BAB I
PENDAHULUAN
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN- HAK ASASI MANUSIA
A.
Latar
Belakang
Kesenjangan sosial, kesenjangan hukum, kesenjangan ekonomi dan
kesenjangan lainnya, menjadi isu masalah yang tidak kunjung tuntas di setiap
tahunnya. Menjadikan kondisi tersebut seakan bukan semakin berkurang malah
semakin menumpuk, dilihat dari sudut pandang manapun problematika tersebut tetaplah
sama dalam penilaiannya “stagnan”. Kondisi tersebut diperparah dengan
adanya faktor kekuasaan yang
kedudukannya melangit serta kebal terhadap hukum, sehingga kesenjangan pun
terus terjadi seiring perkembangan yang ada, menurut hemat penulis, hal ini
dipicu adanya sistem politik yang digunakan tanpa mengemban asas dasar
pelaksanaan suatu politik, yang mempunyai kekuasaannya digunakan untuk menekan
yang lemah, yang memiliki kekayaan digunakan melecehakan yang miskin. Fenomena
seperti itu terus berulang seiring kemajuan zaman, hal ini dipengaruhi oleh
faktor nurani yang kian hari semakin berkurang dalam kepedulian, perhatian,
tengang rasa, simpati, empati bahkan untuk saling berbagi pun hampir-hampir
hilang di muka bumi.
Sedangkan fenomena tersebut sering terlihat di kota-kota
metropolit, penampakan itu tentulah berlawanan dengan pemahaman pada umumnya
tentang kondisi kota metro yang penuh dengan kemajuan hampir di segala aspek,
baik pendidikan maupun perekonomian yang seharusnya jika tatanan sosial
tersebut kaya akan pendidikan bahkan jengang strata, semakin juga kepekaan
sosial serta pemahaman terhadap masyarakat-sosial atas kondisi yang ada,
harusnya lebih mendalam, lebih peka dan lebih dapat mersa derita masyarakat
dengan cara mengaktualisasikan serta mengaplikasikan keilmuan untuk membangun
tatanan masyarakat-sosial yang sejatera. Disamping faktor nurani yang semakain
terkikis, faktor individual (egoisme) dan paradigma pemikiran praktis serta kapitalis
juga menjadi penentu perubahan kondisi masyarakat-sosial yang semakin tidak
menentu. Akan tetapi semua itu dapat teratasi dan berkurang jika ditanggani
secara intens menyeluruh melalui hukum kebijakan yang menyeluruh tanpa
keperpihakan kemanapun.
Seperti yang diketahui, polemik tersebut telah ada sejak dahulu
kala begitu juga respon penanggulangannya untuk menyikapi problem tersebut,
segala cara dipraktekkan untuk meminimalisir dampak polemik tersebut bahkan
sering kali berusaha untuk menghilangkannya, dari mulai ranah adat istiadat,
kerajaan, keratonan bahkan parlemen pemerintahan dikerahkan. Mengingat bahwa
manusia merupakan makhluk sosial yang kental nuasa interaksi dalam memenuhi
kebutuhnya, tidak dapat dipungkiri bahwasannya polemik kemasyarakatan dalam
dunia sosial dapat dipastikan akan terjadi, baik berdampak pada individual
maupun golongan. Tetapi bukan hanya pembacaan problematika masyarakat-sosial
saja yang harus gencar digalangkan, lebih positif dengan gerakan riil baik
melalui lembaga swadaya maupun lembaga perlindungan dalam ataupun diluar
pemerintahan, seperti halnya adanya badan Hukum dan HAM sebagai bentuk wujud
nyata akan kepedualian terhadap polemik yang ada, dengan berlandaskan pada
undang-undang yang disahkan serta tindakan pelindungan ataupun penghukuman
sebagai tindakan representatif berupa ection.
HAM seperti yang diketahui, meruakan suatu bentuk wadah kepedulian
terhadap kesenjangan-kesenjangan dalam interaksi antar manusia yang bertujuan
sebagai pembelaan ataupun putusan hukum terhadap pelanggarnya, dalam fungsi
kegunaannya. Sebagai konsep yang disemarakan, HAM sering kali mengalami
pembacaan ulang bahkan reinterpretasi menjadi konsep yang teraktualisasi
pengaplikasinya sesuai dengan keberadaan akan pemahaman HAM disuatu tempat,
seperti di Indonesia. HAM pernah mengalami perdebadan konsep serta pemahaman
arti sebagai gagasan yang akan dipake dan diperkuat dengan landasan
undang-undang. Adapun pembahsan lanjut, akan dibahas pada bab selanjutnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
dan Bagaimana pengertian HAM?
2.
Bagaimana
penerapan HAM?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
APA
dan BAGAIMANA PENGERTIAN HAM.
Hak Asasi Manusi menjadi isu sentral dalam berbagai perbincangan.
Pengakuan, pembelaan Hak Asasi Manusi sering kali digunakan sebagai dalil dalam
segala pemberontakan, kerusuhan, kriminalitas, ekstrimisme dan kerugian lainnya,
bahkan tidak jarang digunakan sebagai alat untuk mencari pembenaran. Akan
tetapi relita tersebut ancap kalai kurang mendapat perhatian dari masyarakat,
sehingga HAM pun menjadi kambing hitam sebagai senjatan tempur untuk
mengalahkan bahkan menghancurkan rival politik maupun perekonomian. Meskipun demikian
masyarakat tidak mengatahui bahwa sejatinya mereka -yang mengunakan HAM sebagai
alat kepentingan pribadinya- bukan sesuai dengan dalil yang mereka gunakan,
melainkan semua itu wujud dari pelanggaran HAM yang mereka lakukan.
HAM sebagai konsepsi untuk kepentingan umat serta penghapusan
kesenjangan dalam sosial-masyarakat sampai sekarang masih ada yang beluh dapat
memahami betul tentang Hak Asasi Manusia, terutama dalam istilah “Asasi”,
menurut hemat penulis hal ini penyebab adanya pemanfaatan oleh oknum terhadap
HAM sebagai senaja ampun memenangkan tujuannya. Dimana Hak asasi manusia belum
dapat dipahami oleh masyarakat luas, selama itu pula hak asasi manusia akan
selalu digunakan oleh oknum negatif. Maka sebab itu, tentulah sangat perlu
bahkan urgen adanya kajian yang mendalam untuk mencari kesimpulan maksud dari
rekdasional HAM terutama yang masih menjadi pemahaman keliru istilah “ASASI” di
masyaraka. Karenanya perlu adanya kajian redefinisi seara akademis untuk
mengungkap hak asasi manusia, agar nantinya dapat diterapkan sesuai dengan
keadaan suatu tempat tersebut.
Asalan perlu meredefinifi dan memahami redaksional HAM dikarenakan
istilah tersebut merupakan turunan (terjemahan) dari berbagai istilah asing, Human
Rights (bahasa jerman), Mensen Rechten (bahasa Belanda). Selain HAM,
terdapat juga istilah yang dinilai pada kata dari HAM, yaitu Hak Dasar Manusia
(HDM), tidak berbeda jauh dengan HAM, hak dasar manusia juga istilah turunan
dari istilah Fundamental Rights (bahasa inggris) dan Grond Rechten (bahasa
Belanda)[1].
Sebab itu tentulah dapat dijadikan perhatian bahwa antara hak “asasi” manusia
dan hak “dasar” manusia memiliki perbedaan yang sangat tipis, untuk dapat
menggunakan istilah HAM tetulah perlu ditegasan penggunaan pengertian mana yang
tepat dalam menginterpretasikannya, sehingga nantinya tidak ada kesalahan
penggunaan pengertian tersebut antara HAM atau HDM, serta agar tidak terjadi
bias pemaknaan secara kontekstual ataupun implementasi dalam tatanan
pengaplikasiannya.
Redefinisi sangat lah penting diperlukan untuk dapat menentukan
posisi HAM yang tepat serta sebab adanya terjemahan atas HAM yang memiliki
varian bahkan pengertiannnya dalam hukum di Indonesia. Lebih lanjut, penulis
akan mengulasnya sesuai dengan data yang didapat. Antara ketetapan MPR,
Undang-undang HAM dan Undang-Undang peradilan HAM terdapat perbedaan
redaksional serta subtansional dalam definisi HAM. Dari perbedaan tersebut
terkandung problematika yuridis tentang pertanyaan posisi yang tepat terhadap
pengaturan masalah HAM dalam hukum posistif di Indonesia. Menurut Jazim dan
Mustafa, problematika yuridis yang paling terakhir sangat perlu dikaji sebab
implikasi yuridis dari penegakan HAM akan berdampak luas yang dapat
mempengaruhi semua khalayak umum.[2] Sebagai
awal pembahasan istilah ‘asas’ dalam rekadi HAM, penulis sertakan contohnya;
ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM:
“HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang
sifatnya kodrati dan universal sebagai kerunia Tuhan Yang maha Esa dan
berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia
dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh
siapapun.”
Redaksi di atas
terlihat memiliki kesamaan dalam memberikan pengertian antara “hak dasar”
dengan “hak asasi” yangmana dalam pemahaman
bahwa hak “dasar” manusia tercakup dalam hak “asasi” manusia, meliputi
semua sifat kodratiyah dan universal manusia atas karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa, sedangkan sifat-sifat tersebut berperan sebagai lantaran dalam usaha
menjamin kelangsungan, merdekan, perkembangan manusia dan masyarakt. Akan
tetapi, bahwasanya terdapat sifat-sifat yang tidak kodrati dan juga tidak universal
yang malahan juga masuk dalam wujud suatu hak asasi.[3]
Kendati demikian menurut penulis redaksional tersebut masih perlu pemahanan
yang jelas secara redaksionis serta semantiknya. Merupakan suatu keharusan akan
hal itu, guna sebagai respon menjauhkan kesalah fahaman dalam arti dan
pengunaan pengertian HAM secara aplikatifnya, maka dari itu merupakan alasan
kenapa harus adanya redefinisi. Jangan sampai ada kata gerakan penghijauan
tetapi disisi lain tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM dengan
penggusuran tempat tinggal tanpa adanya relokasi yang pantas dan lebih baik
dari yang sebelumnya.
Menurut sejarah yang
ada, potret penegakan HAM merupakan mosaik bagi perjuangan sebuah kemerdekaan,
kebebasan, keadilan, persamaan, persaudaraan, perdamaian dan perlindungan. Pada
mulanya praktik pelanggaran HAM beranjak dari sikap superioritas
primordialistik kelompok tertentu yang didukung oleh intrumen rasisme, bahasa,
agama dan stratifikasi sosial serta berbagai penyimpangan lainnya. Maka dari itu, tentulah menjadi keharusan dalam
menela’ah lebih jauh akar kata dari ideom HAM tersebut agar dapat diterapkan di
Indonesia sesuai dengan kondisi yang ada, dan tidak hanya memahamai HAM sepeti
pehamanan konsep HAM oleh Barat yang hanya dipandangan sebagai produk sejarah
dan pemikran ideologis serta alat kepentingan politik semata. Seperti yang
diungkap di awal, bahwa HAM merupakan pemahaman dari terjemahan istilah-istilah
bahasa asing yang di poles ulang dengan istilah bahasa ibu tetapi belum dapat
mewakili pemahaman yang pas terhadap realitas di Indonesia.
Pada dasarnya istilah HAM dibahasa-bahasa asing tidak sama bahkan
terbilang ada penambahan kata dari terjemahan istilah “Droits del homme”
(bahasa Prancis), “Human Rights” (bahasa Inggris) dan “Mensen
Rechten” (bahasa Belanda).[4]
Bila ditelusuri perkata maka akan dapat mengetahui perbedaan dari istilah asli
dangan istilah hasil terjemahan, seperti human, mensen dan rights,
rechten yang mana bila dilacak dari segi etimologis kata tersebut tidak
sama dengan terjemahan istilah HAM di Indonesia, sebab human, mensen mempunyai
arti Manusia dan rights, rechten mempunyai arti hak-hak, bila
diungkapkan berartikan “Hak-hak Manusia”. Begitu juga pada istilah droits
del homme yang mempunyai arti “hak-hak Manusia”[5]
bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, akan tetapi yang menjadikan tanda
tanya adalah kata “asasi” dalam istilah Hak “Asasi” Manusia, dari mana kata
asasi menjadi pemahaman penerjemahan istilah-istilah bahasa asing yang
dijadikan istilah di Indonesia (HAM).
Maka dari itu, penulis mencantumkan tiga metode pendektan[6]
sebagai cara memahami istilah HAM di Indonesia; pertama pendekatan bahasa,
pendekatan sejarah dan pendekatan hukum.
Pertama. Pendekatan bahasa, kata “asasi” berakar kata dari “asasun”
dalam kamus bahasa Arab berarti asas, dasar. Yang mana kata asasun
mengandung sifat atau persifatan dasar, mendasar, menurut dasar[7]
bahkan bersifat murni. Secara sederhana, istilah HAM yang sekarang lazim
digunakan dipengaruhi bahkan berasal dari terminologi bahasa Arab dalam konteks
Al-Huquq al-Asasiun al-Insaniyah[8],
kendati demikian dari kalangan sarjanah kebanyakan lebih sering menguakan
istilah; hak-hak manusia, hak dasar manusia, hak fundamental dan lain
sebagainya. Dilihat dari kegunaan dan kepantasan bahasa, kata asasi dalam
istilah HAM, lebih tepat dimasukan ke istilah HAM sebagai penguat sekaligus
penjelas dari unsur hak-hak yang terdapat pada manuisia. Karena kandungan makna
dari kata asasi bersifat kodrati, universal, tidak dapat dicabut dan tidak
dapat dipindah tangankan dengan alasan sebab bawaan bukan buatan. Sedangkan
jika di rangkai dalam hak asasi, makan muatan maknanya menjadi hak-hak yang
melekat pada manusia secara kodrati di setiap makhluk yang bersosok biologis
sebagai manusia yang memberika jaminan moral dan legas kepada setiap manusia
dalam bentuk kebebasan mengekspresikan serta mengeksistensikan dirinya dalam
erbagai hal; kebebasan sebuah penghambaaan, dari penindasan, dari perampasaan,
dari penganiayaan, ataupun perlakuan apapun yang menghalangi hidup seseorang
bahkan sekalipun hanya merugikan. Lugasnya, bahwa asasi disini merupakan suatu
ketetapan yang tidak dapat dihilangkan, dicabut, dipindah tangankan yang ada
sebagai fitrah dari ALLAH Subhanallahu Wa Ta’ala yang wajib dijaga dan
dihormati tanpa adanya diskriminasi dari atau kepada pihak lain.
Kedua. Pendekatan Sejarah, menurut Subhi Mahmassani,sejarah
perkembangan pemikiran tentang HAM -atau sebutah asli hak-hak manusia- dapat
dilacak dari zaman adat kuno (masa Jahiliyyah) dimana adanya pengakuan terhadap
hak untuk hiduap, hak kawin dengan cara membeli istri, hak poligami dan hak
melakukan penuntutan di depan kepala suku.[9]
Demikian juga yang terjadi pada masa Yunani dan Romawi kuno, semisal para
filosof Yunani mengatakan bahwa perbudakan merupakan hal yang alamu dan
diperlukan untuk kelangsungan kerja dalam perekonomian pada waktu itu dan
banyak linnya. Sejarah mencatat, diskursus dewasa ini, semakin mendapat tempat
dalam praktiknya tepatnya pada masa pertengahan dimana Rasulullah Muhammad SAW
muncul sebagai the founding father konsep HAM dalam agama islam dengan
cara mengakomodir nilai-nilai HAM yang tertuang dalam Piagam Madinah (622M)[10]
yang mana dalam piagam tersebut tertera banyak poin; prisnsip pesamaan, prinsip
demokrasi, prinsip keadilan, prinsip hak kebebasan memilih agama, prinsip konstitusi,
prinsip kerjasama. Menurut Franz Magnis Suseno, yang dikutip oleh Jazim Hamidi,
perkembangan paham HAM –menggunakan “asasi” di dalamnya- pertama muncul pada
adab ke-17 di Inggris yang mana dipengaruhi oleh zaman dan lingkuangn pada
masanya, tapatnya di ambang zaman modern, akan tetapi saat itu, HAM belum
dirumuskan sekaligus, maliankan ketergantungan pada situasi yang menantang,
anaman atau rangsangan social khas sebuah konteks tertentu. Seperti halnya yang
terjadi pada abad ke 17 tersebut, dimana masyarakat tersebut pada masa itu
berhadapan dengan kebrutalan absolutism raja-raja pada waktu itu. Penolakan
tersebut dilandaskan pada pemahaman bahwasannya setiap manusia memiliki hak-hak
sebagai manusia dalm segala kefitrahannya.
Ketiga. Pendekatan Hukum positif (normative). Dalam konteks hokum
positif Indonesia, pengaturan mengenai HAM –dengan istilah yang beragam- dapat
ditemukan dalam konstitusi. Secara eksplisit, UUd 1945 belum mengenal istilah
HAM, akan tetapi sudah mengenal prinsip-prinsip atau beberapa jenis dari HAM
dan secara implisit sudah dijadikan normatif dalam beberapa pasal. Seperti hak
berserikat atau berkumpul tertera pada Pasal 28, hak beribadat dan menjalankan
syari’at agama tertera pada Pasal 29, hak mendapatkan Pendididkan pada Pasal 31.
Pada konstitusi RIS 1949. Secara eksplisit telah mengatur masalah ersebut,
tetapi dengan sebuatn istilah Hak-hak Dasar Manusia dan Kebebasan Dasar
Manusia.[11]
Sejauh perkembangan yang ada, HAM telah mengalami berbagai redefinisi disetiap
masanya bahkan tanpa meninggalkan pertimbangan dari berbagai ahli terkaiat
redaksional HAM. Sedangkan ketetapan definisi yang dinilai pantas digunakan
sebagai landasan undang-undang dalam wujud dari tindakan kepedulian terhadap
HAM, adapun definisi yang pandas dalam menguak arrti HAM, tertuang dalam
rumusan UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No.Tahun 2000. Sebab masing-masing mencakup
akan makna HAM, adapun redaksional tersebut, sebagai berikut
“HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang, diri manusia, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”
HAM. Seperti yang pernah disinggung di atas, bahwa HAM tidak lain merupakan pemberian dari
Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri setiap manusia atas segala
penghormatan serta penjagaanya. Meskipun demikian, masih sering ditemukan
pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM. Untuk dapat menjadikan pemahaman yang
lebih mendalam dalam konteks kewarganegaaran di Indonesia, tentulah lebih
baiknya dapat memahami semua landasan UU dan ideologi bangsa, sebab agar
nantinya penerapan serta aplikasi tentang HAM itu dapat berfungsi sesuai dengan
kegunaanya.
Pancasila, seperti yang telah diketahui. Merupakan ideologi bangsa
yang merangkum semua kontitusi dalam praktek kenegaraan kerakyatan. Selaian
itu, Pancasila juga mengandung ajaran tentang hak asasi manusia.[12]
Dalam kehidupan bermasyarakat-sosial dan bernegara seseorang harus dapat
mengahargai dan menghormati hak orang lain, sebab manusia hidup saling
bergantung dan berkaitan dalam segala hal untuk memenuhi kebutuhannya dari
dasar keterkaitan dan ketergantungan itulah yang menjadikan manusia sebabai
makhluk sosial serta memiliki kelemahan dalam memenuhi kebutuhan tanpa adanya
bantuan pihak lain.[13]
Selain itu, faktor yang menentukan agar terlaksana dan tarjalin ketergantungan
serta keterkaitan yang harmoni, menurut hemat penulis tentulah perlu akan wajib
mendapatkan kemerdekaan dan persamaan dalam harkat dan martabatnya yangmana hal
tersebut tidak lain sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal itu,
tentulah dapat menjadi dasar bagi setiap individual harus menerima HAM sebagai
anugerah sekaligus sebagai amanat yang terwujud dalam Kewajiban Asasi Manusia
(KAM).
Dapat dipahami, bahwa ada keterkaitan antara HAM dan KAM satu sama
lain, bahkan disinilah hukum kausasitas terjadi. Ketetapan HAM akan sertamerta
terwujud ataupun penuntutan untuk terwujud yang wajib dijaga, jika amanat
Kewajiaban Asasi Manusia sudah dilaksanakan dengan baik dan bijak, guna sebagai
alat pencapai kesejateraan bersama tanpa adanya diskriminasi dari atau kepada
pihak lain dan tanpa adanya perusakan terhadap kepentingan orang laian,
sejatinya orang lain juga memiliki hak-haknya sendriri.
Dalam hakikat HAM penekanan penerapannya bukan dari keegoisan
pribadi atas penuntutan HAM, melainkan sebagai penjagaan keselamatan dan
eksisitensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, berartikan adanya
saling keteraitan, kesinambungan dan perpaduan secara seimbang antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Dalam hal ini, H. Abdul Salam
memberiakan penekanan bahwa dalam menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi
HAM, merupakan kewajiabn dan tanggung jawab bersama baik antra individu
non-pemerintahan, maupun pemerintahan
dan negara.[14]
Dengan kata lain bahwa setiap pemenuhan kebutuhan (kepentingan) tidak boleh
mengesampiangkan ataupun menggangu kepentingan orang lainnya, sebab setiap
individu maupun kelompok mempunyai persaman hak dan kedudukan, karena itu
pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM harus disertai dengan pemenuhan
terhadap Kewajiban Asai Manusia secara Tanggung jawab atas Asasi Manusi dalam
kehiduapan pribadi, masyarakat-sosial dan negara. Dari semua itu, akan
terwujudnya keharmonisan antara kewajiban, tangung jawab dan hak asasi manusia
secara sinergis.
Perlu ditegaskan, poin dari hakikat HAM merupakan suatu yang tidak perlu diberikan
sebab memang sejatinya sudah ada, bahkan tidak dibeli ataupun diwariskan akan
tetapi HAM merupakan suatu yang otomatis ada pada diri manusia; tidak adanya
perbedaan dalam pemberlakuan HAM semua individu ada dibawah atas yang sama “asas
kemanusiaan”; secara harfiyah pelangaran HAM tidak dapat dilakukan sebab HAM
merupkan suatu yang tetap ada tidak akan hilang dan selalu mendapatkan
kebebasanya pada diri manusia.
Diatas telah banyak menyebutkan landasan HAM dan keterkaitannya
dengan HDM, KAM dan TAM, bahkan redaksional defininya. Akan tetapi nampak belum
terjama wujud dari HAM secara kongkrit, baik contoh maupun implikasi efek dari
aplikasi pemahamn tentang HAM. I
Islam merupakan agama yang kaya akan tata cara bahkan regulasi
dalam menjalani kehidupan baik dalam ranah sebagai Hamba Allah SWT maupaun
sebagai Makhluk sosial, dua dimensi tersebut memberikan pengertian bahwa
manusia memiliki dua kedudukan sekaligus tangung jawab yang mengahsilkan suatu
hak sebagai ganjaran atas perbuatanya. Seperti yang telah banyak bahas, islam
hadir sebagai pembaharu tatanan masyarakat-sosial-negara bahkan individu.
Melalui ajaran yang di bawa Rasul Muhammad SAW, islam mampu memberiakan warna
baru dalam kehidupan yang rumit. Berlandaskan kalam ilahiyah serta hadis Nabi,
islam mampu menjawab semua problematikan yang ada, tidak terkecuali tentang
HAM.
Perlu diketahui, bahwa asas akan kewajiban, tangunag jawab serta
hak manusia baik selaku hamba maupun makhluk sosial banyak tertuang dalam
ayat-ayat suci kalam ilahi (Al-Qur’an al-Karim) serta tidak jarang juga
digamblangkan oleh hadis Nabi. Tidak hanya sebatas pencantuman kaitan dengan
semua hal tersebut, lebih komplit, Al-Qur’an hadir sebagai motivator sekaligus solusi
problematika tentang Ham. Adapun pion asas kemanusia dalam HAM, tertuang dalam
berbagai ayat-ayat suci Al-Qur’an. Seperti yang disebutkan oleh Abu A’ala
al-Maududi.[15]
1.
Hak
untuk Hidup.
Setiap individu pasti menginginkan hidup meskipun dengan keadaan
yang dia mampu dapati walaupun kapan saatnya ia kan mati juga. Akan tetapi
kebebasan hak perolehan hidup merupakan suatu yang memang harus dijaga. Kaitan
dengan kehidupan, Al qur’an menegaskan QS. Al-Ma’idah: 32.
مَنْ
قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ
النَّاسَ جَمِيعًا
“barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”
Ayat tersebut menegaskan bahwasanya kehidupan seseorang (manusia)
sangatlah berharga, sebab satu kehidupan merupakan usur untuk menumbuhkan
kehidupan yang lainya, jika unsur tersebut dihilangkan makan sisi laian
kehidupan pun akan binasa, dan dalam ayat tersebut di uangkapkan bahwasanya
hukum mati atau membunuh harus dengan landasan hukum yang jelas dan dasar yang
kuat. Dalam ayat tersebut mengambarkan juga kondisi bila tidak adanya keadilan
hukum serta tidak ada penghormatan terhadap kehidupan seseorang, maka suatu
ketataan akan hacur.
2.
Hak
atas keselamatan hiduap
Keselamatan merupakan asas yang diperlukan setelah diperolehkannya
didapatkannya suatu kehidupan, sebab keselamat ini selaku penentu kelangsungan
hidup seseorang. Ditegaskan dalam QS. Al-Ma’idah:32
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا
النَّاسَ جَمِيعًا
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Analogi logis serta sarat akan hukum kausalitas, bahwa seselamatan
hidup akan terjadi jika adanya yang mempertahankan serta kekuatan tersebut yang
akan menjadikan kehidupan yang terselamatkan dimuka bumi.
3.
Penghormatan
terhadap kesucian kaum wanita.
Dalam hak penghormatan atas kesucian kaum wanita, al-Maududi
menjelaskan bahwa islam telah menegaskan akan kehormatan wanita dengan kesucian
wanita tersebut dalam keadaan apapun wanita tersebut maka kedudukan kehormatan
atas kesucian kaum wanita tetap harus dijaga. Wujud adanya penjagaan ats
kehormatan terhadap kesucian kaum wanita, dalam Al-Qur’an menyebutkan sebuah
ilustrasi yang memuat ancaman serta peringatan atas penghinaan terhadap kaum
wanita termaktub dalam QS. Al-Isra’: 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk"
4.
Hak untuk memperoleh
kebutuhan hidup pokok
Disini lebih ditekankan pada tangung jawab dalam pemerintahan suatu
Negara atau sektor kecil; rumah tangga, kebutuh yang dimaksud ialah kebutuhan
ekonomi guna agar terkecukupannya segala yang menunjang untuk dapat
melangsungkan hidup serta mengembangkan kualitas hidup bahkan keturunan. Ditegaskan dalam QS. Al-Dzaariyat: 19
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian.”
5.
Hak
Individu Ats Kebebasan
Islam secara terang menegaskan bahwa praktek primitive penangkapan
orang yang merdekan untuk dijadikan budak, dijual belikan da lain-lain. Tentang
hal ini Rasul SAW mengatakan sebagai berikut: ada tiga katagori manusia yang
aku sendiri akan mengguatkannya pada hari kiamat. Dari ketiga ini, salah satu
adalah mereka yang menyebabkan seseorang yang merdeka menjadi hamba sahaya,
lalu menjual dan memakan uang hasil penjualanya” Bukhari dan Ibnu Majah.
6.
Hak
atas keadilan
Hak ini, merupakan hak yang subtasial bahkan terbilang isi ajaran
agama islam seperti halnya yang ditekankan oleh Ibnu Taimiyah bahwa suatu
kekuasaan yang palinag penting adalah keadilan bahkan Allah akan menolong
pemimpin yang adil kendati ia orang kafir, tetapi Allah tidak akan menolong
terhadap pemimpin yang dholim kendati ia seorang muslim. Pada hak ini,
Al-Qur’an banyak menegaskannya seperti QS. Al-Ma’idah: 2
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ
صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا
"Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena
mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka"
QS. Al-Ma’idah: 8
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى
أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
QS.
Al-Nisa: 135.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ
لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu”
7.
Kesamanan
derajat umat manusia.
Islam tidak saja mengakui prinsip kesamaan derajat mutlak sesama
manusia tanpa melihat perbedaan yang ada, lebih dari itu, islam hanya mengenal
perbedaan dalam kedudukan keimanan dan ketaqwaan, disebutkan QS. Al-Hujrat: 13
…….. إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ……..
“Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi ALLAH
adalah yang paling bertaqwa diantara kamu sekalian.”
8.
Hak
untuk menentukan kerjasama dan pemutusan hubungan kerja sama
Asas pokok dalam HAM yang ke 8 ini, ALLAH SWT telah mengaturnya
dalam Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penyeimbang hubungan serta respek
tindakan yang harus dilakukan dalam ranah kerjasama dengan melihat situasi dan kondisi yang ada.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Dalam lingkaran HAM ini tamapak terang sekali bagaimana Isalm
peduli terhadap gerakan HAM, bukan hanya sebagai konsep melaiankan sebagai
tolak ukur terhadap pengamalan seorang mu’min dan muslim dalam mengaplikasikan
ajaran mualia dalam Islam di kehidupan
sehari-hari.
Di Indonesia terlihat masih perlunya pemahaman secara menyeluruh
akan sebuah arti dari HAM, sebab jika keadaan ketidak tauhan hakiki gerakan HAM
makan dapat menibulkan keambiguan disetiap kasus yang “dianggap” pelanggaran
HAM atau sebaliknya “bukan tindakan” yang dianggap pelanggaran HAM. Seperti
contoh berita dibawah ini.
Jakarta- Aktivis
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendatangi
kantor staf Kepresidenan (KSP) di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, senin
(13/2/2017)
Meraka datang bersama korban HAM untuk menyampaikan penolakan
terhadap pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) oleh pemeritah.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma menilai
keberadan DKN bukan perintah Presiden Joko Widodo (jokowi) dan tidak sesuai
dengan janji politik Jokowi.
“Secara teknis, DKN yang kataya sudah ada draf perpresnya itu
melenceng dari beberapa aturan,” ujar Feri di kantor KSP, Jakarta, Senin
(13/2/2017).
Menurut feri, pembentukan DKN dianggap tidak sesuai dengan
penangaan Konflik, yakni bertentangan dengan Udang-undang Penanganan Konflik
Sosial (PKS).
Terkait penanganan HAM masa
lalu, kehadiran DKN dianggap bertentangan dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun
2000.
Feri mengatakan, kedatangannya menemui KSP untuk menyampaikan
secara tegas penolakan terhadpa pembentukan DKN tersebut.
“Karena sudah sangat jelas, Ibu Sumarsih (korban) sudah
menyebutkan, periatiwa-peristiwa masa lalu ini kan sudah ada, tinggal bagaimana
Presiden Jokowi mengintruksikan kejaksaaan
Agung untuk penyelidikan, jadi bukan lewat mekanisme seperti yang hari
ini dugagas Wiranto (Menko Polhukam),” tuturnya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Mentri Koordinator Politik
Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) menginisiasi pembentukan DKN untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam semangatnya, DKN memutuskan penyelesaian HAM masa lalu akan
dilakukan melalui jalur rekonsiliasi, bukan jalur hukum termasuk kasus HAM
berat peristiwa Trisakti dan Semanggi I, Semanggi II.
(dam)
Pada kasusu tersebut dari dua kubu Nampak masih berbeda persepsi
dalam membedakan pelangaran dan tidak pelangaran, dapat dilihat dari kubu
KONTRAS yang menolak didirikanya DKN, dengan alasan pembentukan DKN bukan
sebagai solusi penyelesaian kasus perkara HAM sebaliknya sebagai penyalah
gunakan kebijakan yang mana bertentangan dengan UU No. 26 Tahun 2000. Sedangkan
dari pihak pemerintahan yang kali ini
melalui Menko Polhukam, memberikan argument bahwa pembentukan DKN untuk
memutuskan penyelesaian HAM yang belum terselesaikan dengan menggunakan jalur
rekonsiliasi. Menurut hemat penulis hal
inilah yang selau menjadikan HAM akan berada di tempat yang salah dan digunakan
sebagai alat kekuasaan tertent dalam mengalahkan saingan yang akan dikalahkan.
Perlu ditekankan problem ini dapat
merembet ke ranah SARA sebagai alat senjata.
BAB III
PENUTUP
A.
Rangkuman
HAM, HDM, KAM, TAM, seuatu asas yang salisng keterkaitan dan
memiliki hokum kasualitas dalam penerapannya. Dan dalam pengaplikasianya
perlulah keseimbangan disetiap pelaksanaanya, penekanan HAM berada pada
definisi akan maksud dari unsur kondrat manusia yang tidak dapat dihilangkan,
dirampas, dipindah tangankan, hanya dapat dijaga dengan segala tangung jawab
bersama dan penghormatan yang murni, dalam islam HAM sudah ada baik konsep
aturan tekis pelaksnaanya maupu praktek pelaksanaanya dan itu sudah ada sejak
pertama kali wahyu turun, dengan disahkan secara konstitusi saat disahkannya
piagam Madinan.
B. Daftar Pustaka
Al-Maudui, Maulana Abu A’la, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, trj.
Human Rights in Islam, Jakarta: BUMI
AKSARA, 2005.
Hamidi, Dr. Jazim, S.H., M.H. dan Mustafa Luthfi S.Pd., S.H., M.H.,
Civic Educaton: antara realitas politik dan implementasi hukumnya, Jakarta:
PT. Gramedia Puataka Utama Kompas Gramedia, 2010.
Narmoatmojo, Dr. Winarno, M.Si, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Penerbit OMBAK, 2015.
Sjadzali, H.
Munawir, M.Ag., Islam dan Tata
Negara, Jakarta: UI-Press, 1990.
[1] Dr. Jazim
Hamidi, S.H., M.H. dan Mustafa Luthfi S.Pd., S.H., M.H., Civic Educaton:
antara realitas politik dan implementasi hukumnya, (Jakarta: PT. Gramedia
Puataka Utama Kompas Gramedia, 2010), h. 209.
[2] Ibid, h. 210.
[3] Ibid.
[4] Ibid, h. 111
[5] Dr. Winarno
narmoatmojo, M.Si, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi,
(Yogyakarta: Penerbit OMBAK, 2015), h. 111.
[6] Dr. Jazim
Hamidi, S.H., M.H. dan Mustafa Luthfi S.Pd., S.H., M.H., Civic Educaton,
Loc. Cit.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid
[10] Ibid,
[11] Ibid, h. 114.
[12] Dr. Winarno
narmoatmojo, M.Si, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi,
Op. Cit. h. 109.
[13] H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata
Negara, (Jakarta: UI-Press, 1990), h. 60.
[14] Dr. Winarno
narmoatmojo, M.Si, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi,
Op. Cit. h. 113..
[15] Maulana Abu
A’la al-Maudui, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, trj. Human Rights in Islam (Jakarta: BUMI AKSARA,
2005), h. 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar