguat dasar-dasar keagamaan Islam baik berbentuk teks Al-Qur’an –sebelum
terbukukan hadis secara resmi, berlanjut menjadi catatan khusus dalam bentuk
satu pembukuan yang disebut Mushhaf dari sumber yang sama dari ungkapan
Nabi secara mandiri sebagai teks Al-Qur’an dari kumpulan ayat-ayat yang
terkumpulkan- maupun dalam bentuk matni hadis yang terklasifikasi sebab
kapasitas dan kredibilitas setiap perawi dari rangkain sanad periwayatan hadis,
Abu al-Hasan al-Asy’ari memulai membangun kerangka pemikiran teologinya yang
dikenalkan ke khalayak. Jalur pemikirannya tersebut didapati dari berbagai
situasi kondisi yang pernah dilaluinya, berupa pengkajian secara insten
mendalam, diskusi, debat dan sebagainya dari guru-guru serta karya-karya pendahulunya
yang dirasa sesuai dengan pola pemikirannya.[2]
Dari semua itu al-Asy’ari menjadikannya sebagai pijakan pemahaman teologi Islam
dalam konsep paradigma teologinya.
Akan tetapi meskipun demikian, terdapat unsur-unsur lain yang
menjadi material pembangunan konsep pemikiran teologinya, yaitu faktor
eksternal non akademis yang berbungkus dalam situasi sosial-antropologi-politik
pada masa kehidupan al-Asy’ari. Hal ini yang nantinya akan diulas beserta
perjalanan hidup dan konsep pemikiran teologi al-Asy’ari yang menjadikan
dirinya sebagai seorang tokoh yang berkedudukan sebagai seorang tha founding
father ajaran dalam tradisi Sunni atau dapat juga dengan nama Aswaja (ahl
al-sunnah wa al-Jama’ah).
B.
Rumusan
Masalah
i.
Bagaimana
Biografi Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Pemikiran Teologi al-Asy’ariyah?.
BAB II
PEMBAHASAN
i.
BAGAIMANA BIOGRAFI ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI dan PEMIKIRAN TEOLOGI
AL-ASY’ARIYYAH.
Al-Asy’ariyah merupakan pemikiran teologis dalam konsep yang sangat
sistematis[3] warisan
sejarah perkembangan pemikiran yang masih dalam pemerintahan dinasti Abbasiyyah
(132H-656H / 750M-1258M) setengah abad lebih,[4]
tepatnya pada masa kekuasaan khalifah al-Mu’tamid (870M-892M) khalifah ke-15
dinasti Abbasiyah.[5]
Pemikiran teologis tersebut digagas oleh mantan pengikut pemikiran teologi
Mu’tazilah, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari. Nama lengkapnya Abu al-Hasan ‘Ali ibn
Ismail ibn Abi Basyar Ishaq ibn Salim ibn Ismail ‘Abd Allah ibn Musa ibn Bilal
ibn Abi Burdah ibn Abi Musa al-Asy’ari (260H-324H / 874M-936M).[6]
Terkait perbedaan pendapat tahun kelahiran serta wafatnya, para ahli sejarah
yang didukung dengan data-data yang ada, dominan mempunyai perbedaan
pengukngkapanya. Seperti yang dipaparkan Nasihun dalam karyanya Sejarah
perkembangan Pemikiran Islam, Nasihun Amin menemukan keberagaman data dari
berbagai sumber periwayatan; al-Baghdadi menyebutkan bahwa Abu al-Hasan
al-Asy’ari lahir pada tahun 260H / sekitar 873-874M dan wafat pada tahun
330H/941-942M; Abu al-Qasim ‘Abd al-Wahid ibn ‘Ali al-Asadi berpendapat
diantara tahun 320H dan 330Mmerupakan tahun wafatnta iamm al-Asy’ari; Abu
Muhammad ‘Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm bahwa wafat al-Asy’ari tahun 324H /
935M-936M. [7]
Meskipun terdapat perbedaan yang beragam pada tahun kelahiran dean wafanya,
akan tetapi terkait tempat kelahiran dan kematian al-Asy’ari para ahli sejarah
sepakati bahwa ia dilahirkan di Bashrah dan besar sampai wafatnya di Baghdad. Di
kota itu pula, awal perjalanan kehidupan serta intelektualnya, dari mulai
belajar, berdebad, diskusi, mengarang karya tulis dan sebagai pengajar
dihabiskan disana.[8]
Ismail ibn Ishaq, ayah al-Asy’ari merupakan seorang tokoh hadis.
Ayahnya meninggal saat al-Asy’ari menginjak usia 10 tahun.[9]
Selang beberapa tahun paska sepeningal ayahnya, Ibundanya dinikahi oleh Abu
‘Ali al-Jubbai’ (235H-303H / 849M-916M) [10]
pada tahun 275H saat al-Asy’ari berumur 15 tahun,[11]
al-Jubbai’ seorang imam besar yang terkatagorikan sebagai Profesor spesialis
dalam bidang teologi Mu’tazilah pada masanya. Dari ayah tirinya, al-Asy’ari
memperoleh pendidikan ilmu kalam (ushuluddin) golongan Mu’tazilah. Dan mulai
saat itu al-Asy’ari membai’atkan dirinya masuk sebagai salah satu pengikut
pemikiran teologi Mu’tazilah. Sebelum al-Asy’ari mengenal keilmuan teologi,
semasa ayah al-Asy’ari masih hidup, dirinya lebih dahulu dibimbing oleh ayahnya
untuk mempelajari keilmuan fiqh dan hadis secara intensif. Pembimbingan
tersebut dilakukan oleh ayahnya melalui lembaga pendidikan yang pada saat itu,
al-Asy’ari diditipkan kepada Zakariyya ibn Yahya al-Saji, seorang pakar hadis
pada masa itu.[12]
Dari al-Saji inilah al-Asy’ari meriwayatkan beberapa hadis dan
masih pada orang yang sama al-Asy’ari mengenal serta belajar fiqh madzhab
al-Syafi’iyyah. Dari ilmu yang diperolehnya, lalu dikembangkan sendiri secara
mandiri dan intensif melalui ikut serta dalam forum diskusi setiap hari Jum’at
yang berada di masjid al-Manshur yang diasuh oleh Abu Ishaq al-Maruzi (w. 340H)
seorang tokoh ulama fiqh pada masa itu.[13]
Selain itu Al-Asy’ari juga mendapatkan pendidikan fiqh dari Ibrahim ibn Ahmad
(w. 340H / 951M) yang merupakan murid dari Ismail ibn Yahya (175H-264H /
791M-878M).[14]
Semenjak perkenalannya dengan keilmuan teologi Mu’tazilah, al-Asy’ari mulai
lebih intensif mempelajari konsep pemikiran teologi tersebut. Hal ini tidak
lain lantaran ketertarikan al-Asy’ari terhadap hal-hal dasar keimanan seseorang
yang menurutnya teologi Mu’tazilah merupakan satu-satunya aliran teologi yang
paling mendasar dalam pembahsan keimanan, disamping itu dikarenakan teologi
Mu’tazilah lebih besar dalam penggunaan peranan akal dalam konsep pemahamn
teologi Mu’tazilah.
Sebab kualitas kecerdasan yang tinggi dari al-Asy’ari, mampu
menghantarkan dirinya menjadi salah satu tokoh muda Mu’tazilah dengan
kredibilitas tinggi. Dari kualitas yang diperolehnya, membuat kagum para
guru-gurunya terutama ayah tirinya. Karena itu tidak jarang al-Asy’ari
dipercaya untuk tampil dalam ajang berbagai perdebatan, hal ini lantaran
kepaindanya dalam berdebat. Pengakuan kepandainnya dalam berdebat telah diakui
halayak pada masa itu, tidak terkecuali oleh al-Jubbai’ yang karena kepandaian
debat yang dimiliki al-Asy’ari, dapat mengalahkan kemampuan debat yang dimiliki
al-Jubbai’.[15]
Meskipun demikian, pada akhirnya al-Asy’ari mengalami masa dimana ia mulai
meragukan terhadap kebenaran sistem keimanan yang telah diikuti dan
diperjuangkanya selama puluhan tahun tersebut, hingga sampai dimana ia mencapai
titik kulminasi kerguan tersebut pada usia 40 tahun. Pada usia itu menjadikan
al-Asy’ari berada disituasi kebimbangan yang ia yakini atas sistem pemikiran
teologis, situasi tersebut akhirnya membawanya ke keadaan konversi pemikiran teologis.
Kondisi tersebut tidak hanya sampai disitu, pada masa selajutnya al-Asy’ari berbalik
arah dari simpatisan kader militan yang sukses menjadi salah satu tokoh
Mu’tazilah menuju penentang bahkan rival pada pemikiran teologi Mu’tazilah. Hal
ini tidak lain sebagai wujud perkembangan logika yang dipelajarinya dari
Mu’tazilah.[16]
Kondisi transisi yang dialami al-Asy’ari dalam lingkup dilema
keyakinan, menjadikan dari suatu situasi kondisi yang sukar difahami bahkan
dianalisis oleh para pakar sejarah yang mengkaji tentangnya. Menurut Nasihun, salah
satu penyebab timbul suatu keraguan al-Asy’ari terhadap Mu’tazilah tidak lain
masih masalah seputar teologi yang perbeda pandangan antara dirinya dengan
pemikiran Mu’tazilah tentang keadilan Allah yang terkesan menghilangkan aspek
kekuasaan Allah terhadap segala tindakan-NYA dan perihal penciptaan al-Qur’an.[17]
Meskipun terdapat perbedaan informasi terkait peristiwa tersebut, informasi
lain yang mendasar sebagai faktor pendorong terjadinya peristiwa tersebut,
yaitu kejadian yang dialami al-Asy’ari pada saat tidur. Kejadian tersebut
terjadi saat al-Asy’ari dipucak keraguan terhadap teologi yang diyakininya saat
itu (Mu’tazilah), diceritakan bahwa disuatu malam al-Asy’ari melakukan sholat dua rakaat guna
meminta petunjuk jalan yang benar serta lurus atas dilema dan transisi yang di
lakukanya. Setelah ritual tersebut selesai dilakukanya, ia tidur. Dalam
tidurnya itulah ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah, seraya Rasulullah
bersabdah ‘alaika bisunnati (engkau meupakan pelaku sunah tradisiku).
Hal ini berdasarkan pada apa yang dilakukan al-Asy’ari dalam perlawanannya
terhadap polemik teologi keagaman dengan mengunakan dalil-dalil Al-Qur’an dan
Khabar. Dari kejadian tersebut al-Asy’ari mendapatkan pemahaman makna bahwa Rasulullah
dalam mimpi tersebut mengisyarakan kepandanya untuk meningalkan ilmu teologi
(Mu’tazilah) yang digelutinya, sejak itu al-Asy’ari mulai mengeluti akidah
islam dan memperkanyakan dirinya dengan dalil-dalil nash, logika dan dalil yang
bersifat pengukapan dari Nabi (Al-Qur’an dan Sunnah). Sedangakn akidah islam
yang dimaksud yaitu teologi Salafiyah yang diusung oleh imam Ahmad ibn Hanbal
selaku tokoh yang dikenal sebagai seorang pembela sunnah. Mimpi yang sama
bertemu dengan Rasul terulang kembali kedua kalinya, dimana dalam mimpi
tersebut Rasulullah mengawali pertemuan dengan menanyakan kepada al-Asy’ari
tentang apa yang telah dilakukannya. Dijawabi oleh al-Asy;ari, bahwa dirinya
telah meninggalkan keilmuan yang bersifat teologi –Mu’tazilah- dan dirinya
telah meneguhkan sebagai pengikut pemerjuang kitabullah dan sunnah. Setelah
mengetahui jawban al-Asy’ari, Rasulullah
memberikan apresiasi apa yang telah ia lakukan berupa perpaduan yang
dilakukan al-Asy’ari dari pemikiran mu’tazilah dan salafiyah tanpa berat
sebelah yang dibangun dari kemampuan logika, dalil-dalil nash secara khusus,
khabar-khabar dan semua dalil yang bersifatan penyandaran terhadap Nabi
Muhammad. Dari perpaduan yang dilakukan al-Asy’ari mampu melahirkan siatu
madzab teologi baru yang berkedudukan ditengah-tengan antra teologi Mu’tazilah
dan Salafiyyah, tidak lian merupakan madzhab yang diharapkan oleh Rasulullah.[18] Secara
geris besar pendorong transisi al-Asy’ari dari Mu’tazilah disebabkan terdapat
perbedaan pemahman dengan al-Jubbai’ terkait konsep pemikiran bahwa Allah tidak
memiliki keharusan untuk berbuat hal yang baik, dalam arti bahwa Allah tidak
memiliki kekuasaan berbuat baik ataupun ketetapan perbuatan yang langeng atas
apa saja yang terbilang baik, dan perbedaan yang lain ialah pemahaman bahwa
Allah tidak memiliki kekuasaan yang dapat mengalahkan hal baik yang terdapat
pada makhluk ciptaaNYA terutama manusia.[19]
Dalam penjelasan analisis yang dilakukan Nasihun, menjelaskan bahwa
ada alasan yang lebih mendasar dan dapat diperhitungkan sebagai pengungkapan
suatau hal dibalik latar belakang pristiwa yang dialami al-Asy’ari, yangmana
analisi tersebut dilihat dan ditimbang secara ilmiah sehingga dapat
dipertangungjawaban hasilnya. Dalam hal ini Nasihun membaginya dalam tiga
alasan dasar peristiwa tersebut, yaitu personal-ideasional, kultural-psikilogis
dan sosial. Dijelaskan, Personal-ideasional merupakan alasan yang lebih
merupakan kesepakatan kepercayaan ynag menjustifikasi sisitem pemaknaan yang
dianutnya. Kultural-Psikologis alasan yang erat berhubungan dengan aspek emosi
dan sikap yang dimiliki al-Asy’ari, lahir dari adanya budaya yang mengalir pada
dirinya. Sedangkan dalam alasan Sosial sangat berkaitan dengan adanya interaksi
orang-orang yang berada disekitarnya.[20]
Dari ketiga tersebut menurut mehat penulis sebagai suatu dasar adanya transisi
yang dilakukan al-Asy’ari.
Personal-Ideasional dimaksudkan untuk memotret kecenderungan
pemikiran ideasional yang bersifat personal berupa aspek metode berfikir
sekaligus substansi pemikiranya sebagai hasil latihan individualnya. Dengan
alasan bahwa salah satu hukum pemikiran merupakan wujud adanya interdependesi,
kesaling bergantungan antara metode-ide yang satu dengan yang lain. Dalam
pengertian lain, adanya kesesuaian anatara cara berfikir dan hasil berfikir
dari bidang tertentu dengan bidang yang lain.
Didang fiqh Al-Asy’ari dikenal sebagai salah seorang yang intens
mempelajari fiqh al-Syafi’i, hal ini di ungkapkan oleh Nasihun Amin atas dasar
kutipan dari Muhammad Sayyid al-Julaynid. Seperti yang pernah disinggung
diawal, bahwa al-Asy’ari sebelum megenal teologi ia lebih dahulu diarahkan
mempelajari fiqh dan hadis oleh ayah kandungnya, melalui bimbingan Zakariyah
al-Saji. Proses tersebut berjalan sejak ia masih tergolong belia, hingga sampai
masa dimana kondisi keluarganya berubah, tertutama ditandai pernikahan
ibundanya selang beberapa tahun sepeningal ayah al-Asy’ari, yang mana ibundanya
dinikahi oleh Abu Ali al-Jubbai’. Selain melaui bimbingan Zakariya, al-Asy’ari
dibimbing oleh Abu Ishaq al-Maruzi dan Ibrahim ibn Ahmad, murid dari Ismail ibn
Yahya seorang ulama yang sezaman dengan Imam al-Asyafi’i bahkan teman karib.
Dari bimbingan guru-gurunya tersebut, dirinya mengenal madzhab al-Ayafi’i,
sebab guru-gurunya tersebut merupakan tokoh fiqh madzhab al-Syafi’i dan juga
tergolong sebagai Ahl Hadis. Dalam pendangan ini, tidak menghilangkan adanya
pemikiran teologis yang mencerminkan suatu ciri khas dari pemikiran teologis
madzhab al-Syafi’iyah, -terutama bagi imam al-Syafi’i sendiri- kendati madzhab
tersebut lebih tersohor dalam bidang fiqhnya. Pandangan teologis tersebut
dinyatakan dengan adanya gugusan pandangan-pandangan madzhab al-Syafi’iyah
(Imam al-Syafi’i) lebih bersifat tradisional,[21]
yang mana sifat tersebut syarat akan pemahaman berwajah teologis. Hal ini tidak
lain sebagai pengaruh sosial-politik yang berkembangan pada masa kehidupan imam
al-Syafi’i, sebagai warisan sejaran yang melatar belakangi konsep pemikiran
imam al-Syafi’i. Seperti yang dijelaskan secara detail terkait respon imam
al-Syafi’i terhadap perkembangan pemikiran teologis yang lahir dari
pemikiran-pemikiran logis (al-Ilmu al-kalam), dalam karya Prof. Dr. Abul
Yazid Abu Zaid al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MADZHAB, yang
diterbitkan Pustaka al-Kautsar terjemahan dari kitab al-‘Aqidatu
al-Islamiyatu ‘indza al-Fuqahai’ al-Arba’ah. Dalam buku tersebut banyak
mengulas -salah satunya- Imam al-Syafi’i terkait respon yang diberikan terhadap
keilmuan kalam,[22]
dari respon tersbut imam al-Syafi’i menggunakan pemahaman Salafnya yang
bersumber dari Qur’an dan Hadis melalui pemahaman logis terhadap makna yang terdapat
dalam teks normatif dua sumber tersebut. Respon tersebut diberikan sebagai
perlawanan dari pemikiran teologi Mu’tazilah yang berkembang saat itu. Seperti
argumen teologis imam al-Syafi’i yang dibalut dalam diskusus keilmuan fiqh,
tentang sifat serta kedudukan Kalamullah (Al-Qur’an) yang bersifat qadim
dan bukan makhluk.[23] Selain
itu, argumen bahwa Allah dapat dilihat kelak pada waktu di akhirat, adanya
syafa’at Nabi Muhammad kepada para pelaku dosa besar dan adanya ketentuan
tentang baik buruknya kehidupan.[24]
Dari adanya persentuhan pemikiran imam al-Syafi’i itu, melaui para
guru al-Asy’ari tersebut menjadikan pengaruh yang dominan atas pemikiran
teologi al-Asy’ari. Selain terjadi persentuhan dengan pemikiran madzhab
al-Syafi’iyah sebagai potret pemikiran tradisional, al-Asy’ari termasuk sebagai
penganut madzhab Malikiyah dan penganut pemikiran imam Ahmad ibn Hanbal.[25]
Dari ketiga tokoh tersebut, pemikiran teologi al-Asy’ari digolongkan sebagai
teologi yang bersifat tradisionalistik. Dan dari aspek lain –sebelum transisi
pemikiran- al-Asy’ari juga merupakan seorang yang intens mempelejari teologi
Mu’tazilah, sampai mendapatkan predikat sebagai tokoh pejuang Mu’tazilah.
Adanya data-data yang diungkapkan tersebut, menurut Nasihun Amin melahirkan
natijah analisis yang berbentuk ketidakcocokan secara subtantif dan metodis,
dikarenakan pola pikir tradisionalistik tersebut lebih bersifat naqli
dan di aspek lainya, pola pikir
rasionalistik lebih cenderung bersifat ‘aqli. Yang mana kedua unsur
tersebut (Naqli dan ‘Aqli) berada dalam satu wadah kepribadian.[26]
Hal inilah yang dinilai sebagi bentuk kontradiktif sangat menggagu jika
diterapkan bersamaan. Akan tetapi menurut hemat penulis, hal tersebut tidaklah
seperti yang diungkapkan. Menelusuri sejarah yang ada, sebetulnya perpaduan
atau pengabungan menjadi satu antara dua pola sudah pernah terjadi, yaitu pada
masa imam al-Syafi’i dengan bentuk dari hasil kedua pola pikir
(Tradisional-Rasional) melihirkan konsep Qiyas.
Aspek kultural-psikologis, dipergunakan untuk memotret kecenderungan
psikilogis al-Asy’ari yang bersifat kultural. Dalam arti, secara psikologis
al-Asy’ari termasuk sebagai individu bagian dari gugusan masyarakat, dari itu
keberadanya tidak dapat dipisahkan dari kultur yang secara umum membetuk
masyarakat. Sehingga dirinyapun memiliki kecenderungan psikilogis yang sama
dengan masyarakat yang berada disekitarnya, dimana al-Asy’ari menjadi bagian
integral dalamnya.
Salah satu foktor mendasar yang bertangungjawab dalam pembentukan
karakteristik kultural masyarakat adalah faktor antropologis. Menurut Nasihun
Amin yang dikutipnya dari Macdonald, Al-Asy;ari merupakan keturunan terbaik
dari masyarakat padang pasir (Arab) yang keluarkanya merupakan keluarga yang
sangat ortodoks. Sedangkan kultur masyarakat arab sejatinya lebih cenderung
dikuasai oleh sikap hidup fatalistik dan atomistik.[27]
Dari sikap dan kultur seperti demikian, menjadikan ketidak cocokan dengan
berbagai pendidikan yang pernah diterimanya dari Mu’tazilah dengan paradigma
pemikiran yang sangat memepercayai adanya kemampuan murni manusia dalam
bertindak. Walaupun sikap fatalistik dan atomistik tidak menjadi faktor secara
genetis dalam diri al-Asy’ari, dapat dipastikan kapan saatnya akan muncul
tetapi setidak-tidaknya secara psikologis hal tersebut merupakan suatu potensi.
Dari potensi tersebulah kemungkinan besar karakter asli bangsa Arab akan muncul
sewaktu-waktu jika adanya faktor yang mendukung munculnya.
Adapun bila dilihat dari aspek sosial, kehadiran al-Asy’ari di
dunia intelektual, masih terbilang relatif dekat dengan masa Imam al-Syafi’i
yaitu kurang lebih satu abad lamanya. Dari faktor jarak waktu dirinya dnag imam
al-Syafi’i dan ditambah dengan unsur pengajaran madzhab al-Syafi’iyah yang
sampai kepadaya, sehingga dapat dikata bahwa pengaruh pemikiran imam al-Syafi’i
begitu kuat bagi al-Asy’ari. Selain adanya pengaruh pemikiran imam al-Syafi’i
berdasarkan kurun waktu yang ada, keberadaan al-Asy’ari juga relatif lebih
dekat dengan masa kehidupan seorang tokoh kodifikasi hadis yang dinilai karya
tersebut sangat otoritatif sebagai kumpulan hadis dengan kualitas hadis yang
paling shahih, yaitu al-Bukhari. Tenggang waktu al-Asy’ari dengan al-Bukhari
hanya berjarak setengah abad lamanya, hal ini menjadikan pertambahan yang kuat
atas kecenderungan al-Asy’ari terhadap pemikiran tradisional. Dimana
kecenderungan pola pemikiran teologis al-Bukhari juga terbilang tradisional.
Selain dari renggang waktu antra al-Asy’ari dengan kedua tokoh tersebut, ia
juga hidup sezaman dengn tokoh pembukuan
hadis lainya seperti al-Tirmidzi yang berjarak hanya sebelas tahun, juga hanya
terpaut beberapa puluh tahun saja dengan imam Ahmad ibn Hanbal.[28]
Dari fakta-fakta tersebut, meunjukan bahwa al-Asy’ari berada pada
masa konsolidasi sunni yng hampir selesai, dimana para tokoh tersebut merupakan
kotoh-tokoh yang secara serentak membangun madzhab tradisionalisme. Rentang
waktu sedemikian panjang, dapat dipastikan membawa dampak pengaruh yang kuat
dalam pola pikir dan pola hidup masyarakat dizaman al-Asy’ari. Dalam pengertian
bahwa nilai-nilai ortodoksi yang dibangun oleh para tokoh tersebut mampu
mewarnai ke berbagai wilayah melalui konsep, teori dan pembangunan paradigma
dalam ranah fiqh dan kodifikasi hadis sudah dapat menginternalisasi dalam
kehidupan keseharian masyarakat.[29] Pada
sudut pandnag lain, al-Asy’ari mencoba meahirkan formula baru konsep pemikiran
teologis yang sangat sistematis, dengan latar belakang sudah tidak andaya
acuhan teologi pada masyarakat saat itu, sebab sudah dibatalkannya teologi
Mu’tazilah sebagai teologi resmi yang dipaksakan oleh otoritas negara secara
paksa. Kendati demikian kehidupan masyarakatnya masih berada dizona ortodoksi
yang belum memiliki pijakan teologis yang sistematis, dari sebab itu al-Asy’ari
membangun paradigma pemikirannya meskipun terdapat asumsi politis didalamnya.[30]
Dalam perkembangan yang ada, teologi al-Asy’ariyah mendapatkan
posisi kedudukan sebagai salah satu produk pemikiran yang diakui keberadaanya
di kanca dunia samapai sekarang. Hal ini dikarenakan tidak lain teologi yang
mempunyai kekuatan secara politis –pada zamannya- untuk membangun paradigma
sistematis dalam memahami ketuhanan secara universal menuju pemahaman secara
komprehensif, dan juga berfungsi sebagai pelanggengan pemikiran tradisional
yang telah lama mendikotomi pemikiran dunia islam, serta menjadikan dominasi
dalam dunia intelektual Islam. meskipun ada tendensi politik yang menyongkong
perkembangan teologi al-Asy’ariyah, disisi lain adanya unsur kemurnian
perkembangan bersifat teologis yang tidak dapat dikesampingkan sebagai
pendorong terjadinya dominasi teologis internasional.
Melihat perkembangan yang ada, teologi al-Asy’ariyah masih perlu
dianalisi secara terperinci guna mendapatkan pokok-pokok pemikiran teologis
dari teolgi al-Asy’ariyah. Adapun pokok-pokok teologi al-Asy’ariyah yang
menurut penulis sebagai ibu dari anakan konsep menahaman teologis yang
dikosepkan imam al-Asy’ari sekaligus sebagai teori yang digunakan sebagai
perlawanan pemikiran Mu’tazilah khususnya dan pemikiran teologi-pilitik lainya,
seperti Syi’ah, khawarij;[31]
sebagai berkut.
1.
Kekuasaan
dan keadilah Allah.
Allah SWT adalah dzat yang Maha Kuasa dan Maha Adil dalam segala
perbuatan atas kekuasaan-NYA. Kekuassan tidak terbataskan merupakan konsep
peniadaan segala hal yang “diklem” adanya penguasan yang dapat menguasai “hal”
selain dzat Allah ataupun anggapan kekuasaan terbatas Allah selaku Maha Kuasa,
seperti yang dianggap Mu’tazilah (Kekuasaan yang terbatasi oleh Keadilan). Jika
Allah dzat yang berkuasa atas segala hal, maka memberikan pemahamn bahwa semua
yang dimilikiNYA ada dalam gengamanNYA tanpa adanya larangan atau batasan untuk
melakukan atas segala yang dikuasaiNYA. Keadilah dalam pandangan al-Asy’ari
adalah meletakan sesuatu pada tempatnya (Wadh’u al-Syai’ fi mahalihi).[32]
Dengan ini bahwa jika kekuasaan atas segala hal tanpa terbatasi ataupun
terhalangi maka semua yang dilakukan atas penguasaan terhadap segala hal,
merupakan keadilan yang dijalankan oleh Allah dalam KekuasaaNYA tanpa
terkecuali. Dengan analogi dalam ranah Kekuasaan dan Keadilan bahwa, ketika
seseorang berkuasa atas miliknya –katakanlah HandPhone- maka menjadi kepasrahan
secara total atas HP tersebut. Digunakan hanya untuk bermain games kah atau
hanya untuk gantungan kuncikah, itu semua ada dalam kekuasaa seorang pemilik HP
tersebut dan keadailah seseorang tersebut terhadap Hpnya berada di semua
perlakuan terhadap Hpnya, untuk apapun HP tersebut dipergunakan merupakan
kekuasaan dan bentuk keadailan seseorang tersebut. Lebih lanjut, sekalipun HP
tersebut memberiakan manfaat sama sekali, maka tidak ada keharusan bagi pemilik
HP tersebut untuk menempatkan HP tersebut ke tempat yang indah dan bergengsi.
Dan tidak ada keharusan juga bagi pemilik HP tersebut untuk membuang HP
tersebut ketempat sampah, lantaran HP tersebut sudah tidak ada nilainya.
Gagasan al-Asy’ari, Allah Maha segalanya. Allah berada diluar
segala yang ada, tidak berada dalam domain hukum yang ada. Sehingga
menjadikanNYA sebagai penguasa secara mutlak sempurna atas semua ciptaanNYA
dalam kehendakNYA, meskipuan hal tersebut menurut logika manusia tidak patut
dilakukan oleh Allah. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah, secara otomatis
milik Allah. Dengan demikian kendek Allah ada pada dzat dan sifatNya tidak
menerima keharusan konsekuwensi logis atas perbuatan yang dilakukan manusia.
Seseorang yang selalu berbuat baik, beribadah tekun, dapat dimasukan oleh Allah
ke Neraka. Sebaliknya, seseorang yang dari kecil selalu berbuat buru,
bermaksiat, dapat dimasukan oleh Allah ke Surga. Meskipun demikian, Allah tidak
dapat dikatakan sebagai tuhan yang tidak adil bahkan berbuat salah. Karena
menurut Allah salah dan tidak adil ketika menyalahi atau melanggar hukum,
sedangkan tidak ada hukum yang berada di atas Allah (tidak ada hukum yang dapat
menghukum Allah atas kehendakNYA), dengan demikian berarti tidak ada sama
selaki tidak ada kehedak perbuatan Allah yang melangar hukum. Dan dari itu,
tidak ada ungkapan “tidak adil” dalam diri Allah. Semua yang dilakukan Allah
merupakan wujud keadilanNYA.[33]
2.
Perbuatan
Manusia.
Manusia merupakan salah satu makahluk ciptaan Allah yang sempurna
atas segala kemampuan dan sifat serta segala hal yang dimiliki manusia dalam
lingkupan kehidupannya. Kendati demikian jika disandarkan kepada Kekuasaan dan
Keadilan Allah, manusia menempati posisi sebgai makahluk yang berpredikat
sangat lemah.[34]
Hal ini dinyatakan dengan adanya hatikat perbuatan yang keseluruhan perbuatan
manusia tersebut, tidak lain merupakan ketentuan yang sudah digariskan oleh
Allah. Akan tetapi dalam pemahaman teologi Al-Asya’riyah, hanya perbuatan
baiklah yang disandarkan atas ketetapan Allah. Sedangkan perbuat yang bersifat
buruk tidak disandarkan kepada Allah, dengan alasan bahwa Allah telah
menciptakan manusia dengan dilengkapi akal untuk berfikir; memilih jalan
kehidupan, membedakan kebaikan atau keburukan, mampu menangkap perintah maupun
larangan dari Allah yang termuat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dari hal itu,
konsekuwensi kausalitas perbuatan masnusia tergantung dari perbuatannya yang
berdasarkan atas kekuatas akal yang telah Allah karuniakan. Begitu juga adanya suatu
ketetapan dari Allah atas apa-apa yang digariskan sebagai perbuatan yang buruk
dan terlarang untuk dilakukan manusia, yaitu ketetapan buruk dalam tidakan yang
tidak disukai oleh Allah dan harus menjauhi hal tersebut, yang mana ketetapan
tersebut dalam kehendak Allah yang bersifat mutlak. Seperti contah perbuatan
dusta, meskipun pada hakikatnya Allah menciptakan dusta, akan tetapi perbuatan
dusta tersebut berada dalam wilayah perbuatan yang dilarang Allah untuk
dilakukan sebab kejahatan yang terkandung didalamnya, lebih utama sebab dusta
merupakan tindakan yang dilarang oleh Allah. Jika pun perbuatan dustra
dianjurkan bahkan diperintahkan untuk dilakukan, maka perbuatan tersebut tidak
terbilang perbuatan yang menggar aturan Allah atas ketetapan yang
diperintahkanNYA.[35]
Dalam pembahasan ini (perbuatan manusia) al-Asy’ari mengedepankan
konsep Qadha-Qadar, namun demikian, al-Asy’ari berusaha membarikan jalan
keluar melalui konsep al-kasb sebagai konsep dalam memperlakukan konsep qadha-qadar
dalam diri manusia. Qadha-qadar adalah ketentuan dan ukuran tentang
kehidupan manusia. Kaitannya dengan itu, landasan konsep qadha-qadar
bertumpu pada Qs al-Qamar: 49 yang menyatakan bahwa Sesungguhnya kamiciptakan
segala sesuatu menurut ukuran, dan QS. Al-Thalaq:3 yang menyatakan bahwa
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan untuk segala sesuatu. Dari dua
ayat tersebut menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran
yang telah ditetapkan dan kejelasan dari korelasi pemahamn dua ayat tersebut
menerangkan bahwa ukuran tersebut merupakan ketetapan yang telah dibuat oleh
Allah bersamaan dengan penciptaannya yang mana tidak dapat digangugugat bahkan
dirubahpun tidak bisa.[36]
Seperti yang telah ungkapkan diawal, al-Asy’ari menyatakan bahwa
manusia merupakan makhluk yang lemah. Karenanya menurut al-Asy’ari, manusia
tidak memiliki kekuatan daya secara mandiri dari dirinya, semua yang terjadi
dan dilakukan oleh manusia berada pada kehendak dan Kekuasaan Allah. Tanpa
adanya kehendak dan kekuasaan Allah, tidak akan dapat terwujud sebagai
perbuatan yang manusia lakukan. Dalam hal ini kedudukan manusia sangat pasif,
oleh karena itu untuk keluar dari belenggu konsep qadha-qadar, al-Asy’ari
mengusulkan konsep al-kasb sebagai upaya keluar dari keterbelengguan
tersebut. Kendati demikian al-kasb pun merupakan ciptaan Allah yang
tergantung pada kekuasaan dan kehendak Allah, walaupun kemampuan daya untuk
berbuat tidak ada akan tetapi sifat yang melekat pada manusia sebagai pembuat
masih tetap ada.[37]
3.
Sifat
Allah SWT
Siafat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan hal yang meleket
pada dzat-dzatnya secara otomatis, ada karena adanya pengakuan dzat. Sifat dan
dzat dua hal yang berbeda, tidak dapat disatukan dan juga tidak dapat
dipisahkan, melainkan beriringan bersamaan. Dalam pemahman sifat Allah,
al-Asy’ari terbilang sebagai teolog yang berada di posisi poros tengah diantara
pemikiran teologi poros kanan (Mu’tazilah) bahwa Tuhan tidak miliki sifat dan
pemikiran teologis poros kiri (Mutasyahihah, Politeisme) bahwa Tuhan banyak
terbagi berbagai wujud dan berbentuk layaknya manusia. Melalui konsep
pemikiranya, al-Asy’ari mengemukakan bahwa Allah mempunyai sifat yang menjadi
bukti adanya (Wujud) Allah.[38] Akan tetapi menurutnya, sifat bukanlah esensi
Tuhan. Seperti yang dikutip oleh Dr. Nashihun Amin ma huwa wa la ghairuhu,
shifat Allah laisat ‘ain dzatihi wa la ghairu dzatihi.[39]
Dalam hal ini, al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat tidak dapat
berdiri sendiri maka dari itu sifat tidak dapat dipisahkan dari dzat, sebab
Allah merupakan dzat yeng berkuasa atas segalanya dan pasti harus mengakui
kekuasaanya; Allah merupakat dzat yang berkehendak atas segalanya, dan tidak
mungkin adanya pegakuan kehendak-Nya tanpa mengakui kehendak-Nya. Dari dua
ungkapan tersebut memberikan pemahaman bahwa pengakuaan ataupun mengakuai ats
kekuasaan dan kehendak Alah merupakan tidakan yang berdasarkan pengetahuan atas
sifat-sifat yang melekat ada pada dzat yang berkuasa dan berkehendak. Maka dari
itu sifat ada seiring dengan adanya dzat yang secara otomatis ada terikuti
bersamaan dzat, walupun keduanya berbeda. Adapun jika masih belum diterima
bahwa kedudukan sifat mengikuti kedudukan dzat maka akan adanya
ketumpangtindihan argumantasi yang mana jika pun kedudukan Sifat adalah hadis,
tidak qadim seperti Dzat yang disifati, maka secara logika tidak dapat
diterima. Dengan alasan bahwa kedua hal yang berbeda tidak dapat ada pada
bersamaan, jika Sifat berkedudukan hadis dan Dzat berkedudukan qadim yang
keberadaanya tidak dapat dipungkiri sama sekali dan tidak ada celah sedikitpun
untuk mengatakan bahwa qadim dapat hilang; berada dalam satu keadaan
maka jelas tidak akan bisa. Allah dzat yang Maha melihat, yang pada itulah
Allah bersifatan Maha mengatauhi, tidak mungkin adanya dzat daya kekuasaan melihat
pada Dzat Allah tapi dzat daya kekuasaan mampu mengetahui hanya dapat di
fungsikan setelah beberapa waktu lamaya atau berfungsinya ketika hanya akan
digunakan. Sedangkan jika pun Sifat berkedudukan hadis yang mana
kedudukan tersebut pasti terikat waktu dan tempat, maka kesimpulannya Allah pun
hadis. Sebab adaya waktu dan tempat yang megikat dzat-Nya, walaupun
yang terikat hanyalah daya fungsi kekuasaan dari dzat-Nya. Digamblangkan, jika
pun demikian adanya bahwa pengaktifan fungsi dari dzat Allah tidak terikat
dengan ruang dan waktu, tetapi pengakfian daya kekuasaan dzat Allah –yang
dimaksudkan kekuasaan Maha mengetahui- dibatasi dengan adanya aktifitas yang
menjadikan aktifnya fungsi dzat tersebut (maha mengatahui) maka Allah tidak
beda dengan makhluknya, seperti Bayi yang lahir berseeta matanya, tetapi fungsi
melihat dari mata Bayi tersebut belum ada kecuali sudah mencapai minimal empat
bulan lamanya. Hal ini tidak mungkin terjadi pada Allah, sebab tidak ada yang
menyamai Allah dan tidak juga masa seperti makhluk ciptaaNya.
Dengan demikian bahwa tiga item yang telah ditelaskan diatas,
menurut penulis merupakan dasar pokok dari kelahiran adanya konsep-konsep
cabang pemikiran teologi al-Asy’ariah. Dari tiga tersebut melahirkan
cabang-cabang konsep yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat
dipisahkan sebagai konsep secara mandiri berdiri sendiri. Karena dalam rranah
teologi, semua hal pasti bersangkutan. Tinggal dari kemapuan memahami teologi
tersebut.
[1] Nasihun Amin, PARADIGMA
TEOLOGI POLITIK SUNNI: Melacak Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (W. 324/935), Sebagai
Perintis Pemikiran Politik Islam, (Semarang: PUSTAKA PELAJAR, 2015), h.
Vii.
[2] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya
Abdi Jaya, 2015), h. 112-113.
[3] Nasihun Amin, PARADIGMA
TEOLOGI POLITIK SUNNI, Loc. Cit.
[4] Dr. Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013), h. 49
[5] Nasihun Amin, PARADIGMA
TEOLOGI POLITIK SUNNI, op. Cit. h. 9.
[6] Muhammad
Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2011), h.
165. Lihat juga Nasihun Amin, PARADIGMA TEOLOGI POLITIK SUNNI, op. Cit.
h. 25. Lihat Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM,
op. Cit. h. 104.
[7] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 104-105.
[8] Muhammad
Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, loc. Cit.
[9] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 105. Lihat Nasihun Amin, PARADIGMA
TEOLOGI POLITIK SUNNI, op. Cit. h. 25.
[10] Muhammad
Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, loc. Cit.
[11] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, loc. Cit.
[12] Ibid. h. 106
[13] Ibid.
[14] Muhammad
Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, loc. Cit.
[15] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 107
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Muhammad
Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, op. Cit. h. 166-167.
[19] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 108.
[20] Ibid.
[21] Ibid. h. 109.
[22] Prof. Dr. Abul
Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj.
Faisal Salah dan Umar Mujtahid, al-‘Aqidatu al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai
al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 361-373.
[23] Ibid. h.
341-342 dan 347-348. Lihat Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN,
op. Cit. h. 110.
[24] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, Loc. Cit.
[25] Ibid.
[26] Ibid. h. 111.
[27] Ibid.
[28] Ibid. h. 112.
[29] Ibid.
[30] Baca lebih
lengkap Nasihun Amin, PARADIGMA TEOLOGI POLITIK SUNNI.
[31] Nasihun Amin, PARADIGMA
TEOLOGI POLITIK SUNNI, op. Cit. h. 19.
[32] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 113.
[33] Ibid. h.
113-114.
[34] Ibid. 115.
[35] Ibid. h. 119.
[36] Ibid. h.
115-116.
[37] Ibid.
[38] Ibid. h. 124.
[39] Ibid. lihat
Ahmad Mahmud Shubhi, fi ‘ilm al-Kalam (Kairo: Dar al-Kutub al-Jami’ah,
1969), h. 62. Lihat Muhammad ‘Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, (Kairo:
Dar al-Syuruq, 2011), h. 181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar