BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran Politik Sunni Masa Pertengahan; IBNU TAIMIYAH: Keadilah
Sebagai Prinsip Kesejateraan Umat dam Berbangsa dan Bernegara.
A.
Latar
Belakang
Polemik kekuasaan kerajaan islam merupakan bukti sejarah yang tidak
dapat diabaikan, kehadiranya merupakan konsekuensi adanya perhelatan politik
kekuasaan yang terjadi disetiap masa pemerintahan kerajaan-kerajaan adidaya,
dengan segala kekuatan serta strategi dikerahkan demi melanggengkan kekuasaan
yang dipertahankan. Perlawanan, peperangan, ekspansi merupakan tindakan untuk
mendapatkan kekuasaan lebih dengan harga yang tidak murah untuk membayarnya,
pertumpahan darah menjadi ajang adu kekuatan. Polemik tersebut terjadi disegala
line kekerajaan baik sengketa intra kerajaan maupun ekstra antar kerajaan.
Ketidak stabilan tersebut menjadikan faktor perubahan yang terjadi
pada banyak sekor sosial-masyarakat, tidak terkecuali di ranah intelektual.
Penulis memahami bahwa tragedi tersebut timbul atas tanggungjawab polemik
kekuasaan yang berkembang, sehingga ranah intelektual secara otomatis ikut
menjadi korbar ketidak stabilan itu. Lebih jauh, penggaruh perhelan politik
menjadikan ranah intelektual sebagai ajang perdebatan atas dasar legitimasi
subjektif serta legalitas suatu aturan, jabatan kekuasan bahkah tidak jarang
sebagai uji coba justifikasi bersalah, haram, kafir, musyrik, bid’ah terhadap
kelompok lain yang dianggap sebagai benteng penghalang untuk mensukseskan misi
kekuasaan dalam kedok kebijakkan birokrasi parlemen kekerajaan.
Dunia intelektual mengalami berbagai perubahan peranannya seiring
perkemabangan situasi dan kondisi yang melingkupinya, seperti yang terjadi
disetiap kepemimpinan khalifah-khalifah
pada masanya. Daulah bani Umayah merupakan salah satu contoh perubahan yang
terjadi terhadap peranan dunia intelektual, pada awal-awal kekuasaan bani
Umayyah dunia intelektual digunakan sebagai unsur dasar kelahiran berbagai
konsep, aturan dan kebijaksanaan yang meliputi berbagai dewan-dewan
pemerintahan dalam menjalankan fungsi dan tugas mereka.[1]
Menurut hemat penulis, secara kasapmata peranan intelektual di masa itu
terlihat bagus bahakan terbilang sebagai perkebangan peradaban yang maju dalam
pemerintahan dunia islam, akan tetapi hal tersebut tidaklah menjadi sudut
pandang satu, di sisi lain kekuatan intelektual digunakan tidak lain sebagai
alat pelanggengan kekuasaan dalam bingkai ketata negaraan dengan segala aturan
dan kebijakkannya. Samahalnya yang terjadi di masa kekuasaan bani Abbasiyyah,
yang mana dunia intelektual mengalami pasang surut peranannya secara objektif
sebagai ladang keilmuan penunjang peradaban manusia, berdasarkan kedudukannya
dunia intelektual lebih dominan sebagai suatu doktrin kekuasaan dengan cara
pengembangan keilmuan untuk mencetak cendikiawan muslim yang pro-pemerintahan
dengan segala legitimasi kebijakkan, terbukti pada masa kepemimpinan khalifah
ke tujuh berlanjut ke delapan dan bersambung di pengujung kekuasaan daulah
Abbasiyyah, dunia intelektual menjadi alat pengkritikan sekaligus solusi
terhadap kebijakan pemerintah. Seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua telur
pasti menetas sepeti yang diingginkan, hal itupun terjadi di masa bani Umaiyyah
dan Abbasiyyah yang mana tidak semua yang mereka perjuangkan, mereka tanam akan
mengahsilkan keuntungan bagi mereka, menjadikan dunia intelektual sebagai
pencetak cendekiawan muslim pro-pemerintahan berbeda terbalik, sebagian hasil
pencetakan cendekiawan muslim malahan sebagai pengendali pemerintahan melalui
dunia akademisi intelektual bahkan tidak jarang sebagai pengkritis kebijakan
pemerintahan. Meskipun demikian tentulah tidak etis jika hanya melihat dari
sisi kekurangnya saja, sejarah mencatat bahwa memang adanya kemajuan yang
terjadi di kerajaan-kerajaan islam dalam intelektual.[2]
Intelektual seperti yang diketahui merupakan suatu gugusan berbagai
keilmuan, pemikiran, serta ajaran, menjadikan sebagai objek empuk sebagai
mediator kelancaran suatu misi, terutama ranah politisi kekuasaan. Oleh sebab
itu bahan pembahasaan intelektual ini, tampak cukup dijadikan objek kajian
analisis politik yang telah terjadi pada setiap masa pemerintahan daulah-daulah
islamiyah secara objektif untuk mendapatkan suatu pernyataan serta tendensi
peran intelektual pada masing-masing masa terhadap peradaban yang ada di masa
lampau. Serta sebagai alat ukur penilaian para cendekiawan dalam peran
akademisinya ikut mewarnai dinamika kekuasaan disetiap masanya.
Seperti diketahui, dinamika politik merupakan ranah yang
bertanggungjawab atas perubahan yang terjadi disetiap line kehidupan, tidak
terkecuali dimasa lampau dimaksudkan masa daulah islamiyah. Kali ini
intelektual menjadi diskursus pembahasan yang mencakup ajaran, pemikiran serta sejarah
peradaban dalam otoritas tertentu serta pengaruh dan sepak terjang para tokoh
dalam melebarkan sayap ide, konsep, teori yang mereka usung sebagai pembaharuan
peradaban atas analisis yang mereka lakukan, baik bersifat legitimasi maupun
kritik-solusi sistem ketatanegaraan suatu pemerintahan, yang tentunya juga
masyarakat-sosial yang hidup pada jamannya.
Ibnu Taimiyah, salah satu tokoh yang tidak asing bagi kita atas
kegigihannya dalam memperjuangkan gagasan intelektual untuk merubah tatanan
yang sudah lama mengakar dalam tatanan kerakyatan dan kenegaraan melalui konsep
serta teori yang ia wujudkan dalam banyak karya tulisnya, tidak jarang akibat
pergerakanya ia sering keluar masuk penjara sebab dinilai tidak sejalan bahkan
menentang kebijakkan pemerintah pada masanya. Lebih lanjut akan diulas pada
pembahasan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAAN
B.
Biografi
dan Konsep Pemikira Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah, nama lengkapnya Taqi al-Din Abul Abbas ibn Abd
al-Halim ibn Abd al-Salam ibn Taimiyah. Lahir pada 22 Januari 1262 M/661 H di
Harran, dekat Damaskus,[3]
Suria,[4] ia
lahir lima tahun pasca Baghdad jatuh[5] ke
tanggan bangsa Tatar yang berarti berakhirnya daulah Abbasiyyah.[6]
Wafat pada tahun 728 H/1329 M bertepatan dengan kakuasaan daulah Mamalik yang
menapai Mesir dan Syiria di bawah kepemimpinan al-Zhahir Rukhuddin Baybars
(658-678H/1260-1277M) sampai al-Nashir Nashiruddin Muhammad
(709-741H/1309-1340M.[7] Ia
dibesarkan dalam lingkungan agamis penganut madzhab Hambali, Ayahnya bernama
Abu al-Mahasin Abd al-Halim yang merupakan salah seorang terkemuka Madzhab
Hambali. Demikian juga Kakeknya, Abu al-Barakat Abd al-Salam ibn Abdullah yang
juga seorang ulama ahli Fiqh Hambali, ahli Tafsir dan Hadis.
Karir intelektualnya dimulai dari kediamannya yaitu pada ayahnya
sendiri, pendidikannya diperhatian benar-benar oleh ayahnya secara intensif.
Kemudian ia melanjutkan untuk mengembangkan serta memperdalam ilmunya dengan
berguru kepada ulama Damaskus seperti Ali Zain al-Din al Muqaddari, Najm al-Din
bin Asair, Zainab binti Maki dal lain sebagainya.[8]
Dari gemblengan beberapa gurunya, ia mendapatkan reputasi sebagai seorang yang
mempunyai wawasan yang luas, pendukung kebebasan berfikir, tajam perasaan,
teguh pendirian dan pemberani serta menguasai berbagai cabang keilmuan agama.
Setelah pasca sepeninggal ayahnya, ia mulai memfokuskan dirinya mempelajari
fiqh msdzhab Hambali, dan juga memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadis serta
teologi, saat itu ia sudah mencapai usia dua puluh tahun.[9]
Sebab kegigihannya serta ketekunannya memperdalam cabang-cabang keilmuan
tersebut, jerih payahnya memuai hasil dengan adanya predikat ahli yang
disandangnya pada cabang-cabang keilmuan tersebut, khususnya dibidang fiqh
madzhab Hambali. Dilihat gerakanya, Nasihun dan Munawir sepakat bahwa gerakann
ibnu Taimiyah yang cenderung memaksakan untuk merubah tradisi yang sudah
mengakar di masyarakat, dengan jargon kembali ke tuntunan nash Al-Qur’an dan
Assunnah, Ibnu taimiyah terjutstis sebagai aliran fundamentalis (penuntutan
harus kembali ke ajaran islam yang murni dengan bersumber dari Al-Qur’an dan
as-Sunnah),[10]
pandangan –Nasihun dan Munawir- tersebut sama dengan Muhammad ‘Amarah, Ibnu
Taimiyah merupakan tokoh dari golongan Salafi, ia merupakan satu dari tiga
ulama yang termasuk murid termasyhur dan berhasil dari Madzhab Hambali di masa
daulah Mamalik, ia bertitel Maula al-Kubra dari kalangan Salafi.[11]
Nasihun nemambahkan, Ibnu Taimiyah merupakan sosok pemilik pribadi
paling terkemuka abad ke-17 serta teolog muslim paling ternama abad ke-13 dan
14, seperti dikutip oleh Nasihun dari buku Encyclopedia of religion and
Ethics karya Goldziher.[12] Pemikiranya
tidak hanya sampai dilampiran kertas saja, ia juga sering terlibat dalam
perdebatan intelektual, polemik dan konflik, yang dilatar belakangi perbedaan
pendapat antara dirinya dengan ulama sekitarnya, akibat tindakan tersebut ia
sering dilaporkan bahkan dipenjarakan. Selain itu, Ibnu Taimiyah sering kali
menentang keras terhadap segala tindakan yang dinilai sebagai bentuk Khurofat,
bid’ah ataupun segala bentuk inovasi dalam agama. Perlawanan Ibnu Taimiyah
terhadap keyakinan dan praktik masyarakat luas pada masa itu, dilatar belakangi
oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Menurut Pandangan Ibnu Taimiyah, tradisi yang
telah beredar luas tersebut sudah tidak sejalan lagi dengan ajaran yang
terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan amaliyah para salafu al-shalih, sehingga
ia menuntut kepada masyarakat luas agar mereka segera kembali kepada Al-Qur’an,
Sunnah Rasul dan amaliyah para salafu al-shalih.
Akibat dari gerakan atas dasar pemikiran Ibnu Taimiyah, ia
mengalami derita yang panjang dengan sering dimusuhinya oleh para Ulama, hakim
terutama pemerintah, baik di Damaskus maupun di Kairo, tercatat selama lebih
dari empat puluh tahun ia mengalaminya.[13]
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dimana islam sedang mengalamai
situasi bahaya dalam stabilitas ajaran keagamaan serta pemerintahan islam,
yaitu puncak disintegrasi politik, dislokasi, dan dekadensi akhlak.[14]
Seperti diketahui, kondisi tersebut merupakan imbas dari kekuasaan pemerintahan
sudah lama tidak lagi berada di tangan khalifah pusat yang bertahta di Baghdad,
melainkan dipegang oleh penguawa-penguasa wilayah masing-masing, baik gelar
sebagai sultan, raja ataupun amir. Tidak hanya berhenti disitu, kekacauan
tersebut juga di sebabkan oleh penyempitan kekuasaan atau bahkan hilangnya
kekuasaan atas ekspansi kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Tatar
dari arah timur dan oleh Krusades dari arah barat untuk merebut kekuasaan dari
para pemimpin negara, wilayah ataupun daerah bagian dari daulah islamiyah.[15]
Peristiwa-peristiwa tersebut menandakan kekuasaan Bani Abbasiyah telah
berakhir, hal ini membuat hilangnya konstitusi yang resmi dalam suatu pemerintahan
dan menciptakan peraturan daerah (otonomi) –pada awalnya- menjadi konstitusi
mandiri dengan kehendak masing-maring wilayah, seperti gelar khalifah[16]
yang dapat digunakan oleh siap saja, baik yang dahulu bergelar sultan ataupun
amir.
Peristiwa kekacauan tersebut nampak tidak dapat memepengaruhi
penguasa baru daulah Mamalik, meskipun para raja, sultan atau hanya amir yang
dulu pernah masuk pada kekuasaan Abbasiyyah, sudah tidak lagi menghiraukan
pengakuan pemerintah pusat (Baghdad) sedangkan faktnya memang pemerintah pusat
tersebut sudah hilang, sebaliknya daulah Mamalik di Mesir malah masih merasa
perlu mendapatkan legitimasi serta keabsahan keagamaan bagi kekuasaanya, repon
tersebut diwujudkan dengan pengangkatan pangeran Abu al-Qasim Ahmad ibn Amir al-Muminin
-paman khalifah Musta’shim yang dibunuh oleh bangsa tatar- dengan pengangkatan
gelar baru sebagai Al-Munstashir bi-Allah pada tahun 659H.[17]
Kondisi masyarakat yang hidup pada masa Ibnu Taimiyah, terutama di
wilayah kekuasaan daulah Mamalik bahkan daerah lainnya, kependudukan mereka
sangat heterogen, baik dalam kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya
dan hukum. Hal ini disebabkan akibat sering terjadi peperangan, sehingga
menimbulkan mobilisasi besar oleh penduduk dari berbagai bangsa. Munawir
mengambarkan bahwa dalam satu wilayah terdapat banyak macam bangsa; Arab asal
irak, Syuria, Mesir, Turki, serta bangsa Tatar (Mongol) yang pernah tertangkap
menjadi tawanan hingga akhirnya ikut menetap di Armenia dan sekitarnya.[18] Perbedaan
tersebut tidak hanya pada kebangsaan mereka, melainkan juga di adat istiadat,
tradisi, prilaku dan alam pikiran. Menurut hemat penulis, keberagaman dari
berbagai aspek tersebut tidaklah menjadi suatu kehawatiran dalam kesetabilan
keamanan nasional suatu negara, sebaliknya hal itu akan menjadikan kekuatan
tersendiri bagi negara tersebut, dengan ketentuan landasan kepedulian, kesadaran
dan misi visi yang sama dalam membangun, seperti yang terjadi di indonesia,
akan tetapi hal ini berbeda dengan situasi pada masa Ibnu Taimiyah ketambahan
kebangsaan mereka dominan Arab, sedangankan bangsa arab terkenal akan watak
bawaan yang keras, gigih, sulit di atur, menjadikan adanya sudut pandang lain
yang harus dipake sebagai analisis yang terjadi. Dari situasi tersebut
menimbulkan kesulitan dalam menciptakan kesetabilan politik, keserasian sosial
dan pemupukkan akhlak moral.
Selain adanya perbedaan dari berbagai aspek, perbedaan juga terjadi
dalam lingkup agama yaitu perbedaan aliran Madzhab yang banyak ragamnya,
terutama madzhab Hanabilah, Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyyah. Tentu
pada umumnya suatu madzhab dapat dipastikan memepengaruhi cara berfikir,
bertindak bahkan menyikapai persolan bagi pengikut madzhab tersebut, tidak
terkecuali Ibnu Taimiyah seorang pengikut Madzhab Hanabilah yang produk
pemikiraya bernuansa fundamental. Begitu juga pada Ibnu Taimiyah, ia kerap kali
keluar masuk penjara sebab pengaduan bahkan tuntutan terhadap dirinya dari para
ulama lintas madzhab dikarenakan ia sering memberikan fatwa yang menimbulkan
kontroversi, selain itu sebab kritiknya
terhadap tradisi ritual yang di lakukan penggikut-pengikut madzhab lain yang kebiasaan
memuja para nabi dan para wali, yang dinilai sebagai perbuatan khurofat.
Meskipun pada masa raja Zhahir selaku pendiri daulah Mamalik, Ibnu Taimiyah
memperolah kusri kekuasaan berupa Hakim agung madzhab Hambali di Kairo yang diberikan
oleh raja Zhahir, tampaknya kedudukan itu tidak mampu meredam dirinya bahkah
pengikut madzhab Hambali lainya agar tidak membuat masalah ataupun hal yang mengakibatkan
kontrovesi di kalangan lintas madzhab; sejauh bukti yang ada, dibenarkan bahwa
pengikut madzhab Hambali nampaknya gemar memimbulkan masalah dengan
anggapan-anggapan mereka bahwa hanya madzhab merekalah yang mewakili akidah
islam yang benar;[19]
tidak lama setelah Ibnu Taimiyah kembali ke daerah kelahirannya (Damaskus)
serta penyandangan predikat baru sebagai mahaguru mengandikan kedudukan
ayahnya, ia didakwa sebagai atheis sebab fatwanya bertentangan dengan madzhab
lain terutama madzhab Syafi’iyah, akibat dari kejadian itu Ibnu Taimiyah
dibebastugaskan dari jabatanya lalu dibawa kepengadilan di majelis hakim Syafi’iyah
Kairo, keputusan dari pengadilan itu menetapkan hukuman penjara baginya.
Deritanya usai setelah simpatisannya –Raja Nasir- kembali bertahta ketiga
kalinya, Ibnu Taimiyah pun diizinkan kembali mengajar fiqh Hambali pada lembaga
pendidikan yang didirikanya di Damaskus. Rupanya dari berbagai pengalaman pahitnya
sering keluar masuk jeruji besi tidak membuatnya jera ataupun takut bahkan malah
semakin gigih pergerakan yang dilakukanya. Tidak lama, Ibnu Taimiyah kembali
menimbulkan gejolak amarah masyarakat terutama para ahli hukum islam, dengan
mengeluarkan fatwa tentang Thalaq. Dari kejadian tersebut akhirnya Ibnu
Taimiyah harus menerima konsekuensi yang telah diperbuatnya di jeruji besi
selama lima bulan, sebab fatwa itu Raja Nasirpun tidak dapat melindunginya
lagi. Akan tetapi pengalamannya terhadap jeruji besi, tidaklah menjadikannya
bosan. Selang beberapa tahun kemudian Ibnu Taimiyah kembali mendekap di jeruji
besi lantaran pemikirannya menganalisis secara tajam terhadap tradisi ziarah
kubur ke makam-makan para nabi dan waliyullah. Meskipun Ibnu Taimiyah sering
keluar masuk jeruji besi, dirinya masih dapat meneruskan kegiatan ilmiahnya dalam
masa tahanannya dengan menulis berbagai buku atau makalah, akan tetapi
deritanya lebih pedih yang dirasakanya ketika Ibnu Taimiyah sudah tidak lagi di
fasilitasi kerta dan tinta saat masa penahanannya di Damaskus, kondisi tersebut
terus terjadi hingga menjelang akhir hayatnya. Ibnu Taimiyah tutup usia pada
tahun 728H/1329M sekir umur 66 tahun.[20]
Sebagai seorang intelektual yang berfikir bebas serta pemikir
fundamentalis, Ibnu Taimiyah terbilang sebagai cendekiawan yang produktif,
dibuktikan dengan profesinya sebagai penulis sejak usia dua puluh tahun,[21]
tulisan-tulisanya kebanyakan berisikan kritik terhadap pendapat, paham bahkan
tratisi yang dinilainya sudah tidak sejalan bahkan telah bertentangan tentang
ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Kecakapanya dalam dunia tulis menulis dibuktikannya
dengan hasil karyanya yang mencapaik 500 jilid terbagi dalam berbagai cabang
keilmuan seperti fiqh, politik, teologi, tafsir, ushul fiqh dan sastra.[22]
Diantara karya-karyanya al-Aqidah al-Wasathiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah
fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, al-Radd ala al-Manthiqiyyin, Muqaddimah fi
ushul al-Tafsir dan lain-lain.
Sebagai pribadi yang gigih serta kukuh dalam pendirian, Ibnu
Taimiyah melakukan sebagian besar gerakaknya untuk memurnikan paham tauhid yang
dirasa sudah melenceng dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, juga membuka
cakrawala pemikiran yang baru sebuah pemahaman bahwa pintu ijtihat masih
terbuka lebar untuk mengekspos hazanah keilmuan dunia islam yang pada masa itu
pintu-pintu ijtihat telah dinyatakan sudah tertutup dan anggapan bahwa semua
problematikan keagamaan sudah terjawab oleh karya para ulama-ulama terdahulu
(Madzhab) dan berusaha menghidupkan pola pikir para salaf di masyarakat-sosial
pada masa itu. Cara pandang Ibnu Taimiyah tersebut, tertuang jelas dalam
karyanya yang berjudul Majmu’ al-Fatwa.[23]
Seperti yang diketahui, corak pemikiran seseorang dapat dipengaruhi
oleh sosio-historis yang dialaminya, bahkan apat menjadi faktor menentu dalam
kerangka berfikir seseorang tersebut, baik nantinya menjadi gugusan konsep,
teori maupun ajaran. Tidak terkecuali seperti yang terjadi pada Ibnu Taimiyah, Ibnu
Taimiyah hidup dalam kondisi sosial budaya masyarakat islam yang telah
mengalama puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi moral
ataupun akhlak. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, keadaan tersebut terjadi
lantaran pusat pemerintahan negara islam yang saat itu berada di Baghdad telah
jatuh ke tangan bangsa lain dan hanya tersisa satu pemerintahan islam dari
sekian banyak pemerintahan islam yang telah tumbang yaitu daulah Mamalik, juga
hanya satu-satunya kekuatan yang tersisa di dunia islam.
Polemik kekuasan terus terjadi seiring pertumbuhan Ibnu taimiyah,
sehingga kondisi tersebut semakin kuat menjadikan landasar berpikir Ibnu
Taimiyah membuat konsep paradigma baru untuk merubah tatanan yang sudah lama
melekat di masyarat, sebab pengalaman merupakan suatu unsur penentu dan juga
dasar dalam berivofasi, hal ini juga terjadi pada Ibnu Taimiyah. Masih sama
pada pembahasan sebelumnya, Ibnu Taimiyah tidak dapat lepas dari pengaruh
sosio-history dirinya, terutama pengalamannya dalam memahami madzhab Hanabilah
yangmana madzhab tersebut merupakan madzhab pemikiran fundamental sehingga
pemikiran tersebut juga mempengaruhi Ibnu Taimiyah, pengaruh tersebut semakin
kuat tatkala sosial pada masa itu lebih banyak bertolak belaka dengan pemahan
keagamaan yang diikutinya, sehingga menjadikannya semakin bersemangat untuk
membumikan madzhab yang di ikutinya, karena dalam pemahamnya bahwa tradisi yang
telah berkembang berjalan secara mapan di masyarakat luas merupakan tindakan
yang salah dan jauh dari ajaran Al-Qur’an dan hadis, maka dari itu Ibnu
Taimiyah berusaha mengembalikan serta memurnikan ajaran agam islam seperti pada
masa salaf yang kental dan kuat diatas rel ajaran Al-Qur’an dan Hadis, tindakan
tersebut diwujudkannya dengan karya tulis sebagai buku panduannya dan politik
pergerakan sebagai usaha nyatanya.
Hemat penulis, suatu paradigma pemikiran akan mendapatkan ruang
untuk dikaji lalu dilaksanakan dalam kehidupan nyata ketika paradigma (teori,
konsep, ide) disukseskan melalui jalus politik, demikian juga Ibnu Taimiyah,
menggunakan kekuatan serta pemahanan politiknya sebagai alat untuk
memudahkannya menyukseskan paradigma pemikiarn dalam teori, konsep serta ide
yang dibangunnya agar dapat dijalankan oleh masyarakat secara luas, terutama
untuk melawan pemikian dan pemahaman yang dianggap Ibnu Taimiyah telas lepas
dari rel ajaran Al-Qur’an dan assunnah. Bentuk dari semua itu diwujudkan Ibnu
Taimiyah melalu pergerakan dna terutama dalam bentuk tulisan, adapun salah satu
yang membahas secara spesifik pemikirnya tertuang dalam karyanya yang berjudul al-Siyasah
al-Syar’iyyah fi ishlah al-Ra’yi wa al-Raiyah. Strategi ibnu Taimiyah
tersebut dilancarkanya untuk merubah bahkan menghilangkan semua kerusakan
tatanan sosial yang telah lama mengkristal di masyarakat di semua
linekehidupan, baik budaya, adat, kultur, corak pemikiran, ibadah, muamalah,
kepemimpinan, kenegaraan maupun politik.
Konsep Ibnu Taimiyah tentang negara, berlandaskan rasionalitas
sebuah faktor natural manusia akan kebutuhan secara universal tentang
kerjasama, bergabung dan kemakmuran di setiap kepemimpinan yang berkuasa dengan
dasar tanpa melihat fakor keimanan, dia beragama ap? Atau beragama atau tidak?.
Pada dasarnya manusia berwatak madany untuk mengelola alam dengan cara
mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan
dan mengatasi masalah dalam bingkai kepemimpinan.[24] Maka
dari itu lahirlah institusi negara dalam aturan adanya yang diatur dan yang
mengatur.
Berbeda orang dapat dipastikan akan berbeda sudut pandang serta
analisanya, Ibnu Taimiyah dalam konsep ketatanegaraannya lebih condong
menekankan aspek subtansial dari pada bentuk suatu negara dan mekanisme
pembentukakan secra teknis tentang negara. Hal ini terlihat dalam tiga aspek
dasar subtansial konsep kenegaraan,[25]
pertama. Karya yang di dalamnya membahas secara eksplisit konsep tersebut yaitu
al-Siyasah al-Syar’iyyah (politik bedasarkan Syariah), kedua.
Penegasannya dalam pendahuluan buku tersebut, bahwa politik yang dibahas dan
sah adalah politik ketuhanan serta politik kenabian, berdasarkan dalil
Al-Qur’an dan As sunnah, ketiga. Terbukti bahwa dasar konsep tersebut adalah QS
al-Nisa 58-59, kaya akan unsur dari konsep kenegaraan yang diusungnya. Kaitan
antara pemimpin dan yang dipimpin serta hukum yang harus titerapkan serta hak
kewajiban antara kedua belah pihak.
Nasihun Amin berpendapat bahwa konsep kenegaraan Ibnu Taimiyah
merupaakan kesamaan sebuah pemahaman kedaulatan hukum yang dimaksud hukum Syari’ah,
Nasihun juga memberikan penjelasan dari asalan tersebut,
1.
Syari’ah
merupakan sumber hukum yang tinggi. Dalam penjelasan bahwa semua tindakan yang
dilakukan manusi harus berasaskan Syari’ah atau minimal dijiwali oleh syari’ah,
apabila dalam pelaksanaan tersebut timbul konflik maka penyelesaianya harus
merujuk pada ketentuan syari’ah. Begitu juga keitannya dengan ketaatan mematuhi
aturan yang ada selama pemimpin tersebut konsisten dan dunduk terhadap Syari’ah.
2.
Penerapan
hukum ditegakkan tanpa pilih pandang. Berlakunya hukum yang menjadi aturan dari
konsep Ibnu Taimiyah adalah hukum yang ditegakkan secara menyeluruh tanpa
terkecuali, seperti yang dikuti oleh Nasihun dari karya Ibnu Taimiyah al-siyasah
al-Syar’iyah, jika tindak krimilah telah terbuki terjadi, maka tidak ada
seorangpun atau apapun yang dapat membatalkan putusan hukumatas tindakkan itu.
3.
Teknis
dalam pelaksanaan huku, Ibnu Taimiyah menawakan mekanismenya. Untuk menindak
pihak terdakwa telah melakukan pelanggaran harus melalui pembuktian perkara
melalui data-data bukti yang memadai sebagai penguat landasar memberikan
putusan pengedilan.
4.
Menetapkan
hukum sebagai usaha untuk memelihara manusia atas jiwa dan fisiknya dari
ancaman yang datang, pemeliharaan tersebut meliputi pembeliharaan dari penganiayaan
atas anggota tubuh dan pemeliharaan atas penghinaan terhadap kehormatan
pribadinya serta juga dari tutudah fitnah atas dirinya.
Landasar konsep politik ketatanegaraan yang digunakan oleh Ibnu
Taimiyah, merupakan ayat Al-Qur’an surat al-Nisa ayat ke 58, yangmana ayat
tersebut memuat makna utama tentang pelaksanaan kepemimpinan haruslah amanah
dan bertindak adil, sebab dalam pandangan Ibnu Taimiyah seorang Raja dianggat
oleh rakyat, sedangkan hukum dalam kedudukanya sebagai wakil rakyat, maka dari itu
suatu pribadi yang amanah perlu ada dalam diri seorang pemimpin, sedangkan
kedudukan pemimpin (raja) dalam kacamata agama serupakan bayang-bayang Allah di
bumi selaku penegak hukum yang adil.[26]
Dapat dipahami, bahwa dalam rangka mensukseskan tatanan kenegaraan yang syarat
dengan hukum Syari’ah islam maka seorang pemimpin harus dapat melakukan
tangungjawabnya secara maksimal disamping dirinya diperbolehkan memperoleh
haknya, sesuai dengan konstitusi yang telah di tetapkan, serta adanya rasa
kepedulian serta tangungjawab atas rakyatnya bahwa pemimpin tersebut harus
dapat menjada serta mengondisikan rakyatnya agar tetap sahaja.
Kaitanya dengan amanah, Ibnu Taimiyah memahami dalam dau arti,
politik dan ekonomi. Amanah dalam konteks politik, merupakan wewenang yang
dimiliki pemimpin untuk dapat mengelola negara agar mencapai tujuan yang telah
ditetepkan secra bersama dalam kesepkatan serta mengelola
kepentingan-kepentingan rakyat, agar nantinya tercipa rasa aman, damai dan
sejaterah dalam benak rakyatnya. Sedangkan amanah dalam konteks ekonomi, sistem
pengelolaan harta kekayaan negara dan pelindungan harta kekayaan milik warga
negara, dalam arti bahwa semua kekayaan negara harus dijaga dan dikelola harus
secara profesional serta sebaik mungkin, dalam hal itu kedudukan rakyat sebagai
salah satu sumber income negara yang diperoleh melalui aturan-aturan
dibuat oleh pemerintah dah wajib dita’ati serta di laksanakan. Sedangkan arti
selanjutnya, bahwa pemimpin wajib bertangungjawab atas keselamatan harta
tersebut serta mengola secara baik, juga menjamin keamanan harta tersebut tanpa
adanya unsur korupsi ataupun merasa punya hak milik atas harta tersebut. Mengingat
semua tugas yang diemban oleh pemimpin sangat banyak, maka akan lebih teratur
jika terdapat dewan pembantu dalam kinerja pemimpin, dalam hal ini kecakapan
serta integritas orang tersebut juga harus di perhatikan betul.
Berkaitan dengan keadailan, Ibnu Taimiyah menempatkat unsur
tersebut sebagai unsur fundamental esensial dalam tatanan kenegaraan untuk
mewujudkan cita-cita negara yang mulia dalam kesejateraan, keharmonisan,
keamanan dan kemajuan serta terwujudnya kesinambungan kehidupan bernegara.
Menurut Ibnu Taimiyah, keadilah merupakan penentu kesetabilan nasional dalam
segara line kehidupan, sebab dengan keadailan semua akan tertata apik bahkan
suatu aturan akan tegak tanpa pandang bulu seingga memunculkan suatu gugusan
masyarakat yang patuh atas hukum dan dengan rasa sadar untuk melaksanakan.
Menurut Ibnu Taimiyah, mengingat keadilan sangat urgen, maka tegaknya keadailah
merupakan hal yang wajib dilakukan tidak ada kata tawar menawar, walaupun
seumpama keadailan hanya akan tercapai di kepemimpinan seorang yang kafir,
dapat dipahami bahwa tujuan semua kekondusifan negara hanya dapat di tempuh
melalui tegaknya keadilan dalam segala hal, bukan melihat siapa sipenegak
keadilah tersebut. Dalam pemahaman bahwa jika benar adanya suatu rakyat muslim
di pimpin oleh seorang kafir (non-Muslim) sedagankan pemimpin tersebut
menerapkan aturan hukum syari’ah islam walaupun secara pribadi pemimpin
tersebut tidak menjalankan aturan syari’ah (konteks Ubudiah rukun iman ataupun
rukun islam) dan tidak adanya unsur perubahan ke aturan agama yang dia yakini,
maka selama itu wajib hukumnya bagi rakyat tetap mematuhi aturan yang ada. Dari
itulah semua konsep yang diusung Ibnu Taimiyah, bukan teknis pemilihan pemimpin
yang kaya akan syarat, bukan juga hak milik kewajiban harta, melainkan unsur
amanah dan keadilanlah yang menjadi standarisasi terwujudnya kesejateraan,
keamanan, keharmonisan, kebahagiaan, keselamatan yang menyeluruh sebagai konsep
serta tujuan yang diingginkan oleh Ibnu Taimiyah. Tatanan sosial negara dalam
segala aspek line kehidupan tanpa meninggakan Al-Qur’an, as sunnah dan amaliyah
salaf al shalih.
[1] H. Munawir
Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI-PRESS, 1990), h. 38-39 dan 42.
[2] Ibid, h. 41-42
[3] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya, 2015), h.40
[4] H. Munawir
Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h.79.
[5] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Loc. Cit.
[6] H. Munawir
Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, loc. Cit.
[7] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Loc. Cit.
[8] Ibid, H.
Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, h. 79.
[9] H. Munawir
Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h. 79.
[10] Ibid, h. 80
dan Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op.
Cit. h. 41.
[11] Muhammad
‘Amirah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, (Kairo: Darusy Syuruq, 2011), h.
140.
[12] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. Cit. h. 41.
[13] Ibid.
[14] H. Munawir
Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h.80.
[15] Ibid
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
h.81.
[19] Ibid.
[20] Ibid,
h. 82.
[21] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, loc. Cit.
[22] Ibid.
[23] Ibid,
h. 41.
[24] Ibid h.
44.
[25] Ibid.
[26] Muhammad
‘Amirah, Taiyyaratu al-Fikri al-Islami, op. Cit. h.156-157.