Jumat, 13 Oktober 2017

Sujudku Kosong Karenamu-Sosok Tanda Tanya



.........
Saat itu aku menaiki sepeda ontel butut yang ku miliki, dengan mengayuh pedal, ku telurusi gerumunan orang-orang yang telah buyar dari surau tempat mereka berkumpul. Seraya aku sedikit membukkan pundakku diatas sepeda ontel yang ku gayuh pedalnya, sembari ku tebar salam kepada setiap orang yang ku lalui.
"Asaalamualaikum" dengan lugat mengarab fasihku, aku mencoba melafalkan kalimat itu dengan sefasih mungkin tanpa meninggalkan huruf 'ain dalam kalimat tersebut dengan menekan pangkal tenggorokanku.
Seraya jawaban dari salamku terbalasi oleh setiap orang yang mendengar salamku. Dari langkah mereka, mereka pun mendatangi teman yang mereka kenal saat di Surau dan membuat kumpulan kecil. Dua, tiga, empat dan ada yang lebih dari lima orang dalam kumpulan tersebut. Mereka pun bersama melangkah pergi sembari mengobol apa yang menurut mereka perlu diobrolkan.
Sembari ku tetap mengayuh pedal sepeda, akupun melihat itu. Mereka berpakaian ala Pakistan, dengan peci bundar berbagai motiv, berbaju lengan panjang dengan panjang baju yang hampir menyerupai gamis ala Arab, beserta celana tanpa menutup mata kaki mereka, mereka pun melangkah.
Setelah beberapa ku lewati gerumunan kecil mereka, ku tak sengaja mendengar perkataan mereka.
"Lah, apa sulitnya coba untuk ikut berdzikir, padahal bukannya itu perintah dari Allah?. Seprti itu pun mereka tidak mau." Ucap seorang dalam salah satu gerumunan kecil sembari melangkahkan kaki mereka.
Benar juga, tapi apa alasan mereka hanya mengaji yang dipentingkan? Saut seseorang lainya. Dengan menganggukkan kepala, sebagian lainnya memberikan isyarat atas obrolan tersebut.
Dalam hatiku bergunam,
"Apakah seperti itu kenyataanya?" Sembari ku tetap ayunkan pedal sepeda seraya terus menebar salam kepada siapa yang kulalui, begitupun  masih menyisakan tanda tanya dibenakku.  Di atas sepeda akupun memikirkan, sembari terus melaju.
Tak jauh dari gerumunan yang pertama, akupun berpapasan dengan gerumunan kedua, dengan jumlah yang lebih banyak dari yang pertama ku jumpai. Masih sama seperti kejadian gerumunan pertama, mereka pun buyar menyebar dan membentuk perkumpulan kecil sembari mengobrol mereka berjalan bersama.
Dengan acesoris peci yang beragam akan tetapi dominan peci khas Bung Soekarno, mereka pun tampak mumringah. Dengan baju koko lengan panjang yang beragam corak desain juga motiv, terlihat menempel erat di dada mereka sebuah buku berkertaskan kuning kecoklatan yang tebalnya kurang lebih 5cm, mereka pegang erat oleh telapak jari-jari yang sedikit menekan ke dada mereka. Dari langkah kaki yang tertutupi sarung bercorak dan bermotiv batik yang bergam, merekapun berlalu.
Ku amati sebagain lainya adanya baru keluar dari sebuah banguanan mengah besar bersakakan kayu jati yang termelamik bermawarna coklat kemreahan mengkilap, berderet setiap 2,5metran sampai ujung bangunan. Sembari tetap ku ayunkan pedal sepeda menelusuri mereka serta tak hentinya ku tebarkan salam kepada mereka, dengan cepatpun mereka menjawab salamku seprti di gerumunan pertama yang ku lalui.
"Waalaikumsalam!" dengan nada nan semangat, anak kecil itu menyempatkan menjawab salamku di sela-sela canda tawanya dengan teman duduknya yang tengah santai berderet di emper salah satu rumah warga yang tinggi.
Setelah sempat ku melihat jalan yang hendak aku tuju dengan adanya tugu yang telah ku jadikan patokan arah, yang sebelumnya tertutup gerumunan tersebut, kini telah terbuka lebar untuk ku lalui. Akupun melaju.
"Ko kenapa rasanya berbeda? Saat ku melewati gerumunan yang kedua ini, ditengah-tengah gerumunan ini, hatimu merasa sejuk nyaman bahagia, bahkan merasakan rasa yang seakan mengatakan bahwa "ini lah golonganmu," padahal kan perlakuanku sama seperti gerumunan yang telah ku lewati?" Ucapku dalam hati sambil tetap tanda tanya untuk ku, aku pun menuju ke arah yg akan ku lalui.
Akan tetapi sesampainnya di tugu yg ku tuju sebagai patokan untuk pulang, ternyata bukan tugu itu. Akupun merasa bingung dan hawatir tidak akan bisa pulang. Disaat kegelisan yang aku rasa itu, akupun memperhentikan laju sepedaku. Sesaat ku tenggok kanan dan kiri berharap ada yang memberikan aku petunjuk untuk pulang Sesaat pun aku mencoba menenggok kebelakang sedikit lama dengan harapan yang sama, dapat memperoleh petunjuk dari seseorang.
Dengan kedua kaki yang telah menempel tanah dan kedua tangan yang masih memegang setang sepeda sembari menarik tuas rem kiri, akupun masih tetap menenggok kanan kiri seperti orang yang bingung tidak tau arah. Setelah beberapa menit akupun memperoleh jawaban dari salah satu gerumunan kedua yang telah kulalui dan rupanya merekapun menuju ke arah yang mulanya ku yakini sebagai jalur pulangku.
"Mas ndak usah pulang dulu, disini saja ikut ngaji kitab ihya, nantipun sampean akan tau jalan pulang setelah sampean hatam" ucap salah satu dari mereka yang melintasiku dengan mempercepat langkah mereka, merekapun berlalu.
Akupun terkejut mendengar ucapan itu, seraya akupun menyeleksi dengan teliti dari sekian banyak orang yang melintasi aku, akan tetapi hasilnya nihil, akupun tak Mampu menemukan orang yang berkata itu, sebab terlalu banyaknya yang tenggah melintasi aku. Beberapa menit selnjutnya aku pun bengong dengan kejadian tersebut.
Tak lama diujung kejadian itu akupun mendengar suara kenceng sekali yang seakan suara itu ditujukan untukku.
"Dzikir !!! Dzikir !!! Dzikir !!!" Akupun masih tak memperdulikan kata-kata itu, dengan tetap dalam keadaan hawatir dan sedih belum bisa pulang. Tiba tiba aku pun mendengar suara lagi, dengan nanda lebih keres dan menekan yang aku yakini ucapan itu benar-baner untukku berupa perintah.
"Dzikir !!!! Dzikir !!!! Fahmi jufri Bangun !!! Dzikir segera !!!"
…………
Tak sempat aku melihat dengan jelas siap yang menyuruhku bangun dalam mimpiku, sehingga membuatku serta merta bangun dengan kaget, dalam keadaan dada yang berdebar kencang dan hawa merinding masih tersisa dari mimpi itu. Lantas akupun bangun, memcoba mengiat mimpiku itu, terutama sosok yang tak jelas ku lihat wajahnya, hanya kain putih bersih berjubah bersurban berridak yang ku inggat. Bayangan itupun membuatku masih menyisakan tanda tanya besar dalam salah satu mimpiku itu.
Bagaimana bisa aku berjalan menuju gerumunan menyusuri meraka semua tetapi malahan terjebak dalam gerumunan?, siapa mereka dan siapa beliau, sosok yang membangunkanku dari tidur pulasku?,
Semua tanda tanya itu masih membeelenggu pikiran dan hatiku, sampai kelipatan hitungan jam.
............
Sujudku Kosong Karenamu-cerpen
By at-Takalli

Senin, 19 Juni 2017

REAKTUALISASI TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN ASGHAR ALI ENGINEER “TEOLOGI PEMBEBASAN ISLAM”



BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN ASGHAR ALI ENGINEER
“TEOLOGI PEMBEBASAN ISLAM”
A.        Latar Belakang
Kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara sangat signifikan dalam panggung sejarah kehidupan umat manusia. Tidak diragukan lagi, Islam telah menjadi penanda perubahan, bukan hanya dalam teologi, namun juga dalam sosial, politik dan ekonomi. Namun demikian setelah Nabi Muhammad meninggal, terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan pribadi. Sebagian lain mendukung sebagain lainya menolak, dengan menggunakan kekuatan pemahaman teologi sebagain dari mereka berrebut kekuasaan atas nama agama. Kemudian tampillah orang-orang yang yang menginginkan status quo, sehingga islam menjadi hilang daya revolusionernya sampai sedemikian jauh. Dan semenjak itu perhatian umat tercurah pada masalah-masalah teologi. Kondisi ini ditambah dengan persinggungan antara Islam dan ilmu pengetahuan Yunani, selain membawa sejumlah keuntungan, juga menimbulkan dampak negatif. Persinggungan dengan ilmu pengetahuan Yunani ini mengakibatkan kalangan elit Islam semakin bersemangat untuk melakukan intelectual exercise yang bersifat spekulatif. Dan teologi Islam yang sebenarnya sangat dekat dengan masalah keadilan sosio-ekonomi-politik (ada banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas golongan masyarakat lemah, seperti yatim piatu, janda, fakir miskin, budak dan seterusnya), mulai mengalihkan perhatian pada masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi (worldly questions).
Ternyata persinggungan tersebut hanya menguntungkan sebagian kecil elit intelektual. Dan teologi Islam yang bersifat duniawi dan betul-betul spekulatif ini membagi masyarakat menjadi dua kelompok, yakni kaum teolog di satu pihak, dan masyarakat awam di pihak lain. Selanjutnya, Islam yang revolusioner itu menjadi hilang vitalitasnya. Sekolah-sekolah teologi dan hukum mulai mulai menancapkan eksistensinya, dan bersamaan dengan itu, Islam tidak lagi mempedulikan masalah keadilan sosio-ekonomi. Umat Islam hanya menyisakan sedikit rasa peduli terhadap golongan yang lemah, dan lenyaplah elan vital keadaan Islam yang distributif. Dan kemudian selama abad pertengahan ini, feodalisme tumbuh dengan suburnya.
Oleh karena itu, yang sekarang sangat diperlukan adalah menggali kembali nilai-nilai yang revolusioner di dalam teologi Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an. Di dalam penerapan ajaran-ajaran Islam yang membebaskan dalam arti pemahaman teologi yang berorintasi pada kehidupan nyata. Salah satu bagian penting adalah terciptanya hubungan yang harmonis antara berbagai komunitas religius dalam masyarakat multi agama. Hubungan yang harmonis ini dikatakan penting, karena jika terjadi yang sebaliknya, yakni konflik, maka perkembangan Islam justru akan mengarah pada tumbuhnya ortodoksi, bukan pembebasan. Asghar Ali Engineer tampil sebgai tokoh pengerak pembaharu pemikiran islam dalam ranah teologi, ia mencoba membebasakan paradigma kungkungan yang membelit pemahaman teologi, dengan  mengenalkan ideologi baru tentang “teologi pembebasan” sebagai media menuju kebebasan dalam memahami agama. Lebih lanjut akan diulang pada pembahsan selanjutnya.
a.         Biografi Asghar Ali Engineer dan Pemikiran Teologi Pembebasan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.        Biografi Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer adalah seorang Muslim India. Ia merupakan seorang pemikir, penulis dan aktivis sekaligus. Pemikirannya yang paling dikenal adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Asghar lahir pada 10 Maret 1939 di Kalkuta India, dari pasangan Syaikh Qurban Husain dan Maryam.[1]Asghar merupakan seorang insinyur sipil yang seluruh jenjang pendidikanya dilaluinya di India, Berbeda dengan pemikir kontemporer pada umunya, yang sebagin besar pendidikan merekan peroleh di luar tanah air mereka. Ayahnya merupakan seorang ulama pemimpin kelompok Daudi Bohras. Jengjang demi jenjang pendidikan formalnya dapat dilalui dengan lancar, setelah selesai menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya, dirinya melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Vikram, India dimulai pada tahun 1956 dalam disiplin ilmu teknik, selang enam tahun tepatmya tahun 1962, Asghar berhasil menyelesaikan dan berhasil mengantongi gelar sarjana teknik sipil (B.Sc. Eng).[2] Selepas kelulusnya, Asghar mualai mengeluti profrsinya sebagai insiyur sipil yang berjalan terbilang sangat lama, hingga datanglah masa dimana dirinya dihadapkan dengan berbagai problematika yang menyebabkan dirinya berada dititik jenuh atas keadaan pada waktu itu. Hingga akhirnya denga sangat serius ia mengeluti persoalan-persoalan dalam agama, yang mana ia tungkan dalam tulisanya sebagai respon yang di berikan atas kondisi pada waktu itu, dengan objek analisis-kritisnya terhadap aspek dalam agama.
Hal tersebut nampak dapat dipantaskan, dengan alasan adanya korelasi dasar atas pendidikan yang pernah ia perolah, yaitu tentang agama. Mencuatnya kemampuan keagamaan Asghar bukan tidak alasan ataupun tanpa dasar, semasa kecilnya ia didik oleh ayahnya yang tidak lain merupakan seorang ulama Syi’ah. Dari Ayahnya tersebut dirinya banyak mendapatkan ilmu agama seperti; Bahasa Arab dengan intensif, Tafsir, Ta’wil Al-Qur’an, Fiqh, Hadis, dan, selaian itu Asghar juga  banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan Karl Marx. Ia mengaku telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini terbukti sangat berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan gagasannya dengan bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan, revolusi, perubahan radikal, dan sebagainya. Hal tersebut  wajar terjadi, lantaran kemampuanya dapat mengausa berbagai bahasa antara laian Urdu, Inggris, Persi dan Arab.[3] Dari kualitas pengajaran Ayahnya, ia mendapatkan banyak wacana tentang dunia keislaman baik klasik maupun moderen.
Sebagai akademisi tentulah akrab dengan berbagai karya tulis, terebih Asghar merupan salah seorang reformis Islam yang mencoba membebaskan umat Islam dari keterkungkungan pemahaman Spekulatif dan metafisika. Kemampuanya dalam karya tulisnya yang mengalir itu, didasari pada dorongan atas keterlibatanya di berbagai kelompok-kelompok kajian ilmiah. Dari situ, kualitas akademis sekaligus aktivisnya diakui banyak kalangan, terbukti dengan tersebanya berrbagai karya tulisnya ke berbagai kawasan akademis seperti yang diterbitkan di negara Amerika, yang berjudul tha Islamic State; di London, Women Right in Islam; di Malaysia, The Origin and Development of Islam dan lain seagainya.[4] Seperti yang diungkap di atas, keterlibatannya berbaur menjadi aktifis, tidak hanya menjadi anggota pasif, sebaliknya ia menjadi tokoh yang memeliki peranan peting yaitu pada posisi pemimpin.
Dalam terelibatanya menjadi seorang aktivis, Asghar merupakan potren seorang Da’i, pemimpin sekte Syi’ah Ismailiyyah, daudi Bohras di India[5] pada tahun 1972. Pada tahun 1980, ia membentuk Institute of Islamic Studies, di Mumbai, guna mendorong pandangan Islam Progresif di India. Pada tahun 1993 ia mendirikan Center for Study of Society and Secularism untuk mempromosikan kerukunan komunal (agama). Pemahaman keagamaan Asghar Ali, terkait kelompok Daudi Bohra, menegaskan bahwa Daudi Bohras adalah sekte Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi. Untuk dapat diakui sebagai seorang Da’i dalm kelompok tersebut harus mempunyai 94 kualifikasi yang dikelompokan kedalam 4 kelompok: (1) kualifikasi-kualifikasi pendidikan; (2) kualifikasi-kualifikasi administratif; (3) kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan (4) kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.[6] Yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi tersebut, seorang Da’i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Baginya, tampil sebgaai pembela umat atas perjuangan terhadap ketimpangan, kesenjangan dan diskriminasi yang ada, merupakan suatu bentuk refleksi dan aksi atas kualitas keimanan yang di haruskan seimbang antara keduanya (refleksi dan Aksi).
Dengan memahami posisi ini, tidak heran mengapa Asghar Ali sangat peduli dalam  menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya, orang yang benar-benar religius akan sensitif terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang religius akan menentang ketidakadilan. Orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan penindasan, menurut Asghar tidak pantas disebut religius. Dari telaah kesejarahan Asghar Ali menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang religius sekaligus seorang revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat pada zamannya. Dari sebagian pengikut kelompok Bohras, yang disinyalir oleh Tahir Mahmood, selama lima puluh tahunan terakhir ini muncul kelompok pembangkang, sehingga memonculkan respon sebagai bagian opsisi dari pembangakang tersebut, Asghar tampil sebagai opsisi aktif melawan kelompok tersebut, sebab menurutnya telah terjadi banyak penyimpangan. Dalam catatan kaki, Dr. Nasihun Amin dalam Dari Teologi menuju Teoantropologi, ia menyebutkan kurang lebihnya 5 poin klasfikasi penyimpangan yang dilakukan oleh para pembangkang disertai dengan pelaku yang menjadi Da’i.[7] Konsekuwensi dari respon yang ia berikan terhadap para pembangkan tersebut, Asghar pernah dua kali mengalami percobaan pembunuhan, yaitu saat di Kalkuta pada 8 November 1977 dan di Heiderabad pada 26 Desember 1977.[8]
Sebagai wujud dari sikap serta pemikiran idealisnya, Asghar melibatkan dirinya secara intensif kedalam berbagai organisasi. Tercatat ia pernah bergabung dengan organisasi People’s Union for Civil Liberties menjabat sebagai Wakil Presiden, Vikas Adhyayan Kendra (Centre for Development Studies) menjabat sebagai Ketua, Committee for Communal Harmony menjabat sebagai Ketua, Centre for Study of Society and Secularism menjabat sebagai Ketua, Central Board of Dawoodi Bohras Community menjabat sebagai Sekretaris dan menjabat sebagai Konvenor di Asia Muslims’ Action Network.[9]
Sebagai intelektual pemikira bebas dan reformis, lebih-lebih dalam kapasitasnya sebgai Derector of Islamic Studies di Bombay dan mantan anggota Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru di Delhi, Asghar sangat intens menuangkan pemikiran-pemikirannya di berbagai forum ilmiah baik perkuliahan, seminar, lokakarya, maupun symposuim yang di lakukan di berbagai Negara: Amerika Serikat, Kanada, Swiss, Thailand, Indonesia, Sri Lanka, Philipina, Malaysia, Yaman, Mesir, Hongkong, Republik Asia Tengah, Prancis, dan jerman. Tidak sampai hanya disitu, ia juga sangat rajin mensosialisasikan gagasan-gagasanya melalui berbagai penerbit baik dalam maupun luar negeri. Tercatat tidak kurang dari 40 judul buku, baik sebagai penulis langsung, maupn penyutingnya saja, telah ia terbitkan. Tidak hanya itu, Asghar tercatat sangat rajin menuangkan ide-ide gagasanya di beragai jurnal dan harian, seperti Islam and The Modern Age; Religion and Society, Theravada, Jeevendhara, Progressive, al-Mushir, Times of India, Indian Express, The Hindu, Daily, Telegraph dan sebagainya.[10]
Dari semua yang telah dipaparkan, menandakan bahwa sebenarnya Asghar hendak mengatakan agama merupakan sebuah fenomena. Seperti, Al-Qur’an sendiri merupakan sumber agama Islam yang selalu beragkat dari kesadaran sejarah. Hal inilah inti maksud dari pemaparan keterkaitan antara konsep keagamaan yang kemudian berkembang dengan aspek kesejarahan Asghar Ali Engineer, diatas.
Secara ringkas dan diteliti degan seksama, konsep yang dibangun Asghar memiliki ciri yang berbeda dengan konsep pemahaman teologi pada umunya, dari pemahaman Teologi Pembebasan Islam menurut Asghar, yaitu Pertama,  dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, Teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, teologi pembebasan itu anti kemapanan (establishment), apakah itu kemapanan religius maupun politik. Ketiga, Teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Keempat, teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat islam, namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri.
Untuk melancarkan ppembentukan teologi pembebasan Islam dengan batasan dan rambu-rambu yang terdapat dalam ciri-ciri diatas, Asghar mengusulkan langkah-langkah. Pertama, belajat kembali semnagat profetik dan liberasi kenabian Muhammad SAW saat di Mekkah. Sebab baginya Historisitas eksistensial Nabi Muhammad dan perjuangannya merupakan fakta yang sangat jelas menunjukan bahwa, Beliau adalah seorang revolusioner, baik melalui perkataan lalau menjadi sebuah kekuatan ultimatum agamamis (teologis) maupun tindakannya yang menjadi referensi otoritatif kebenaran mutlak dalam koridor a priori, menunjukan Nabi Muhammad merupakan seorang pembebas.[11] Kedua,  belajar dari teologi-teologi revolusioner baik dalam ide maupun aktivitas yang pernah ada dalam sejarah Islam. seperti yang ada dalam Mu’tazilah, dapat diambil pokok-pokok pikiran kebebbasanya dalam penggunaan akal; dari Syi’ah Ismailiyah dapat diambil sintesanya atas pemikiran Islam dan Yunani, sehingga menjadi suatu teologi yang progresif dan revolusioner pada masa rezim Abbasiyah, dari Qaramithah dapat diambil komitmen terhadap revolusi dan berjuang secara gigih setia terus dilakukan penentangan terus menerus terhadap rezim yang menindas; dari teologi Khawarij, yang pemahamn teologinya anti kemapanan teologi, dapat dikembangkan doktrin demokrasi dan sosialisme agama yang didasari oleh keadailan kolektif.[12] Ketiga, melakukan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat dalam sinaran sosial-historis, sekalipun formulasi al-Qur’an lebih bersifat teologis.[13]
Sebenarnya, Teologi pembebasan ini mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil dari tawar menawar antara kebebasan manusia dan takdir, teologi pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap, daripada sebagai konsep yang berlawanan. Perlu dicatat bahwa teologi pembebasan itu lebih menekankan pada praksis daripada teorits metafisis-spekulatif yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”.
Dalam hal ini Asghar memebrikan kata kunci sebagai aplikasi pemahman konsep teologi pembebasan melalui reinterpretasi istilah Tauhid, Syirk, Iman, Kufr dan Adil.
Kaitan dengan reinterpretasi istilah istilah tersebut, secara simpel Asghar memberikan pengertia bahwa Tauhid merupakan suatu pengertian pemhaman atas Tuhan yang terejawantahkan pada realitas sosial yang terlingkupi atas segala konsepsi kesatuan yang utuh, yaitu kesatuan dalam gugusan komunitas masyarakat. Karenanya keesaan Tuhan merupakan keesaan kehidupan yang tidak ada pemisahan antara spritualitas dan matrealitas, antara kehidupan dan keagamaan, atau dengan kata lain Tauhid merupakan kesatuan Universal, pepaduan unsur Tuhan, manusia dan alam. Dari hal itu lah, maka Tauhid –jika diterpkan dengan benar dalam konteks kemanusiaan- menolak dengan tegas tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun dan sekecil apapun serta seringan apapun. Sebab kesatuan manusia merupakan refleksi keesaan Tuhan, jika terrusakakn maka otomatsi kesucian keesaan Tuhan akan ternodai.
Meskipun demikian kesempurnaan Tauhid akan terbatalkan ketika terdapat syirik. Syirk dalam pandangan Asghar, merupakan suatu keadaan yang mengiringi adanya andad atau riva, yang mana keadan dua tersebut induk meunculan kesenjangan, eksploitasi dan penindasan disebabkan adanya pergolakkan sosial politk ekonomi dan sebagainya. Hal tersebut mengunadang adanya duatu dualisme yang saling bersikukuh tegang. Sedangkan dalam perspektik kemasyarakatan hal tersebut merupakan wujud hegemoni penguasa ketika mendapatkan kemengan, sedangakan rakyat dihadiahi segudang keprihatinanan tanpa mendapatkan  kebebesannya. Selain itu, itilah Iman menjadi suatu konsep yang sangat patut mendapatkan perhatian dalam konsep teologi pembebasan Islam. akan tetapi pengertian Iman oleh Asghar berbeda dengan biasanya, menurut asghar, iaman tidak hanya sekedar pengertian teologis meliankan juga pegertian sosiologis. Keduanya tidak dapat dipisahkan sebab anatara iman dan sosial merupakan suatu bentuk reflkesi, jika terpisahkan maka akan menghilngkan hakikiny. Yaitu Iman harus percaya kebaikan akhr yang menopang kemanusiaan sepanjang perjuangnya untuk mengantarkan menuju masyarakat yang adil. Lawan kata dari Iman adalah Kufr, menurut Asghar Kufr menurt konsepnya bahwa kufr dalam al-Qur’an merupakan istilah fungsional, bukan formal dalam arti sebagai alat untuk lebeling yang berfungsi menilai segala hal tanpa batasan penggunaanya, sebba pada khazanah pemikiran umum istilah kufr berartikan menyembunyikan menutupi yang tanpa adanya tendensi terhadap kekhusussan penggunaan istilah tersebut. Jadi kekufran yang terjadi di masyarakat dewasaan ini dapat dikatakan jika terdapat suatu kelompok ataupun indifisual yang menutup diri terhadap keadaan sekitar, asedangkan dalam hal ini –kosep teologi pembebasan- menurut Asghar merupakanprilaku yang tidak percaya dan menutupi misi revolusioner Nabi Muhammad, yang terejawantahkan di tampilan situasi modernis. Dalam keterangannya, orang yang benar-benar kufr ialah oarang yang  arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma’ruf tetapi melaksanakan dengan bangga dan gencar  ats kemungkaran. Dengan kata lain,kufr merupakan sikap yang menghalangi bahwkan mengabaikan keadilan dalam segala bentuk perwujudan, baik adal dalam kapasitas kekayaan, hubungan sosial ataupuan lainnya yang dirasa dapat menimbulkan suatu kesemrawutan yang konstan tanpa keadailan sosioal.[14]
Oleh karena telah mengakar pemahamsn teologi pertengahan sehingga menurut Asghar Ali, Islam sekarang pada saat ini diwarnai dengan ketidakjelasan konsep teologi yang metafisik-spekulatif yang nampak dalam formulasi teologisnya pada zaman pertengahan, sebenarnya bersifat liberatif. Bahwa Islam berorientasi praksis disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam banyak ayat Al-Qur’an. Seorang Mujahid sangat dihargai didalam Al-Qur’an . “Tiadalah sama orang mukmin yang duduk saja di rumah, kecuali orang syang sakiit, dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya”. Kalimat selanjutnya, “ Allah menempatkan orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya sederajad lebih tinggi dari orang yang duduk saja di rumah”. (4: 95)
Dengan demikian jelaslah bahwa jihad bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo, namun demi kepentingan orang yang tertindas dan lemah. “ mengapa kamu tidak berjung di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata ‘Tuhan kami, keluarkan kami dari kota ini yang pnduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari Mu’”. (Al-Qur’an, 4:75)
Dalam teologi pembebasan, selain masalah sosial pilitik, juga dibicarakan masalah psiko-sosial yang teramat penting. Struktur sosial saat ini sangat menindas dan harus dirubah sehingga menjadi lebih adil dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, yang seringkali meminta pengorbanan. Bagi manusia biasa, perjuangan ini tidaklah mudah karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Konsep kebebasan adalah unsur dasar teologi Pembebasan. Kebebasan untuk memilih dan kebebasan untuk keluar (transedensi diri) menuju kondisi kehidupan yang lebih baik dan juga untuk menghubungkan dirinya dengan kondisi yang berunah-ubah secara berarti. Bentuk tidak sepenting tujuan dan ketentuan akhir, yang berfungsi untuk mencapai yaang maha besaryang sesungguhnya dan yang maha agung. Teologi pembebasan memberikan manusia kebebasan ini untuk melampaui situasi kekiniannya dalam rangka mengaktualisasikan potensi-potensi kehidupan yang baru dalam kerangka kerja sejarah. Sebaliknya, orang semata-mata akan tetap mempertahankan esensi-esensi. Selanjutnya harus muncul dalam pikiran kita bahwa Teologi Pembebasan menuntut berjuangan dan kerja keras yang terus menerus untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan restrukturisasi lingkungan. Berbeda dengan teologi “status quo”, tujuan teologi pembebasan bukanlah untuk pelipur lara dan pembenaran atas penderitaan dan kesengsaraan dengan menganggapnya suatu kondisi kehidupan yang niscaya.
Kita lihat bahwa ajaran kehendak bebas dan pre-determinasi mendapat tempat yang sangat besar di dalam teologi islam. Mereka yang berjuang melawan penindasan dan eksploitasi mendukung ajaran kehendak bebas, sedangkan mereka yang menginginkan kemapanan memilih ajaran pre-determinasi dan percaya pada nasib dan takdir. Golongan Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, seluruhnya merupakan oposan dari pemerintahan Umayyah yang menindas dan eksploitatif, menganut ajaran kehendak bebas. Manusia bukan hanya sebuah mainan yang berada ditangan sang takdir, nasibnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Dan sejauh ini, menurut teologi pembebasan, manusia itu bebas dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Manusia diciptakan oleh Allah untuk menentukan nasibnya sendiri di dalam batas-batas yang ditetapkan Allah atau untuk melewati batas-batas ini, dan dalam hal tanggung jawab, manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas.
Teologi pembebasan memandang konsep pre-determinasi dalam prespektif yang proporsional. Biasanya dalam teologi yang trdisional, ketundukan kepada kehendak Allah mengimplikasikan penyerahan diri secara pasif kepada kemauan Allah. Namun demikian, sebenarnaya jika dilakukan penelitian yang cermat terhadap teks Al-Qur’an tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tegas. Allah itu maha kuasa, namun bukan berati bahwa manusia itu tidak mempunyai kebebasan tau tidak mempunyai inisiatif .
Jika agama secara serius dianggapsebagai kebaikan dan berdiri sepihak dengan revolusi, kemajuan dan perubahan, maka agama harus dilepaskan dari aspek-aspek teologis yang bersifat filosofis, yang berkembang mencapai puncaknya hingga aspek filosofis ini menjadi bagian utama dari agama yang bukannya mendukung kaum yang tertindas, namun justru mendukung kelompok penindas. Dengan kata lain, pembebasan teologi diperlukan untuk mengembangkan sebuah teologi pembebasan (theologi of liberation). Umumnya teologi pada masa sekarang ini dikuasai oleh orang-orang yang sangat mendukung status quo. Oleh karena itu, teologi cenderung sangat ritualis, dogmatis, dan bersifat metafisis yang membingungkan. Dengan wajah yang seperti ini, agama sama dengan mistik dan menghipnotis masyarakat. Dan teologi pembebasan harus membersihkan elemen-elemen ini sampai ke akar-akarnya. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan tugas yang menantang dan tentu saja sangat diperlukan. Agama tidak boleh hanya berhenti sampai urusan akhirat, namun juga tidak boleh semata-mata berurusan dengan masalah duniawi, agama harus dapat menjaga relevansinya. Historisitas dan kontemporeritas agama di satu pihak, dan urusan duniawi dan akhirat di pihak lain harus disatukan sehingga menjai sebuah agama yang hidup dan dinamis. Sayangnya sekarang ini teologi hanya berupa seikat ritual yang tidak memiliki ruh, tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas dan para pekerja kasar, serta menjadi latihan intelektual dan metafisis atau mistis yang abstrak bagi kalangan kelas menengah. Karena itulah agama menjadi penyebab langgengnya status quo. Ritual yang tidak memiliki ruh keagamaan dan juga abstraksi metafisis ini harus disingkirkan dari agama. agama harus menjadi sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk merubah keadaan mereka, dan menjadi kekuatan spiritual utuk mengkomunikasikan dirinya secara berarti dengan dan memahami aspek-aspek spiritual yang lebih tinggi dari realitas ini.



[1] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 165. Lihat, Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Dari Teologi Menuju Teoantropologi: Pemikiran Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer, (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 41.
[2] Ibid.
[3] Ibid. h. 165-166.
[4] Ibid. h. 166.
[5] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Dari Teologi Menuju, Op. Cit. h. 43.
[6] Ibid.
[7] Ibid. h. 44.
[8] Ibid.
[9] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 166. Dan ......, Dari Teologi Menuju Teoantropologi, op. Cit. h. 44.
[10] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Dari Teologi Menuju Teoantropologi, op. Cit. h. 45. 
[11] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 171.
[12] Ibid. h. 172.
[13] Ibid.
[14] Ibid.