Senin, 27 Maret 2017

Pemikiran Politik Sunni Masa Pertengahan; IBNU TAIMIYAH: Keadilah Sebagai Prinsip Kesejateraan Umat dan Bernegara.



BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran Politik Sunni Masa Pertengahan; IBNU TAIMIYAH: Keadilah Sebagai Prinsip Kesejateraan Umat dam Berbangsa dan Bernegara.
A.    Latar Belakang
Polemik kekuasaan kerajaan islam merupakan bukti sejarah yang tidak dapat diabaikan, kehadiranya merupakan konsekuensi adanya perhelatan politik kekuasaan yang terjadi disetiap masa pemerintahan kerajaan-kerajaan adidaya, dengan segala kekuatan serta strategi dikerahkan demi melanggengkan kekuasaan yang dipertahankan. Perlawanan, peperangan, ekspansi merupakan tindakan untuk mendapatkan kekuasaan lebih dengan harga yang tidak murah untuk membayarnya, pertumpahan darah menjadi ajang adu kekuatan. Polemik tersebut terjadi disegala line kekerajaan baik sengketa intra kerajaan maupun ekstra antar kerajaan.
Ketidak stabilan tersebut menjadikan faktor perubahan yang terjadi pada banyak sekor sosial-masyarakat, tidak terkecuali di ranah intelektual. Penulis memahami bahwa tragedi tersebut timbul atas tanggungjawab polemik kekuasaan yang berkembang, sehingga ranah intelektual secara otomatis ikut menjadi korbar ketidak stabilan itu. Lebih jauh, penggaruh perhelan politik menjadikan ranah intelektual sebagai ajang perdebatan atas dasar legitimasi subjektif serta legalitas suatu aturan, jabatan kekuasan bahkah tidak jarang sebagai uji coba justifikasi bersalah, haram, kafir, musyrik, bid’ah terhadap kelompok lain yang dianggap sebagai benteng penghalang untuk mensukseskan misi kekuasaan dalam kedok kebijakkan birokrasi parlemen kekerajaan.
Dunia intelektual mengalami berbagai perubahan peranannya seiring perkemabangan situasi dan kondisi yang melingkupinya, seperti yang terjadi disetiap  kepemimpinan khalifah-khalifah pada masanya. Daulah bani Umayah merupakan salah satu contoh perubahan yang terjadi terhadap peranan dunia intelektual, pada awal-awal kekuasaan bani Umayyah dunia intelektual digunakan sebagai unsur dasar kelahiran berbagai konsep, aturan dan kebijaksanaan yang meliputi berbagai dewan-dewan pemerintahan dalam menjalankan fungsi dan tugas mereka.[1] Menurut hemat penulis, secara kasapmata peranan intelektual di masa itu terlihat bagus bahakan terbilang sebagai perkebangan peradaban yang maju dalam pemerintahan dunia islam, akan tetapi hal tersebut tidaklah menjadi sudut pandang satu, di sisi lain kekuatan intelektual digunakan tidak lain sebagai alat pelanggengan kekuasaan dalam bingkai ketata negaraan dengan segala aturan dan kebijakkannya. Samahalnya yang terjadi di masa kekuasaan bani Abbasiyyah, yang mana dunia intelektual mengalami pasang surut peranannya secara objektif sebagai ladang keilmuan penunjang peradaban manusia, berdasarkan kedudukannya dunia intelektual lebih dominan sebagai suatu doktrin kekuasaan dengan cara pengembangan keilmuan untuk mencetak cendikiawan muslim yang pro-pemerintahan dengan segala legitimasi kebijakkan, terbukti pada masa kepemimpinan khalifah ke tujuh berlanjut ke delapan dan bersambung di pengujung kekuasaan daulah Abbasiyyah, dunia intelektual menjadi alat pengkritikan sekaligus solusi terhadap kebijakan pemerintah. Seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua telur pasti menetas sepeti yang diingginkan, hal itupun terjadi di masa bani Umaiyyah dan Abbasiyyah yang mana tidak semua yang mereka perjuangkan, mereka tanam akan mengahsilkan keuntungan bagi mereka, menjadikan dunia intelektual sebagai pencetak cendekiawan muslim pro-pemerintahan berbeda terbalik, sebagian hasil pencetakan cendekiawan muslim malahan sebagai pengendali pemerintahan melalui dunia akademisi intelektual bahkan tidak jarang sebagai pengkritis kebijakan pemerintahan. Meskipun demikian tentulah tidak etis jika hanya melihat dari sisi kekurangnya saja, sejarah mencatat bahwa memang adanya kemajuan yang terjadi di kerajaan-kerajaan islam dalam intelektual.[2]
Intelektual seperti yang diketahui merupakan suatu gugusan berbagai keilmuan, pemikiran, serta ajaran, menjadikan sebagai objek empuk sebagai mediator kelancaran suatu misi, terutama ranah politisi kekuasaan. Oleh sebab itu bahan pembahasaan intelektual ini, tampak cukup dijadikan objek kajian analisis politik yang telah terjadi pada setiap masa pemerintahan daulah-daulah islamiyah secara objektif untuk mendapatkan suatu pernyataan serta tendensi peran intelektual pada masing-masing masa terhadap peradaban yang ada di masa lampau. Serta sebagai alat ukur penilaian para cendekiawan dalam peran akademisinya ikut mewarnai dinamika kekuasaan disetiap masanya.
Seperti diketahui, dinamika politik merupakan ranah yang bertanggungjawab atas perubahan yang terjadi disetiap line kehidupan, tidak terkecuali dimasa lampau dimaksudkan masa daulah islamiyah. Kali ini intelektual menjadi diskursus pembahasan yang mencakup ajaran, pemikiran serta sejarah peradaban dalam otoritas tertentu serta pengaruh dan sepak terjang para tokoh dalam melebarkan sayap ide, konsep, teori yang mereka usung sebagai pembaharuan peradaban atas analisis yang mereka lakukan, baik bersifat legitimasi maupun kritik-solusi sistem ketatanegaraan suatu pemerintahan, yang tentunya juga masyarakat-sosial yang hidup pada jamannya.
Ibnu Taimiyah, salah satu tokoh yang tidak asing bagi kita atas kegigihannya dalam memperjuangkan gagasan intelektual untuk merubah tatanan yang sudah lama mengakar dalam tatanan kerakyatan dan kenegaraan melalui konsep serta teori yang ia wujudkan dalam banyak karya tulisnya, tidak jarang akibat pergerakanya ia sering keluar masuk penjara sebab dinilai tidak sejalan bahkan menentang kebijakkan pemerintah pada masanya. Lebih lanjut akan diulas pada pembahasan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAAN
B.     Biografi dan Konsep Pemikira Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah, nama lengkapnya Taqi al-Din Abul Abbas ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn Taimiyah. Lahir pada 22 Januari 1262 M/661 H di Harran, dekat Damaskus,[3] Suria,[4] ia lahir lima tahun pasca Baghdad jatuh[5] ke tanggan bangsa Tatar yang berarti berakhirnya daulah Abbasiyyah.[6] Wafat pada tahun 728 H/1329 M bertepatan dengan kakuasaan daulah Mamalik yang menapai Mesir dan Syiria di bawah kepemimpinan al-Zhahir Rukhuddin Baybars (658-678H/1260-1277M) sampai al-Nashir Nashiruddin Muhammad (709-741H/1309-1340M.[7] Ia dibesarkan dalam lingkungan agamis penganut madzhab Hambali, Ayahnya bernama Abu al-Mahasin Abd al-Halim yang merupakan salah seorang terkemuka Madzhab Hambali. Demikian juga Kakeknya, Abu al-Barakat Abd al-Salam ibn Abdullah yang juga seorang ulama ahli Fiqh Hambali, ahli Tafsir dan Hadis.
Karir intelektualnya dimulai dari kediamannya yaitu pada ayahnya sendiri, pendidikannya diperhatian benar-benar oleh ayahnya secara intensif. Kemudian ia melanjutkan untuk mengembangkan serta memperdalam ilmunya dengan berguru kepada ulama Damaskus seperti Ali Zain al-Din al Muqaddari, Najm al-Din bin Asair, Zainab binti Maki dal lain sebagainya.[8] Dari gemblengan beberapa gurunya, ia mendapatkan reputasi sebagai seorang yang mempunyai wawasan yang luas, pendukung kebebasan berfikir, tajam perasaan, teguh pendirian dan pemberani serta menguasai berbagai cabang keilmuan agama. Setelah pasca sepeninggal ayahnya, ia mulai memfokuskan dirinya mempelajari fiqh msdzhab Hambali, dan juga memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadis serta teologi, saat itu ia sudah mencapai usia dua puluh tahun.[9] Sebab kegigihannya serta ketekunannya memperdalam cabang-cabang keilmuan tersebut, jerih payahnya memuai hasil dengan adanya predikat ahli yang disandangnya pada cabang-cabang keilmuan tersebut, khususnya dibidang fiqh madzhab Hambali. Dilihat gerakanya, Nasihun dan Munawir sepakat bahwa gerakann ibnu Taimiyah yang cenderung memaksakan untuk merubah tradisi yang sudah mengakar di masyarakat, dengan jargon kembali ke tuntunan nash Al-Qur’an dan Assunnah, Ibnu taimiyah terjutstis sebagai aliran fundamentalis (penuntutan harus kembali ke ajaran islam yang murni dengan bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah),[10] pandangan –Nasihun dan Munawir- tersebut sama dengan Muhammad ‘Amarah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh dari golongan Salafi, ia merupakan satu dari tiga ulama yang termasuk murid termasyhur dan berhasil dari Madzhab Hambali di masa daulah Mamalik, ia bertitel Maula al-Kubra dari kalangan Salafi.[11]
Nasihun nemambahkan, Ibnu Taimiyah merupakan sosok pemilik pribadi paling terkemuka abad ke-17 serta teolog muslim paling ternama abad ke-13 dan 14, seperti dikutip oleh Nasihun dari buku Encyclopedia of religion and Ethics karya Goldziher.[12] Pemikiranya tidak hanya sampai dilampiran kertas saja, ia juga sering terlibat dalam perdebatan intelektual, polemik dan konflik, yang dilatar belakangi perbedaan pendapat antara dirinya dengan ulama sekitarnya, akibat tindakan tersebut ia sering dilaporkan bahkan dipenjarakan. Selain itu, Ibnu Taimiyah sering kali menentang keras terhadap segala tindakan yang dinilai sebagai bentuk Khurofat, bid’ah ataupun segala bentuk inovasi dalam agama. Perlawanan Ibnu Taimiyah terhadap keyakinan dan praktik masyarakat luas pada masa itu, dilatar belakangi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Menurut Pandangan Ibnu Taimiyah, tradisi yang telah beredar luas tersebut sudah tidak sejalan lagi dengan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan amaliyah para salafu al-shalih, sehingga ia menuntut kepada masyarakat luas agar mereka segera kembali kepada Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan amaliyah para salafu al-shalih.
Akibat dari gerakan atas dasar pemikiran Ibnu Taimiyah, ia mengalami derita yang panjang dengan sering dimusuhinya oleh para Ulama, hakim terutama pemerintah, baik di Damaskus maupun di Kairo, tercatat selama lebih dari empat puluh tahun ia mengalaminya.[13]
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dimana islam sedang mengalamai situasi bahaya dalam stabilitas ajaran keagamaan serta pemerintahan islam, yaitu puncak disintegrasi politik, dislokasi, dan dekadensi akhlak.[14] Seperti diketahui, kondisi tersebut merupakan imbas dari kekuasaan pemerintahan sudah lama tidak lagi berada di tangan khalifah pusat yang bertahta di Baghdad, melainkan dipegang oleh penguawa-penguasa wilayah masing-masing, baik gelar sebagai sultan, raja ataupun amir. Tidak hanya berhenti disitu, kekacauan tersebut juga di sebabkan oleh penyempitan kekuasaan atau bahkan hilangnya kekuasaan atas ekspansi kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Tatar dari arah timur dan oleh Krusades dari arah barat untuk merebut kekuasaan dari para pemimpin negara, wilayah ataupun daerah bagian dari daulah islamiyah.[15] Peristiwa-peristiwa tersebut menandakan kekuasaan Bani Abbasiyah telah berakhir, hal ini membuat hilangnya konstitusi yang resmi dalam suatu pemerintahan dan menciptakan peraturan daerah (otonomi) –pada awalnya- menjadi konstitusi mandiri dengan kehendak masing-maring wilayah, seperti gelar khalifah[16] yang dapat digunakan oleh siap saja, baik yang dahulu bergelar sultan ataupun amir.
Peristiwa kekacauan tersebut nampak tidak dapat memepengaruhi penguasa baru daulah Mamalik, meskipun para raja, sultan atau hanya amir yang dulu pernah masuk pada kekuasaan Abbasiyyah, sudah tidak lagi menghiraukan pengakuan pemerintah pusat (Baghdad) sedangkan faktnya memang pemerintah pusat tersebut sudah hilang, sebaliknya daulah Mamalik di Mesir malah masih merasa perlu mendapatkan legitimasi serta keabsahan keagamaan bagi kekuasaanya, repon tersebut diwujudkan dengan pengangkatan pangeran Abu al-Qasim Ahmad ibn Amir al-Muminin -paman khalifah Musta’shim yang dibunuh oleh bangsa tatar- dengan pengangkatan gelar baru sebagai Al-Munstashir bi-Allah pada tahun 659H.[17]
Kondisi masyarakat yang hidup pada masa Ibnu Taimiyah, terutama di wilayah kekuasaan daulah Mamalik bahkan daerah lainnya, kependudukan mereka sangat heterogen, baik dalam kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Hal ini disebabkan akibat sering terjadi peperangan, sehingga menimbulkan mobilisasi besar oleh penduduk dari berbagai bangsa. Munawir mengambarkan bahwa dalam satu wilayah terdapat banyak macam bangsa; Arab asal irak, Syuria, Mesir, Turki, serta bangsa Tatar (Mongol) yang pernah tertangkap menjadi tawanan hingga akhirnya ikut menetap di Armenia dan sekitarnya.[18] Perbedaan tersebut tidak hanya pada kebangsaan mereka, melainkan juga di adat istiadat, tradisi, prilaku dan alam pikiran. Menurut hemat penulis, keberagaman dari berbagai aspek tersebut tidaklah menjadi suatu kehawatiran dalam kesetabilan keamanan nasional suatu negara, sebaliknya hal itu akan menjadikan kekuatan tersendiri bagi negara tersebut, dengan ketentuan landasan kepedulian, kesadaran dan misi visi yang sama dalam membangun, seperti yang terjadi di indonesia, akan tetapi hal ini berbeda dengan situasi pada masa Ibnu Taimiyah ketambahan kebangsaan mereka dominan Arab, sedangankan bangsa arab terkenal akan watak bawaan yang keras, gigih, sulit di atur, menjadikan adanya sudut pandang lain yang harus dipake sebagai analisis yang terjadi. Dari situasi tersebut menimbulkan kesulitan dalam menciptakan kesetabilan politik, keserasian sosial dan pemupukkan akhlak moral.
Selain adanya perbedaan dari berbagai aspek, perbedaan juga terjadi dalam lingkup agama yaitu perbedaan aliran Madzhab yang banyak ragamnya, terutama madzhab Hanabilah, Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyyah. Tentu pada umumnya suatu madzhab dapat dipastikan memepengaruhi cara berfikir, bertindak bahkan menyikapai persolan bagi pengikut madzhab tersebut, tidak terkecuali Ibnu Taimiyah seorang pengikut Madzhab Hanabilah yang produk pemikiraya bernuansa fundamental. Begitu juga pada Ibnu Taimiyah, ia kerap kali keluar masuk penjara sebab pengaduan bahkan tuntutan terhadap dirinya dari para ulama lintas madzhab dikarenakan ia sering memberikan fatwa yang menimbulkan kontroversi, selain itu  sebab kritiknya terhadap tradisi ritual yang di lakukan penggikut-pengikut madzhab lain yang kebiasaan memuja para nabi dan para wali, yang dinilai sebagai perbuatan khurofat. Meskipun pada masa raja Zhahir selaku pendiri daulah Mamalik, Ibnu Taimiyah memperolah kusri kekuasaan berupa Hakim agung madzhab Hambali di Kairo yang diberikan oleh raja Zhahir, tampaknya kedudukan itu tidak mampu meredam dirinya bahkah pengikut madzhab Hambali lainya agar tidak membuat masalah ataupun hal yang mengakibatkan kontrovesi di kalangan lintas madzhab; sejauh bukti yang ada, dibenarkan bahwa pengikut madzhab Hambali nampaknya gemar memimbulkan masalah dengan anggapan-anggapan mereka bahwa hanya madzhab merekalah yang mewakili akidah islam yang benar;[19] tidak lama setelah Ibnu Taimiyah kembali ke daerah kelahirannya (Damaskus) serta penyandangan predikat baru sebagai mahaguru mengandikan kedudukan ayahnya, ia didakwa sebagai atheis sebab fatwanya bertentangan dengan madzhab lain terutama madzhab Syafi’iyah, akibat dari kejadian itu Ibnu Taimiyah dibebastugaskan dari jabatanya lalu dibawa kepengadilan di majelis hakim Syafi’iyah Kairo, keputusan dari pengadilan itu menetapkan hukuman penjara baginya. Deritanya usai setelah simpatisannya –Raja Nasir- kembali bertahta ketiga kalinya, Ibnu Taimiyah pun diizinkan kembali mengajar fiqh Hambali pada lembaga pendidikan yang didirikanya di Damaskus. Rupanya dari berbagai pengalaman pahitnya sering keluar masuk jeruji besi tidak membuatnya jera ataupun takut bahkan malah semakin gigih pergerakan yang dilakukanya. Tidak lama, Ibnu Taimiyah kembali menimbulkan gejolak amarah masyarakat terutama para ahli hukum islam, dengan mengeluarkan fatwa tentang Thalaq. Dari kejadian tersebut akhirnya Ibnu Taimiyah harus menerima konsekuensi yang telah diperbuatnya di jeruji besi selama lima bulan, sebab fatwa itu Raja Nasirpun tidak dapat melindunginya lagi. Akan tetapi pengalamannya terhadap jeruji besi, tidaklah menjadikannya bosan. Selang beberapa tahun kemudian Ibnu Taimiyah kembali mendekap di jeruji besi lantaran pemikirannya menganalisis secara tajam terhadap tradisi ziarah kubur ke makam-makan para nabi dan waliyullah. Meskipun Ibnu Taimiyah sering keluar masuk jeruji besi, dirinya masih dapat meneruskan kegiatan ilmiahnya dalam masa tahanannya dengan menulis berbagai buku atau makalah, akan tetapi deritanya lebih pedih yang dirasakanya ketika Ibnu Taimiyah sudah tidak lagi di fasilitasi kerta dan tinta saat masa penahanannya di Damaskus, kondisi tersebut terus terjadi hingga menjelang akhir hayatnya. Ibnu Taimiyah tutup usia pada tahun 728H/1329M sekir umur 66 tahun.[20]
Sebagai seorang intelektual yang berfikir bebas serta pemikir fundamentalis, Ibnu Taimiyah terbilang sebagai cendekiawan yang produktif, dibuktikan dengan profesinya sebagai penulis sejak usia dua puluh tahun,[21] tulisan-tulisanya kebanyakan berisikan kritik terhadap pendapat, paham bahkan tratisi yang dinilainya sudah tidak sejalan bahkan telah bertentangan tentang ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Kecakapanya dalam dunia tulis menulis dibuktikannya dengan hasil karyanya yang mencapaik 500 jilid terbagi dalam berbagai cabang keilmuan seperti fiqh, politik, teologi, tafsir, ushul fiqh dan sastra.[22] Diantara karya-karyanya al-Aqidah al-Wasathiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, al-Radd ala al-Manthiqiyyin, Muqaddimah fi ushul al-Tafsir dan lain-lain.
Sebagai pribadi yang gigih serta kukuh dalam pendirian, Ibnu Taimiyah melakukan sebagian besar gerakaknya untuk memurnikan paham tauhid yang dirasa sudah melenceng dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, juga membuka cakrawala pemikiran yang baru sebuah pemahaman bahwa pintu ijtihat masih terbuka lebar untuk mengekspos hazanah keilmuan dunia islam yang pada masa itu pintu-pintu ijtihat telah dinyatakan sudah tertutup dan anggapan bahwa semua problematikan keagamaan sudah terjawab oleh karya para ulama-ulama terdahulu (Madzhab) dan berusaha menghidupkan pola pikir para salaf di masyarakat-sosial pada masa itu. Cara pandang Ibnu Taimiyah tersebut, tertuang jelas dalam karyanya yang berjudul Majmu’ al-Fatwa.[23]
Seperti yang diketahui, corak pemikiran seseorang dapat dipengaruhi oleh sosio-historis yang dialaminya, bahkan apat menjadi faktor menentu dalam kerangka berfikir seseorang tersebut, baik nantinya menjadi gugusan konsep, teori maupun ajaran. Tidak terkecuali seperti yang terjadi pada Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah hidup dalam kondisi sosial budaya masyarakat islam yang telah mengalama puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi moral ataupun akhlak. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, keadaan tersebut terjadi lantaran pusat pemerintahan negara islam yang saat itu berada di Baghdad telah jatuh ke tangan bangsa lain dan hanya tersisa satu pemerintahan islam dari sekian banyak pemerintahan islam yang telah tumbang yaitu daulah Mamalik, juga hanya satu-satunya kekuatan yang tersisa di dunia islam.
Polemik kekuasan terus terjadi seiring pertumbuhan Ibnu taimiyah, sehingga kondisi tersebut semakin kuat menjadikan landasar berpikir Ibnu Taimiyah membuat konsep paradigma baru untuk merubah tatanan yang sudah lama melekat di masyarat, sebab pengalaman merupakan suatu unsur penentu dan juga dasar dalam berivofasi, hal ini juga terjadi pada Ibnu Taimiyah. Masih sama pada pembahasan sebelumnya, Ibnu Taimiyah tidak dapat lepas dari pengaruh sosio-history dirinya, terutama pengalamannya dalam memahami madzhab Hanabilah yangmana madzhab tersebut merupakan madzhab pemikiran fundamental sehingga pemikiran tersebut juga mempengaruhi Ibnu Taimiyah, pengaruh tersebut semakin kuat tatkala sosial pada masa itu lebih banyak bertolak belaka dengan pemahan keagamaan yang diikutinya, sehingga menjadikannya semakin bersemangat untuk membumikan madzhab yang di ikutinya, karena dalam pemahamnya bahwa tradisi yang telah berkembang berjalan secara mapan di masyarakat luas merupakan tindakan yang salah dan jauh dari ajaran Al-Qur’an dan hadis, maka dari itu Ibnu Taimiyah berusaha mengembalikan serta memurnikan ajaran agam islam seperti pada masa salaf yang kental dan kuat diatas rel ajaran Al-Qur’an dan Hadis, tindakan tersebut diwujudkannya dengan karya tulis sebagai buku panduannya dan politik pergerakan sebagai usaha nyatanya.
Hemat penulis, suatu paradigma pemikiran akan mendapatkan ruang untuk dikaji lalu dilaksanakan dalam kehidupan nyata ketika paradigma (teori, konsep, ide) disukseskan melalui jalus politik, demikian juga Ibnu Taimiyah, menggunakan kekuatan serta pemahanan politiknya sebagai alat untuk memudahkannya menyukseskan paradigma pemikiarn dalam teori, konsep serta ide yang dibangunnya agar dapat dijalankan oleh masyarakat secara luas, terutama untuk melawan pemikian dan pemahaman yang dianggap Ibnu Taimiyah telas lepas dari rel ajaran Al-Qur’an dan assunnah. Bentuk dari semua itu diwujudkan Ibnu Taimiyah melalu pergerakan dna terutama dalam bentuk tulisan, adapun salah satu yang membahas secara spesifik pemikirnya tertuang dalam karyanya yang berjudul ­al-Siyasah al-Syar’iyyah fi ishlah al-Ra’yi wa al-Raiyah. Strategi ibnu Taimiyah tersebut dilancarkanya untuk merubah bahkan menghilangkan semua kerusakan tatanan sosial yang telah lama mengkristal di masyarakat di semua linekehidupan, baik budaya, adat, kultur, corak pemikiran, ibadah, muamalah, kepemimpinan, kenegaraan maupun politik.
Konsep Ibnu Taimiyah tentang negara, berlandaskan rasionalitas sebuah faktor natural manusia akan kebutuhan secara universal tentang kerjasama, bergabung dan kemakmuran di setiap kepemimpinan yang berkuasa dengan dasar tanpa melihat fakor keimanan, dia beragama ap? Atau beragama atau tidak?. Pada dasarnya manusia berwatak madany untuk mengelola alam dengan cara mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mengatasi masalah dalam bingkai kepemimpinan.[24] Maka dari itu lahirlah institusi negara dalam aturan adanya yang diatur dan yang mengatur.
Berbeda orang dapat dipastikan akan berbeda sudut pandang serta analisanya, Ibnu Taimiyah dalam konsep ketatanegaraannya lebih condong menekankan aspek subtansial dari pada bentuk suatu negara dan mekanisme pembentukakan secra teknis tentang negara. Hal ini terlihat dalam tiga aspek dasar subtansial konsep kenegaraan,[25] pertama. Karya yang di dalamnya membahas secara eksplisit konsep tersebut yaitu al-Siyasah al-Syar’iyyah (politik bedasarkan Syariah), kedua. Penegasannya dalam pendahuluan buku tersebut, bahwa politik yang dibahas dan sah adalah politik ketuhanan serta politik kenabian, berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As sunnah, ketiga. Terbukti bahwa dasar konsep tersebut adalah QS al-Nisa 58-59, kaya akan unsur dari konsep kenegaraan yang diusungnya. Kaitan antara pemimpin dan yang dipimpin serta hukum yang harus titerapkan serta hak kewajiban antara kedua belah pihak.
Nasihun Amin berpendapat bahwa konsep kenegaraan Ibnu Taimiyah merupaakan kesamaan sebuah pemahaman kedaulatan hukum yang dimaksud hukum Syari’ah, Nasihun juga memberikan penjelasan dari asalan tersebut,
1.      Syari’ah merupakan sumber hukum yang tinggi. Dalam penjelasan bahwa semua tindakan yang dilakukan manusi harus berasaskan Syari’ah atau minimal dijiwali oleh syari’ah, apabila dalam pelaksanaan tersebut timbul konflik maka penyelesaianya harus merujuk pada ketentuan syari’ah. Begitu juga keitannya dengan ketaatan mematuhi aturan yang ada selama pemimpin tersebut konsisten dan dunduk terhadap Syari’ah.
2.      Penerapan hukum ditegakkan tanpa pilih pandang. Berlakunya hukum yang menjadi aturan dari konsep Ibnu Taimiyah adalah hukum yang ditegakkan secara menyeluruh tanpa terkecuali, seperti yang dikuti oleh Nasihun dari karya Ibnu Taimiyah al-siyasah al-Syar’iyah, jika tindak krimilah telah terbuki terjadi, maka tidak ada seorangpun atau apapun yang dapat membatalkan putusan hukumatas tindakkan itu.
3.      Teknis dalam pelaksanaan huku, Ibnu Taimiyah menawakan mekanismenya. Untuk menindak pihak terdakwa telah melakukan pelanggaran harus melalui pembuktian perkara melalui data-data bukti yang memadai sebagai penguat landasar memberikan putusan pengedilan.
4.      Menetapkan hukum sebagai usaha untuk memelihara manusia atas jiwa dan fisiknya dari ancaman yang datang, pemeliharaan tersebut meliputi pembeliharaan dari penganiayaan atas anggota tubuh dan pemeliharaan atas penghinaan terhadap kehormatan pribadinya serta juga dari tutudah fitnah atas dirinya.
Landasar konsep politik ketatanegaraan yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah, merupakan ayat Al-Qur’an surat al-Nisa ayat ke 58, yangmana ayat tersebut memuat makna utama tentang pelaksanaan kepemimpinan haruslah amanah dan bertindak adil, sebab dalam pandangan Ibnu Taimiyah seorang Raja dianggat oleh rakyat, sedangkan hukum dalam kedudukanya sebagai wakil rakyat, maka dari itu suatu pribadi yang amanah perlu ada dalam diri seorang pemimpin, sedangkan kedudukan pemimpin (raja) dalam kacamata agama serupakan bayang-bayang Allah di bumi selaku penegak hukum yang adil.[26] Dapat dipahami, bahwa dalam rangka mensukseskan tatanan kenegaraan yang syarat dengan hukum Syari’ah islam maka seorang pemimpin harus dapat melakukan tangungjawabnya secara maksimal disamping dirinya diperbolehkan memperoleh haknya, sesuai dengan konstitusi yang telah di tetapkan, serta adanya rasa kepedulian serta tangungjawab atas rakyatnya bahwa pemimpin tersebut harus dapat menjada serta mengondisikan rakyatnya agar tetap sahaja.
Kaitanya dengan amanah, Ibnu Taimiyah memahami dalam dau arti, politik dan ekonomi. Amanah dalam konteks politik, merupakan wewenang yang dimiliki pemimpin untuk dapat mengelola negara agar mencapai tujuan yang telah ditetepkan secra bersama dalam kesepkatan serta mengelola kepentingan-kepentingan rakyat, agar nantinya tercipa rasa aman, damai dan sejaterah dalam benak rakyatnya. Sedangkan amanah dalam konteks ekonomi, sistem pengelolaan harta kekayaan negara dan pelindungan harta kekayaan milik warga negara, dalam arti bahwa semua kekayaan negara harus dijaga dan dikelola harus secara profesional serta sebaik mungkin, dalam hal itu kedudukan rakyat sebagai salah satu sumber income negara yang diperoleh melalui aturan-aturan dibuat oleh pemerintah dah wajib dita’ati serta di laksanakan. Sedangkan arti selanjutnya, bahwa pemimpin wajib bertangungjawab atas keselamatan harta tersebut serta mengola secara baik, juga menjamin keamanan harta tersebut tanpa adanya unsur korupsi ataupun merasa punya hak milik atas harta tersebut. Mengingat semua tugas yang diemban oleh pemimpin sangat banyak, maka akan lebih teratur jika terdapat dewan pembantu dalam kinerja pemimpin, dalam hal ini kecakapan serta integritas orang tersebut juga harus di perhatikan betul.
Berkaitan dengan keadailan, Ibnu Taimiyah menempatkat unsur tersebut sebagai unsur fundamental esensial dalam tatanan kenegaraan untuk mewujudkan cita-cita negara yang mulia dalam kesejateraan, keharmonisan, keamanan dan kemajuan serta terwujudnya kesinambungan kehidupan bernegara. Menurut Ibnu Taimiyah, keadilah merupakan penentu kesetabilan nasional dalam segara line kehidupan, sebab dengan keadailan semua akan tertata apik bahkan suatu aturan akan tegak tanpa pandang bulu seingga memunculkan suatu gugusan masyarakat yang patuh atas hukum dan dengan rasa sadar untuk melaksanakan. Menurut Ibnu Taimiyah, mengingat keadilan sangat urgen, maka tegaknya keadailah merupakan hal yang wajib dilakukan tidak ada kata tawar menawar, walaupun seumpama keadailan hanya akan tercapai di kepemimpinan seorang yang kafir, dapat dipahami bahwa tujuan semua kekondusifan negara hanya dapat di tempuh melalui tegaknya keadilan dalam segala hal, bukan melihat siapa sipenegak keadilah tersebut. Dalam pemahaman bahwa jika benar adanya suatu rakyat muslim di pimpin oleh seorang kafir (non-Muslim) sedagankan pemimpin tersebut menerapkan aturan hukum syari’ah islam walaupun secara pribadi pemimpin tersebut tidak menjalankan aturan syari’ah (konteks Ubudiah rukun iman ataupun rukun islam) dan tidak adanya unsur perubahan ke aturan agama yang dia yakini, maka selama itu wajib hukumnya bagi rakyat tetap mematuhi aturan yang ada. Dari itulah semua konsep yang diusung Ibnu Taimiyah, bukan teknis pemilihan pemimpin yang kaya akan syarat, bukan juga hak milik kewajiban harta, melainkan unsur amanah dan keadilanlah yang menjadi standarisasi terwujudnya kesejateraan, keamanan, keharmonisan, kebahagiaan, keselamatan yang menyeluruh sebagai konsep serta tujuan yang diingginkan oleh Ibnu Taimiyah. Tatanan sosial negara dalam segala aspek line kehidupan tanpa meninggakan Al-Qur’an, as sunnah dan amaliyah salaf al shalih.
   


[1] H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-PRESS, 1990), h. 38-39 dan 42.
[2] Ibid, h. 41-42
[3] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h.40
[4] H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h.79.
[5] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Loc. Cit.
[6] H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, loc. Cit.
[7] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Loc. Cit.
[8] Ibid, H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, h. 79.
[9] H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h. 79.
[10] Ibid, h. 80 dan Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. Cit. h. 41.
[11] Muhammad ‘Amirah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, (Kairo: Darusy Syuruq, 2011), h. 140.
[12] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. Cit. h. 41.
[13] Ibid.
[14] H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h.80.
[15] Ibid
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid. h.81.
[19] Ibid.
[20] Ibid, h. 82.
[21] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, loc. Cit.
[22] Ibid.
[23] Ibid, h. 41.
[24] Ibid h. 44.
[25] Ibid.
[26] Muhammad ‘Amirah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, op. Cit. h.156-157.