BAB I
PENDAHULUAN
REAKTUALISASI
TEOLOGI: STUDY PEMIKIRAN HASAN HANAFI
“TEPLOGI
SEBAGAI ILMU KEMANUSIAAN UNTUK PERJUANGAN”
A.
Latar Belakang
Sebagai suatu
ilmu, teologi merupakan suatu kajian yang membahas masalah ketuhanan dan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap penciptanya, melalui penggunaan akal dan
wahyu. Akal, sebagai potensi pikir manusia, selalu aktif dan berusaha
semaksimal mungkin untuk sampai kepada Tuhan. Sedangkan wahyu sebagai
pengkhabaran (ajaran dan aturan) dari alam metafisika yang turun kepada manusia
yang berisikan keterangan-keterangan tentang pencipta dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Tuhannya, dari bahasa Tuhan lalu diterjemah menjadi bahasa
manusia. Dengan kata lain teologi merupakan pentelaahan tentang ajaran-ajaran
dasar agama. Jadi, teologi ini merupakan lahan pengembangan pemikiran dalam
Islam, disamping bidang-bidang lain.
Hassan Hanafi termasuk tokoh kebangkitan Islam
dan pemikir Islam Kontemporer. Ia dikenal sebagai seorang filosof dan Teolog
yang berasal dari Mesir yang pernah meraih gelar Sarjanah Muda bidang filsafat
di Universitas Kairo pada tahun 1956.[1]
Pemikirannya banyak mengedepankan tradisi dan pembaharuan. Hasan Hanafi dalam
forum internasional juga dikenal dengan “Islam Kiri”. Hassan Hanafi yang
berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan
bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi
pembebasan. Pemikiran Islam yang lain lebih mengedepankan al turats wa
tajdid (tradisi dan pembaharuan). Proyeksi ini mendasarkan diri pada
dialektika yang dibagi atas kemarin yang diumpamakan dengan khazanah klasik,
esok yang diumpamakan dengan khazanah barat, dan sekarang yang diumpamakan
dengan realitas kontemporer. Manusia berada dalam ketiga lingkaran ini.[2]
Selain itu, sebagai seorang pemikir yang konsentrasi terhadap bidang teologi,
Hasan hanafi mencoba merubah kemapanan ideologi yang bersifat teologi dari
warisan klasik menjadi suatu kerangka konseptual baru dalam ranah teologi yang
diambil dari kebudayaan moderen, melalui perubahan orientasi perangkat
konseptual sistem teologi (kepercayaan) sesuai dengan perubahan konteks
sosial-politik yang terjadi. Dari usaha tersebut, dapat dilihat bahwa Hasan
Hanafi berkeinginan meletakan teologi Islam pada tempat yang sebenarnya.[3]
Lantas bagaimana hal tersebut dijelaskan?, dalam tulisan ini akan mencoba
membahas maksud tersebut.
1.
Rumusan Masalah
A.
Biografi Hassan Hanafi dan
Pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Hassan Hanafi dan
Pemikiranya.
Hassan Hanafi adalah seorang pemikir
hukum Islam dan professor filsafat terkemuka di Mesir. Ia dilahirkan 13
Februari 1935 di Kairo dari keluarga musisi,[4]
tepatnya di sekitar tembok benteng Shalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh
dari perkampungan al-Azhar.[5]
Keluarganya berasal dari Bani Suwaif, sebuah
provinsi yang berada di Mesir dalam. Ia memiliki darah keturunan Maroko.
Sementara neneknya berasal dari kabilah Bani Mur, yang diantaranya menurunkan
seorang terkenal, Gamal Abd al-Nasher, Presiden Mesir kedua. (Jurnal Islamica No.
1, 1993 : 16). Meskipun lahir dari kalangan musisi, akan tetapi sejak kecil
Hasan Hanafi sudah dihadapkan pada kenyataan-kenyataan kehidupan yang pedih
serta pahit, karena dominasi kekuasaan penjajah dan pengaruh-pengaruh politik
asing yang lain. Hal ini dinilai Hanafi bahwa, negaranya telah mengalami
problem yang memperhatikan terkait ancaman terhadap persatuan umat.[6] Dari itulah
kekecewaan dan kesadaranya tergugah, yang menjadikan dirinya mulai merintis
melahirkan pemahmanan baru tentang ideologi teologis pada jaman moderen.
Pendidikannya diawali pada tahun
1948, kemudian dilanjutkan pada jenjang SMA di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha
Kairo, yang diselesaikan selama emapat tahun.[7]
Selama pendidikannya, disana Hasan Hanafi aktif mengikuti diskusi-diskusi
kelompok Ikhwan al-Muslimin. Akibat dari keaktifanya, Hasan sejak kecil sudah
mengataui pemikiran-pemikiran yang dikembangankan oleh ikhwan al-Muslimin dan
aktifitas-aktifitas sosialnya. Selaian itu, untuk menunjang serta proses awal
terebentuknya ideologi terologis yang diusugnya, Hasan Hanafi juag mempelajari
pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilah sosial dan Islam. dan sejak
itu, menurut Nasihun Amin, Hasan Hanafi mulai berkonsentrasi untuk mendalami
pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial.[8]
Seperti yang pernah disinggung pada latar belakang, Ia memperoleh gelar Sarjana Muda bidang
filsafat dari University of Cairo pada tahun 1956. Sepuluh tahun
kemudian (1966), Hanafi mendapatkan gelar Doktor dari La Sorbonne, sebuah
universitas terkemuka di Pris. Dengan disertasinya berjudul “Lexsegeses de
la Phenomenoloie Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application
an Phenomene Religiaux”. Karya tersebut merupakan upaya Hasan Hanafi untuk
menghadapkan ilmu Ushul Fiqh pada filsafat madzhab fenomenologi dari Edmud
Husserl.[9]
Dari hikmah domisinya di Prancis, ia mengakuai bahwa di sana ia dilatih
berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan karya
milik orientalis.[10]
Selama rentang studi di negeri yang multietnis tersebut, Hanafi menyempatkan
diri mengajarkan bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales, Paris.
Setelah menamatkan studinya, ia kembali ke Mesir untuk menjabat staf pengajar
di almamaternya, Universitas Kairo.
Salah
satu momen penting dalam kehidupan Hanafi, pada khususnya, dan diskursus
intelektual Muslim-Arab pada umumnya, adalah diterbitkannya sebuah jurnal
berkala oleh Hassan Hanafi yang edisi pertamanya (1981) bertajuk al-Yasâr
al-Islâmiy: Khithâbât fî al-Nahdhah al- Islâmîyyah. Jurnal ini tidak saja
berisikan beberapa isu penting sehubungan dengan kebangkitan Islam dengan
agenda yang sama dalam proyek al-Turâts wa al-Tajdîd, tapi lebih penting
lagi, merupakan manifesto gerakan pemikiran yang diidam-idamkan Hanafi dalam
rangka pembaruan menyeluruh masyarakat Muslim. Karya Hanafi ini, bersama-sama
dengan al-Turâts wa al- Tajdîd, menandai tahap krusial dalam pemikiran
Hanafi. Kedua karya tersebut tidak saja terbit setelah kemenangan revolusi Iran
1978-1979 yang tentu saja memberi pembenaran bagi kebangkitan dunia Islam,[11]
tapi lebih-lebih menunjukkan terjadinya transformasi dalam pemikiran Hanafi
dari apa yang ia sebut sebagai “dominannya kesadaran individual pada dekade
1960-1970, kepada “dominannya kesadaran sosial” sejak dekade 1980-an.
Pada
tahun 1966 Hasan Hanafi pulang ke tanah kelahiranya.[12]
Semangat Hasan Hanafi untuk meneruskan tulisnya tentang pembaharuaan pemikiran
Islam sangat Tinggi, akan tetapi hal tersebut untuk sementara waktu harus di
urungkannya, sebab kekalahan Mesir atas Israel menjadikanya lebih memikirkan
memperhatikan nasib negaranya, karena itu akhirnya Hasan Hanafi memutuskan
untuk ikut serta bergabung dengan rakyat, berjuang dan membangung kembali
semangat Nasionalisme[13]
jiwa patriotisme guna mengalahkan Israel. Sebagai media untuk membangun kembali
semngat Nasionalisme perjuangan bersama rakyat, Hanafi menggunakan media masa
sebagai corong perjuangannya, melalui karya tulisnya yang berbentuk
artikel-artikel, Hanafi mencoba menanggapi masalah-masalah aktual untuk melacak
faktor kelemahan umat Islam.
Hanafi sangat yakin bahwa jika
manusia ingin melakukan diskursus tentang esensi dirinya di dalam tradisi
klasik, niscaya ia tidak akan menemukannya. Karena menurutnya di sini muncul
krisis; manusia menyadari dirinya kemudian mencarinya di dalam peradabannya
namun tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, manusia tetap sirna dari tradisi
klasik, dan tradisi klasik tetap eksklusif terhadap manusia.[14]
Kemudian Hanafi mengajukan konsep baru tentang Teologi Islam bertujuan untuk
menjadikan teologi tidak sekadar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yakni, dengan meletakkan
teologi islam sesui pada tempatnya yang mana bukan pada ilmu ketuhanan yang
suci yang tidak boleh dipersoalkan lagi, tegasnya dapat direkontruksi
konsep-konsep teologi Islam, dan juga bukan keilmuan ketuhanan yang harus
diterima begitu saja. Untuk memberikan besar konsep teologi yang dibangunnya,
Hnafi memberikan epistemologi teologi bahwa teologi merupakan ilmu kemanusiaan
yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan klasifikasi secara historis untuk
kontekstualisasi ajaran Islam yang berjutuan untuk mendapatkan keberhasilan
duniawi dengan memenuhi harapan dunia muslim terhadap kebebasan, kesamaan
sosia, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Dari semua
itu, Hanafi meletakkan Manusia sebagai sasaran tujuannya, dari itu Hanafi
mengidealkan aqidah sebagai alat untuk melakukan perjuangan sosial.[15]
Dari paradigma tersebut inilah
tercerminkan dalam karyanya yang berjudul Min al-Aqidah ila al-Tsaurah dan
gerakan Islam kirinya.[16]
Dari konsep itulah Hanafi menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Pemikiran ini, minimal didasarkan
atas dua alasan: pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang
jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua,
pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus
juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
Untuk mengatasi kelemahan teologi
tradisional yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi
menawarkan dua teori.[17]
Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi
tradisional adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas,
seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut
Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang
transenden dan gaib, tetapi juga mengungkap tentang iman, amal dan imamah, yang
historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan
akhirat. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan
untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa
lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya.
Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi
arah dan orientasi teologi kontemporer.
Untuk membumikan dua tawarannya
tersebut, Hanafi paling tidak menggunakan tiga metode berpikir: dialektika,
fenomenologi dan hermeneutik.[18]
Dialektika adalah pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan
proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis di mana tesis melahirkan
antitesis yang dari situ kemudian melahirkan syntesis. Hanafi menggunakan
metode ini, ketika sebelumnya menjelaskan tentang sejarah perkembangan
pemikiran Islam. Juga ketika Hanafi berusaha untuk membumikan kalam yang
dianggap melangit.
Fenomenologi adalah sebuah metode
berpikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau realitas.
Hanafi menggunakan metode ini untuk menganalisa, memahami dan memetakan
realitas-realitas sosial, politik, ekonomi, realitas khazanah Islam dan
realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolusi.[19]
Sebagaimana yang diakuinya sendiri sebagai berikut: “Sebagai bagian dari
gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan
metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir”. Dengan metode ini Hanafi
ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa adalah Islam
yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat.
Hermeneutik adalah sebuah cara
penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang,
yang aktifitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik;
mempunyai tiga segi yang saling berhubungan, yakni teks, penafsir, dan
penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal
pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya. Hanafi menggunakan
metode ini untuk mengangkat gagasannya berupa antroposentrisme-teologis; dari
wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran Tuhan sampai
kepada manusia.[20]
Sebab, apa yang dimaksud dengan hermeneutik bagi Hanafi, bukan sekadar ilmu
interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada
tingkat dunia, dari yang sakral menuju realitas sosial.
Dalam merekonstruksi ilmu-ilmu
Islam klasik, paradigma “tradisi dan pembaruan”
memberikan teori-teori pembaruan yang bersinggungan dengan tiga objek:
bahasa, emosi, dan realitas sosio-kultural.
1.
Logika pembaruan bahasa
Menurut Hassan Hanafi, pembaruan
bahasa dan istilah merupakan hal yang paling pokok dalam melakukan pembaruan
terhadap tradisi. Menemukan bahasa baru berarti menemukan ilmu baru. Bahasa
juga merupakan sarana pengungkapan dan penyampaian gagasan, sayangnya studi
Islam saat ini masih menggunakan bahasa-bahasa klasik. Akibatnya, ilmu
pengetahuan dalam Islam tidak mampu berkembang karena gagasan-gagasan baru
tidak mampu dibahasakan dengan istilah yang baru pula.
Bahasa klasik sangat berpengaruh
dengan situasi dan kondisi pada masa itu, Hassan hnafi mengkritik bahasa klasik
karena memiliki tiga keterbatasan, yaitu:[21]
a.
Teo-sentris, Hanafi
menyatakan bahwa bahasa dan istilah klasik berpusat pada Allah, sehingga
pengungkapan kata Allah dianggap rancu dan paradoks. Kalimat Allah
termanifestasikan dalam beragam ungkapan yang memiliki makna berbeda. Misalnya,
Allah bagi orang lemah adalah kekuatan, bagi orang takut adalah keamanan, bagi
orang bodoh adalah ilmu, dan bagi orang yang tertindas adalah kemerdekaan. Maka
dapat disimpulkan bahwa makna Allah selalu mengalami perubnahan sesuai dengan
ruang waktu dan tuntutan masyarakat.
b.
Religio-sentris, ilmu klasik
masih menggunakan istilah agama seperti din,
mukjizat, nubuwat dan lainnya. Hanafi menggugat penggunaan bahasa tersebut,
menurutnya kalimat diatas tidak mampu menunaikan tugasnya sebagai pengungkap
subtansi pada masa kini. Dalam wacana kontemporer, bahasa diatas menimbulkan
pengertian yang ambigu, ambivalen, dan paradoks. Kita tidak mampu membadakan
antara agama sejarah, dan agama wahyu karena makna agama dalam wacana klasik identik dengan Tuhan. Hanafi
menganggap ideologi sama dengan agama itu sendiri.
c.
Bahasa klasik tidak lebih sekedar
pengucapan kata dari problematika sosio-kultural pada masanya dari pada
substansi pemikiran. Ketika kita berfikir tentang fikih, yang kita ketahui
hanya madzhab syafi’i, yang berupa golongan. Padahal ada yang lebih penting
dari personal tadi yaitu pemikiran dari madzhab syafi’I sendiri. Maka
bahasa-bahasa dalam tradisi klasik lebih banyak mengungkapkan sosio-historis,
geografis, dan gagasan-gagasan personal.
Untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan
diatas, Hanafi menawarkan tiga metode pembaruan bahasa.[22]
Pertama, merekonstruksi bahasa klasik
menjadi bahasa baru. Analogi sederhananya, mengalih bahasakan kata “Allah”
menjadi “insan kamil”. Karena “insan kamil” telah memiliki sifat-sifat Alah
yang sempurna. Kedua, mengganti makna
bahasa klasik ke bahasa baru, dalam artian mencari kembali makna aslinya untuk
diganti bahasa baru. Sebagai contoh, makna dari kata “al-kafarah (denda)” dan
“al-hadd (hukuman)”. Keduanya dianggap memiliki makna negativ, padahal denda
dan hukuman bertujuan pada pembebasan individu dari rasa bersalah dan pengakuan
prinsip-prinsip ideal dalam agama. Ketiga,
pembaruan bahasa sesuatu yang klasik ke bahasa yang baru. Seperti kata insan
kamil merupakan sesuatu yang dimaksud dengan Allah, karena Allah memiliki sifat
yang ideal yang perlu ditiru oleh manusia, maka dengan kata lain, insan kamil
adalah Allah itu sendiri.
2.
Rekonstruksi Kesadaran Emosi
Dalam teori pembaruan tidak cukup
memperbarui bahasa baru, namun emosi (perasaan), dan kesadaran perlu diperbarui
juga. Emosi juga mempunyai peran yang kuat untuk melahirkan pemikiran dan cara
pandang seseorang. Emosi-emosi yang bertumpuk-tumpuk pada pelaku-pelaku sejarah
(manusia) sangat penting untuk dianalisis dan direkonstruksi. Pada dasarnya,
studi-studi Islam klasik tidak bisa lepas dari pengaruh emosi-emosi ini.
Sebagai gambarannya dalam ilmu hadits tentang riwayat, itu merupakan gambaran
mengenai memahami emosi (psikologis) para rawi. Maka rekonstruksi emosi di sini
sangat penting agar agenda-agenda pembaruan bisa berempati dengan psikologi
massa.
3.
Perubahan Realita (Sosio-kultural)
Poin ini juga sangat perlu dikaji,
karena studi-studi Islam tumbuh dan berkembang pada ranah peradaban klasaik,
realitas sosial dan budaya. Diantara peran realitas (sosio-kultural) ini dalam
merekonstruksi ilmu-ilmu klasik; memberikan definisi, metodologi, tujuan, aspek
pembahasaan dan bahasanya.
Pembaruan benar-benar akan
berangkat dari perubahan realita. Para Filusuf Muslim merekonstruksikan Filsafat
Yunani dengan materi-materi keislaman karena perubahan realita (dari Yunani ke
Arab). Seperti halnya contoh-contoh dari tradisi khas Yunani diganti dengan
pengambilan contoh-contoh dari al-Quran dan hadis.
Pembaruan tradisi tidak berhenti
pada tiga poin diatas, Hanafi juga memaparkan empat metode lain untuk
merekonstruksikan ilmu-ilmu klasik sebagai objek kajian pembaruan[23];
logika penafsiran (telaah proses terbentuknya suatu ilmu dari teks agama dengan
metode pemahaman spekulatif), logika fenomenologi (proses rasional-ilmiah dalam
menelaah karakteristik fenomena-fenomena pemikiran dan pengaruhnya terhadap
struktur ilmu), logika nilai dan logika pembaruan (proses pentelaahan dan
berujung pemberian dimensi-dimensi baru, baik dari bahasa yang mengungkapkan
analisa-analisa atau materi-materi baru yang diberi oleh realitas keyakinan).
Dari semua itu, prodek besar Hanafi
bertumpu pada tiga concern utama. pertama, rekontruksi teks yang
dilahirkan dari peradaban masa lalu. Dari Masyarakat Islam dan tradisi lama
sama-sama selalu tetap hidup, keduanya pada saat yang sama berada di era
moderen yang kompleks akan hal yang beru. Keadaan era moderen tersebut maksa
mereka untuk dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada, yakni era
dimana semua disiplin keilmuan yang didalamnya termuat berbagai macam konsep
paradigma dan sebagainya, dituntut untuk dapat objektif dengan orientasi jelas
yang dapat memberikan pengaruh positif-aktif dalam kehidupan manusia dan bukan
hanya bersifat teoritis belaka. Akan tetapi tradisi lama dapat dibilang sebagai
tradisi yang tidak cocok diterapkan di era moderen, seperti yang diketahui era
moderen juga mempuanyai tradisi sendiri yang berbeda dengan tradisi lama yang
keduanya saling berlawanan. Hal ini menjadikan sedikit kepincangan dalam
pemahaman untuk merekontruksi teks warisan peradaban masa lalu, jika tidak
mampu memadukan antara teks dengan realitas yang ada, karena teks masa lalu
–dalam pejelasan pemahamnya- masih akan tetap membawa pengaruh tradisi masa
lalu dalam kasus sosiologi-antropologi dimana teks tersebut lahir. Dan dari
karenanya perlu memisahkan antara teks secara orisinil dengan situasi yang
membalut makna teks tersebut guna menemukan sebuah pemahaman yang relefan
dengan realitas kondisi sekarang. Adapun yang dimaksud rekontruksi teks yang
dimaksud oleh Hanafi yaitu, membangun kembali kaidah-kaidah konseptual
pemahaman terhadap ilmu-ilmu tradisional, seperti; filsafat, teologi, fiqh,
tafsir, al-Qur’an dan Hadis, dengan menganggap warisan tersebut bukan ilmu yang
final diperbincangkan, melainkan ilmu-ilmu yang bersifat feksibel dan bersifat
historis guna mengapresiasikan modernitas. Tersebut lantaran menurut Hanafi
menemukan tidak ada alternatif yang lebih baik dalam tradisi Asy’ariyah, Mu’tazilah,
Averoisme atau Malikiyah.[24]
Kedua, tentang
budaya-budaya asing, terutama budaya Barat yang selalu dan sampai sekarang
masih mempropagandai dan terus mendominasi melalui media Baratnya -yang
sebetulnya inferio- terhadap Masyarakat. Akibatnya Masyarakat menjadi korban
“Mitos Universal” sebab budaya-budaya Barat yang membenturkan terhadap
masyarakat lalu menjadikan masyarakt terserap kedalamnya tanpa dirasakan. Hal
tersebut sebagai alasan untuk diadakanya dekolonasi diri dan membuat peradaban
yang berlever sama unggulnya.[25]
Ketiga, concern
terhadap masalah sikap terhadap realitas atau dunia nyata diluar teks. Karena
warisan tersebut (budaya) dimuat di dalam teks, maka hanafi mengakui bahwa
dirinya pun beriteraksi dengan teks secara makna haqiqi, dan ketika menghadapi
relitas hanafi selalu menghubungkan
dengan teks. Dalam hal itu, Hanafi memberikan penekanan bahwa yang dibutuhkan
sekarang adalah mentransformasikan realitas ke dalamteks.[26]
Seperti yang diulas diawal. sebagai
pemikir teologi, Hanafi menjadikan teologi sebagai intrumen untuk revolusi
perjuangn sosial, dirinya menegaskan sikap terhadap bangunan teologi yang sudah
ada,sebagai jawaban dari alasan harus adanya reaktualisasi pemahman teologi
islam yang direinterpretasi. Terhadap teologi Asy’ariyah, Hanafi menjaga jarak lantaran dari anggapanya
bahwa kelompok tersebut menjadi ideologi kekuasaan. Sedangkan terhadap
Mu’tazilah dirinya lebih mendekat lantaran kelompok ini mengedepankan
perjuangan kebebasan akal, begitu juga nilai ajaran yang diambilnya dari
Khawarij bahwa perbuatan sebagai refleksi Iman dan pelajaran dari penerapan
teologi Syi’ah yang telah sukses melaksanakan revolusi di Iran.[27]
Nasihun Amin menyebutkan lima
perinsip yang diutarakan Hanafi sebgai keyakinan untuk membangun teologi
konseptual barunya.[28]
1.
Kemaslahatan manusia yang menjadi
esensi al-Qur’an dan Sunnah.
2.
Kebebasan manusia sebagai entitas
yang otonom.
3.
Menolak Tasawuf, lantaran mengandung
ajaran egoistis (mementingkan keselamatan diri sendiri tanpa diikui orang lain)
dan ajaran yang naif dan destruksi (memtingkan kesucian jiwa tanpa
memperhatikan kesucian dunia)
4.
Tujuan akhir adalah pencerahan menyeluruh yang berbasis pada kebudayaan dan
kesadaran histroris bukan otoritas kekuasaan.
5.
Bertumpu pada relitas bukan pada
teks keagamaan.
Adapun poin kejelasan latar
belakang perlu adaya dilakukan rekontruksi teologi sekurang-kurangnya tiga hal.
a). Adanya teologi yag jelas di tenggah-tenggah pertarungan global antara berbagai
ideologi yang hendak berebut pengaruh. b). Teologi yan bukan hanya semata-mata
penting pada sisi teoritis, akan tetapi pada kepentingan praktis sebagai
pemecah problem-problem kemanusiaan riil. c). Cara untuk memberikan sumbangan
konkrit bagi kehidupan dan peradaban mansia yaitu dengan menjadikan teologi
sebagai wacana tentang kemanusiaan.[29]
Kaitannya dengan pemahaman tentang
dzat Tuhan, Hasan Hanafi menolak rumusan teologi yang berikan oleh para teolog
klasik. Yaitu pemahman bahwa teologi merupakan ilmu yang objeknya hanya kepada
dzat Tuhan, dalam hal ini Hanafi menyakini bahwa semua penggambaran tentang
Tuhan, sebagaimana dalam al-Qur’an dan Sunnah pada hakikatnya merupakan
penggambaran yang menghantarkan manusia untuk membentuk citra diri manusia yang
ideal dengan mengkaji teologi yang diposisikan sebagai ilmu kemanusiaan.
Seperti halya pada konsep pengertian tentang Tahuid. Baginya Tauhid merupakan
sebuah konsep yang lebih mengarah ke tindakan nyata. Penafian maupun penetapan
sebagaimana yang tercerminkan dalam kalimat la illaha illa Allah, tidak
akan mempunyai arti apapun jika tanpa adanya aktivitas riil dalam dunia yang
nyata. Dengan demikian dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid
ialah upaya pada kesatuan sosial masyarakat, ynag berarti kesatuan kemanusiaan
tenpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat
maju dan berkembangan.[30]
Secara detail dalam konsep pemahamn
teologi yang diusung oleh Hanafi, ia memberikan beberapa penerapan dari konsep
teologi yang berorientasi tentang kemanusiaan, melalui penjelasan konsep
sifat-sifat Tuhan. Wujud merupakan eksistensi humanistik yang didasari
oleh pengalaman. Bukan penjelasan mengenai wujud Tuhan, karena menurut Tuhan
tidak memerlukan pengakuan. Keberadaan-Nya tidak tergantung pada keberadaan
yang lain, dengan kata lain Wujud adalah tajribah wujudiyah pada
manusia. Qidam (dahulu) merupakan modal pengalaman dan
pengetahuan kesejateraan yang dapat
digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan ada lagi
terjatuh kedalam kesesatan, taqlid dan kesalahan. Dengan kata lain, pengalaman
akan berbagai kegiatan yang berdimensi kesejahteraan yang mengacu pada
akar-akar kebenaran manusia dalam lintas sejarah. Baqa’ (kekal)
merupakan ajaran bagi manusia untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan
dan alam, serta menjadi motevasi pengerak menjadi manusia yang produktif dengan
karya monumentalnya yang bersifat abadi. Singkat kata, Baqa’ bagi Hanafi
merupakan pengalaman kemanusiaan yang berupaya agar diri manuisa tidak cepat
rusak mealui aktivitas kontruktif yang dapat meningkatkan daya tahan jiwa dan
raga dalam menjaga kelestarian lingkungan serta alam. Mukhalafah li
al-hawadis dan Qiyamuhu binafsihi bagi Hanafi merupakan tuntutan
bagi manusia agar mereka berusaha dengan sangat serius untuk menunjukan
eksistensi merekan secara mandiri, dari hal ini lah Hanafi mengajak untuk
menjadi pribadi yang selalu tampil percaya diri dalam perbedaan yang ada bahwa
tampil untuk berbeda. Dan dari kekuatan kemandirian berdiri sendiri, mampun
menjadikan suatu pagar dan penopang kepercayayaan diri tersebut. Semua itu
tnetu haruslah di lakukang dengan sangat aktif dan produktif. Wahdaniyyah merupakan sifat yang menunjuk kepada kesatuan
eksperimentasi kemanusiaan. Dengan bahasa lain, merupakan pengalaman umum
kemanusiaan tentang kesatuan-kesatuan; tujuan, nasib, tanah air, budaya dan
kemanusiaan.[31]
Dari seragkaian penjelasan di atas,
sangat jelas bahwa Hasan Hanafi mengingnkan pemahaman tentang teologi islam
sebagai suatu kekuatan dasyat yang keluar dari jiwa-jiwa murni dan di wujudkan
melalui bentuk aktivitas yang tidak jauh dari problem kemanusiaan, terutama
untuk menghadapi kejolak penjajahan dan penjarahan.
[1] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya, 2015), h. 156.
[2] Hassan Hanafi,
Islamologi 1; dari teologi statis ke anarkis, (Yogyakarta: LkiS, 2007),
hal. v
[3] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Op. Cit , h. 157-158.
[4] Ibid. h. 155.
[5] Seperti yang kita ketahui bahwa kota ini merupakan tempat
berkumpulnya pelajar muslim dari seluruh
dunia, khususnya di al-Azhar. Tradisi ilmu telah berkembang sejak lama di sana,
meskipun lingkungan sosial sering dikatakan orang tidak begitu mendukung para
mahasiswa. Secara kultural, Mesir merupakan buwaihan di mana peradaban besar di
dunia pernah hidup di sana sejak masa yang paling awal; mulai dari Fir’aun,
Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk, dan Turki, sampai dengan Eropa modern. Hal ini
menunjukkan bahwa Mesir, lebih-lebih kota Kaironya di mana Hanafi dilahirkan,
mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuannya.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid. h. 156.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11]
Lihat Diktat, Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan Hanafi,
hal. 488 (Hassan Hanafi, al-Dîn wa
al-Tsawrah fî Mishr 1956-1981: al-Wahdah al-Wathaniyyah
(Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989), hlm. 13.)
[12] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. cit, h. 156.
[13] Ibid. .
[14] Hassan Hanafi, Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke
Antroposentrisme, terj. Miftah
Faqih
(Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 66.
[15] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. cit, h. 158.
[16] Ibid.
[17] Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Tim
P3M. (Jakarta: P3M,
1991), h. 17.
[18] Boullata justru menilai, pemikiran Hanafi didasarkan pada tiga
metodologi, yaitu: analisa sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial
Marxian. Lihat Boullata, “Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan”, dalam
Islamika, edisi I, Juni-September 1993, h. 21. Lihat Diktat, Indo
Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, h. 489.
[19] Lihat Diktat, Indo Santalia, Paradigma Teologi Antroposentris
Hassan Hanafi, op. Cit. h. 489.
[20] Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka
Fidaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1983), h. 1.
[21] Lukman Hakim, Dkk, Kontekstualisasi Islam Dalam Peradaban, (Kairo :
Bindhara Press, 2002), h. 226
[24] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, op. cit, h. 159.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid. h. 160.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid. h. 162.
[31] Ibid. h. 163-164.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar