BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran Fiqh
Tradisional: Imam Malik
A. Latar Belakang
Sejarah umat islam merupakan suatu peristiwa yang didalamnya
terkandung rentetan jerih payah para ulama yang mengorbankan jiwa dan raga untuk
agama. Keteguhan meraka atas pembelaan terhadap agama, merupakan suatu aplikasi
dan aktualisasi ajaran agama, yang mana tidak lain sebagai usaha untuk menjaga
kelestarian ajaran agama secara menyeluruh, baik yang tercerminkan dalam diri
seorang manusi, hewan, tumbuhan, harta dan maupun benda. Perjuangan mereka
bukanlah tanpa pengorbanan, para ulama berjuang dengan kekuatan yang mereka
punyai tanpa adanya keharusan menggunakan suatu pengorbanan, dari sepanjang
sejaran yang ada, pengorbanan yang dipersembahkan oleh para ulama terbukti
bukan hanya bersifat kekuatan intektual saja, kekuatan harta, benda, kekuasaan
bankan keluarga pun mereka rela adbikan kepada agama.
Bukan sebuah kemustahilan, bahwa perjuangan para ulama hanya tejadi
dimasa dan tempat tertentu. Seluruh aktifitas perjuangan akan terjadi dimana
pun dan kapanpun oleh ulama, akan tetapi pembeda dari itu semua merupakan suatu
situasi kondisi dimana perjuangan terjadi dan alat atau suatu yang digunakan
dalam berjuang. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa di mana nafas islam itu
ada, di situlah ulama berjuang.
Seperti halnya al-imam
al-mujtahid, selanjutkan dikenal dengan al-Imam al-madzhab, mereka
berkiprah dalam dunia akademisi intelektual, pada umumnya. Dengan skill intelektual
mereka, al-Imam al-mujtahid, membawa petunjuk serta hadir sebagai
pemimpin umat dalam ukiran sejarah islam. Oleh karena itu, keilmuan yang telah
mereka wariskan cukup layak dijadikan keteladanan yang diamalkan umat muslim.
Dalam konteks keteladanan, nampaknya dapat dikatakan tidak cukup
untuk mengkaji satu tokoh saja, pasalnya al-imam al-mujtahid memilki ciri
khas tersendiri dalam metode perjuangan mereka yang terkandung dalam manhaj
serta pengaruah situasi-kondisi yang ancapkali berbeda satu sama lain. Perilaku
mereka mencerminkan ajaran agama. Kita dapat mengenali karakter dan kepribadian
mereka untuk dijadikan teladan.[1]
Diantara tokoh al-imam al-mujtahid yang masih diakui konsep,
metode serta manhaj, terutama dalam dalam bidang fiqh sebagai sesosok al-Imam
al-madzhab, yaitu al-Imam Maliki.
Beliau adalah sosok seorang imam besar, imam Madinah kota Hijrah. Namanya
selalu dikenang dan dilebelkan sebagai nama salah satu mazhab fiqih yang masih
eksis pengakuan atasnya. Al-Imam Malik sebagai sosok ulama agung yang selalu
menjadi rujukan keilmuan dunia islam.
Sejarah telah mencatat bahwa kontribusinya sangat besar dan jerih
payahnya dalam membela serta melayani agama Allah, khususnya yang berkaitan
dengan syariat dan fiqih, tidak lagi dipertanyakan, sehingga tak heran jika
kegigihan dan perjuangannya menjadi acuan bagi para ulama maupun orang awam
dari generasi ke generasi selanjutnya. Sebab itu juga, Imam Malik dapat
mencetak generasi baru sebagai ulama yang juga menjadi tokoh al-Imam
al-madzhab, yaitu al-Imam al-Syafi’i.
Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan beberapa hal yang
berkaitan dengan Imam Malik, seorang Imam mazhab yang bercorak tradisional,
dimana beliau lebih memberatkan menggunakan nash Quran, Hadis dan juga menggunakan riwayat Ahli Madinah untuk
dijadikan salah satu dasar pengambilan hukum suatu masalah.
B. Rumusan Masalah
I.
Riwayat Hidup al-Imam Malik.
II.
Pokok Pemikiran dalam Kajian Fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Malik
Imam Malik bin
Anas merupakan seorang imam yang masyhur, pemilik kecerdasan luarbiasa. Memiliki
nama lengkap Abu Abdullah ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn ‘Amr ibn al-Harist
ibn Ghaiman ibn Khutsail, dilahirkan di Madinah al-Munawwarah
pada tahun 93 H,[2]
di kelahirannya banyak ulama ahli sejarah berbeda pendapat seperti Muhammad ibn
‘Abdul Hakam menyatakan pada tahun 94 H, diriwayatkan dari Muhammad ibn Abdul
Hakam pada tahun 93 atau 94. Abu Muslim menyatakan pada tahun 90 H, ada pula
yang menyatakan 96 H, pendapat lain pada tahun 97 H. Abu Dawud as-Sijisyani
menatakan pada tahun 93 H, Abu Ishaq al-Syairazi pada tahun 95 H. Akan tetapi
pendapat yang terbilang benar adalam tahun 93 H seperti yang disebutkan lebih
dahulu, pendapat ini al-Qadhi Iyadh yang mengutip pendapat Abu Muhammmad
al-Dharrab yang selaras dengan pendapatnya Ibnu Qasim tertait kelahiran serta
ketepatan wafat Imam Malik.[3]
tepatnya di Dzul Marwah, sebuah daerah yang dipenuhi sejumlah mata air,
pertanian, dan perkebunan, terletak sekitar 192 km sebelah utara kota Madinah.[4]
Malik Ibn Ans merupakan keturunan dari Arab-Yaman, kakaeknya yang bernama Abu ‘Amir,
ia termasuk shahabat besar yang banyak menemani Nabi SAW, kecuali pada perang
Badar. Sedangkan Malik (kakek Imam Malik) termasuk ulama besar dikalangan
tabi’in dan termasuk salah seorang yang mengantarkan janazah Ustman ibn Affan
ke persemayaman terakhirnya.[5]
Imam Malik
tidak lama menetap di Dzul Marwah, ia mengikuti kedua orang tuanya pindah
menuju Aqiq, sebuah wilayah yang terbuka terbilang subur dan rindang salah satu
daerah di Madinan. Semenjak kecil, Imam Malik sudah terbiasa menjalani hidup
dengan teratur, bersih, hingga kebasaan itu menjadi bagian kehidupan
sehari-harinya. Imam Malik berada dalam keluarga yang kuat agamanya. Bapak,
paman, dan kakeknya adalah para ulama. Ayah Imam Malik merupakan seorang ulama
dan periwayat hadits, sehingga suasana keluarganya tidak lepas dari
perbincangan mengenai persoalan keagamaan. Diceritakan bahwa kebiasaan
keluarganya selepas isya, mereka selalu berkumpul untuk merenungkan dan
membahsa persoalan hidup dan agama[6].
Malik tumbuh
di lingkungan yang penuh dengan iklim belajar dan periwayatan hadis di Madinah,
kota yang menjadi pusat sunah dan fatwa-fatwa sahabat. Di kota tersebut juga
terdapat generasi sahabat Rasulallah dan muridnya. Malik mendapati sumber
kekayaan ilmu dan hadis, bakat dan potensinya mulai berkembang hingga ia
berhasil memetik buahnya, hal ini tidak lain lantaran di koota tersebut banyak
sekali ulama-ulama yag mengembangkan ilmunya dimasa Imam Malik.[7]
Di usia yang
terbilang belia, Imam Malik berhasil menghafal al-Quran. Setelah menyelesaikan
hafalan al-Quran, Malik mulai menghafal hadis. Di lingkungannya, Imam Malik mendapatkan
motivasi yang tinggi, dan di kota Madinah lah Imam Malik memperoleh segala hal
yang mendukung untuk menghafal hadis. Terlebih keluarga Malik adalah para ulama
dan periwayat hadis, termasuk ayahnya. Saat sedang berkumpul, ayahnya tak luput
menuturkan riwayat-riwayat hadis nabi di tengah-tengah perbincangannya[8].
Akan tetapi saat Imam Malik muli dewasa, ia mulai memilih guru untuk
memepelajari ilmu dan hadis. Sedangkan dari sekian banyak gurunya, namun hanya
seorang tabi’in yang berpengaruh pada Imam Malik, yaitu tabi’in muda Abdullah
ibn Yazid ibn Hurmuz yangmana merupakan salah satu ulama terkemuka Madinan pada
masanya.[9]
Pada masa Imam Malik, struktur kehidupan sosial terdiri dari
berbagai macam etnis ras dan bangsa: romawi, Persia, India, dan Arab. Wilayah
kekuasaan Islam berkembang semakin luas, yangmana kelahiran Imam Malik
bertepatan dengan masa pemerintahan Umayyah.[10] Sejak
masa khalifah Ustman, para sahabat rasulallah menyebar ke penjuru negeri.
Setiap sahabat memiliki murid dan pengikut, dan masing-masing mempunyai
pendapat yang sesuai dengan tabiat, adat istiadat, dan kondisi masyarakat.
Berbeda dengan Baghdad, Madinah dikenal sebagai gudang para ulama. Hal ini
menadikan Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah, kecuali di musih haji.
Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Imam Malik, hampir seluruh ahli
hadits dan fiqih di Madiah telah didatanginya untuk menimba ilmu.
Setiap daerah memiliki karakter kehidupan sosial, perdagangan,
politik, dan keilmuan yang berbeda sehingga menjadikan wilayah Islam terbilang kaya
akan berbagai peradaban. Hal ini
menentukan terbentuknaya masyarakat
yang plural terdiri atas berbagai suku bangsa dan ras dengan latar belakang dan
kebudayaan yang berbeda.
Dalam aktifitas keilmuanya, Imam Malik memanfaatkan tempat yang
digunakan untuk menuntut ilmun dekat makam rasulallah. Ia banyak berkumpul dan
bergaul dengan para ulama. dengan begitu, ia dapat mengenali beragam bentuk
kontruksi dan kondisi sosial mereka.[11]
Hal ini yang memperluas kesadaran dan kepedulian Imam Malik
terhadap kebutuhan masyarakat. Kondisi ini pula yang membentuk pola pikir Imam
Malik di bidang ilmu sosial dan fikih. Adapun keilmuan dalam bidah Fiqh, Imam
Malik mempelajarai berbagai guru antara lain, Rabi’ah Al-Ra’yi.[12]
Rabi’ah merupakan sosok terkemuka pada masanya, ia seorang yang bersahaja dan
cerdas serta ahli ibadah, akan tetapi label ahli ibadahnya hilang darinya
lantaran prilaku yang dilakukanya yaitu lebih mementikan kebutuhan masyarakat
sosial atas berbagai problematiak kehidupan dari pada ibadah pribadi yang ia
istiqomahkan, ia melibatkan diri dalam majlis-majlis masyarakat umum. Dalam
pergaulan tersebut Rabi’ah berbicara berdasarkan keceedasan atau akal,
intelektualitas tinggi serta kejeniusannya. Istilah Al-Ra’yu, diberikan kepada
Rabi’ah ibn Abu Abdurrahman farukh sebagai laqab (julukan) lantaran
kejeniusannya, dalam segala problematika mampui dijawabnya serta adanya ciri
tersendiri di setiap pengungkapan solusi masalah dengan menberikan opsi pilihan
yang opsi-opsi tersebut tidak rancu melainkan mempunyai dominan dalam
argumennya.[13]
Selain ilmu fiqh, Imam Malik juga mempelajari ilmu hadis yang
dipelajari dari berbagai guru, antara lain; Ibnu Syihab al-Zuhri yang nama aslinya Abu Bakar Muhammad ibn
Muslim al-Madini ibn Zahrah ibn Kilab al-Quraisyi yang dijuluki A’lamul Huffazh
(penghafal hadis yang paling luas ilmunya)[14] dan
Nafi’ Maulana ibn Amr.[15]
Sejarah mencatat bahwa kualitas kecerdasan dan ketekutanan Imam
Malik, mampu membawanya menempati ulama agung yang mampu mencetak generasi
ungul sebagai penganti serta penerus Imam Malik, diantaranya al-Auza’i,
al-Syafi’i dan Yahya ib Sa’id, selain itu, dari kualitas intelektualnya
menjadikan diri Imam Malik dijadikan sebagai kawan dialog dan tukar pikiran
oleh guru-gurunya serta tidak jarang mereka mendengarkan penyaraan hadis yang
dilakukan Imam Malik.[16]
Setelah selesai masa dimana Imam Malik menuntut ilmu keberbagai guru ahli fiqh
dan hadis, ia akhirnya melakukan ijtihad mandiri serta membuka majlis pengajian
yang disebut halaqoh dengan lebih dahulu menadapatkan restu dari tujuh puluh
ulama terkenal di Madinah. Selain itu Imam Malik juga melakukan periwayatan
hadis dan memberi fatwa tertutama di musim haji.[17]
Sebagai sosok ulama Mujtahid, Imam Maliki terbilang produktif. Imam
Malik banyak menulis kitab yang membahas tentang fiqih dan hadis, kitab beliau
yang monumental adalah kitab al Muwathha yang banyak membahsa tentang
hadis dan fiqih. Banyak ulama yang memuji karangan beliau tersebut diantaranya:
Imam Syafii, imam al Mahdi dan banyak ynag lainnya.
Adapun
karya-karya Imam Malik selain al-Muwatha, antara lain, yaitu:
a.
Risalah fi al
Qadr wa ar Radd Ala Al Qadariyyah, di dalam kitab tersebut Imam Malik,
seperti yang dinyatakan oleh Qadhi Iyyad, Ibnu Wahab.
b.
Kitab fi an
Nujum, Hisab Madar az Zaman wa Manazil Al Qamar, sebuah kitab
yang dijadikan dasar dalam ilmu perbintangan.
c.
Risalah fi
Aqdiyah, tulisan yang dipersembahkan kepada qadhi.
d.
Risalah fi al
Fatwa
e.
Risalah fi al
Adab wa al Mawaidh
f.
At Tafsir li
Gharib al Quran
g.
Risalah fi
Ijma Ahl al Madinah
h.
Kitab as
Syair.[18]
B. Pokok pemikiran Imam Malik
Imam Malik merupakan pribadi yang selektif
serta teliti dalam memilih untuk meriwayatkan hadis. Ketelitian dan
selektifannya digunakan sebagai filter kualitas suatu hadis, ia tidak akan
menerima suatu riwayat hadis kecuali imam Malik sendiri telah yakin keshahihann
hadis tersebut. Dasar tersebut
berlandaskan pada hadis adalah agama, maka dari itu dalam pemilihanyapun harus
selektif.[19] Pehatiannya
tersebut, dibuktikan dalam karya monumentalnya,
al-Muwatha’. Menurut Nasihun yang mengutip penilaian Syah Waliyullah,
bahwa kitab Imam Malik merupakan himpunan hadis Nabi yang paling shahih.
Keshahihan hadis-hadis yang terkandung didalamnya diujinya setelah mengadakan
pembuktian sumber kebenaran dan penyaringan yang seksama serta teliti. Uji
keshahihan tersebut ditekankan pada kualitas rawi dan perawi, sebagai bahan
klasifikasi kesahihan dalam karyanya. Al-Muwatha’ berisikan 10.000 hadis
shahih, tetapi pada edisi pembetulan Imam Malik menguranginya sampai hanya
berjumlah 1.720 hadis shahih.[20] sosok yang awalnya cenderung menggunakan akal
untuk mengeluarkan fatwa, namun pada akhirnya beiau meniggalkan hal tersebut.beliau
lebih memilih menggunakan Quran, Hadis, dan Amal Ahli Madinah sebagai wujud
kehatian beliau untuk mengeluarkan fatwa.
Situasi dimasa hidup Imam Malik memberikan pengaruh besar dalam
aktifitas keilmuan yang ia terima sebagai pengaruh dasar konsep pemikirannya,
berupa aktifitas fatwa serta karya tulisnya, yang mana berwujud keenganannya
untuk melakukan ijtihad secara rasio, sebab pada masa itu penggunaan ijtihat berlandaskan
rasional marak terjadi. Selama empat puluh tahun ia hidup pada masa pemerntahan
Umayah dan empat puluh enam tahun pada masa pemerintahan Abbasiyah.[21]
Yang mana pada masa itu gejolak diberbagai ranah terjadi bahkan gelombang
fitnah serta perang politik terrus berkecamuk. Dalam ranah politik muncul
aliran Syi’ah dan Khawarij sedangakan dalam bidang teologi muncul aliran
Qadariyah, Jahmiyah dan Murji’ah. Dari situasi tersebut berimbas pada kedudukan
hadis, yang semula digunakan hanya murni tentang keagamaan berubah menjadi alat
juatifikasi rival dan alat politik dalam pemenangan suatu kekuasaan. Hal ini
penyebab yang bertangung jawab adanya hadis-hadis palsu yang marak dipergunakan
sebagai alat kekuasaan, cleam kebenaran dan pembelaan, yang berimbas adanya
pertentangan dikalangan masyarakat.[22] Berdasarkan
situasi itu, menjadikan Imam Malik merasa perlu berhati-hati dalam menerima
periwayatan suatu hadis, meskipun ia pun juga mempelajari hadis dari kubu
Syi’ah dan sebagainya.
Pemikiran fiqih corak tradisional Imam Malik, menurut Nasihun
lantaran memposisikan tradisi Madinah sebagai salah satu dasar hukum yang
mempunyai tempat khusus.[23]
Seara sederhana hal itu tidak lepas dari pengaruh guru Imam Malik, yakni Ibnu
Hurmuz, Nafi’, dan Syihab Az-zuhri. Tiga orang ini terkenal sebagai ahli fikuh riwayat.
Sehingga tak heran jika Abdurrahman bin Mahdi, seorang ahli fikih terkenal,
menyatakan bahwa Imam Malik adalah sosok yang pantas menyandang seorang yang
ahli fikih dan hadis[24].
Di samping dengan pendekatan
riwayat, Malik juga dalam menggali hukum memakai pendekatan ra’yun. Kendati
ra’yu yang dilakukanya hanya sebagai pandangan nilai bukan sebagai dasar
pijakan. Pengaruh Rabi’ah dan Yahya bin said dalam diri Imam Malik sangat
besar. Tak heran kalau Malik awalnya condong dengan ra’yu dalam menggali
hukum.
Dalam pemikiran Imam Malik, ada beberapa dasar yang menjadi
landasan terciptanya produk istinbatnya. Di antara sumber tersebut
meliputi pertama, kitabullah. Al-Qur’an menjadi sumber paling mendasar bagi
segala hal yang berkaitan dengan akidah, syariah, tanda-tanda kebenaran
risalah, dan cahaya segala pandangan. Malik menganggap bahwa Al-Qur’an berada
di posisi teratas dari semua dalil dan lebih utama dari sunnah dan dalil-dalil
lainnya. Ia mengambil nash-nash yang sharih dan Zahir (jelas dan tegas)
yang tak bisa ditakwilkan lagi selama tak ada dalil syariat yang meawjibkan
penafsirannya.
Kedua, sunnah nabi. dikarenakan sunah merupakan
penerang hukum-hukum al-Quran, penguarai teks-teksnya, dan penafsir atas
permasalahn yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Di sini, sunnah atau
hadis rasulallah diperlukan untuk menyimpulkan sebagian hukum yang ditunjukan
al-Quran atau untuk menyempurnakan penjelasannya jika kandungan hukum al-Quran
masih bersifat
Ketiga, Pendapat Sahabat (qaul sahabat). Bagi Imam
Malik, terma “sahabat Nabi Muhammad” mencakup semua sahabat, baik yang
muhajirin maupun yang anshar. Dijadikannya qaul shahabah sebagai sumber syariah
dalam Mazhab Maliki dikarenakan mereka, para sahabat, memiliki keterkaitan dan
keterkaitan yang begitu akrab dengan Rasulullah di dalam kehidupan dan perilaku
kesehariannya. Mereka telah menyaksikan perbuatan-perbuatan Rasulullah
sepanjang hidupnya, menyimak sabda-sabda Sang Nabi yang mulia, berguru dan
menimba pengetahuan kepadanya, sang Rasul penuntun, dan senantiasa terkoreksi
jika melakukan sebuah perilaku yang menyimpang dari ajaran luhur agama Islam.
Keempat, ijma’ (konsesus), yaitu suatu yang disepakati
oleh pakar fikih dan ahli ilmu. Malik tergolong ulama yang banyak menyinggung
masalah ijma’ dan menggunakannya sebagai hujah. Dalam al-muwatha, banyak kita
temukan bahwa Malik sering menyebutkan hukum satu masalah dengan menyatakan
hukum itu telah disepakati oleh ulama. menurut Malik, jika para ulama telah
sepakat dalam satu masalah, mereka tidak akan sepakat dalam kesesatan dan
kebatilan.
Kelima, tradisi penduduk Madinah (‘amal ahlil
Madinah). Malik menimbang bahwa panduduk Madinah adalah warisan langsung
dari orang-orang yang telah menjalin persahabatan erat dengan Rasulallah SAW.
Di samping itu juga, dikarenakan hukum-hukum yang berlaku di Madinah telah
menjadi tradisi selama beberapa generasi[25].
Imam Malik menegaskan bahwa apa yang sudah diterapkan sekelompok
ulama di Madinah menjadi hujah yang harus diambil. Bahkan Malik enggan untuk
menggunakan hadis ahad, lantaran menurut imam Malik, hadis ahad merupakan hadis
yang tidak terkumpul didalamnya syarat-syarat hadis mutawatir, adapun
jika diterima maka parameternya, hadis tersebut tidak bertentangan dengan
tradisi Madinah.[26] jika bertentangan dengan tradisi Madinah. Ia
menganggap bahwa amal penduduk Madinah merupakan amal warisan nabi dan
periwayatannya lebih kuat.
Selain lima sumber utama tersebut, Imam Malik juga menggunakan
piranti cabang (skunder) dalam menggali hukum Islam, yaitu qiyas, istihsan,
urf, sadd adzara’i, dan maslahat mursalah. Sejumlah instrument cabang tersebut
menjadikan warna tersendiri bagi madzhab lainnya. Terkait maslahat mursalah,
Imam Malik menetapkan sejumlah syarat yang penting:
1.
Maslahah tidak bertentangan dengan
dasar Islam juga dalil qoth’i
2.
Maslahah dapat diterima oleh mereka
yang berpikiran jernih
3.
Maslahah tersebut sungguh
mengangkat kesukaran secara nyata[27]
Kemudahan yang ditawarkan oleh madzhab Maliki terbangun oleh
sejumlah faktor. Pertama, keragaman dasar dan sumber penggalian dasar
dalam madzhab Maliki, kedua pola ijtihad yang dilakukan oleh Imam Malik
yang kemudian diteruskan oleh murid-murinya pada masa-masa selanjutnya.
Sumber-sumber yang menjadi landasan Imam Malik dalam mengambil hukum meliputi
al-Quran, sunnah, ijma, qaulus shahabi, amal penduduk Madinah, qiyas,
mashlahah, istihsan, sadd al-Dzara’i, dan ‘urf.
Akan tetapi, dari semua yang telah di sebutkan belum dapat
menyimpilkan ciri khas yang ada pada imam Malik untuk melakukan istimbat
al-ahkam. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Imam Malik merpakan sosok
ulama madzhab yang menempatkan tradisi sebagai perameter penentuan untuk
diterima atau ditolak suatu periwayatan hadis. Hal ini dikerenakan kedudukan
tradisi yang dimaksudkan tradisi penduduk Madinah, dalam alur pemahaman bahwa
sunnah merupakan aturan hidup normatif yang ditegakkan oleh Nabi semasa
hidupnya, hal ini terbentuk lantaran sebab dasar pemahamn bahwa Nabi Muhammad
saw merupakan model figus bagi masyarakat yang mana semua aktifitas yang
dilakukan Nabi, baik berupa tindakan, ucapan maupun tetapan, menjadi anutan
yang ditiru oleh masyarakat pada masa itu, sebagai wujud ittiba’
pengamalan suatu ajaran Islam yang tercermin dari aktifitas Nabi SAW, yang mana
aktifitas masyarakat pada masa itu diwariskan secara turun menurun oleh para
shahabat kemudian diwariskan oleh para tabi’in dan tabi’it tabi’in dalam bentuk
tradisi hingga sampai pada masa Imam Malik,[28]
sedangankan tradisi tersebut terjadi tidak lain salah satunya di Madinah,
dimana Nabi pernah berhijrah dan menetap disana serta menyebarkan ajaran Islam.
Dengan kata lain alam penduduk Madinah meruakan Sunnah (term yang
digunakan oleh Imam Malik dalam menyebutkan tradisi penduduka Madinah, sebagai
alat parameter penilaian). Selain term Sunnah, ada juag term amr
yang digunakan oleh Imam Malik jika dalam kenyataanya tradisi tersebut
mengandung unsur tambahan yang berasal dari ulama.
Dalam klasifikasi penentuan antara Hadis dengan tradisi, sebagai
pembeda secara komprehensip, Nasihun Amin menjelaskan kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi ketika hadis dan tradisi disandingkan.[29]
1.
Tradisi yang ada sesuai dengan
hadis. Dalam keadaan demikian berarti tradidi mendukung validasi hadis
tersebut.
2.
Tradisi yang ada bersesuai dengan
satu hadis tetapi bertentangan dengan hadis yang lain. Dalam hal ini, maka
hadis yang bersesuai dengan tradisi mempunyai kedudukan lebih kuat daripada
hadis yang lain, sehingga dapat dijadikan rujukan.
3.
Tradisi yang ada bertentangan
dengan sebuah hadis atau banyak hadis. Jika demikian maka, tardisi tersebut
adalah ‘amal naqli atau tradisi yang berasal dari masa Nabi, dan
harus didahulukan dari hadis. Hal ini didasarkan pada tradisi tersebut
merupakan tradisi yang riil bersumber dari ajaran Nabi yang mempunyai otoritas
secara pasti, adapun hadis ahad hanya mempunyai otoritas berdasarkan anggapan.
Lain halnya jika, tradisi tersebut bersumber murni dari ijtihad, maka kedudukan
hadis ahad lebih diutamakan daripada tradisi tersebut.
4.
Jika terdapat sustu hadis tentang
suatu persoalan, akan tetapi tida ada tradisi tentangnya, maka berarti tidak
ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian, hadis itu harus diikuti
dengan catatan hadis tersebut otentik (shahih) dan tidak ada hadis satupun yang
bertentangn denganya. Jika terdapat hadis lain yang bertentangan, maka yang
menjadi tolak ukur pertama yaitu rawi Madinah. Dalam arti bila salah satu di
antara hadis tersebut diriwayatkan oleh rawi-rawi Madinah, sedangkan hadis yang lain tidak,
maka yang lebih diutamakan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi
Madinah.
Kendati demikian, di kemungkinan ke-empat tersebut, Imam Syatibi
tidak sepakat, lantaran menggangap bahwa ketiadaan tradisi tersebut, merupakan
indikasi bahwa makna-makna dari hadis semacam itu tidak boleh dipandang secara
normatif, jikapun demikian maka dapat dipastikan bahwa ada beberapa tradisi
yang ditetapkan untuk kepentingan Hadis, dengan pengertian bahwa asumsi
terhadap persoalan yang dibicarakan merupakan persoalan yang diharapkan telah
pernah terjadi pada masa kehidupan umat generasi pertama. [30]
Dapat diasumsikan bahwa dari semua yang telah diutarakan diatas,
Imam Malik membela secara penuh kualitas tradisi yang ada di Madinah sebagai
bahan dalam berijtihad untuk menentukan sebuah hukum. Sejauh yang penulis
tangkap, sikap Imam Malik tersebut, tidak lain sebagai wujud untuk melestarikan
sebuah tradisi yang benar adanya dan terjadi dari generasi ke generasi yangmana
tidak lain merupakan peninggalan ajaran yang diwariskan oleh Nabi SAW yang
sarat akan kandungan syari’ah secara umum.
Imam Malik wafat pada tahun 179H bertapatan pada usia 86 tahun di
Madinah.[31]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Imam Malik adalah pewaris atsar dan penjaga tradisi ahli Madinah,
dan digadang sebagai perangkum segenap pengetahuan sahabat dan tabiin. Beliau
memiliki sifat ramah kepada seluruh muridnya, serta pengagung yang besar kepada
hadis Nabi, yang membuat belia begitu disegani oleh berbagai kalangan, beliau
begitu berwibawa dan berkharisma.[32]
Seluruh hidup Imam Malik yang dijalaninya di Madinah, semenjak
beliau lahir hingga wafatnya tidak ada niatan untuk melakukan hijrah
meninggalkan Madinah, kecuali untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh.
Imam Malik begitu jatuh hati dengan Madinah, yang kal itu menjadi
pusat peradaban bagi berbagai kajian ilmu. Imam Maliki begitu berhati hati
dalam memberi fatwa. Beliau tidak hendak mengatakan haram dan halal tana ada
dalil yang pasti dari al Quran dan Hadis Rasulallah. Seperti ketika sebagian
orang mengkritik Imam Maliki atas kehatian hatiannya dalam memberi fatwa,
sambil meeteskan air mata beliau mengatakan Aku takut pada suatu hari ketika
aku diminta pertanggungjawaban atas kebenaran fatwa yang aku katakan. Beginilah
sosok seorang imam yang agung yang tidak gampang menjual diri atau
menggampangkan agama demi sebuah fatwa apalagi untuk kepentingan duniawi.
[1]Dr. Tariq Suwidan, Biografi Imam Malik:
Kisah Perjalanan Dan Pelajaran Hidupsang Imam Madinah, (Jakarta: Zaman, 2007). h. 11
[2] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h.70.
[3] Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami,
AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, trj. Faisal Salah dan Umar Mujtahid,
al-‘Aqidatu al-Islamiyyah ‘indza al-Fuqahai al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2012), h. 247-248.
[4] Kelahiran Imam Malik pada tahun 93 H
mengikuti pada pendapat yang arjah. Hal itu mengacu pada ungkpannya Imam
Malik sendiri, liat Jalaluddin As-suyuyti, Tazyin al-Mamalik bi Tarjamat
al-imam al-Malik.
[5] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Loc. Cit.
[6] Muchlis M Hanafi, Biografi Lima Madzhab
Imam Malik, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 4-5.
[7] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 71.
[8] Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik, (Jakarta:
Zaman, 2012), h. 38
[9] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[10] Ibd.
[11] Tariq Suwaidan, Biografi Imam Malik, (Jakarta:
Zaman, 2012), op. Cit. h. 11-15.
[12] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, op. Cit. h. 72.
[13]Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami,
AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 251-252.
[14] Ibid. h. 255.
[15] Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[16] ibid
[17]
Ibid.
[18] Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Biografi Lima
Imam Mazhab: Imam Malik, (Jakarta, Lentera Hati, 2013), h. 137 138.
[19]
Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, loc. Cit.
[20]
Ibid.
[21]
ibid
[22]
ibid
[23]
Ibid. h.75.
[24] Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Biografi Lima
Imam Mazhab: Imam Malik, op. Cit. h. 11-13
[25] Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Biografi Lima
Imam Mazhab: Imam Malik, op. Cit. h.. 339.
[26]
Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Op. Cit. h. 75.
[27] Dr. Muchlis Hanafi, Biografi Lima Madzhab,
(Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 143.
[28]
Dr. Nasihun Amin, M.Ag, SEJARAN
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM, Op. Cit. h. 76-77.
[29]
Ibid. h.77-78.
[30]
Ibid. h. 78.
[31]
Prof. Dr. Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami,
AKIDAH ISLAM MENURUT EMPAT MAHDZHAB, op. Cit. h. 247-248.
[32] Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Biografi Lima
Imam Mazhab: Imam Malik, (Jakarta, Lentera Hati, 2013), h. XXVIII
Jammin' Jars casino opens at 7 p.m.. - KLH
BalasHapusJammin' Jars will 창원 출장안마 open its 충주 출장샵 doors on Tuesday 경산 출장안마 as part of its multi-year commitment to providing 부천 출장안마 all the necessary amenities 정읍 출장마사지 and amenities to bring the