BAB I
Pendahuluan
Reaktulisasi Hukum Islam: Study Pemikiran Muhammad Syahrur
Teori Batas
1.
Latar Belakang
Masalah
Al-Quran
merupakan landasan utama dalam pemikiran Islam, salah satu kemukjizatan
al-Quran adalah sholikh li kulli zaman wa makan. Kehadiran teks al-Quran
telah melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tidak pernah berhenti
dalam aktifitas penafsiran dan
pengembangan makna atas ayat-ayatnya secra kreatif. Sejarah telah mengungkap
banyak dari kalangan ulama yang berusaha menafsirkan al-Quran dengan metode dan
corak yang beragam. Namun tidak jarang dari adanya buah penafsiran, malahan
menjadi pertentangan kepentingan di antara para mufassir. Sebagian mereka
menganggap bahwa penafsiran merekalah yang paling benar, sebagain lainnya
menyalahkan penafsiran dari sebagiannya. Serta anggapan yang menyatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup, semakin memperkeruh perkembangan penafsiran al-Quran.
Dalam sebuah
riwayat Nabi Muhammad pernah memberitahukan bahwa setiap kurun waktu tertentu
akan ada seorang pembaharu (mujaddid), yang akan mengembalikan Islam
pada jalan yang benar[1].
Hal ini merupakan sebuah isyarat, bahwa pemikiran Islam selalu mengalami
perkembangan. Sering kali para mujaddid menawarkan konsep pemikiran yang
jauh berbeda dengan ulama klasik, mereka memberikan metodologi baru dalam
menafsirkan al-Quran. Beberapa tokoh pemikir muslim kontemporer tersebut, di
antaranya, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, Muhammad Syahrur, Abid al-Jabiri,
dan masih banyak pemikir kontemporer lainnya.
Dalam
pembahasan kali ini, kita akan membahas pemikiran Muhammad Shahrur. Ia
merupakan seorang doktor teknik pertanahan berasal dari Syiria. Shahrur
mengguncang Timur Tengah dengan pemikiran kontroversialnya. Dalam buku
karangannya yang berjudul al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah,
Shahrur mencoba menafsirkan al-Quran menggunakan ilmu teknik dan sains. Ia
berpendapat bahwa umat muslim hendaknya harus memperlakukan al-Quran,
seolah-olah baru saja diwahyukan dan Nabi Muhammad baru wafat kemarin.[2]
Dengan demikian kandungan al-Quran akan selalu sesuai dengan ruang dan waktu.
Didukung oleh
gurunya Dja’far Dikki al-Bab, Syahrur menolak konsep sinonimitas yang ada dalam
lafadz al-Quran[3].
Misalnya, Al-Furqon dan al-Kitab yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai
nama lain dari al-Quran, Syahrur menolak anggapan tersebut. Menurutnya
al-Furqon dan al-Kitab memiiliki maknanya masing-masing, yang tidak sama dengan
makna lafadz al-Quran. Selain itu Syahrur menawarkan sebuah teori yang
terkenal dengan Teori Limit (Nadzariyatu al-Hudud). Teori
tersebut memandang bahwa perintah Allah yang terkandung dalam al-Quran dan
sunnah, terdiri dari ketentuan batas rendah (al had al adna) dan batas
atas (al had al a’la) dalam seluruh perbuatan manusia. Pembahasan
tersebut akan dibahas selanjutnya.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Biografi dan Pemikiran Muhammad Syahrur
BAB II
Pembahasan
a.
Biografi dan
Pemikiran Muhammad Syahrur
Nama lengkap
beliau adalah Muhammad ibn Da’ib Syahrur, ia lahir di kota Damaskus, Syiria,
pada tanggal 11 Maret 1938.[4]
Syahrur menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan
Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus, ia menamatkannya pada tahun 1957.[5]
Sementara itu riwayat pendidikan tinngi Syahrur lebih banyak dihabiskan di luar
tanah airnya. Ia meraih gelar Diploma teknik sipil di Moscow, Uni Soviet pada
tahun 1964.[6]
Di sinilah Syahrur mulai mengenal teori dan praktek paham Marxis, yang dikenal
dengan konsep dialektika materialisme. Sepulangnya dari Moscow, Syahrur kembali
ke tanah airnya dan menjadi dosen di Fakultas Teknik Universitas Damaskus.[7]
Syahrur melanjutkan studi master dan doktor di Universitas Nasional Irlandia,
dalam bidang Mekanika Pertanahan dan Fondasi. Ia berhasil meraih gelar master
pada tahun 1969, dan gelar doktor pada tahon 1972[8].
Syahrur
dibesarkan dalam keluarga yang liberal, keluarganya menganggap kesalehan ritual
dianggap kurang penting dibandingkan dengan ajaran etika Islam[9].
Syiria, tanah kelahirannya turut memberi pengaruh besar dalam pemikirannya.
Syiria merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang mengalami konflik
modernitas, khususnya benturan keagamaan dan gerakan modernitas barat[10].
Selain itu, pengaruh Islam fundamental masih sangat kental di Syiria, syariat
Islam masih banyak yang disejajarkan dengan kondisi pada masa nabi. Hal ini
melahirkan kesimpulan dari analisisnya, menurut Syahrur komunitas umat Muslim
masih terpolarisasi kedalam dua kubu; pertama, mereka yang berpegang teguh
secara ketat terhadap arti literal dan tradisi, mereka berkeyakinan bahwa
warisan menyimpan kebenaran yang absolut, dalam arti bahwa semua yang telah
diformulasikan oleh para generasi awal islam masih cocok oleh orang yang
beriman di setiap zaman; kubu kedua, mereka menyerukan untuk bersikap dan
bertindak secara sekularisme dan modernitas juga menolak semua warisan islam,
tidak terkecuali al-Qur’an yang mana termasuk dari bagian tradisi yang
diwarisi. Dengan mengangap bahwa ritual hanyalah gambaran ketidak jelasan ajaran.[11]
Karena latar belakang keluarga dan pendidikannya, Syahrur menganggap bahwa
syariat Islam pada masa klasik sudah tidak relevan lagi bagi masyarakat
sekarang, menurutnya al-Quran sebagai landasan utama umat Islam perlu
ditafsirkan ulang.
Seperti yang
telah disebutkan di atas, latar belakang pendidikan Syahrur adalah seorang
doktor teknik pertanahan, namun perhatiannya terhadap tafsir al-Quran sangatlah
besar. Bahkan ia menafsirkan ayat al-Quran dengan menggunakan perspektif ilmu
teknik pertanahan yang dimilikinya. Setelah penelitian yang ia lakukan selama
kurang lebih 20 tahun, Syahrur berhasil menulis sebuah buku tentang pemikiran
Islam kontemporer yang berjudul, al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah (1990).
Karya tersebut merupakan hasil pengendapan pemikirannya yang cukup panjang
sekitar 20 tahun lamanya, dari tahun 1970-1980 di fase pertama, Syahrur
memandang bahwa umat muslim masih terkungkung dalam leteratur keislaman klasik
yang cenderung memandang ajaran Islam –yang bersifat warisan budaya generasi
awal- sebagai idelogi, baik dalam bentuk pemikiran kalam ataupun fikir.[12]
Selain itu karya-karya Syahrur lainnya,
antara lain: Dirasah Islamiyyah Muashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’
(1994), Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), serta Masyru’ Mithaq
al-Amal al-Islami (1999).[13]
Pastinya
diperlukan waktu yang cukup lama bagi Syahrur untuk dapat merumuskan segala
pemikirannya. Dalam bukunya yang berjudul Iman dan Islam: Aturan-aturan Pokok,
yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh M. Zaid Su’udi, Syahrur
menyebutkan bahwa ia telah melewati tiga fase pemikiran.[14]
1.
Tingkatan Awal (1970 - 1980)
Tingkatan ini
bermula ketika ia memulai pendidikan magister dan doktor dalam bidang Teknik
Sipil di Universitas Nasional, Dublin Irlandia.[15]
Pada fase ini Syahrur masih melakukan perenungan tentang hal-hal yang akan
menjadi kerangka pemikirannya. Shahrur mengakui bahwa saat itu dirinya masih
terpengaruh dengan hegemoni pemikiran Islam klasik, yang fanatis terhadap
madzhab maupun aliran kalam. Selain itu lingkungan pendidikannya yang berada di
Barat, turut andil besar dalam fase pertama ini. Setelah sepuluh tahun berlalu,
akhirnya Shahrur berhasil membangun pondasi pemikirannya yang kontroversial
itu.
2.
Tingkatan Kedua (1980 - 1986)
Pertemuannya
dengan seorang kawan lamanya, yang juga seorang ahli bahasa, Dja’far Dikki
al-Bab, membuat Syahrur semakin berminat untuk belajar lebih jauh tentang studi
bahasa filsafat untuk memahami al-Quran. Pada waktu itulah perhatian Syahrur
terhadap ilmu keislaman dimulai.[16]
Dari hasil diskusi serta hasil dari penelitiannya, Syahrur menolak konsep
sinonimitas dalam al-Quran. Menurutnya semua lafadz yang ada dalam
al-Quran adalah otentik, memiliki maknanya masing-masing. Hal ini didasarkan
pada pemahaman Syahrur terhadap rahasia linguistik dalam Bahasa Arab, karena
al-Quran diturunkan menggunakan Bahasa Arab[17].
3.
Tingkatan Ketiga (1986 - 1990)
Fase ini dapat
disebut sebagai tingkat kematangan berpikir Shahrur, ia tidak lagi terpengaruh
oleh aliran kalam, aliran madzhab, atau arus pemikiran modern sekalipun yang
sedang ataupun telah berlanjut berkembang melingkupi kehidupannya. Syahrur
menemukan metodologinya sendiri dalam memahami al-Quran, dengan menggunakan
pendekatan linguistik dan historis-ilmiah. Pada fase ini pula Syahrur berhasil
menyusun bukunya, al-Kitab wa al-Quran: Qira;ah Mu’ashiroh, yang selesai
pada tahun 1990.[18]
Kerangka
pemikiran Syahrur tak bisa terlepas dari kondisi sosial yang ada di sekitarnya.
Menurutnya masyarakat sudah terlampau lama terjebak dalam doktrin yang dianggap
sebagai bagian dari Islam, padahal landasan tersebut perlu dikaji ulang. Umat
Islam terjebak dalam taqlid buta, dan menganggap bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Akibatnya peradaban Islam tak mampu menghasilkan pemikiran
baru, tertinggal oleh modernitas, saling mengaku kelompoknyalah yang paling
benar.
Kejumudan tersebut
terjadi bukan tanpa alasan, dalam bukunya yang berjudul al-Kitab wa
al-Quran: Qiraah Muashirah, Shahrur memaparkan lima masalah yang tengah
dihadapi oleh peradaban Islam[19]:
Pertama, tidak ada
pegangan yang pasti berupa metodologi ilmiah objektif. Akibatnya banyak di
antara penulis muslim yang mengikutsertakan sentimen pribadinya dalam karya
pemikirannya, justifikasi antar kelompok tidak dapat dihindari.
Kedua, produk hukum
masa lalu masih digunakan untuk mengadili hukum pada masa sekarang. Maka dari
itu diperlukan sebuah metodologi fiqh baru, yang mampu menyelesaikan
permasalahan yang tengah dihadapi sekaarng. Syahrur berkeyakianan bahwa sebab
kemajuan budaya dan ilmu pengeahuan, umat muslim dimasa moderen mempunyai
perangkat maupun cara untuk memahami bahkan menaknai al-Qur’an secara lebih
baik sesuai dengan situasi dan kondisi. Maka dari itu menurut pandanganya,
pihak yang paling bertanggungjawab atas pesan-pesan ilahi sebagai pemberi
solusi persoalan-persoalan kontemporer terletak pada generasi saat ini, dan
bukan tanggungjawab generasi terdahulu lagi.[20]
Ketiga, filsafat
humaniora (al-falsafah al-insaniyyah) tidak dimanfaatkan sebagai sarana
untuk mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena terjadi dikotomi
ilmu pengetahuan, antara ilmu umum dan agama, akibatnya pemikiran Islam menjadi
stagnan.
Keempat, tidak ada
teori kontemporer dalam ilmu humaniora yang disandarkan secara langsung pada
al-Quran. Pemikiran Islam tidak berani berinteraksi dengan nilai apapun yang
dihasilkan manusia tanpa melihat akidahnya. Akibatnya pemikiran umat Islam
menjadi statis, timbul fanatisme madzhab, hingga saling mengkafirkan satu sama
lain.
Kelima, Syahrur
berpendapat bahwa hukum-hukum fiqh yang dihasilkan oleh ulama klasik
sudah tidak relevan lagi dengan permasalahan zaman sekarang. Syahrur merasa tidak puas dengan keadaan tersebut,
sehingga menjadikanya merusaha mendekontruksi, sekaligus merekontruksi hukum fiqh
yang dianggap mutlak.
Berawal dari
kelima hal tersebut, Syahrur berpendapat bahwa dunia Arab telah berada pada
level statis. Hal ini disebabkan karena kurangnya penguasaan terhadap ilmu
alam, teknologi serta ilmu sosial, dengan kata lain mereka hanya mempelajari
agama. Syahrur juga menakankan bahwa setiap generasi memiliki kebebasan untuk
melakukan penafsiran terhadap al-Quran, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu.
Penafsiran tersebut tak perlu berkonsultasi dengan produk tafsir sebelumnya,
karena kondisi sekarang sangat berbeda dengan masa lalu.
Dalam kata
pengantar buku Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran Kontemporer edisi
Bahasa Indonesia, Dja’far Dikk al-Bab menyatakan bahwa Syahrur menggunakan
metode analisis linguistik dalam setiap analisisnya[21].
Sementara ketika menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan waris,
kepemimpinan, poligami, dan pakaian wanita, Syahrur menggunakan metode analisis
linguistik yang dipadukan dengan khazanah keilmuan modern[22].
Menurut Syahrur,
al-Quran merupakan sebuah kitab berbahasa Arab otentik yang memiliki dua sisi
kemukjizatan, yaitu sastra dan ilmiah. Untuk memahami kemukjizatan sastra
al-Quran, Syahrur menggunakan pisau analisis berupa pendekatan
deskriptif-signikatif. Sedangkan untuk aspek ilmiahnya harus dipahami
menggunakan pendekatan historis-ilmiah. Syahrur memadukan kedua pendekatan
tersebut ke dalam bingkai studi linguistik.[23]
Syahrur
menggunakan prinsip al-Jourjani yang menolak konsep sinonimitas dalam al-Quran.
Prinsip ini meyakini tidak satupun lafadz dalm al-Quran yang dapat
diganti, tanpa merubah makna atau mengurangi kekuatan ungkapan dari bentuk
linguistik ayat[24].
Prinsip ini merupakan hal yang paling mendasar untuk memahami metodologi yang
digunakan oleh Syahrur. Sebagai contoh, seperti yang umum diketahui oleh
kebanyakan umat muslim, bahwa nama lain dari al-Quran adalah, al-Kitab, al-Dzikr,
al-Furqon, dan masih banyak lagi. Berbeda daripada yang lain,
Syahrur membantah pernyataan itu ia berpendapat bahwa lafadz-lafadz
tersebut memiliki maknanya masing-masing yang berdiri sendiri sesuai dengan
teks yang terangkai.
Al-Kitab
merupakan istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan mushaf
yang dimulai dari al-Fatikhah hingga al-Nass. Kemudian Syahrur
mengelompokkan ayat-ayat al-Kitab ke dalam tiga kelompok. Namun sebelum itu, Syahrur
terlebih dahulu membedakan antara al-nubuwwah dan al-risalah. Al-Nubuwwah
adalah akumulasi ilmu pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad yang
memposisikannya sebagai nabi, dengan kata lain al-nubuwwah identik
dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan al-rrisalah adalah kumpulan penetapan
hukum yang diwahyukan kepada Muhammad sebagai pelengkap ilmu pengetahuan, al-risalah
identik dengan hukum.[25]
Setelah
mengetahui perbedaan al-nubuwwah dan al-risalah, kemudian Shahrur
mengelompokkan ayat-ayat yang ada dalam al-Kitab.[26]
v Al-Ayat al-muhkamat, merupakan kumpulan ayat yang
menandai kerasulan Muhammad. Al-Kitab menyebutnya dengan “umm al-kitab”,
ayat ini terdiri dari ayat tentang ibadah, ahlak, hudud, serta ayat-ayat
lain yang dapat dikaji ulang melalui ijtihad sesuai dengan perubahan kondisi
masyarakat.
v Al-Ayat al-mutasyabihat, merupakan kumpulan ayat akidah
dan ayat-yat tentang ilmu pengetahuan. Al-Kitab menyebutnya dengan istilah
al-Quran dan al-sab’u al-matsani, yang menandai kenabian Muhammad.
v Tafshil al-kitab, kategori ini tidak termasuk ayat muhkamat
maupun ayat mutasyabihat.
Ketiga
kelompok ayat di atas seluruhnya berasal dari Allah, hanya saja terdapat
perbedaan mendasar dari karakter ketiganya. Umm al-kitab sebagai hudan
li al-muttaqin, membedakan antara halal dan haram. Sementara al-Quran
sebagai hudan li al-nas, membedakan antara yang haq dan yang bathil.[27]
Dari sekian
konsep yang diusung oleh Syahrur, terdapat pemikiran Islam Kontemporer yang paling
terkenal adalah teori limit, sebagai teori yang diciptakan Syahrur. Teori ini
digunakan untuk menyesuaikan ayat-ayat muhkamat agar tetap relevan dengan
kondisi sosial masyrakat, selama masih dalam wilayah batasan hukum Allah. Syahrur
mendasarkan teorinya pada al-Quran surat al-Nisa’ ayat 13–14[28],
yang menegaskan bahwa yang berhak menetapkan batasan hukum hanyalah Allah. Sementara otoritas Nabi Muhammad dalam menentukan hukum tidaklah penuh,
beliau hanya sebagai seorang pelopor dalam berijtihad, yang mana produk
ijtihadnya merupakan contoh model penafsiran yang sesuai dengan kondisi konteks
ruang dan waktu saat itu.[29]
Asalkan tidak melampai koridor batas-batasan ang ditentukan oleh Allah, manusia
tidak mengangung beban dosa. Dengan alasan bahwa bentuk jama’ lafal Hudud
yang termuat dalam ayat ke-13 surat al-Nisa’ merupakan bentuk dari lafal had,
hal ini menandakan bahwa makna pemhamanan dalam ayat tersebut menunjukan
batasan-batasan yang ditentkan oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia diberi keleluasaan
untuk memilih batasan tersebut sesuai dengan tuntunan situasi dan kondisi yang
melingkupnya.[30]
Inspirasi konsep teori yang di usungnya berasal dari kedua ayat
tersebut. Diayat yang ke-14 surah al-Nisa’, Syahrur menjelaskan; pengalan ayat “wa
yata’adala hdudahu” yang bermakna melanggar batasan-batasan Allah saja.
Akan tetapi pengejualian dar penjelasan “wa man ya’si Allah wa raualahu
mnegaskan bahwa perbuatan maksiat dapat dilakukan terhadap Allah dan RasulNYa.
Dijelaskan oleh Nasihun Amin, bahwa pelanggaran batasan hukum hanya terjadi
pada Alah saja, sebab ooritas penentuan hukum syari’at yang berlaku hingga hari
kiamat yakni hanya milik Allah, yang ditidak pernah dilimpahkan diberikan
ataupun di bagikan kepada yang lain, sekalipun kepada Nabi Muhammad. Lebih
lajut Nasihun menjelaskan, karena jika
Nabi Muhammad memiliki hak atau otoritas penuh terhadap hukum syari’at, nisaya
redaksi ayat tersebut akan berbunyi wa man ya’si Allah wa rasulahu wa
yata’adda hududahuma. Akan tetapi kenyataanya tidak demikian. Dalam hal ini
berarti ketentuan semua hukum yang berasal dari Nabi Muhammad selalu bersifat
temporal.[31]
Abdul Mustaqim, dalam bukunya yang berjudul Epistemologi Tafsir
Kontemporer mengungkapkan kelebihan dari teori limit Syahrur. Pertama,
ayat-ayat hukum yang selama ini dianggap final dan mutlak, ternyata masih
memiliki kemungkinan untuk diinterpretasikan dengan cara yang baru. Kedua,
teori limit mampu menjaga sakralitas al-Quran, tanpa mengurangi kreativitas
untuk berijtihad.[32]
Setelah melakukan penelitian terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur
menyimpulkan enam prinsip teori batas yang dapat digambarkan secara sistematis.[33]
Adapun prinsip-perinsip tersebut dari pengembangan teori yang dirumuskan
melalui analisis matamatis, yang mana ia mengambarkan hubungan antara al-hanifiyah
(Kurva) dan al-istiqamah.[34]
Yaitu Sumbu X mengambarkan zaman atau konteks waktu, sejarah yang
membujur dari sudut O lurus secara horisontal. Sedangkan sumbu Y mengambarkan
sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah SWT yang menjulang dari bawah
yaitu sudut pojok O ke atas secara vertikal lurus. Kurva (al-hanifiyah) mengambarkan
dinamika ijtihad manusia, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu
dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditentukan Allah (Sumbu Y). Dengan
demikian, hubungan antara kurva dan garis lurus secara keselurhan bersifat
dialektik, yang tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait. Dialektika
adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum itu adaptif terhadap konteks
ruang dan waktu.[35]
1. Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal)
Pada model yang pertama ini membentuk kurva tertutup, dan hanya memiliki
satu batas maksimum. Syahrur mengaplikasikan bentuk pertama ini pada al-Quran
surat al-Maidah ayat 38,[36]
tentang pencurian. Menurut teori ini, hukum tangan adalah batas maksimal dari
pelaksanaan hukuman pencurian. Jadi potong tangan bukanlah satu hukuman yang
mutlak diterapkan, namun umat Islam harus melihat kualitas dan kuantitas barang
yang dicuri, serta kondisi saat pencurian itu terjadi.
2. Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal)
Bentuk teori ini merupakan kebalikan dari teori pertama, berbentuk kurva
terbuka daerah hasil hanya terdiri dari satu batas minimal. Syahrus
mencontohkan pada larangan dalam al-Quran untuk menikahi para perempuan yang
disebutkan dalam surat al-Nisa’ ayat 23[37]. Dalam kondisi apapun umat
Islam dilarang untuk menikahi wanita dalam ayat ini, meskipun didasarkan pada
ijtihad.
3. Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi antara batas maksimimal dan batas minimal bersamaan)
Bentuk kurva dalam teori ini adalah tertutup dan terbuka, masing-masing
kurva memiliki titik balik maksimal dan minimal. Di antara kedua kurva terdapat
titik singgung (nuqtah al-ini’taf) yang berada di tengah kedua kurva,
titik ini disebut sebagai posisi penetapan hukum mutlak. Batasan ini diterapkan
Syahrur dalam pembagian harta warisan, dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat 11[38].
4. Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif)
Dalam kurva bentuk ini, titik balik minimal berhimpit dengan titik balik
maksimal. Akibatnya tercipta satu garis lurus yang sejajar dengan sumbu x.
Syahrur menyatakan bahwa teori ini hanya mampu diterapkan pada satu ayat saja
dalam al-Quran, yaitu surat al-Nisa’ yang berbicara mengenai kasus waris.
5. Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarrib
duna al-manas bi al-hadd abadan (posisi
batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan)
Daerah hasil dari bentuk ini berupa kurva terbuka yang terbentuk dari
titik pangkal dan hampir berhimpitan dengan sumbu x, sementara itu titik final
hampir brhimpit dengan sumbu y. Syahrur menerapkan teori ini pada hubungan
fisik antara pria dan wanita. Batasan terendah dalam teori ini adalah hubungan
tanpa persentuhan, dan batas maksimal berupa perzinaan. Selama mereka belum
sampai perzinaan, maka hukum maksimal Allah belum perlu untuk dilaksanakan.
6. Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd
al-adna saliban (posisi batas
maksimal positif dan batas minimal negatif)
Daerah hasilnya berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimal
berada pada wilayah positif, sedangkan titik balik minimal berada pada wilayah
negatif. Teori yang terakhir inilah yang digunakan oleh Syahrur dalam
menganalisa transaksi keuangan. Batasan tertinggi dalam teori ini adalah pajak
atau bunga, sedangkan batasan terendah adalah zakat. Sementara titik nol di
antara daerah positif dan negatif adalah pinjaman tanpa bunga.
[1] Nouruzzaman
Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995, hal. 111.
[2] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan Pemikiran Islam, (Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya, 2015), h. 143.
[3] Muhammad
Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran Kontemporer, terj.
Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri, (Yogyakarta: eLSAQ press, 2004), h.
xx.
[4] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, op. Cit. h. 141.
[5] Hamdani Hamid,
Pemikiran Modern Islam, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,
2012), h. 178.
[6] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, loc. Cit.
[7] Ibid.
[8] Hamdani Hamid,
Pemikiran Modern Islam, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,
2012), h. 178.
[9] Muhadz Ali
Jidzar, Studi Pemikiran Konsep Sunnah Menurut Muhammad Shahrur Sebagai
Metode Istinbath Hukum Islam PDF, h. 50. Skripsi di Fakultas Syariah IAIN
Walisongo, diakses pada 13 Maret 2015, Pukul 20:46.
[10] Pemikiran
Muhammad Shahrur tentang Teori Hudud PDF, h. 39, diakses pada 04 Maret
2015, pukul 14:03.
[11]Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, op. Cit. h.142-143.
[13] Muhadz Ali
Jidzar, Studi Pemikiran Konsep Sunnah Menurut Muhammad Shahrur Sebagai
Metode Istinbath Hukum Islam PDF, h. 58. Skripsi di Fakultas Syariah UIN
Walisongo, diakses pada 13 Maret 2015, Pukul 20:46.
[14] Muhammad
Shahrur, Iman dan Islam: Aturan-aturan Pokok, terj. Zaid Su’udi, h. xiii
[15] Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, loc. Cit.
[16] Ibid.
[17] Muhammad
Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran, op. Cit. h. 31.
[18] Muhammad
Shahrur, Iman dan Islam: Aturan-aturan Pokok, terj. Zaid Su’udi, h.
Xiii. Lihat, Dr. Nasihun Amin., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 142.
[19] Muhammad
Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika, op. Cit. h. 39 - 41.
[20] Dr. Nasihun
Amin., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 143.
[21] Muhammad
Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran, op. Cit. h. 31.
[22] Khazanah keilmuan
modern tersebut seperti, matematika analitik, teknik analitik, dan teori
himpunan. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj.
Sahiron Samsuddin dan Burhanuddin Dzikri, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), h.
6.
[23] Muhammad
Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran, op. Cit. h. xx.
[24] Muhammad
Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Samsuddin dan
Burhanuddin, op. Cit. h. 29.
[25] Muhammad
Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran, op. Cit. h. 47.
[26] Ibid. h. 48.
[27] Ibid. h. 49.
[28] تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ
عَذَابٌ مُهِينٌ (14)
[29] Dr. Nasihun
Amin., Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 144.
[30] Ibid. h. 145.
[31] Ibid. h. 146.
[32] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis, 2012, hal.
93.
[33] Dikutip dari
tulisan Burhanuddin Dzikri, Artikulasi Teori Batas (Nazariyah al-Hudud)
Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistemologi Hukum Islam Indonesia,
dalam buku Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Quran: Madzhab Yogya,
Yogyakarta: Islamika, 2003, h. 52.
[34] Dr. Nasihun Amin.,
Sejarah Perkembangan, op. Cit. h. 147.
[35] Ibid. h. 147-148.
[36] وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ.
Lihat Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejerah Perkembangan, op. Cit. h. 148.
[37] حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ
وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ
مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ
سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
[38] يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ
لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ
الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا حَكِيمًا
Easy "water hack" burns 2 lbs OVERNIGHT
BalasHapusMore than 160 000 women and men are trying a easy and SECRET "water hack" to burn 2lbs each night while they sleep.
It is scientific and it works on everybody.
You can do it yourself by following these easy steps:
1) Grab a clear glass and fill it up with water half the way
2) Then follow this crazy hack
you'll become 2lbs thinner when you wake up!