Senin, 19 Juni 2017

REAKTUALISASI TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN HASAN HANAFI “TEPLOGI SEBAGAI ILMU KEMANUSIAAN UNTUK PERJUANGAN”



BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN HASAN HANAFI
“TEPLOGI SEBAGAI ILMU KEMANUSIAAN UNTUK PERJUANGAN”
A.    Latar Belakang
Sebagai suatu ilmu, teologi merupakan suatu kajian yang membahas masalah ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap penciptanya, melalui penggunaan akal dan wahyu. Akal, sebagai potensi pikir manusia, selalu aktif dan berusaha semaksimal mungkin untuk sampai kepada Tuhan. Sedangkan wahyu sebagai pengkhabaran (ajaran dan aturan) dari alam metafisika yang turun kepada manusia yang berisikan keterangan-keterangan tentang pencipta dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhannya, dari bahasa Tuhan lalu diterjemah menjadi bahasa manusia. Dengan kata lain teologi merupakan pentelaahan tentang ajaran-ajaran dasar agama. Jadi, teologi ini merupakan lahan pengembangan pemikiran dalam Islam, disamping bidang-bidang lain.
Hassan Hanafi termasuk tokoh kebangkitan Islam dan pemikir Islam Kontemporer. Ia dikenal sebagai seorang filosof dan Teolog yang berasal dari Mesir yang pernah meraih gelar Sarjanah Muda bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956.[1] Pemikirannya banyak mengedepankan tradisi dan pembaharuan. Hasan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan “Islam Kiri”. Hassan Hanafi yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Pemikiran Islam yang lain lebih mengedepankan al turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan). Proyeksi ini mendasarkan diri pada dialektika yang dibagi atas kemarin yang diumpamakan dengan khazanah klasik, esok yang diumpamakan dengan khazanah barat, dan sekarang yang diumpamakan dengan realitas kontemporer. Manusia berada dalam ketiga lingkaran ini.[2] Selain itu, sebagai seorang pemikir yang konsentrasi terhadap bidang teologi, Hasan hanafi mencoba merubah kemapanan ideologi yang bersifat teologi dari warisan klasik menjadi suatu kerangka konseptual baru dalam ranah teologi yang diambil dari kebudayaan moderen, melalui perubahan orientasi perangkat konseptual sistem teologi (kepercayaan) sesuai dengan perubahan konteks sosial-politik yang terjadi. Dari usaha tersebut, dapat dilihat bahwa Hasan Hanafi berkeinginan meletakan teologi Islam pada tempat yang sebenarnya.[3] Lantas bagaimana hal tersebut dijelaskan?, dalam tulisan ini akan mencoba membahas maksud tersebut.  
1.      Rumusan Masalah
A.    Biografi Hassan Hanafi dan Pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Hassan Hanafi dan Pemikiranya.
Hassan Hanafi adalah seorang pemikir hukum Islam dan professor filsafat terkemuka di Mesir. Ia dilahirkan 13 Februari 1935 di Kairo dari keluarga musisi,[4] tepatnya di sekitar tembok benteng Shalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan al-Azhar.[5] Keluarganya berasal dari Bani Suwaif, sebuah provinsi yang berada di Mesir dalam. Ia memiliki darah keturunan Maroko. Sementara neneknya berasal dari kabilah Bani Mur, yang diantaranya menurunkan seorang terkenal, Gamal Abd al-Nasher, Presiden Mesir kedua. (Jurnal Islamica No. 1, 1993 : 16). Meskipun lahir dari kalangan musisi, akan tetapi sejak kecil Hasan Hanafi sudah dihadapkan pada kenyataan-kenyataan kehidupan yang pedih serta pahit, karena dominasi kekuasaan penjajah dan pengaruh-pengaruh politik asing yang lain. Hal ini dinilai Hanafi bahwa, negaranya telah mengalami problem yang memperhatikan terkait ancaman terhadap persatuan umat.[6] Dari itulah kekecewaan dan kesadaranya tergugah, yang menjadikan dirinya mulai merintis melahirkan pemahmanan baru tentang ideologi teologis pada jaman moderen.
Pendidikannya diawali pada tahun 1948, kemudian dilanjutkan pada jenjang SMA di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo, yang diselesaikan selama emapat tahun.[7] Selama pendidikannya, disana Hasan Hanafi aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-Muslimin. Akibat dari keaktifanya, Hasan sejak kecil sudah mengataui pemikiran-pemikiran yang dikembangankan oleh ikhwan al-Muslimin dan aktifitas-aktifitas sosialnya. Selaian itu, untuk menunjang serta proses awal terebentuknya ideologi terologis yang diusugnya, Hasan Hanafi juag mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilah sosial dan Islam. dan sejak itu, menurut Nasihun Amin, Hasan Hanafi mulai berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial.[8] Seperti yang pernah disinggung pada latar belakang,  Ia memperoleh gelar Sarjana Muda bidang filsafat dari University of Cairo pada tahun 1956. Sepuluh tahun kemudian (1966), Hanafi mendapatkan gelar Doktor dari La Sorbonne, sebuah universitas terkemuka di Pris. Dengan disertasinya berjudul “Lexsegeses de la Phenomenoloie Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application an Phenomene Religiaux”. Karya tersebut merupakan upaya Hasan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh pada filsafat madzhab fenomenologi dari Edmud Husserl.[9] Dari hikmah domisinya di Prancis, ia mengakuai bahwa di sana ia dilatih berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan karya milik orientalis.[10] Selama rentang studi di negeri yang multietnis tersebut, Hanafi menyempatkan diri mengajarkan bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales, Paris. Setelah menamatkan studinya, ia kembali ke Mesir untuk menjabat staf pengajar di almamaternya, Universitas Kairo.
Salah satu momen penting dalam kehidupan Hanafi, pada khususnya, dan diskursus intelektual Muslim-Arab pada umumnya, adalah diterbitkannya sebuah jurnal berkala oleh Hassan Hanafi yang edisi pertamanya (1981) bertajuk al-Yasâr al-Islâmiy: Khithâbât fî al-Nahdhah al- Islâmîyyah. Jurnal ini tidak saja berisikan beberapa isu penting sehubungan dengan kebangkitan Islam dengan agenda yang sama dalam proyek al-Turâts wa al-Tajdîd, tapi lebih penting lagi, merupakan manifesto gerakan pemikiran yang diidam-idamkan Hanafi dalam rangka pembaruan menyeluruh masyarakat Muslim. Karya Hanafi ini, bersama-sama dengan al-Turâts wa al- Tajdîd, menandai tahap krusial dalam pemikiran Hanafi. Kedua karya tersebut tidak saja terbit setelah kemenangan revolusi Iran 1978-1979 yang tentu saja memberi pembenaran bagi kebangkitan dunia Islam,[11] tapi lebih-lebih menunjukkan terjadinya transformasi dalam pemikiran Hanafi dari apa yang ia sebut sebagai “dominannya kesadaran individual pada dekade 1960-1970, kepada “dominannya kesadaran sosial” sejak dekade 1980-an.
Pada tahun 1966 Hasan Hanafi pulang ke tanah kelahiranya.[12] Semangat Hasan Hanafi untuk meneruskan tulisnya tentang pembaharuaan pemikiran Islam sangat Tinggi, akan tetapi hal tersebut untuk sementara waktu harus di urungkannya, sebab kekalahan Mesir atas Israel menjadikanya lebih memikirkan memperhatikan nasib negaranya, karena itu akhirnya Hasan Hanafi memutuskan untuk ikut serta bergabung dengan rakyat, berjuang dan membangung kembali semangat Nasionalisme[13] jiwa patriotisme guna mengalahkan Israel. Sebagai media untuk membangun kembali semngat Nasionalisme perjuangan bersama rakyat, Hanafi menggunakan media masa sebagai corong perjuangannya, melalui karya tulisnya yang berbentuk artikel-artikel, Hanafi mencoba menanggapi masalah-masalah aktual untuk melacak faktor kelemahan umat Islam.
Hanafi sangat yakin bahwa jika manusia ingin melakukan diskursus tentang esensi dirinya di dalam tradisi klasik, niscaya ia tidak akan menemukannya. Karena menurutnya di sini muncul krisis; manusia menyadari dirinya kemudian mencarinya di dalam peradabannya namun tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, manusia tetap sirna dari tradisi klasik, dan tradisi klasik tetap eksklusif terhadap manusia.[14] Kemudian Hanafi mengajukan konsep baru tentang Teologi Islam bertujuan untuk menjadikan teologi tidak sekadar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yakni, dengan meletakkan teologi islam sesui pada tempatnya yang mana bukan pada ilmu ketuhanan yang suci yang tidak boleh dipersoalkan lagi, tegasnya dapat direkontruksi konsep-konsep teologi Islam, dan juga bukan keilmuan ketuhanan yang harus diterima begitu saja. Untuk memberikan besar konsep teologi yang dibangunnya, Hnafi memberikan epistemologi teologi bahwa teologi merupakan ilmu kemanusiaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan klasifikasi secara historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam yang berjutuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan dunia muslim terhadap kebebasan, kesamaan sosia, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Dari semua itu, Hanafi meletakkan Manusia sebagai sasaran tujuannya, dari itu Hanafi mengidealkan aqidah sebagai alat untuk melakukan perjuangan sosial.[15]
Dari paradigma tersebut inilah tercerminkan dalam karyanya yang berjudul Min al-Aqidah ila al-Tsaurah dan gerakan Islam kirinya.[16] Dari konsep itulah Hanafi menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Pemikiran ini, minimal didasarkan atas dua alasan: pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
Untuk mengatasi kelemahan teologi tradisional yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori.[17] Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas, seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan gaib, tetapi juga mengungkap tentang iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akhirat. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orientasi teologi kontemporer.
Untuk membumikan dua tawarannya tersebut, Hanafi paling tidak menggunakan tiga metode berpikir: dialektika, fenomenologi dan hermeneutik.[18] Dialektika adalah pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis di mana tesis melahirkan antitesis yang dari situ kemudian melahirkan syntesis. Hanafi menggunakan metode ini, ketika sebelumnya menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafi berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit.
Fenomenologi adalah sebuah metode berpikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau realitas. Hanafi menggunakan metode ini untuk menganalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik, ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolusi.[19] Sebagaimana yang diakuinya sendiri sebagai berikut: “Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir”. Dengan metode ini Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat.
Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang, yang aktifitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan, yakni teks, penafsir, dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya. Hanafi menggunakan metode ini untuk mengangkat gagasannya berupa antroposentrisme-teologis; dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran Tuhan sampai kepada manusia.[20] Sebab, apa yang dimaksud dengan hermeneutik bagi Hanafi, bukan sekadar ilmu interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menuju realitas sosial.
Dalam merekonstruksi ilmu-ilmu Islam klasik, paradigma “tradisi dan pembaruan”  memberikan teori-teori pembaruan yang bersinggungan dengan tiga objek: bahasa, emosi, dan realitas sosio-kultural.
1.      Logika pembaruan bahasa
Menurut Hassan Hanafi, pembaruan bahasa dan istilah merupakan hal yang paling pokok dalam melakukan pembaruan terhadap tradisi. Menemukan bahasa baru berarti menemukan ilmu baru. Bahasa juga merupakan sarana pengungkapan dan penyampaian gagasan, sayangnya studi Islam saat ini masih menggunakan bahasa-bahasa klasik. Akibatnya, ilmu pengetahuan dalam Islam tidak mampu berkembang karena gagasan-gagasan baru tidak mampu dibahasakan dengan istilah yang baru pula.
Bahasa klasik sangat berpengaruh dengan situasi dan kondisi pada masa itu, Hassan hnafi mengkritik bahasa klasik karena memiliki tiga keterbatasan, yaitu:[21]
a.       Teo-sentris, Hanafi menyatakan bahwa bahasa dan istilah klasik berpusat pada Allah, sehingga pengungkapan kata Allah dianggap rancu dan paradoks. Kalimat Allah termanifestasikan dalam beragam ungkapan yang memiliki makna berbeda. Misalnya, Allah bagi orang lemah adalah kekuatan, bagi orang takut adalah keamanan, bagi orang bodoh adalah ilmu, dan bagi orang yang tertindas adalah kemerdekaan. Maka dapat disimpulkan bahwa makna Allah selalu mengalami perubnahan sesuai dengan ruang waktu dan tuntutan masyarakat.
b.      Religio-sentris, ilmu klasik masih menggunakan istilah agama seperti din, mukjizat, nubuwat dan lainnya. Hanafi menggugat penggunaan bahasa tersebut, menurutnya kalimat diatas tidak mampu menunaikan tugasnya sebagai pengungkap subtansi pada masa kini. Dalam wacana kontemporer, bahasa diatas menimbulkan pengertian yang ambigu, ambivalen, dan paradoks. Kita tidak mampu membadakan antara agama sejarah, dan agama wahyu karena makna agama dalam  wacana klasik identik dengan Tuhan. Hanafi menganggap ideologi sama dengan agama itu sendiri.
c.       Bahasa klasik tidak lebih sekedar pengucapan kata dari problematika sosio-kultural pada masanya dari pada substansi pemikiran. Ketika kita berfikir tentang fikih, yang kita ketahui hanya madzhab syafi’i, yang berupa golongan. Padahal ada yang lebih penting dari personal tadi yaitu pemikiran dari madzhab syafi’I sendiri. Maka bahasa-bahasa dalam tradisi klasik lebih banyak mengungkapkan sosio-historis, geografis, dan gagasan-gagasan personal.
Untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan diatas, Hanafi menawarkan tiga metode pembaruan bahasa.[22] Pertama, merekonstruksi bahasa klasik menjadi bahasa baru. Analogi sederhananya, mengalih bahasakan kata “Allah” menjadi “insan kamil”. Karena “insan kamil” telah memiliki sifat-sifat Alah yang sempurna. Kedua, mengganti makna bahasa klasik ke bahasa baru, dalam artian mencari kembali makna aslinya untuk diganti bahasa baru. Sebagai contoh, makna dari kata “al-kafarah (denda)” dan “al-hadd (hukuman)”. Keduanya dianggap memiliki makna negativ, padahal denda dan hukuman bertujuan pada pembebasan individu dari rasa bersalah dan pengakuan prinsip-prinsip ideal dalam agama. Ketiga, pembaruan bahasa sesuatu yang klasik ke bahasa yang baru. Seperti kata insan kamil merupakan sesuatu yang dimaksud dengan Allah, karena Allah memiliki sifat yang ideal yang perlu ditiru oleh manusia, maka dengan kata lain, insan kamil adalah Allah itu sendiri.
2.      Rekonstruksi Kesadaran Emosi
Dalam teori pembaruan tidak cukup memperbarui bahasa baru, namun emosi (perasaan), dan kesadaran perlu diperbarui juga. Emosi juga mempunyai peran yang kuat untuk melahirkan pemikiran dan cara pandang seseorang. Emosi-emosi yang bertumpuk-tumpuk pada pelaku-pelaku sejarah (manusia) sangat penting untuk dianalisis dan direkonstruksi. Pada dasarnya, studi-studi Islam klasik tidak bisa lepas dari pengaruh emosi-emosi ini. Sebagai gambarannya dalam ilmu hadits tentang riwayat, itu merupakan gambaran mengenai memahami emosi (psikologis) para rawi. Maka rekonstruksi emosi di sini sangat penting agar agenda-agenda pembaruan bisa berempati dengan psikologi massa.
3.      Perubahan Realita (Sosio-kultural)
Poin ini juga sangat perlu dikaji, karena studi-studi Islam tumbuh dan berkembang pada ranah peradaban klasaik, realitas sosial dan budaya. Diantara peran realitas (sosio-kultural) ini dalam merekonstruksi ilmu-ilmu klasik; memberikan definisi, metodologi, tujuan, aspek pembahasaan dan bahasanya.
Pembaruan benar-benar akan berangkat dari perubahan realita. Para Filusuf Muslim merekonstruksikan Filsafat Yunani dengan materi-materi keislaman karena perubahan realita (dari Yunani ke Arab). Seperti halnya contoh-contoh dari tradisi khas Yunani diganti dengan pengambilan contoh-contoh dari al-Quran dan hadis.
Pembaruan tradisi tidak berhenti pada tiga poin diatas, Hanafi juga memaparkan empat metode lain untuk merekonstruksikan ilmu-ilmu klasik sebagai objek kajian pembaruan[23]; logika penafsiran (telaah proses terbentuknya suatu ilmu dari teks agama dengan metode pemahaman spekulatif), logika fenomenologi (proses rasional-ilmiah dalam menelaah karakteristik fenomena-fenomena pemikiran dan pengaruhnya terhadap struktur ilmu), logika nilai dan logika pembaruan (proses pentelaahan dan berujung pemberian dimensi-dimensi baru, baik dari bahasa yang mengungkapkan analisa-analisa atau materi-materi baru yang diberi oleh realitas keyakinan).
Dari semua itu, prodek besar Hanafi bertumpu pada tiga concern utama. pertama, rekontruksi teks yang dilahirkan dari peradaban masa lalu. Dari Masyarakat Islam dan tradisi lama sama-sama selalu tetap hidup, keduanya pada saat yang sama berada di era moderen yang kompleks akan hal yang beru. Keadaan era moderen tersebut maksa mereka untuk dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada, yakni era dimana semua disiplin keilmuan yang didalamnya termuat berbagai macam konsep paradigma dan sebagainya, dituntut untuk dapat objektif dengan orientasi jelas yang dapat memberikan pengaruh positif-aktif dalam kehidupan manusia dan bukan hanya bersifat teoritis belaka. Akan tetapi tradisi lama dapat dibilang sebagai tradisi yang tidak cocok diterapkan di era moderen, seperti yang diketahui era moderen juga mempuanyai tradisi sendiri yang berbeda dengan tradisi lama yang keduanya saling berlawanan. Hal ini menjadikan sedikit kepincangan dalam pemahaman untuk merekontruksi teks warisan peradaban masa lalu, jika tidak mampu memadukan antara teks dengan realitas yang ada, karena teks masa lalu –dalam pejelasan pemahamnya- masih akan tetap membawa pengaruh tradisi masa lalu dalam kasus sosiologi-antropologi dimana teks tersebut lahir. Dan dari karenanya perlu memisahkan antara teks secara orisinil dengan situasi yang membalut makna teks tersebut guna menemukan sebuah pemahaman yang relefan dengan realitas kondisi sekarang. Adapun yang dimaksud rekontruksi teks yang dimaksud oleh Hanafi yaitu, membangun kembali kaidah-kaidah konseptual pemahaman terhadap ilmu-ilmu tradisional, seperti; filsafat, teologi, fiqh, tafsir, al-Qur’an dan Hadis, dengan menganggap warisan tersebut bukan ilmu yang final diperbincangkan, melainkan ilmu-ilmu yang bersifat feksibel dan bersifat historis guna mengapresiasikan modernitas. Tersebut lantaran menurut Hanafi menemukan tidak ada alternatif yang lebih baik dalam tradisi Asy’ariyah, Mu’tazilah, Averoisme atau Malikiyah.[24]
Kedua, tentang budaya-budaya asing, terutama budaya Barat yang selalu dan sampai sekarang masih mempropagandai dan terus mendominasi melalui media Baratnya -yang sebetulnya inferio- terhadap Masyarakat. Akibatnya Masyarakat menjadi korban “Mitos Universal” sebab budaya-budaya Barat yang membenturkan terhadap masyarakat lalu menjadikan masyarakt terserap kedalamnya tanpa dirasakan. Hal tersebut sebagai alasan untuk diadakanya dekolonasi diri dan membuat peradaban yang berlever sama unggulnya.[25]
Ketiga, concern terhadap masalah sikap terhadap realitas atau dunia nyata diluar teks. Karena warisan tersebut (budaya) dimuat di dalam teks, maka hanafi mengakui bahwa dirinya pun beriteraksi dengan teks secara makna haqiqi, dan ketika menghadapi relitas  hanafi selalu menghubungkan dengan teks. Dalam hal itu, Hanafi memberikan penekanan bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah mentransformasikan realitas ke dalamteks.[26]
Seperti yang diulas diawal. sebagai pemikir teologi, Hanafi menjadikan teologi sebagai intrumen untuk revolusi perjuangn sosial, dirinya menegaskan sikap terhadap bangunan teologi yang sudah ada,sebagai jawaban dari alasan harus adanya reaktualisasi pemahman teologi islam yang direinterpretasi. Terhadap teologi Asy’ariyah,  Hanafi menjaga jarak lantaran dari anggapanya bahwa kelompok tersebut menjadi ideologi kekuasaan. Sedangkan terhadap Mu’tazilah dirinya lebih mendekat lantaran kelompok ini mengedepankan perjuangan kebebasan akal, begitu juga nilai ajaran yang diambilnya dari Khawarij bahwa perbuatan sebagai refleksi Iman dan pelajaran dari penerapan teologi Syi’ah yang telah sukses melaksanakan revolusi di Iran.[27]   
Nasihun Amin menyebutkan lima perinsip yang diutarakan Hanafi sebgai keyakinan untuk membangun teologi konseptual barunya.[28]
1.      Kemaslahatan manusia yang menjadi esensi al-Qur’an dan Sunnah.
2.      Kebebasan manusia sebagai entitas yang otonom.
3.      Menolak Tasawuf, lantaran mengandung ajaran egoistis (mementingkan keselamatan diri sendiri tanpa diikui orang lain) dan ajaran yang naif dan destruksi (memtingkan kesucian jiwa tanpa memperhatikan kesucian dunia)
4.      Tujuan akhir adalah pencerahan  menyeluruh yang berbasis pada kebudayaan dan kesadaran histroris bukan otoritas kekuasaan.
5.      Bertumpu pada relitas bukan pada teks keagamaan.
Adapun poin kejelasan latar belakang perlu adaya dilakukan rekontruksi teologi sekurang-kurangnya tiga hal. a). Adanya teologi yag jelas di tenggah-tenggah pertarungan global antara berbagai ideologi yang hendak berebut pengaruh. b). Teologi yan bukan hanya semata-mata penting pada sisi teoritis, akan tetapi pada kepentingan praktis sebagai pemecah problem-problem kemanusiaan riil. c). Cara untuk memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban mansia yaitu dengan menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan.[29]
Kaitannya dengan pemahaman tentang dzat Tuhan, Hasan Hanafi menolak rumusan teologi yang berikan oleh para teolog klasik. Yaitu pemahman bahwa teologi merupakan ilmu yang objeknya hanya kepada dzat Tuhan, dalam hal ini Hanafi menyakini bahwa semua penggambaran tentang Tuhan, sebagaimana dalam al-Qur’an dan Sunnah pada hakikatnya merupakan penggambaran yang menghantarkan manusia untuk membentuk citra diri manusia yang ideal dengan mengkaji teologi yang diposisikan sebagai ilmu kemanusiaan. Seperti halya pada konsep pengertian tentang Tahuid. Baginya Tauhid merupakan sebuah konsep yang lebih mengarah ke tindakan nyata. Penafian maupun penetapan sebagaimana yang tercerminkan dalam kalimat la illaha illa Allah, tidak akan mempunyai arti apapun jika tanpa adanya aktivitas riil dalam dunia yang nyata. Dengan demikian dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid ialah upaya pada kesatuan sosial masyarakat, ynag berarti kesatuan kemanusiaan tenpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembangan.[30]
Secara detail dalam konsep pemahamn teologi yang diusung oleh Hanafi, ia memberikan beberapa penerapan dari konsep teologi yang berorientasi tentang kemanusiaan, melalui penjelasan konsep sifat-sifat Tuhan. Wujud merupakan eksistensi humanistik yang didasari oleh pengalaman. Bukan penjelasan mengenai wujud Tuhan, karena menurut Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Keberadaan-Nya tidak tergantung pada keberadaan yang lain, dengan kata lain Wujud adalah tajribah wujudiyah pada manusia. Qidam (dahulu) merupakan modal pengalaman dan pengetahuan kesejateraan yang  dapat digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan ada lagi terjatuh kedalam kesesatan, taqlid dan kesalahan. Dengan kata lain, pengalaman akan berbagai kegiatan yang berdimensi kesejahteraan yang mengacu pada akar-akar kebenaran manusia dalam lintas sejarah. Baqa’ (kekal) merupakan ajaran bagi manusia untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan dan alam, serta menjadi motevasi pengerak menjadi manusia yang produktif dengan karya monumentalnya yang bersifat abadi. Singkat kata, Baqa’ bagi Hanafi merupakan pengalaman kemanusiaan yang berupaya agar diri manuisa tidak cepat rusak mealui aktivitas kontruktif yang dapat meningkatkan daya tahan jiwa dan raga dalam menjaga kelestarian lingkungan serta alam. Mukhalafah li al-hawadis dan Qiyamuhu binafsihi bagi Hanafi merupakan tuntutan bagi manusia agar mereka berusaha dengan sangat serius untuk menunjukan eksistensi merekan secara mandiri, dari hal ini lah Hanafi mengajak untuk menjadi pribadi yang selalu tampil percaya diri dalam perbedaan yang ada bahwa tampil untuk berbeda. Dan dari kekuatan kemandirian berdiri sendiri, mampun menjadikan suatu pagar dan penopang kepercayayaan diri tersebut. Semua itu tnetu haruslah di lakukang dengan sangat aktif dan produktif. Wahdaniyyah  merupakan sifat yang menunjuk kepada kesatuan eksperimentasi kemanusiaan. Dengan bahasa lain, merupakan pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan-kesatuan; tujuan, nasib, tanah air, budaya dan kemanusiaan.[31]
Dari seragkaian penjelasan di atas, sangat jelas bahwa Hasan Hanafi mengingnkan pemahaman tentang teologi islam sebagai suatu kekuatan dasyat yang keluar dari jiwa-jiwa murni dan di wujudkan melalui bentuk aktivitas yang tidak jauh dari problem kemanusiaan, terutama untuk menghadapi kejolak penjajahan dan penjarahan.



[1] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 156.
[2] Hassan Hanafi, Islamologi 1; dari teologi statis ke anarkis, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal. v
[3] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Op. Cit , h. 157-158.
[4] Ibid. h. 155.
[5] Seperti yang kita ketahui bahwa kota ini merupakan tempat berkumpulnya pelajar  muslim dari seluruh dunia, khususnya di al-Azhar. Tradisi ilmu telah berkembang sejak lama di sana, meskipun lingkungan sosial sering dikatakan orang tidak begitu mendukung para mahasiswa. Secara kultural, Mesir merupakan buwaihan di mana peradaban besar di dunia pernah hidup di sana sejak masa yang paling awal; mulai dari Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk, dan Turki, sampai dengan Eropa modern. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, lebih-lebih kota Kaironya di mana Hanafi dilahirkan, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuannya.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid. h. 156.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Lihat Diktat, Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, hal. 488 (Hassan Hanafi, al-Dîn wa al-Tsawrah fî Mishr 1956-1981: al-Wahdah al-Wathaniyyah
(Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989), hlm. 13.)
[12] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. cit, h. 156.
[13] Ibid.  .
[14] Hassan Hanafi, Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, terj. Miftah
Faqih (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 66.
[15] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. cit, h. 158.
[16] Ibid.
[17] Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Tim P3M. (Jakarta: P3M,
1991), h. 17.
[18] Boullata justru menilai, pemikiran Hanafi didasarkan pada tiga metodologi, yaitu: analisa sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial Marxian. Lihat Boullata, “Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan”, dalam Islamika, edisi I, Juni-September 1993, h. 21. Lihat Diktat, Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, h. 489.
[19] Lihat Diktat, Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, op. Cit. h. 489.
[20] Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Fidaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1983), h. 1.
[21] Lukman Hakim, Dkk, Kontekstualisasi Islam Dalam Peradaban, (Kairo : Bindhara Press, 2002), h. 226
[22] Ibid, h. 228
[23] Ibid, h. 229
[24] Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. cit, h. 159.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid. h. 160.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid. h. 162.
[31] Ibid. h. 163-164.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar