BAB I
PENDAHULUAN
PEMIKIRAN TEOLOGI RASIONAL MU’TAZILAH
A.
Latar
Belakang.
Teologi merupakan keilmuan yang penuh akan syarat suatu ajaran
dalam agama manapun. Dewasa ini, diposisikan sebagai pondasi utama sebelum
gugusan aturan kewajiban-kewajiban besandar kepada seseorang yang dinyatakan
sebagai pemeluk suatu ajaran agama. Dalam catatan sejarah banyak diungkapkan,
bahwa teologi merupakan diskursus tentang ketuhanan yang kaya akan pembahasan Tuhan;
melputi diri Tuhan atau Dzat, sifat dan semua pembahasan yang menyangkut
tentang tuhan. Sejauh perkembangan yang ada, teologi seringkali dijadikan unsur
pertama pada permasalahan polemik ada. Seperti demikian, teologi ancap kali
menjadi fream suatu gerakan yang “teratas namakan”, lain lagi dengan dijadikan
sebagai topeng penutup misi visi utama dibalik tamilan muka sebuah gerakan.
Akan tetapi fenomena tersebut tidaklah sempit sebagai tiga contoh farian ranah
teologi dipergunakan sebagai tampilan luar sebuah gerakan yang bertujuan untuk
mendapatkan simpatisan serta legitimasi publik atas apa yang dilakukan oknum.
Sebagai suatu dasar ajaran keagamaan, teologi menjadi objek yang
menarik untuk dikaji. Fenomena perkembangan yang terjadi dewasa ini mengalamai
berbagai wajah sudut pandang dalam memahami kandungan dari diskursus teologi.
Seperti halnya yang terjadi di agama islam, teologi dalam ajaran agama islam
mengalami perkembangan dalam sudut pandangan pemahaman. Hal ini terjadi karena
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi baik internal maupun eksternal. Pada
awalnya diskursus ketauhidan (teologi) dalam agama islam tidak mengalami
perkembangan sudut pandang dalam artian perbedaan pemahaman, sebab di generasi
pertama pemahman ketahudian di kawal secara ketat bahkan di ajarkan secara
seksama lantaran sumber orisinil selaku penerjemah kalam ilahi masih ada, yaitu
Nabi Muhammad. SAW.
Berbeda situasi dan kondisi akan berdampak juga pada pengaruh yang
diciptakan. Seperti juga yang terjadi pada ranah teologi dalam agama islam,
pada masa Nabi masih hidup polemik seputar ketauhidan hampir dikatakan tidak
ada, lantaran semua problem ketauhidan terjawabkan oleh Nabi. Meskipun demikian
polemik ketauhidan tetap saja ada walaupun datang dari arus eksternal pemeluk
agama Islam yang bersifat temporal ketika adanya calon pemeluk agama islam,
yang mana permasalahan tersebut ada sebagai pertanyaan sebelum seorang tersebut
berikrar atas kesaksian Ke-Tauhidan Allah SWT dan atas kesaksian ke-Rasulan
Nabi Muhammad SAW yang termuat dalam dua kalimat syahadat.
Sepanjang perjalanan yang ada, ketauhidan pada masa Nabi masih
hidup tidak pernah mengalami problem yang berarti. Pasca wafat Nabi barulah
konflik internal umat muslim mulai bermunculan, hal ini tidak lain pada awal
konflik tersebut hanya bermuatan politik yang terbagi menjadi dua kubu, Sunni
dan Syi’ah.[1]
Meskipun belum memuncak menjadi kasus wacana teologi yang serius, akan tetapi
sudah adanya indikasi yang mengarah kepada itu, karena pada masa itu sudah
adanya wajah sudut pandang pemahaman yang saling berbeda baik hanya bermuatan
politik saja ataupun bermuatan politik-teologi. Walaupun demikian, konflik
politik tersebut dapat dicermati adanya asas yang mendasar dari pergolatan
politik tersebut, yaitu faktor yang mengandung unsur perbedaan pemahaman dan
sudut pandang tentang ketauhidan, yang mana hal tersebut merupakan faktor
terjadinya perbedaan atas sebab perbedaan sudut pandang pemahaman.
Sejauh perkembangan yang ada, perbedaan tersebut mendapatkan tempat
sebagai pembentukan suatu konsep pemahaman ketauhidan yang ditandai dengan
tragedi terbuhunnya Ustman ibn Affan. Wujud respon dari tregedi tersebut
membentuk suatu pembahasan seputar status pembunuh Ustman, terhukumi kafir kah
atau tetap muslim?, di masa inilah muatan teologi sangat kental terasa. Lebih
lanjut, persoalan dewasa ini semakin menjadi polemik ketauhidan yang memunculkan
persoalan hakekat keimanan yang didasari pada peristiwa Tahkim antara
Ali dan Mu’awiyah. Sejak itu perkembangan teologi terus berjalan sehingga
mengkristal sebagai paham-paham politis sekaligus paham teologis sebagai alat
legitimasi atas sekenario politik.[2]
Selain faktor internal, terdapat faktor eksternal sebagai dasar
lahirnya pemikiran teologi yang mana faktor tersebut merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang datang dari luar Islam tentang sifat-sifat Tuhan. Dari
semu itu awal mula terjadinya arus pemikiran teologi yang dipengaruhi oleh berbagai tokoh pemikir.
Sebab dari itu, mulai terjadi perkembangan pemikiran teologis yang dilahirkan
dalam diskursus teologis, yang syarat akan perdebatan. Seperti pemikiran
teologi rasional Mu’tazilah, yang akan dibahas lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
i. Sejarah perkembangan pemikiran teologi Rasional Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
i. Sejarah perkembangan pemikiran teologi Rasional Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah salah satu madzhab teologi dalam agama islam yang
petama kali muncul sekitar tahun 101 H / 720 M di Basrah tepatnya pada masa
kekuasaan Bani Umaiyyah. Di tahun tersebut awal perjalanan ilmiah Abu Hudzifah
Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazali (80 H-131 H / 699 M-748 M) ke Bashrah, disana
Washil bertemu dengan gurunya yaitu Hasan al-Bashri seorang ulama tokoh dari
gerakan Ahl al-‘adl wa al-Tauhid yang lahir sebagai opsisi pemikiran
dari legitimasi pemikiran dari Daulah Umawiyah. Wasil ibn ‘Atha’ pada mulanya
sebagai seorang murid pada umumnya yang mengikuti pemikiran gurunya, dimana
permikiran tersebut didapati semasa washil mengikuti halaqoh (tempat kajian dan
diskusi keilmuan) Hasan al-Bashri yang berada di Masjid tempat halaqoh tersebut
diselengarakan. Dari halqoh tersebul awal Washil menemukan pemikiran baru lewat
perdebadan yang panjang dengan gurunya terkait pembahasan status pelaku
perbuatan dosa besar seorang Muslim. Dari perdebatan tersebut Washil menemukan
jalan pemikiranya sendiri atas status pelaku perbuatan dosa besar, pendapatnya
jauh berbeda dengan apa yang di lontarkan oleh Sang Guru Hasan al-Bashri. Di mana
Wasil berpendapat bahwa status pelaku dosa besar tersebut berada diantara dua
tempat, antara kekafiran dan keimanan seorang tersebut. Adapun penegasan
konsekuwensinya yaitu Khaalidu Makhallidu fi al-Naar (tempat menetap
yang kekal dalam Neraka), sedangkan penjelasan status “di antara kekafiran dan
keimanan” ialah hanya status label pelaku dosa besar bukan status ketetapan
atas dosa kekafiran.[3]
Peristiwa tersebut diikuti oleh Amr ibn ‘Ubaid (80 H-144 H/ 699
M-761 M),[4]
Amr melakukan hal yang sama dilakukan oleh Washil dan diperolehlah keputusan
untuk mengikuti pemikiran Washil. Dari sebab tragedi tersebut pada akhirnya
Washil ibn ‘Atha’ dan ‘Amr ibn ‘Ubaid memutuskan memisahkan diri dari pemikiran
Hasan al-Bashri atas dasar perbedaan sudut pandang pemahaman yang dikemudian
menjadi suatu konsep pemikiran. Adapun latar belakang lahir istilah Mu’tazilah
yang menjadi nama komunitas pemikiran tertantu, berlandaskan pada peristiwa
perdebatan antara Washil ibn ‘Atha’ dan ‘Amr ibn ‘Ubaid dengan Hasan al-Bashri,
sehingga timbulah stratus I’tazala (memisahkan diri) bagi Washil
lantaran sudah keluar dari rel pemikiran ahl al-‘Adl wa al-Tauhid Hasan
al-Bashri. Sebab tindakan yang dilakukan oleh Washil tersebut, Hasan al-Bashri
akhirnya mengeluarkan statement I’tazala ‘anna al-Ashil atas yang
dilakukan mereka. Adapun maksud dari ungkapan Hasan al-Bashri tersebut,
merupakan penisbatan terhadap prilaku yang dilakukan Washil. Dari ungkapan
tersebut istilah nama Mu’tazilah muncul sebagai Madzhab pemikitan teologi yang
berdiri sendiri dengan konsep pemikiranya. Selaian peristiwa tersebut, terdapat
peristiwa lain yang mendasari munculnya istilah nama Mu’tazilah. Nasihun Amin
menerangkan bahawa asal mula istilah Mu’tazilah lahir terjadi ketika suatu hari
Qatadah ibn Daamah masuk ke dalam masjid Bashrah dan menuju majlis Amr ibn
‘Ubaid yang mana ia sangka majlis tersebut adalah majlis Hasan al-Bashri,
setelah Qatadah mengetahui bahwa majlis tersebut ternyata bukan majlis Hasan
al-Bashri, seraya Qatadah meninggalkan majlis tersebut smbil mengatakan “ini
kaum Mu’tazilah”.[5]
Dilihat dari segi geografis penyebaran madzhab Mu’tazilah, terdapat
dua wilayah yang berbeda, Mu’tazilah Bashrah dan Mu’tazilah Baghdad. Dari
perbedaan antara keduanya pada umunya menurut Nasihun didasari pada letak dan
situai geografis serta kultural. Bashrah merupakan kota yang lebih dahuru
berdiri dari pada kota Baghdad, hal ini menjadikan terbentuknya arus
intelektual perkembangan pemikiran lebih dahulu dari pada Baghdad. Adapun
perkembangan tersebut disebabkan adanya interaksi antar budaya dan agama yang
saling berdialog. Kendati demikian, perkebangan kemajuan di Baghdad lebih
unggul ketimbang Bashrah, meskipun Baghdad menjadi kota yang kelahirannya
setelah kota Bashrah sebab lain lantaran diperkuat dengan status kota Baghdad
yang telah menjadi ibu kota pemerintahan
bani Abbasiyah.[6]
Adapun tokoh-tokoh Mu’tazilah Bashrah antara lain Bin ‘Atha’, Abu
Huzail al-Allaf, al-Nuzzham dan al-Jubba’i. Sedangkan para tokoh Mu’tazilah Baghdad
antara lain Bisyr ibn al-Mu’ramir, al-Khayyat, al-Qadhi Abd al-Jabbar dan
al-Zamakhsyari.[7]
Selain terdapat pebagian dua kubu Mu’tazilah yang dilihat dari
letak geografis dan kultur budaya, Mu’tazilah mempunyai cabang yang dapat
dibilang sebagai kelompok bagian Mu’tazilah dengan nama dan konsep pemikiran
sedikit berbeda. Meskipun pada kenyataanya nama-nama tersebut berbeda, kendati
terdapat pokok pemikiran yang sama satu dengan lainya. Al-Baghdadi
mengklasifikasikan Mu’tazilah menjadi dua puluh dua golongan dengan nama yang
berbeda-beda: al-Washiliyyah, al-‘Umriyyah, al-Hadziliyyah,
al-Nadhzdhzamiyyah, al-Uswariyyah, al-Mu’ammariyah, al-Iskafiyyah,
al-Ja’fariyyah, al-Basysyariyyah, al-Murdariyyah, al-Hasyamiyyah,
al-Tsumamiyyah, al-Jahidhziyyah, al-Haithiyyah, al-Humariyyah,
al-Khaiyyathiyyah, Ashhabu Shalih Qubbah, al-Murisiyyah, al-Syahhamiyyah,
al-Ka’abbiyyah, al-Juba’iyyah dan al-Bahsyamiyyah al-Mansubah. Meskipun dari
semua nama yang berbeda tersebut, terdapat kesamaan yang mendasar dalam pokok
pemikiran teologinya. Pokok pemikiran tersebut merupakan pemikiran teologi yang
menegaskan bahwa Allah SWT tidak memiliki persifatan sama sekali, kalamullah
bersifat hadis sebagai Makhluk, Allah tidak memiliki hak atas kuasa perbuatan
manusia bahkan hewan dalam arti bahwa Manusia memiliki kuasa tindak atas apapun
yang dilakukan, kedudukan oarang yang berbuat dosa besar berada di antara dua
tempat yaitu antara keimanan dan kekafirannya, Allah SWT tidak memerintahkan
ataupun melarang berbuat seseuatu apapun dari amal ibadah yang tidak di
harapkan oleh Allah,[8]
Pada dasarnya kerangka pemikiran yang dibangun Mu’tazilah adalah
Rasional yang tujuannya untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang dapat
menodai keesaan, kebaikan dan keagungan-Nya. Sebab dari itu, ketika terdapat
teks Al-Qur’an ataupun Hadis yang dianggap memberikan pengertian yang bersifat
menodai Tuhan, maka mereka melakukan takwil sehingga didapati kesesuaian dengan
apa yang mereka anggap tidak lagi memberikan pemahaman yang menodai Tuhan
dengan cara menghadiskan dalil-dalil akal.[9]
Seperti yang telas diulang lebih dulu, meskipun dalam madzhab
pemikiran teologi rasional Mu’tazilah memiliki berbagai macam sub-golongan
dengan nama yang berbeda-beda serta adanya kubu yang di bagi dari segi
geografis, adat-budaya, akan tetapi pada dasarnya dari masing masing tokoh tersebut
memiliki kesamaan lima prinsip dasar sebagai ajaran Mu’tazilah, prinsip lima
tersbut adalah: Ke-Esaan Allah, Keadilan Allah, Janji dan Ancaman, Posisi
Diantara Dua Tempat, Perintah Berbuat Baik dan Larangan Berbuat Buruk. [10]
I.
Ke-Esa-an
Allah
Seperti yang diketahui, Tauhid atau ke-Esa-an Allah merupakan dasar
ajaran Islam pertama yang harus dimengerti dan dilalui sebelum seseorang resmi
dinyatakan sebagai seorang Mu’min. Sepanjang perjalanan sejarah, tauhid kerap
kali muncul kepermukaan sebagai pembahasan yang banyak mengundang perhatian
dari berbagai kalangan. Hal ini tidak lain sebab tauhid merupakan salah satu
ajaran yang terdapat dalam Islam, lebih spesifik sebab Tauhid merupakan
diskursus sekaligus ajaran fundamen dari islam disamping itu dalam pembahasan
ini sangat rawan terjadi kesalah fahaman yang berakibat status keimanan
seseorang tersebut terkikis.
Sedangakn tauhid dalam pembahasan ini ialah tauhid atas dasar
pemahaman versi Mu’tazilah, meskipun pada dasarnya tauhid tidaklah khusus sebagai
ajaran Mu’tazilah. Akan tetapi sebab cara kaum Mu’tazilah memeperlakukan tauhid
secara berbeda dengan melalui cara mereka memahami ke-Esaan Allah. Ajaran dasar
ini yang nantinya melahirkan prinsip-prinsip pensucian Allah dari persamaan
semua makhluk, bahkan sifat juga tidak boleh ada pada dzat Allah. Argumentasi
Mu’tazilah ialah bahwa sifat yang banyak dianggap oleh orang tidak lain
merupakan dzat Allah sendiri, sebab dzat dan sifat merupakan dua pengertian
yang berdiri sendiri-sendiri dan mengandung arti secara mandiri, tidak dapat
disatukan. Sedangkan dzat lah yang merupakan wujud ke-Esaan Allah bukan sifat
ataupun di topang sifat-sifat, maka jika ada dua perkara yang berbeda berada
dalam satu tempat maka hal tersbut lemah. Dan jikapun terdapat sifat dan dzat
yang menempel pada Allah, kama memunculkan kesimpulan bahwa terdapat dua Tuhan.
Dan dari itu Mu’tazilah tidak menerima konsep sifat yang bersandar kepada
Allah. Ke-Esaan Allah meliputi semua hal, bahkan kesucian Allah merupakan suatu
yang harus dijaga jika pun terdapat ketidak cocokan teks Al-Qur’an dan Hadis
yang terindikasi adanya pemahaman yang mengarah kepada pernodaan terhdap
kesucian Allah, maka dengan landasan dalil akal teks-teks tersebut harus dapat
sesuai menurut pemahaman mereka dan tidak ada unsur penodaan terhadap Allah.
II.
Keadilan.
Prinsip ini dibangun dari ajaran dasar kedua yaitu prinsip
penjagaan kesucian perbuatan Allah dan persamaan perbuatan makhluk. Prinsip
tersebut menekankan bahwa Allah merupakan Tuhan yang tidak adakan menyalahi
keadilan bakan selalu melakukan kebaikan. Dari sisilah Mu’tazilah membangun
prinsip keadilan melalui pengertian bahwa perangunagjawaban manusia atas segala perbuatanya sendiri
secara mandiri.
III.
Janji
dan Ancaman
Ajaran yang ketiga ini merupakan wujud dari ajaran yang kedua
dengan ditandai adanya konsekuwensi keadilan, mendapatkan pahala ataukah
mendapatkan siksa. Seperti contoh ppenerapan ajaran Mu’tazilah ialah, bahwa
mereka sepakat jika mu’min meninggal dunia, sedangkan waktu meningalnya dalam
keadaan taubat dan taat maka mu’min tersebut berhak mendapatkan pahala dan
fadhal. Sebalikanya, jika seorang mukmin meninggal dalam keadaan dosa besar
tanpa taubat lebih dahulu maka konsekuwensinya mu’min tersebut akan mendapatkan
siksa di dalam neraka bahkan digunakan sebagai tempat tinggal. Akan tetapi
siksa yang di dapat tidaklah seberat seperi siksa oarang kafir.
IV.
Posisi
diantara Dua Tempat
Konsep dari ajaran yang keempat ini merupakan inti dari ajaran
Mu’tazilah. Konsep tersebut dibanguan melalui akan pikiran atas pemahamn bahwa
perbuatan dosa besar yang dilakukan orang mukmin merupakan pelanggaran
berat karena menunjukan bahwa imam
pelaku dosa bersat tersebut masil lemah dan tidak lagi sempurna. Jadi tidak
layak seorang yang dikatakan mu’min tetapi melakukan dosa besar, maka dari itu
ia tidak diperkenankan menempati surga, walaupun demikian dia tidak dapat di
hukumi kafir karena pada kenyatanya pelaku dosa besar tersebut masih
mempercayai Allah.
Sedangkan konsekuwensi pahala dan siksa hanya ditempatkan di surga
dan neraka, maka kedudukan pelaku dosa besar berada diantara surga dan neraka
lantaran ketidak jelasan kedudukan, kualitas dan status keimanan pelaku
tersebut. Meskipun adanya ketidak jelas tersebut, karena seorang tersebut masih
dinyatakan Mu’min tetapi melakukan dosa besar maka konsekuwensinya tetap
dimasukan ke Neraka. Hal itu menurut Mu’tazilah bahwa keimanan bukan hanya
berhenti di lisan saja, melaiankan harus diaktualisasikan diwjudkan secara
nyata dalam segala tindakan.
V.
Perintah
Berbuatbaik dan Larangan Berbuat Buruk
Dalam prinsip ini, Mu’tazilah memberikan suatu penjelasan bahwa
lyang dimaksud dengan kebaikan ialah suatu yang disepekati kebaikanya oleh
banyak orang. Sedangkan Buruk ialah suatu yang bertentangan dengan kesepakatan
orang banyak. Landasan ini lebih diperjelas dengan adanya pemahaman bahwa kegiatan
apapun tidak cukup hanya menggunakan seruan jika perlu mengunakan tindak
pemaksaan.
[1] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: Cv. Karya Abdi
Jaya, 2015), h. 94-95.
[2] Ibid.
[3] Muhammad
‘Imarah, Tayyaratu al-Fikr al-Islami, (Kairo: Darusy Syufuq, 2011), h. 46-48.
[4] Ibid, h. 48.
[5] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 96-97.
[6] Ibid. h. 98.
[7] Ibid.
[8] Abi Mansur
Abdul Qahir ibn Thahir ibn Muhammad Al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq,
(Kairo: Darrussalam, 2010), h. 146-147.
[9] Dr. Nasihun
Amin, SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 98.
[10] Ibid,
h.99-104.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar