Jumat, 26 Mei 2017

PEMIKIRAN TEOLOGI TRADISIONAL: AL-ASY’ARIYYAH



BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN TEOLOGI TRADISIONAL: AL-ASY’ARIYYAH
A.    Latar belakang
Al-Asy’ari merupakan tokoh monumental dalam sejarah pemikiran teologi islam. Dari pemikirannya mampu mengisnpirasi berdirinya kelompok Sunni, sebagai golongan yang terbilang cukup besar penganutnya. Berkatnya, dalam perkembangan pemikiran teologi islam, mampu memberikan rumusan teologi yang sangat sisitematis.[1] Sehingga hal ini memberikan kesan berbeda dalam pemahaman teologi islam yang secara khusus sebagai pewarna lain dalam pemikiran teologi islam paska sepeninggal Nabi.
Sebagai pemikir bebas, Abu al-Hasan al-Asy’ari mampu menciptakan konsep teologi islam yang terbilang baru. Melalui kerangka pemikiran teologinya, al-Asy’ari mencoba memahami konsep-konsep dasar teologi islam yang pernah diungkapkan Nabi Muhammad SAW. Dari ungkapan tersebut yang terdekte dalam rangkaian sanad rawi, berupa ungkapan (matt’ni) penjelasan maupun penguat dasar-dasar keagamaan Islam baik berbentuk teks Al-Qur’an –sebelum terbukukan hadis secara resmi, berlanjut menjadi catatan khusus dalam bentuk satu pembukuan yang disebut Mushhaf dari sumber yang sama dari ungkapan Nabi secara mandiri sebagai teks Al-Qur’an dari kumpulan ayat-ayat yang terkumpulkan- maupun dalam bentuk matni hadis yang terklasifikasi sebab kapasitas dan kredibilitas setiap perawi dari rangkain sanad periwayatan hadis, Abu al-Hasan al-Asy’ari memulai membangun kerangka pemikiran teologinya yang dikenalkan ke khalayak. Jalur pemikirannya tersebut didapati dari berbagai situasi kondisi yang pernah dilaluinya, berupa pengkajian secara insten mendalam, diskusi, debat dan sebagainya dari guru-guru serta karya-karya pendahulunya yang dirasa sesuai dengan pola pemikirannya.[2] Dari semua itu al-Asy’ari menjadikannya sebagai pijakan pemahaman teologi Islam dalam konsep paradigma teologinya.
Akan tetapi meskipun demikian, terdapat unsur-unsur lain yang menjadi material pembangunan konsep pemikiran teologinya, yaitu faktor eksternal non akademis yang berbungkus dalam situasi sosial-antropologi-politik pada masa kehidupan al-Asy’ari. Hal ini yang nantinya akan diulas beserta perjalanan hidup dan konsep pemikiran teologi al-Asy’ari yang menjadikan dirinya sebagai seorang tokoh yang berkedudukan sebagai seorang tha founding father ajaran dalam tradisi Sunni atau dapat juga dengan nama Aswaja (ahl al-sunnah wa al-Jama’ah).
B.     Rumusan Masalah
i.          Bagaimana Biografi Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Pemikiran Teologi al-Asy’ariyah?.
BAB II
PEMBAHASAN
i.          BAGAIMANA BIOGRAFI ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI dan PEMIKIRAN TEOLOGI AL-ASY’ARIYYAH.
Al-Asy’ariyah merupakan pemikiran teologis dalam konsep yang sangat sistematis[3] warisan sejarah perkembangan pemikiran yang masih dalam pemerintahan dinasti Abbasiyyah (132H-656H / 750M-1258M) setengah abad lebih,[4] tepatnya pada masa kekuasaan khalifah al-Mu’tamid (870M-892M) khalifah ke-15 dinasti Abbasiyah.[5] Pemikiran teologis tersebut digagas oleh mantan pengikut pemikiran teologi Mu’tazilah, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari. Nama lengkapnya Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ismail ibn Abi Basyar Ishaq ibn Salim ibn Ismail ‘Abd Allah ibn Musa ibn Bilal ibn Abi Burdah ibn Abi Musa al-Asy’ari (260H-324H / 874M-936M).[6] Terkait perbedaan pendapat tahun kelahiran serta wafatnya, para ahli sejarah yang didukung dengan data-data yang ada, dominan mempunyai perbedaan pengukngkapanya. Seperti yang dipaparkan Nasihun dalam karyanya Sejarah perkembangan Pemikiran Islam, Nasihun Amin menemukan keberagaman data dari berbagai sumber periwayatan; al-Baghdadi menyebutkan bahwa Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir pada tahun 260H / sekitar 873-874M dan wafat pada tahun 330H/941-942M; Abu al-Qasim ‘Abd al-Wahid ibn ‘Ali al-Asadi berpendapat diantara tahun 320H dan 330Mmerupakan tahun wafatnta iamm al-Asy’ari; Abu Muhammad ‘Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm bahwa wafat al-Asy’ari tahun 324H / 935M-936M. [7] Meskipun terdapat perbedaan yang beragam pada tahun kelahiran dean wafanya, akan tetapi terkait tempat kelahiran dan kematian al-Asy’ari para ahli sejarah sepakati bahwa ia dilahirkan di Bashrah dan besar sampai wafatnya di Baghdad. Di kota itu pula, awal perjalanan kehidupan serta intelektualnya, dari mulai belajar, berdebad, diskusi, mengarang karya tulis dan sebagai pengajar dihabiskan disana.[8]
Ismail ibn Ishaq, ayah al-Asy’ari merupakan seorang tokoh hadis. Ayahnya meninggal saat al-Asy’ari menginjak usia 10 tahun.[9] Selang beberapa tahun paska sepeningal ayahnya, Ibundanya dinikahi oleh Abu ‘Ali al-Jubbai’ (235H-303H / 849M-916M) [10] pada tahun 275H saat al-Asy’ari berumur 15 tahun,[11] al-Jubbai’ seorang imam besar yang terkatagorikan sebagai Profesor spesialis dalam bidang teologi Mu’tazilah pada masanya. Dari ayah tirinya, al-Asy’ari memperoleh pendidikan ilmu kalam (ushuluddin) golongan Mu’tazilah. Dan mulai saat itu al-Asy’ari membai’atkan dirinya masuk sebagai salah satu pengikut pemikiran teologi Mu’tazilah. Sebelum al-Asy’ari mengenal keilmuan teologi, semasa ayah al-Asy’ari masih hidup, dirinya lebih dahulu dibimbing oleh ayahnya untuk mempelajari keilmuan fiqh dan hadis secara intensif. Pembimbingan tersebut dilakukan oleh ayahnya melalui lembaga pendidikan yang pada saat itu, al-Asy’ari diditipkan kepada Zakariyya ibn Yahya al-Saji, seorang pakar hadis pada masa itu.[12]
Dari al-Saji inilah al-Asy’ari meriwayatkan beberapa hadis dan masih pada orang yang sama al-Asy’ari mengenal serta belajar fiqh madzhab al-Syafi’iyyah. Dari ilmu yang diperolehnya, lalu dikembangkan sendiri secara mandiri dan intensif melalui ikut serta dalam forum diskusi setiap hari Jum’at yang berada di masjid al-Manshur yang diasuh oleh Abu Ishaq al-Maruzi (w. 340H) seorang tokoh ulama fiqh pada masa itu.[13] Selain itu Al-Asy’ari juga mendapatkan pendidikan fiqh dari Ibrahim ibn Ahmad (w. 340H / 951M) yang merupakan murid dari Ismail ibn Yahya (175H-264H / 791M-878M).[14] Semenjak perkenalannya dengan keilmuan teologi Mu’tazilah, al-Asy’ari mulai lebih intensif mempelajari konsep pemikiran teologi tersebut. Hal ini tidak lain lantaran ketertarikan al-Asy’ari terhadap hal-hal dasar keimanan seseorang yang menurutnya teologi Mu’tazilah merupakan satu-satunya aliran teologi yang paling mendasar dalam pembahsan keimanan, disamping itu dikarenakan teologi Mu’tazilah lebih besar dalam penggunaan peranan akal dalam konsep pemahamn teologi Mu’tazilah.
Sebab kualitas kecerdasan yang tinggi dari al-Asy’ari, mampu menghantarkan dirinya menjadi salah satu tokoh muda Mu’tazilah dengan kredibilitas tinggi. Dari kualitas yang diperolehnya, membuat kagum para guru-gurunya terutama ayah tirinya. Karena itu tidak jarang al-Asy’ari dipercaya untuk tampil dalam ajang berbagai perdebatan, hal ini lantaran kepaindanya dalam berdebat. Pengakuan kepandainnya dalam berdebat telah diakui halayak pada masa itu, tidak terkecuali oleh al-Jubbai’ yang karena kepandaian debat yang dimiliki al-Asy’ari, dapat mengalahkan kemampuan debat yang dimiliki al-Jubbai’.[15] Meskipun demikian, pada akhirnya al-Asy’ari mengalami masa dimana ia mulai meragukan terhadap kebenaran sistem keimanan yang telah diikuti dan diperjuangkanya selama puluhan tahun tersebut, hingga sampai dimana ia mencapai titik kulminasi kerguan tersebut pada usia 40 tahun. Pada usia itu menjadikan al-Asy’ari berada disituasi kebimbangan yang ia yakini atas sistem pemikiran teologis, situasi tersebut akhirnya membawanya ke keadaan konversi pemikiran teologis. Kondisi tersebut tidak hanya sampai disitu, pada masa selajutnya al-Asy’ari berbalik arah dari simpatisan kader militan yang sukses menjadi salah satu tokoh Mu’tazilah menuju penentang bahkan rival pada pemikiran teologi Mu’tazilah. Hal ini tidak lain sebagai wujud perkembangan logika yang dipelajarinya dari Mu’tazilah.[16]
Kondisi transisi yang dialami al-Asy’ari dalam lingkup dilema keyakinan, menjadikan dari suatu situasi kondisi yang sukar difahami bahkan dianalisis oleh para pakar sejarah yang mengkaji tentangnya. Menurut Nasihun, salah satu penyebab timbul suatu keraguan al-Asy’ari terhadap Mu’tazilah tidak lain masih masalah seputar teologi yang perbeda pandangan antara dirinya dengan pemikiran Mu’tazilah tentang keadilan Allah yang terkesan menghilangkan aspek kekuasaan Allah terhadap segala tindakan-NYA dan perihal penciptaan al-Qur’an.[17] Meskipun terdapat perbedaan informasi terkait peristiwa tersebut, informasi lain yang mendasar sebagai faktor pendorong terjadinya peristiwa tersebut, yaitu kejadian yang dialami al-Asy’ari pada saat tidur. Kejadian tersebut terjadi saat al-Asy’ari dipucak keraguan terhadap teologi yang diyakininya saat itu (Mu’tazilah), diceritakan bahwa disuatu malam  al-Asy’ari melakukan sholat dua rakaat guna meminta petunjuk jalan yang benar serta lurus atas dilema dan transisi yang di lakukanya. Setelah ritual tersebut selesai dilakukanya, ia tidur. Dalam tidurnya itulah ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah, seraya Rasulullah bersabdah ‘alaika bisunnati (engkau meupakan pelaku sunah tradisiku). Hal ini berdasarkan pada apa yang dilakukan al-Asy’ari dalam perlawanannya terhadap polemik teologi keagaman dengan mengunakan dalil-dalil Al-Qur’an dan Khabar. Dari kejadian tersebut al-Asy’ari mendapatkan pemahaman makna bahwa Rasulullah dalam mimpi tersebut mengisyarakan kepandanya untuk meningalkan ilmu teologi (Mu’tazilah) yang digelutinya, sejak itu al-Asy’ari mulai mengeluti akidah islam dan memperkanyakan dirinya dengan dalil-dalil nash, logika dan dalil yang bersifat pengukapan dari Nabi (Al-Qur’an dan Sunnah). Sedangakn akidah islam yang dimaksud yaitu teologi Salafiyah yang diusung oleh imam Ahmad ibn Hanbal selaku tokoh yang dikenal sebagai seorang pembela sunnah. Mimpi yang sama bertemu dengan Rasul terulang kembali kedua kalinya, dimana dalam mimpi tersebut Rasulullah mengawali pertemuan dengan menanyakan kepada al-Asy’ari tentang apa yang telah dilakukannya. Dijawabi oleh al-Asy;ari, bahwa dirinya telah meninggalkan keilmuan yang bersifat teologi –Mu’tazilah- dan dirinya telah meneguhkan sebagai pengikut pemerjuang kitabullah dan sunnah. Setelah mengetahui jawban al-Asy’ari, Rasulullah  memberikan apresiasi apa yang telah ia lakukan berupa perpaduan yang dilakukan al-Asy’ari dari pemikiran mu’tazilah dan salafiyah tanpa berat sebelah yang dibangun dari kemampuan logika, dalil-dalil nash secara khusus, khabar-khabar dan semua dalil yang bersifatan penyandaran terhadap Nabi Muhammad. Dari perpaduan yang dilakukan al-Asy’ari mampu melahirkan siatu madzab teologi baru yang berkedudukan ditengah-tengan antra teologi Mu’tazilah dan Salafiyyah, tidak lian merupakan madzhab yang diharapkan oleh Rasulullah.[18] Secara geris besar pendorong transisi al-Asy’ari dari Mu’tazilah disebabkan terdapat perbedaan pemahman dengan al-Jubbai’ terkait konsep pemikiran bahwa Allah tidak memiliki keharusan untuk berbuat hal yang baik, dalam arti bahwa Allah tidak memiliki kekuasaan berbuat baik ataupun ketetapan perbuatan yang langeng atas apa saja yang terbilang baik, dan perbedaan yang lain ialah pemahaman bahwa Allah tidak memiliki kekuasaan yang dapat mengalahkan hal baik yang terdapat pada makhluk ciptaaNYA  terutama manusia.[19]
Dalam penjelasan analisis yang dilakukan Nasihun, menjelaskan bahwa ada alasan yang lebih mendasar dan dapat diperhitungkan sebagai pengungkapan suatau hal dibalik latar belakang pristiwa yang dialami al-Asy’ari, yangmana analisi tersebut dilihat dan ditimbang secara ilmiah sehingga dapat dipertangungjawaban hasilnya. Dalam hal ini Nasihun membaginya dalam tiga alasan dasar peristiwa tersebut, yaitu personal-ideasional, kultural-psikilogis dan sosial. Dijelaskan, Personal-ideasional merupakan alasan yang lebih merupakan kesepakatan kepercayaan ynag menjustifikasi sisitem pemaknaan yang dianutnya. Kultural-Psikologis alasan yang erat berhubungan dengan aspek emosi dan sikap yang dimiliki al-Asy’ari, lahir dari adanya budaya yang mengalir pada dirinya. Sedangkan dalam alasan Sosial sangat berkaitan dengan adanya interaksi orang-orang yang berada disekitarnya.[20] Dari ketiga tersebut menurut mehat penulis sebagai suatu dasar adanya transisi yang dilakukan al-Asy’ari.
Personal-Ideasional dimaksudkan untuk memotret kecenderungan pemikiran ideasional yang bersifat personal berupa aspek metode berfikir sekaligus substansi pemikiranya sebagai hasil latihan individualnya. Dengan alasan bahwa salah satu hukum pemikiran merupakan wujud adanya interdependesi, kesaling bergantungan antara metode-ide yang satu dengan yang lain. Dalam pengertian lain, adanya kesesuaian anatara cara berfikir dan hasil berfikir dari bidang tertentu dengan bidang yang lain.
Didang fiqh Al-Asy’ari dikenal sebagai salah seorang yang intens mempelajari fiqh al-Syafi’i, hal ini di ungkapkan oleh Nasihun Amin atas dasar kutipan dari Muhammad Sayyid al-Julaynid. Seperti yang pernah disinggung diawal, bahwa al-Asy’ari sebelum megenal teologi ia lebih dahulu diarahkan mempelajari fiqh dan hadis oleh ayah kandungnya, melalui bimbingan Zakariyah al-Saji. Proses tersebut berjalan sejak ia masih tergolong belia, hingga sampai masa dimana kondisi keluarganya berubah, tertutama ditandai pernikahan ibundanya selang beberapa tahun sepeningal ayah al-Asy’ari, yang mana ibundanya dinikahi oleh Abu Ali al-Jubbai’. Selain melaui bimbingan Zakariya, al-Asy’ari dibimbing oleh Abu Ishaq al-Maruzi dan Ibrahim ibn Ahmad, murid dari Ismail ibn Yahya seorang ulama yang sezaman dengan Imam al-Asyafi’i bahkan teman karib. Dari bimbingan guru-gurunya tersebut, dirinya mengenal madzhab al-Ayafi’i, sebab guru-gurunya tersebut merupakan tokoh fiqh madzhab al-Syafi’i dan juga tergolong sebagai Ahl Hadis. Dalam pendangan ini, tidak menghilangkan adanya pemikiran teologis yang mencerminkan suatu ciri khas dari pemikiran teologis madzhab al-Syafi’iyah, -terutama bagi imam al-Syafi’i sendiri- kendati madzhab tersebut lebih tersohor dalam bidang fiqhnya. Pandangan teologis tersebut dinyatakan dengan adanya gugusan pandangan-pandangan madzhab al-Syafi’iyah (Imam al-Syafi’i) lebih bersifat tradisional,[21] yang mana sifat tersebut syarat akan pemahaman berwajah teologis. Hal ini tidak lain sebagai pengaruh sosial-politik yang berkembangan pada masa kehidupan imam al-Syafi’i, sebagai warisan sejaran yang melatar belakangi konsep pemikiran imam al-Syafi’i. Seperti yang dijelaskan secara detail terkait respon imam al-Syafi’i terhadap perkembangan pemikiran teologis yang lahir dari pemikiran-pemikiran logis (al-Ilmu al-kalam), dalam karya Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MADZHAB, yang diterbitkan Pustaka al-Kautsar terjemahan dari kitab al-‘Aqidatu al-Islamiyatu ‘indza al-Fuqahai’ al-Arba’ah. Dalam buku tersebut banyak mengulas -salah satunya- Imam al-Syafi’i terkait respon yang diberikan terhadap keilmuan kalam,[22] dari respon tersbut imam al-Syafi’i menggunakan pemahaman Salafnya yang bersumber dari Qur’an dan Hadis melalui pemahaman logis terhadap makna yang terdapat dalam teks normatif dua sumber tersebut. Respon tersebut diberikan sebagai perlawanan dari pemikiran teologi Mu’tazilah yang berkembang saat itu. Seperti argumen teologis imam al-Syafi’i yang dibalut dalam diskusus keilmuan fiqh, tentang sifat serta kedudukan Kalamullah (Al-Qur’an) yang bersifat qadim dan bukan makhluk.[23] Selain itu, argumen bahwa Allah dapat dilihat kelak pada waktu di akhirat, adanya syafa’at Nabi Muhammad kepada para pelaku dosa besar dan adanya ketentuan tentang baik buruknya kehidupan.[24]
Dari adanya persentuhan pemikiran imam al-Syafi’i itu, melaui para guru al-Asy’ari tersebut menjadikan pengaruh yang dominan atas pemikiran teologi al-Asy’ari. Selain terjadi persentuhan dengan pemikiran madzhab al-Syafi’iyah sebagai potret pemikiran tradisional, al-Asy’ari termasuk sebagai penganut madzhab Malikiyah dan penganut pemikiran imam Ahmad ibn Hanbal.[25] Dari ketiga tokoh tersebut, pemikiran teologi al-Asy’ari digolongkan sebagai teologi yang bersifat tradisionalistik. Dan dari aspek lain –sebelum transisi pemikiran- al-Asy’ari juga merupakan seorang yang intens mempelejari teologi Mu’tazilah, sampai mendapatkan predikat sebagai tokoh pejuang Mu’tazilah. Adanya data-data yang diungkapkan tersebut, menurut Nasihun Amin melahirkan natijah analisis yang berbentuk ketidakcocokan secara subtantif dan metodis, dikarenakan pola pikir tradisionalistik tersebut lebih bersifat naqli dan  di aspek lainya, pola pikir rasionalistik lebih cenderung bersifat ‘aqli. Yang mana kedua unsur tersebut (Naqli dan ‘Aqli) berada dalam satu wadah kepribadian.[26] Hal inilah yang dinilai sebagi bentuk kontradiktif sangat menggagu jika diterapkan bersamaan. Akan tetapi menurut hemat penulis, hal tersebut tidaklah seperti yang diungkapkan. Menelusuri sejarah yang ada, sebetulnya perpaduan atau pengabungan menjadi satu antara dua pola sudah pernah terjadi, yaitu pada masa imam al-Syafi’i dengan bentuk dari hasil kedua pola pikir (Tradisional-Rasional) melihirkan konsep Qiyas.
Aspek kultural-psikologis, dipergunakan untuk memotret kecenderungan psikilogis al-Asy’ari yang bersifat kultural. Dalam arti, secara psikologis al-Asy’ari termasuk sebagai individu bagian dari gugusan masyarakat, dari itu keberadanya tidak dapat dipisahkan dari kultur yang secara umum membetuk masyarakat. Sehingga dirinyapun memiliki kecenderungan psikilogis yang sama dengan masyarakat yang berada disekitarnya, dimana al-Asy’ari menjadi bagian integral dalamnya.
Salah satu foktor mendasar yang bertangungjawab dalam pembentukan karakteristik kultural masyarakat adalah faktor antropologis. Menurut Nasihun Amin yang dikutipnya dari Macdonald, Al-Asy;ari merupakan keturunan terbaik dari masyarakat padang pasir (Arab) yang keluarkanya merupakan keluarga yang sangat ortodoks. Sedangkan kultur masyarakat arab sejatinya lebih cenderung dikuasai oleh sikap hidup fatalistik dan atomistik.[27] Dari sikap dan kultur seperti demikian, menjadikan ketidak cocokan dengan berbagai pendidikan yang pernah diterimanya dari Mu’tazilah dengan paradigma pemikiran yang sangat memepercayai adanya kemampuan murni manusia dalam bertindak. Walaupun sikap fatalistik dan atomistik tidak menjadi faktor secara genetis dalam diri al-Asy’ari, dapat dipastikan kapan saatnya akan muncul tetapi setidak-tidaknya secara psikologis hal tersebut merupakan suatu potensi. Dari potensi tersebulah kemungkinan besar karakter asli bangsa Arab akan muncul sewaktu-waktu jika adanya faktor yang mendukung munculnya.
Adapun bila dilihat dari aspek sosial, kehadiran al-Asy’ari di dunia intelektual, masih terbilang relatif dekat dengan masa Imam al-Syafi’i yaitu kurang lebih satu abad lamanya. Dari faktor jarak waktu dirinya dnag imam al-Syafi’i dan ditambah dengan unsur pengajaran madzhab al-Syafi’iyah yang sampai kepadaya, sehingga dapat dikata bahwa pengaruh pemikiran imam al-Syafi’i begitu kuat bagi al-Asy’ari. Selain adanya pengaruh pemikiran imam al-Syafi’i berdasarkan kurun waktu yang ada, keberadaan al-Asy’ari juga relatif lebih dekat dengan masa kehidupan seorang tokoh kodifikasi hadis yang dinilai karya tersebut sangat otoritatif sebagai kumpulan hadis dengan kualitas hadis yang paling shahih, yaitu al-Bukhari. Tenggang waktu al-Asy’ari dengan al-Bukhari hanya berjarak setengah abad lamanya, hal ini menjadikan pertambahan yang kuat atas kecenderungan al-Asy’ari terhadap pemikiran tradisional. Dimana kecenderungan pola pemikiran teologis al-Bukhari juga terbilang tradisional. Selain dari renggang waktu antra al-Asy’ari dengan kedua tokoh tersebut, ia juga hidup sezaman  dengn tokoh pembukuan hadis lainya seperti al-Tirmidzi yang berjarak hanya sebelas tahun, juga hanya terpaut beberapa puluh tahun saja dengan imam Ahmad ibn Hanbal.[28] 
Dari fakta-fakta tersebut, meunjukan bahwa al-Asy’ari berada pada masa konsolidasi sunni yng hampir selesai, dimana para tokoh tersebut merupakan kotoh-tokoh yang secara serentak membangun madzhab tradisionalisme. Rentang waktu sedemikian panjang, dapat dipastikan membawa dampak pengaruh yang kuat dalam pola pikir dan pola hidup masyarakat dizaman al-Asy’ari. Dalam pengertian bahwa nilai-nilai ortodoksi yang dibangun oleh para tokoh tersebut mampu mewarnai ke berbagai wilayah melalui konsep, teori dan pembangunan paradigma dalam ranah fiqh dan kodifikasi hadis sudah dapat menginternalisasi dalam kehidupan keseharian masyarakat.[29] Pada sudut pandnag lain, al-Asy’ari mencoba meahirkan formula baru konsep pemikiran teologis yang sangat sistematis, dengan latar belakang sudah tidak andaya acuhan teologi pada masyarakat saat itu, sebab sudah dibatalkannya teologi Mu’tazilah sebagai teologi resmi yang dipaksakan oleh otoritas negara secara paksa. Kendati demikian kehidupan masyarakatnya masih berada dizona ortodoksi yang belum memiliki pijakan teologis yang sistematis, dari sebab itu al-Asy’ari membangun paradigma pemikirannya meskipun terdapat asumsi politis didalamnya.[30]
Dalam perkembangan yang ada, teologi al-Asy’ariyah mendapatkan posisi kedudukan sebagai salah satu produk pemikiran yang diakui keberadaanya di kanca dunia samapai sekarang. Hal ini dikarenakan tidak lain teologi yang mempunyai kekuatan secara politis –pada zamannya- untuk membangun paradigma sistematis dalam memahami ketuhanan secara universal menuju pemahaman secara komprehensif, dan juga berfungsi sebagai pelanggengan pemikiran tradisional yang telah lama mendikotomi pemikiran dunia islam, serta menjadikan dominasi dalam dunia intelektual Islam. meskipun ada tendensi politik yang menyongkong perkembangan teologi al-Asy’ariyah, disisi lain adanya unsur kemurnian perkembangan bersifat teologis yang tidak dapat dikesampingkan sebagai pendorong terjadinya dominasi teologis internasional.
Melihat perkembangan yang ada, teologi al-Asy’ariyah masih perlu dianalisi secara terperinci guna mendapatkan pokok-pokok pemikiran teologis dari teolgi al-Asy’ariyah. Adapun pokok-pokok teologi al-Asy’ariyah yang menurut penulis sebagai ibu dari anakan konsep menahaman teologis yang dikosepkan imam al-Asy’ari sekaligus sebagai teori yang digunakan sebagai perlawanan pemikiran Mu’tazilah khususnya dan pemikiran teologi-pilitik lainya, seperti Syi’ah, khawarij;[31] sebagai berkut.
1.      Kekuasaan dan keadilah Allah.
Allah SWT adalah dzat yang Maha Kuasa dan Maha Adil dalam segala perbuatan atas kekuasaan-NYA. Kekuassan tidak terbataskan merupakan konsep peniadaan segala hal yang “diklem” adanya penguasan yang dapat menguasai “hal” selain dzat Allah ataupun anggapan kekuasaan terbatas Allah selaku Maha Kuasa, seperti yang dianggap Mu’tazilah (Kekuasaan yang terbatasi oleh Keadilan). Jika Allah dzat yang berkuasa atas segala hal, maka memberikan pemahamn bahwa semua yang dimilikiNYA ada dalam gengamanNYA tanpa adanya larangan atau batasan untuk melakukan atas segala yang dikuasaiNYA. Keadilah dalam pandangan al-Asy’ari adalah meletakan sesuatu pada tempatnya (Wadh’u al-Syai’ fi mahalihi).[32] Dengan ini bahwa jika kekuasaan atas segala hal tanpa terbatasi ataupun terhalangi maka semua yang dilakukan atas penguasaan terhadap segala hal, merupakan keadilan yang dijalankan oleh Allah dalam KekuasaaNYA tanpa terkecuali. Dengan analogi dalam ranah Kekuasaan dan Keadilan bahwa, ketika seseorang berkuasa atas miliknya –katakanlah HandPhone- maka menjadi kepasrahan secara total atas HP tersebut. Digunakan hanya untuk bermain games kah atau hanya untuk gantungan kuncikah, itu semua ada dalam kekuasaa seorang pemilik HP tersebut dan keadailah seseorang tersebut terhadap Hpnya berada di semua perlakuan terhadap Hpnya, untuk apapun HP tersebut dipergunakan merupakan kekuasaan dan bentuk keadailan seseorang tersebut. Lebih lanjut, sekalipun HP tersebut memberiakan manfaat sama sekali, maka tidak ada keharusan bagi pemilik HP tersebut untuk menempatkan HP tersebut ke tempat yang indah dan bergengsi. Dan tidak ada keharusan juga bagi pemilik HP tersebut untuk membuang HP tersebut ketempat sampah, lantaran HP tersebut sudah tidak ada nilainya.
Gagasan al-Asy’ari, Allah Maha segalanya. Allah berada diluar segala yang ada, tidak berada dalam domain hukum yang ada. Sehingga menjadikanNYA sebagai penguasa secara mutlak sempurna atas semua ciptaanNYA dalam kehendakNYA, meskipuan hal tersebut menurut logika manusia tidak patut dilakukan oleh Allah. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah, secara otomatis milik Allah. Dengan demikian kendek Allah ada pada dzat dan sifatNya tidak menerima keharusan konsekuwensi logis atas perbuatan yang dilakukan manusia. Seseorang yang selalu berbuat baik, beribadah tekun, dapat dimasukan oleh Allah ke Neraka. Sebaliknya, seseorang yang dari kecil selalu berbuat buru, bermaksiat, dapat dimasukan oleh Allah ke Surga. Meskipun demikian, Allah tidak dapat dikatakan sebagai tuhan yang tidak adil bahkan berbuat salah. Karena menurut Allah salah dan tidak adil ketika menyalahi atau melanggar hukum, sedangkan tidak ada hukum yang berada di atas Allah (tidak ada hukum yang dapat menghukum Allah atas kehendakNYA), dengan demikian berarti tidak ada sama selaki tidak ada kehedak perbuatan Allah yang melangar hukum. Dan dari itu, tidak ada ungkapan “tidak adil” dalam diri Allah. Semua yang dilakukan Allah merupakan wujud keadilanNYA.[33]
2.      Perbuatan Manusia.
Manusia merupakan salah satu makahluk ciptaan Allah yang sempurna atas segala kemampuan dan sifat serta segala hal yang dimiliki manusia dalam lingkupan kehidupannya. Kendati demikian jika disandarkan kepada Kekuasaan dan Keadilan Allah, manusia menempati posisi sebgai makahluk yang berpredikat sangat lemah.[34] Hal ini dinyatakan dengan adanya hatikat perbuatan yang keseluruhan perbuatan manusia tersebut, tidak lain merupakan ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah. Akan tetapi dalam pemahaman teologi Al-Asya’riyah, hanya perbuatan baiklah yang disandarkan atas ketetapan Allah. Sedangkan perbuat yang bersifat buruk tidak disandarkan kepada Allah, dengan alasan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan dilengkapi akal untuk berfikir; memilih jalan kehidupan, membedakan kebaikan atau keburukan, mampu menangkap perintah maupun larangan dari Allah yang termuat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dari hal itu, konsekuwensi kausalitas perbuatan masnusia tergantung dari perbuatannya yang berdasarkan atas kekuatas akal yang telah Allah karuniakan. Begitu juga adanya suatu ketetapan dari Allah atas apa-apa yang digariskan sebagai perbuatan yang buruk dan terlarang untuk dilakukan manusia, yaitu ketetapan buruk dalam tidakan yang tidak disukai oleh Allah dan harus menjauhi hal tersebut, yang mana ketetapan tersebut dalam kehendak Allah yang bersifat mutlak. Seperti contah perbuatan dusta, meskipun pada hakikatnya Allah menciptakan dusta, akan tetapi perbuatan dusta tersebut berada dalam wilayah perbuatan yang dilarang Allah untuk dilakukan sebab kejahatan yang terkandung didalamnya, lebih utama sebab dusta merupakan tindakan yang dilarang oleh Allah. Jika pun perbuatan dustra dianjurkan bahkan diperintahkan untuk dilakukan, maka perbuatan tersebut tidak terbilang perbuatan yang menggar aturan Allah atas ketetapan yang diperintahkanNYA.[35]
Dalam pembahasan ini (perbuatan manusia) al-Asy’ari mengedepankan konsep Qadha-Qadar, namun demikian, al-Asy’ari berusaha membarikan jalan keluar melalui konsep al-kasb sebagai konsep dalam memperlakukan konsep qadha-qadar dalam diri manusia. Qadha-qadar adalah ketentuan dan ukuran tentang kehidupan manusia. Kaitannya dengan itu, landasan konsep qadha-qadar bertumpu pada Qs al-Qamar: 49 yang menyatakan bahwa Sesungguhnya kamiciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan QS. Al-Thalaq:3 yang menyatakan bahwa Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan untuk segala sesuatu. Dari dua ayat tersebut menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran yang telah ditetapkan dan kejelasan dari korelasi pemahamn dua ayat tersebut menerangkan bahwa ukuran tersebut merupakan ketetapan yang telah dibuat oleh Allah bersamaan dengan penciptaannya yang mana tidak dapat digangugugat bahkan dirubahpun tidak bisa.[36]
Seperti yang telah ungkapkan diawal, al-Asy’ari menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang lemah. Karenanya menurut al-Asy’ari, manusia tidak memiliki kekuatan daya secara mandiri dari dirinya, semua yang terjadi dan dilakukan oleh manusia berada pada kehendak dan Kekuasaan Allah. Tanpa adanya kehendak dan kekuasaan Allah, tidak akan dapat terwujud sebagai perbuatan yang manusia lakukan. Dalam hal ini kedudukan manusia sangat pasif, oleh karena itu untuk keluar dari belenggu konsep qadha-qadar, al-Asy’ari mengusulkan konsep al-kasb sebagai upaya keluar dari keterbelengguan tersebut. Kendati demikian al-kasb pun merupakan ciptaan Allah yang tergantung pada kekuasaan dan kehendak Allah, walaupun kemampuan daya untuk berbuat tidak ada akan tetapi sifat yang melekat pada manusia sebagai pembuat masih tetap ada.[37]
3.      Sifat Allah SWT
Siafat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan hal yang meleket pada dzat-dzatnya secara otomatis, ada karena adanya pengakuan dzat. Sifat dan dzat dua hal yang berbeda, tidak dapat disatukan dan juga tidak dapat dipisahkan, melainkan beriringan bersamaan. Dalam pemahman sifat Allah, al-Asy’ari terbilang sebagai teolog yang berada di posisi poros tengah diantara pemikiran teologi poros kanan (Mu’tazilah) bahwa Tuhan tidak miliki sifat dan pemikiran teologis poros kiri (Mutasyahihah, Politeisme) bahwa Tuhan banyak terbagi berbagai wujud dan berbentuk layaknya manusia. Melalui konsep pemikiranya, al-Asy’ari mengemukakan bahwa Allah mempunyai sifat yang menjadi bukti adanya (Wujud) Allah.[38]  Akan tetapi menurutnya, sifat bukanlah esensi Tuhan. Seperti yang dikutip oleh Dr. Nashihun Amin ma huwa wa la ghairuhu, shifat Allah laisat ‘ain dzatihi wa la ghairu dzatihi.[39]
Dalam hal ini, al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat tidak dapat berdiri sendiri maka dari itu sifat tidak dapat dipisahkan dari dzat, sebab Allah merupakan dzat yeng berkuasa atas segalanya dan pasti harus mengakui kekuasaanya; Allah merupakat dzat yang berkehendak atas segalanya, dan tidak mungkin adanya pegakuan kehendak-Nya tanpa mengakui kehendak-Nya. Dari dua ungkapan tersebut memberikan pemahaman bahwa pengakuaan ataupun mengakuai ats kekuasaan dan kehendak Alah merupakan tidakan yang berdasarkan pengetahuan atas sifat-sifat yang melekat ada pada dzat yang berkuasa dan berkehendak. Maka dari itu sifat ada seiring dengan adanya dzat yang secara otomatis ada terikuti bersamaan dzat, walupun keduanya berbeda. Adapun jika masih belum diterima bahwa kedudukan sifat mengikuti kedudukan dzat maka akan adanya ketumpangtindihan argumantasi yang mana jika pun kedudukan Sifat adalah hadis, tidak qadim seperti Dzat yang disifati, maka secara logika tidak dapat diterima. Dengan alasan bahwa kedua hal yang berbeda tidak dapat ada pada bersamaan, jika Sifat berkedudukan hadis dan Dzat berkedudukan qadim yang keberadaanya tidak dapat dipungkiri sama sekali dan tidak ada celah sedikitpun untuk mengatakan bahwa qadim dapat hilang; berada dalam satu keadaan maka jelas tidak akan bisa. Allah dzat yang Maha melihat, yang pada itulah Allah bersifatan Maha mengatauhi, tidak mungkin adanya dzat daya kekuasaan melihat pada Dzat Allah tapi dzat daya kekuasaan mampu mengetahui hanya dapat di fungsikan setelah beberapa waktu lamaya atau berfungsinya ketika hanya akan digunakan. Sedangkan jika pun Sifat berkedudukan hadis yang mana kedudukan tersebut pasti terikat waktu dan tempat, maka kesimpulannya Allah pun hadis. Sebab adaya waktu dan tempat yang megikat dzat­-Nya, walaupun yang terikat hanyalah daya fungsi kekuasaan dari dzat-Nya. Digamblangkan, jika pun demikian adanya bahwa pengaktifan fungsi dari dzat Allah tidak terikat dengan ruang dan waktu, tetapi pengakfian daya kekuasaan dzat Allah –yang dimaksudkan kekuasaan Maha mengetahui- dibatasi dengan adanya aktifitas yang menjadikan aktifnya fungsi dzat tersebut (maha mengatahui) maka Allah tidak beda dengan makhluknya, seperti Bayi yang lahir berseeta matanya, tetapi fungsi melihat dari mata Bayi tersebut belum ada kecuali sudah mencapai minimal empat bulan lamanya. Hal ini tidak mungkin terjadi pada Allah, sebab tidak ada yang menyamai Allah dan tidak juga masa seperti makhluk ciptaaNya.
Dengan demikian bahwa tiga item yang telah ditelaskan diatas, menurut penulis merupakan dasar pokok dari kelahiran adanya konsep-konsep cabang pemikiran teologi al-Asy’ariah. Dari tiga tersebut melahirkan cabang-cabang konsep yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan sebagai konsep secara mandiri berdiri sendiri. Karena dalam rranah teologi, semua hal pasti bersangkutan. Tinggal dari kemapuan memahami teologi tersebut.                                                          


[1] Nasihun Amin, PARADIGMA TEOLOGI POLITIK SUNNI: Melacak Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (W. 324/935), Sebagai Perintis Pemikiran Politik Islam, (Semarang: PUSTAKA PELAJAR, 2015), h. Vii.
[2] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abdi Jaya, 2015), h. 112-113.
[3] Nasihun Amin, PARADIGMA TEOLOGI POLITIK SUNNI, Loc. Cit.
[4] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 49
[5] Nasihun Amin, PARADIGMA TEOLOGI POLITIK SUNNI, op. Cit. h. 9.
[6] Muhammad Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2011), h. 165. Lihat juga Nasihun Amin, PARADIGMA TEOLOGI POLITIK SUNNI, op. Cit. h. 25. Lihat Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 104.
[7] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 104-105.
[8] Muhammad Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, loc. Cit.
[9] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 105. Lihat Nasihun Amin, PARADIGMA TEOLOGI POLITIK SUNNI, op. Cit. h. 25.
[10] Muhammad Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, loc. Cit.
[11] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, loc. Cit.
[12] Ibid. h. 106
[13] Ibid.
[14] Muhammad Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, loc. Cit.
[15] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 107
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Muhammad Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, op. Cit. h. 166-167.
[19] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 108.
[20] Ibid.
[21] Ibid. h. 109.
[22] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj. Faisal Salah dan Umar Mujtahid, al-‘Aqidatu al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 361-373.
[23] Ibid. h. 341-342 dan 347-348. Lihat Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 110.
[24] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, Loc. Cit.
[25] Ibid.
[26] Ibid. h. 111.
[27] Ibid.
[28] Ibid. h. 112.
[29] Ibid.
[30] Baca lebih lengkap Nasihun Amin, PARADIGMA TEOLOGI POLITIK SUNNI.
[31] Nasihun Amin, PARADIGMA TEOLOGI POLITIK SUNNI, op. Cit. h. 19.
[32] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., SEJARAH PERKEMBANGAN, op. Cit. h. 113.
[33] Ibid. h. 113-114.
[34] Ibid. 115.
[35] Ibid. h. 119.
[36] Ibid. h. 115-116.
[37] Ibid.
[38] Ibid. h. 124.
[39] Ibid. lihat Ahmad Mahmud Shubhi, fi ‘ilm al-Kalam (Kairo: Dar al-Kutub al-Jami’ah, 1969), h. 62. Lihat Muhammad ‘Imarah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2011), h. 181.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar