Selasa, 18 April 2017

Cerita pinggir jalan raya



Cerita pinggir jalan raya

Kami yang sedang asik bertegur sapa
Berbaur bersama, berbicara sanak saudara
Kami yang sedang bernostalgia
Berrekreasi menelusuri masa lalu dalam ingatan bersama
Kami yang sedang bermain dadu kehidupan fana
Berharap daya kami habis untuk ditukar selembar kertas hijau bergambar pahlawan indonesia
Bukan belas kasih yang kami minta
Cukup Tuan menyuruh lalu memberi kami selembar kertas hijau pahlawan indonesia
Kami yang sedang menikmati sandaran pada pohon penghias kota
Bersantai bersama teman sebaya disamping jeruji body dan pelek berkarat pada sepeda
Tanpa rem bahkan cat baru sepeda setia menemani kami bermain dadu kehidupan fana di samping jalan raya
"Piye, wis oleh bayaran ngo keluarga?"
Pertanyaan yang selalu ada dalam pembicaraan kami sebagai motivasi dan do'a dari teman sebaya.

Pemikiran Fiqh Tradisional: Imam Malik



BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran Fiqh Tradisional: Imam Malik

A.  Latar Belakang
Sejarah umat islam merupakan suatu peristiwa yang didalamnya terkandung rentetan jerih payah para ulama yang mengorbankan jiwa dan raga untuk agama. Keteguhan meraka atas pembelaan terhadap agama, merupakan suatu aplikasi dan aktualisasi ajaran agama, yang mana tidak lain sebagai usaha untuk menjaga kelestarian ajaran agama secara menyeluruh, baik yang tercerminkan dalam diri seorang manusi, hewan, tumbuhan, harta dan maupun benda. Perjuangan mereka bukanlah tanpa pengorbanan, para ulama berjuang dengan kekuatan yang mereka punyai tanpa adanya keharusan menggunakan suatu pengorbanan, dari sepanjang sejaran yang ada, pengorbanan yang dipersembahkan oleh para ulama terbukti bukan hanya bersifat kekuatan intektual saja, kekuatan harta, benda, kekuasaan bankan keluarga pun mereka rela adbikan kepada agama.
Bukan sebuah kemustahilan, bahwa perjuangan para ulama hanya tejadi dimasa dan tempat tertentu. Seluruh aktifitas perjuangan akan terjadi dimana pun dan kapanpun oleh ulama, akan tetapi pembeda dari itu semua merupakan suatu situasi kondisi dimana perjuangan terjadi dan alat atau suatu yang digunakan dalam berjuang. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa di mana nafas islam itu ada, di situlah ulama berjuang.
Seperti halnya  al-imam al-mujtahid, selanjutkan dikenal dengan al-Imam al-madzhab, mereka berkiprah dalam dunia akademisi intelektual, pada umumnya. Dengan skill intelektual mereka, al-Imam al-mujtahid, membawa petunjuk serta hadir sebagai pemimpin umat dalam ukiran sejarah islam. Oleh karena itu, keilmuan yang telah mereka wariskan cukup layak dijadikan keteladanan yang diamalkan umat muslim.
Dalam konteks keteladanan, nampaknya dapat dikatakan tidak cukup untuk mengkaji satu tokoh saja, pasalnya al-imam al-mujtahid memilki ciri khas tersendiri dalam metode perjuangan mereka yang terkandung dalam manhaj serta pengaruah situasi-kondisi yang ancapkali berbeda satu sama lain. Perilaku mereka mencerminkan ajaran agama. Kita dapat mengenali karakter dan kepribadian mereka untuk dijadikan teladan.[1]
Diantara tokoh al-imam al-mujtahid yang masih diakui konsep, metode serta manhaj, terutama dalam dalam bidang fiqh sebagai sesosok al-Imam al-madzhab, yaitu  al-Imam Maliki. Beliau adalah sosok seorang imam besar, imam Madinah kota Hijrah. Namanya selalu dikenang dan dilebelkan sebagai nama salah satu mazhab fiqih yang masih eksis pengakuan atasnya. Al-Imam Malik sebagai sosok ulama agung yang selalu menjadi rujukan keilmuan dunia islam.
Sejarah telah mencatat bahwa kontribusinya sangat besar dan jerih payahnya dalam membela serta melayani agama Allah, khususnya yang berkaitan dengan syariat dan fiqih, tidak lagi dipertanyakan, sehingga tak heran jika kegigihan dan perjuangannya menjadi acuan bagi para ulama maupun orang awam dari generasi ke generasi selanjutnya. Sebab itu juga, Imam Malik dapat mencetak generasi baru sebagai ulama yang juga menjadi tokoh al-Imam al-madzhab, yaitu al-Imam al-Syafi’i.
Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan Imam Malik, seorang Imam mazhab yang bercorak tradisional, dimana beliau lebih memberatkan menggunakan nash Quran, Hadis dan  juga menggunakan riwayat Ahli Madinah untuk dijadikan salah satu dasar pengambilan hukum suatu masalah.
B.  Rumusan Masalah
I.            Riwayat Hidup al-Imam Malik.
II.         Pokok Pemikiran dalam Kajian Fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Imam Malik
Imam Malik bin Anas merupakan seorang imam yang masyhur, pemilik kecerdasan luarbiasa. Memiliki nama lengkap Abu Abdullah ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn ‘Amr ibn al-Harist ibn Ghaiman ibn Khutsail, dilahirkan ‎ ‎di Madinah al-Munawwarah pada tahun 93 H,[2] di kelahirannya banyak ulama ahli sejarah berbeda pendapat seperti Muhammad ibn ‘Abdul Hakam menyatakan pada tahun 94 H, diriwayatkan dari Muhammad ibn Abdul Hakam pada tahun 93 atau 94. Abu Muslim menyatakan pada tahun 90 H, ada pula yang menyatakan 96 H, pendapat lain pada tahun 97 H. Abu Dawud as-Sijisyani menatakan pada tahun 93 H, Abu Ishaq al-Syairazi pada tahun 95 H. Akan tetapi pendapat yang terbilang benar adalam tahun 93 H seperti yang disebutkan lebih dahulu, pendapat ini al-Qadhi Iyadh yang mengutip pendapat Abu Muhammmad al-Dharrab yang selaras dengan pendapatnya Ibnu Qasim tertait kelahiran serta ketepatan wafat Imam Malik.[3] tepatnya di Dzul Marwah, sebuah daerah yang dipenuhi sejumlah mata air, pertanian, dan perkebunan, terletak sekitar 192 km sebelah utara kota Madinah.[4] Malik Ibn Ans merupakan keturunan dari Arab-Yaman, kakaeknya yang bernama Abu ‘Amir, ia termasuk shahabat besar yang banyak menemani Nabi SAW, kecuali pada perang Badar. Sedangkan Malik (kakek Imam Malik) termasuk ulama besar dikalangan tabi’in dan termasuk salah seorang yang mengantarkan janazah Ustman ibn Affan ke persemayaman terakhirnya.[5]
Imam Malik tidak lama menetap di Dzul Marwah, ia mengikuti kedua orang tuanya pindah menuju Aqiq, sebuah wilayah yang terbuka terbilang subur dan rindang salah satu daerah di Madinan. Semenjak kecil, Imam Malik sudah terbiasa menjalani hidup dengan teratur, bersih, hingga kebasaan itu menjadi bagian kehidupan sehari-harinya. Imam Malik berada dalam keluarga yang kuat agamanya. Bapak, paman, dan kakeknya adalah para ulama. Ayah Imam Malik merupakan seorang ulama dan periwayat hadits, sehingga suasana keluarganya tidak lepas dari perbincangan mengenai persoalan keagamaan. Diceritakan bahwa kebiasaan keluarganya selepas isya, mereka selalu berkumpul untuk merenungkan dan membahsa persoalan hidup dan agama[6].
Malik tumbuh di lingkungan yang penuh dengan iklim belajar dan periwayatan hadis di Madinah, kota yang menjadi pusat sunah dan fatwa-fatwa sahabat. Di kota tersebut juga terdapat generasi sahabat Rasulallah dan muridnya. Malik mendapati sumber kekayaan ilmu dan hadis, bakat dan potensinya mulai berkembang hingga ia berhasil memetik buahnya, hal ini tidak lain lantaran di koota tersebut banyak sekali ulama-ulama yag mengembangkan ilmunya dimasa Imam Malik.[7]
Di usia yang terbilang belia, Imam Malik berhasil menghafal al-Quran. Setelah menyelesaikan hafalan al-Quran, Malik mulai menghafal hadis. Di lingkungannya, Imam Malik mendapatkan motivasi yang tinggi, dan di kota Madinah lah Imam Malik memperoleh segala hal yang mendukung untuk menghafal hadis. Terlebih keluarga Malik adalah para ulama dan periwayat hadis, termasuk ayahnya. Saat sedang berkumpul, ayahnya tak luput menuturkan riwayat-riwayat hadis nabi di tengah-tengah perbincangannya[8]. Akan tetapi saat Imam Malik muli dewasa, ia mulai memilih guru untuk memepelajari ilmu dan hadis. Sedangkan dari sekian banyak gurunya, namun hanya seorang tabi’in yang berpengaruh pada Imam Malik, yaitu tabi’in muda Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz yangmana merupakan salah satu ulama terkemuka Madinan pada masanya.[9]
Pada masa Imam Malik, struktur kehidupan sosial terdiri dari berbagai macam etnis ras dan bangsa: romawi, Persia, India, dan Arab. Wilayah kekuasaan Islam berkembang semakin luas, yangmana kelahiran Imam Malik bertepatan dengan masa pemerintahan Umayyah.[10] Sejak masa khalifah Ustman, para sahabat rasulallah menyebar ke penjuru negeri. Setiap sahabat memiliki murid dan pengikut, dan masing-masing mempunyai pendapat yang sesuai dengan tabiat, adat istiadat, dan kondisi masyarakat. Berbeda dengan Baghdad, Madinah dikenal sebagai gudang para ulama. Hal ini menadikan Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah, kecuali di musih haji. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Imam Malik, hampir seluruh ahli hadits dan fiqih di Madiah telah didatanginya untuk menimba ilmu.
Setiap daerah memiliki karakter kehidupan sosial, perdagangan, politik, dan keilmuan yang berbeda sehingga menjadikan wilayah Islam terbilang kaya akan berbagai peradaban. Hal ini  menentukan  terbentuknaya masyarakat yang plural terdiri atas berbagai suku bangsa dan ras dengan latar belakang dan kebudayaan yang berbeda.
Dalam aktifitas keilmuanya, Imam Malik memanfaatkan tempat yang digunakan untuk menuntut ilmun dekat makam rasulallah. Ia banyak berkumpul dan bergaul dengan para ulama. dengan begitu, ia dapat mengenali beragam bentuk kontruksi dan kondisi sosial mereka.[11]
Hal ini yang memperluas kesadaran dan kepedulian Imam Malik terhadap kebutuhan masyarakat. Kondisi ini pula yang membentuk pola pikir Imam Malik di bidang ilmu sosial dan fikih. Adapun keilmuan dalam bidah Fiqh, Imam Malik mempelajarai berbagai guru antara lain, Rabi’ah Al-Ra’yi.[12] Rabi’ah merupakan sosok terkemuka pada masanya, ia seorang yang bersahaja dan cerdas serta ahli ibadah, akan tetapi label ahli ibadahnya hilang darinya lantaran prilaku yang dilakukanya yaitu lebih mementikan kebutuhan masyarakat sosial atas berbagai problematiak kehidupan dari pada ibadah pribadi yang ia istiqomahkan, ia melibatkan diri dalam majlis-majlis masyarakat umum. Dalam pergaulan tersebut Rabi’ah berbicara berdasarkan keceedasan atau akal, intelektualitas tinggi serta kejeniusannya. Istilah Al-Ra’yu, diberikan kepada Rabi’ah ibn Abu Abdurrahman farukh sebagai laqab (julukan) lantaran kejeniusannya, dalam segala problematika mampui dijawabnya serta adanya ciri tersendiri di setiap pengungkapan solusi masalah dengan menberikan opsi pilihan yang opsi-opsi tersebut tidak rancu melainkan mempunyai dominan dalam argumennya.[13]
Selain ilmu fiqh, Imam Malik juga mempelajari ilmu hadis yang dipelajari dari berbagai guru, antara lain; Ibnu Syihab al-Zuhri  yang nama aslinya Abu Bakar Muhammad ibn Muslim al-Madini ibn Zahrah ibn Kilab al-Quraisyi yang dijuluki A’lamul Huffazh (penghafal hadis yang paling luas ilmunya)[14] dan Nafi’  Maulana ibn Amr.[15]
Sejarah mencatat bahwa kualitas kecerdasan dan ketekutanan Imam Malik, mampu membawanya menempati ulama agung yang mampu mencetak generasi ungul sebagai penganti serta penerus Imam Malik, diantaranya al-Auza’i, al-Syafi’i dan Yahya ib Sa’id, selain itu, dari kualitas intelektualnya menjadikan diri Imam Malik dijadikan sebagai kawan dialog dan tukar pikiran oleh guru-gurunya serta tidak jarang mereka mendengarkan penyaraan hadis yang dilakukan Imam Malik.[16] Setelah selesai masa dimana Imam Malik menuntut ilmu keberbagai guru ahli fiqh dan hadis, ia akhirnya melakukan ijtihad mandiri serta membuka majlis pengajian yang disebut halaqoh dengan lebih dahulu menadapatkan restu dari tujuh puluh ulama terkenal di Madinah. Selain itu Imam Malik juga melakukan periwayatan hadis dan memberi fatwa tertutama di musim haji.[17]
Sebagai sosok ulama Mujtahid, Imam Maliki terbilang produktif. Imam Malik banyak menulis kitab yang membahas tentang fiqih dan hadis, kitab beliau yang monumental adalah kitab al Muwathha yang banyak membahsa tentang hadis dan fiqih. Banyak ulama yang memuji karangan beliau tersebut diantaranya: Imam Syafii, imam al Mahdi dan banyak ynag lainnya.
Adapun karya-karya Imam Malik selain al-Muwatha, antara lain, yaitu:
a.    Risalah fi al Qadr wa ar Radd Ala Al Qadariyyah, di dalam kitab tersebut Imam Malik, seperti yang dinyatakan oleh Qadhi Iyyad, Ibnu Wahab.
b.    Kitab fi an Nujum, Hisab Madar az Zaman wa Manazil Al Qamar, sebuah kitab yang dijadikan dasar dalam ilmu perbintangan.
c.    Risalah fi Aqdiyah, tulisan yang dipersembahkan kepada qadhi.
d.    Risalah fi al Fatwa
e.    Risalah fi al Adab wa al Mawaidh
f.      At Tafsir li Gharib al Quran
g.    Risalah fi Ijma Ahl al Madinah
h.    Kitab as Syair.[18]  

B.  Pokok pemikiran Imam Malik
Imam Malik merupakan pribadi yang selektif serta teliti dalam memilih untuk meriwayatkan hadis. Ketelitian dan selektifannya digunakan sebagai filter kualitas suatu hadis, ia tidak akan menerima suatu riwayat hadis kecuali imam Malik sendiri telah yakin keshahihann hadis tersebut.  Dasar tersebut berlandaskan pada hadis adalah agama, maka dari itu dalam pemilihanyapun harus selektif.[19] Pehatiannya tersebut, dibuktikan dalam  karya monumentalnya, al-Muwatha’. Menurut Nasihun yang mengutip penilaian Syah Waliyullah, bahwa kitab Imam Malik merupakan himpunan hadis Nabi yang paling shahih. Keshahihan hadis-hadis yang terkandung didalamnya diujinya setelah mengadakan pembuktian sumber kebenaran dan penyaringan yang seksama serta teliti. Uji keshahihan tersebut ditekankan pada kualitas rawi dan perawi, sebagai bahan klasifikasi kesahihan dalam karyanya. Al-Muwatha’ berisikan 10.000 hadis shahih, tetapi pada edisi pembetulan Imam Malik menguranginya sampai hanya berjumlah 1.720 hadis shahih.[20]  sosok yang awalnya cenderung menggunakan akal untuk mengeluarkan fatwa, namun pada akhirnya beiau meniggalkan hal tersebut.beliau lebih memilih menggunakan Quran, Hadis, dan Amal Ahli Madinah sebagai wujud kehatian beliau untuk mengeluarkan fatwa.
Situasi dimasa hidup Imam Malik memberikan pengaruh besar dalam aktifitas keilmuan yang ia terima sebagai pengaruh dasar konsep pemikirannya, berupa aktifitas fatwa serta karya tulisnya, yang mana berwujud keenganannya untuk melakukan ijtihad secara rasio, sebab pada masa itu penggunaan ijtihat berlandaskan rasional marak terjadi. Selama empat puluh tahun ia hidup pada masa pemerntahan Umayah dan empat puluh enam tahun pada masa pemerintahan Abbasiyah.[21] Yang mana pada masa itu gejolak diberbagai ranah terjadi bahkan gelombang fitnah serta perang politik terrus berkecamuk. Dalam ranah politik muncul aliran Syi’ah dan Khawarij sedangakan dalam bidang teologi muncul aliran Qadariyah, Jahmiyah dan Murji’ah. Dari situasi tersebut berimbas pada kedudukan hadis, yang semula digunakan hanya murni tentang keagamaan berubah menjadi alat juatifikasi rival dan alat politik dalam pemenangan suatu kekuasaan. Hal ini penyebab yang bertangung jawab adanya hadis-hadis palsu yang marak dipergunakan sebagai alat kekuasaan, cleam kebenaran dan pembelaan, yang berimbas adanya pertentangan dikalangan masyarakat.[22] Berdasarkan situasi itu, menjadikan Imam Malik merasa perlu berhati-hati dalam menerima periwayatan suatu hadis, meskipun ia pun juga mempelajari hadis dari kubu Syi’ah dan sebagainya.
Pemikiran fiqih corak tradisional Imam Malik, menurut Nasihun lantaran memposisikan tradisi Madinah sebagai salah satu dasar hukum yang mempunyai tempat khusus.[23] Seara sederhana hal itu tidak lepas dari pengaruh guru Imam Malik, yakni Ibnu Hurmuz, Nafi’, dan Syihab Az-zuhri. Tiga orang ini terkenal sebagai ahli fikuh riwayat. Sehingga tak heran jika Abdurrahman bin Mahdi, seorang ahli fikih terkenal, menyatakan bahwa Imam Malik adalah sosok yang pantas menyandang seorang yang ahli fikih dan hadis[24].
Di samping  dengan pendekatan riwayat, Malik juga dalam menggali hukum memakai pendekatan ra’yun. Kendati ra’yu yang dilakukanya hanya sebagai pandangan nilai bukan sebagai dasar pijakan. Pengaruh Rabi’ah dan Yahya bin said dalam diri Imam Malik sangat besar. Tak heran kalau Malik awalnya condong dengan ra’yu dalam menggali hukum.
Dalam pemikiran Imam Malik, ada beberapa dasar yang menjadi landasan terciptanya produk istinbatnya. Di antara sumber tersebut meliputi pertama, kitabullah. Al-Qur’an menjadi sumber paling mendasar bagi segala hal yang berkaitan dengan akidah, syariah, tanda-tanda kebenaran risalah, dan cahaya segala pandangan. Malik menganggap bahwa Al-Qur’an berada di posisi teratas dari semua dalil dan lebih utama dari sunnah dan dalil-dalil lainnya. Ia mengambil nash-nash yang sharih dan Zahir (jelas dan tegas) yang tak bisa ditakwilkan lagi selama tak ada dalil syariat yang meawjibkan penafsirannya.
Kedua, sunnah nabi. dikarenakan sunah merupakan penerang hukum-hukum al-Quran, penguarai teks-teksnya, dan penafsir atas permasalahn yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Di sini, sunnah atau hadis rasulallah diperlukan untuk menyimpulkan sebagian hukum yang ditunjukan al-Quran atau untuk menyempurnakan penjelasannya jika kandungan hukum al-Quran masih bersifat
Ketiga, Pendapat Sahabat (qaul sahabat). Bagi Imam Malik, terma “sahabat Nabi Muhammad” mencakup semua sahabat, baik yang muhajirin maupun yang anshar. Dijadikannya qaul shahabah sebagai sumber syariah dalam Mazhab Maliki dikarenakan mereka, para sahabat, memiliki keterkaitan dan keterkaitan yang begitu akrab dengan Rasulullah di dalam kehidupan dan perilaku kesehariannya. Mereka telah menyaksikan perbuatan-perbuatan Rasulullah sepanjang hidupnya, menyimak sabda-sabda Sang Nabi yang mulia, berguru dan menimba pengetahuan kepadanya, sang Rasul penuntun, dan senantiasa terkoreksi jika melakukan sebuah perilaku yang menyimpang dari ajaran luhur agama Islam.
Keempat, ijma’ (konsesus), yaitu suatu yang disepakati oleh pakar fikih dan ahli ilmu. Malik tergolong ulama yang banyak menyinggung masalah ijma’ dan menggunakannya sebagai hujah. Dalam al-muwatha, banyak kita temukan bahwa Malik sering menyebutkan hukum satu masalah dengan menyatakan hukum itu telah disepakati oleh ulama. menurut Malik, jika para ulama telah sepakat dalam satu masalah, mereka tidak akan sepakat dalam kesesatan dan kebatilan.
Kelima, tradisi penduduk Madinah (‘amal ahlil Madinah). Malik menimbang bahwa panduduk Madinah adalah warisan langsung dari orang-orang yang telah menjalin persahabatan erat dengan Rasulallah SAW. Di samping itu juga, dikarenakan hukum-hukum yang berlaku di Madinah telah menjadi tradisi selama beberapa generasi[25].
Imam Malik menegaskan bahwa apa yang sudah diterapkan sekelompok ulama di Madinah menjadi hujah yang harus diambil. Bahkan Malik enggan untuk menggunakan hadis ahad, lantaran menurut imam Malik, hadis ahad merupakan hadis yang tidak terkumpul didalamnya syarat-syarat hadis mutawatir, adapun jika diterima maka parameternya, hadis tersebut tidak bertentangan dengan tradisi Madinah.[26]  jika bertentangan dengan tradisi Madinah. Ia menganggap bahwa amal penduduk Madinah merupakan amal warisan nabi dan periwayatannya lebih kuat.
Selain lima sumber utama tersebut, Imam Malik juga menggunakan piranti cabang (skunder) dalam menggali hukum Islam, yaitu qiyas, istihsan, urf, sadd adzara’i, dan maslahat mursalah. Sejumlah instrument cabang tersebut menjadikan warna tersendiri bagi madzhab lainnya. Terkait maslahat mursalah, Imam Malik menetapkan sejumlah syarat yang penting:
1.    Maslahah tidak bertentangan dengan dasar Islam juga dalil qoth’i
2.    Maslahah dapat diterima oleh mereka yang berpikiran jernih
3.    Maslahah tersebut sungguh mengangkat kesukaran secara nyata[27]
Kemudahan yang ditawarkan oleh madzhab Maliki terbangun oleh sejumlah faktor. Pertama, keragaman dasar dan sumber penggalian dasar dalam madzhab Maliki, kedua pola ijtihad yang dilakukan oleh Imam Malik yang kemudian diteruskan oleh murid-murinya pada masa-masa selanjutnya. Sumber-sumber yang menjadi landasan Imam Malik dalam mengambil hukum meliputi al-Quran, sunnah, ijma, qaulus shahabi, amal penduduk Madinah, qiyas, mashlahah, istihsan, sadd al-Dzara’i, dan ‘urf.
Akan tetapi, dari semua yang telah di sebutkan belum dapat menyimpilkan ciri khas yang ada pada imam Malik untuk melakukan istimbat al-ahkam. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Imam Malik merpakan sosok ulama madzhab yang menempatkan tradisi sebagai perameter penentuan untuk diterima atau ditolak suatu periwayatan hadis. Hal ini dikerenakan kedudukan tradisi yang dimaksudkan tradisi penduduk Madinah, dalam alur pemahaman bahwa sunnah merupakan aturan hidup normatif yang ditegakkan oleh Nabi semasa hidupnya, hal ini terbentuk lantaran sebab dasar pemahamn bahwa Nabi Muhammad saw merupakan model figus bagi masyarakat yang mana semua aktifitas yang dilakukan Nabi, baik berupa tindakan, ucapan maupun tetapan, menjadi anutan yang ditiru oleh masyarakat pada masa itu, sebagai wujud ittiba’ pengamalan suatu ajaran Islam yang tercermin dari aktifitas Nabi SAW, yang mana aktifitas masyarakat pada masa itu diwariskan secara turun menurun oleh para shahabat kemudian diwariskan oleh para tabi’in dan tabi’it tabi’in dalam bentuk tradisi hingga sampai pada masa Imam Malik,[28] sedangankan tradisi tersebut terjadi tidak lain salah satunya di Madinah, dimana Nabi pernah berhijrah dan menetap disana serta menyebarkan ajaran Islam. Dengan kata lain alam penduduk Madinah meruakan Sunnah (term yang digunakan oleh Imam Malik dalam menyebutkan tradisi penduduka Madinah, sebagai alat parameter penilaian). Selain term Sunnah, ada juag term amr yang digunakan oleh Imam Malik jika dalam kenyataanya tradisi tersebut mengandung unsur tambahan yang berasal dari ulama.
Dalam klasifikasi penentuan antara Hadis dengan tradisi, sebagai pembeda secara komprehensip, Nasihun Amin menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ketika hadis dan tradisi disandingkan.[29]
1.      Tradisi yang ada sesuai dengan hadis. Dalam keadaan demikian berarti tradidi mendukung validasi hadis tersebut.
2.      Tradisi yang ada bersesuai dengan satu hadis tetapi bertentangan dengan hadis yang lain. Dalam hal ini, maka hadis yang bersesuai dengan tradisi mempunyai kedudukan lebih kuat daripada hadis yang lain, sehingga dapat dijadikan rujukan.
3.      Tradisi yang ada bertentangan dengan sebuah hadis atau banyak hadis. Jika demikian maka, tardisi tersebut adalah ‘amal naqli atau tradisi yang berasal dari masa Nabi, dan harus didahulukan dari hadis. Hal ini didasarkan pada tradisi tersebut merupakan tradisi yang riil bersumber dari ajaran Nabi yang mempunyai otoritas secara pasti, adapun hadis ahad hanya mempunyai otoritas berdasarkan anggapan. Lain halnya jika, tradisi tersebut bersumber murni dari ijtihad, maka kedudukan hadis ahad lebih diutamakan daripada tradisi tersebut.
4.      Jika terdapat sustu hadis tentang suatu persoalan, akan tetapi tida ada tradisi tentangnya, maka berarti tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian, hadis itu harus diikuti dengan catatan hadis tersebut otentik (shahih) dan tidak ada hadis satupun yang bertentangn denganya. Jika terdapat hadis lain yang bertentangan, maka yang menjadi tolak ukur pertama yaitu rawi Madinah. Dalam arti bila salah satu di antara hadis tersebut diriwayatkan oleh rawi-rawi  Madinah, sedangkan hadis yang lain tidak, maka yang lebih diutamakan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi Madinah.
Kendati demikian, di kemungkinan ke-empat tersebut, Imam Syatibi tidak sepakat, lantaran menggangap bahwa ketiadaan tradisi tersebut, merupakan indikasi bahwa makna-makna dari hadis semacam itu tidak boleh dipandang secara normatif, jikapun demikian maka dapat dipastikan bahwa ada beberapa tradisi yang ditetapkan untuk kepentingan Hadis, dengan pengertian bahwa asumsi terhadap persoalan yang dibicarakan merupakan persoalan yang diharapkan telah pernah terjadi pada masa kehidupan umat generasi pertama. [30]
Dapat diasumsikan bahwa dari semua yang telah diutarakan diatas, Imam Malik membela secara penuh kualitas tradisi yang ada di Madinah sebagai bahan dalam berijtihad untuk menentukan sebuah hukum. Sejauh yang penulis tangkap, sikap Imam Malik tersebut, tidak lain sebagai wujud untuk melestarikan sebuah tradisi yang benar adanya dan terjadi dari generasi ke generasi yangmana tidak lain merupakan peninggalan ajaran yang diwariskan oleh Nabi SAW yang sarat akan kandungan syari’ah secara umum.
Imam Malik wafat pada tahun 179H bertapatan pada usia 86 tahun di Madinah.[31]
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Imam Malik adalah pewaris atsar dan penjaga tradisi ahli Madinah, dan digadang sebagai perangkum segenap pengetahuan sahabat dan tabiin. Beliau memiliki sifat ramah kepada seluruh muridnya, serta pengagung yang besar kepada hadis Nabi, yang membuat belia begitu disegani oleh berbagai kalangan, beliau begitu berwibawa dan berkharisma.[32]
Seluruh hidup Imam Malik yang dijalaninya di Madinah, semenjak beliau lahir hingga wafatnya tidak ada niatan untuk melakukan hijrah meninggalkan Madinah, kecuali untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh.
Imam Malik begitu jatuh hati dengan Madinah, yang kal itu menjadi pusat peradaban bagi berbagai kajian ilmu. Imam Maliki begitu berhati hati dalam memberi fatwa. Beliau tidak hendak mengatakan haram dan halal tana ada dalil yang pasti dari al Quran dan Hadis Rasulallah. Seperti ketika sebagian orang mengkritik Imam Maliki atas kehatian hatiannya dalam memberi fatwa, sambil meeteskan air mata beliau mengatakan Aku takut pada suatu hari ketika aku diminta pertanggungjawaban atas kebenaran fatwa yang aku katakan. Beginilah sosok seorang imam yang agung yang tidak gampang menjual diri atau menggampangkan agama demi sebuah fatwa apalagi untuk kepentingan duniawi.


[1]Dr. Tariq Suwidan, Biografi Imam Malik: Kisah Perjalanan Dan Pelajaran Hidupsang Imam Madinah, (Jakarta:  Zaman, 2007). h. 11
[2] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h.70.
[3] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj. Faisal Salah dan Umar Mujtahid, al-‘Aqidatu al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 247-248.
[4] Kelahiran Imam Malik pada tahun 93 H mengikuti pada pendapat yang arjah. Hal itu mengacu pada ungkpannya Imam Malik sendiri, liat Jalaluddin As-suyuyti, Tazyin al-Mamalik bi Tarjamat al-imam al-Malik.
[5] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Loc. Cit.
[6] Muchlis M Hanafi, Biografi Lima Madzhab Imam Malik, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 4-5.
[7] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 71.
[8] Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik, (Jakarta: Zaman, 2012), h. 38
[9] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[10] Ibd.
[11] Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik, (Jakarta: Zaman, 2012), op. Cit. h. 11-15.
[12] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 72.
[13]Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 251-252.
[14] Ibid. h. 255.
[15] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[16] ibid
[17] Ibid.
[18] Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Biografi Lima Imam Mazhab: Imam Malik, (Jakarta, Lentera Hati, 2013), h. 137 138.
[19] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[20] Ibid.
[21] ibid
[22] ibid
[23] Ibid. h.75.
[24] Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Biografi Lima Imam Mazhab: Imam Malik, op. Cit. h. 11-13
[25] Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Biografi Lima Imam Mazhab: Imam Malik, op. Cit. h.. 339.
[26] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Op. Cit. h. 75.
[27] Dr. Muchlis Hanafi, Biografi Lima Madzhab, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 143.
[28] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Op. Cit. h. 76-77.
[29] Ibid. h.77-78.
[30] Ibid. h. 78.
[31] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 247-248.
[32] Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Biografi Lima Imam Mazhab: Imam Malik, (Jakarta, Lentera Hati, 2013), h. XXVIII