BAB I
PENDAHULUAN
KAJIAN MAUDLU'I (TEMATIK): TAFSIR INDONESIA MBAH SHOLEH NDARAT-SEMARANG
KAJIAN MAUDLU'I (TEMATIK): TAFSIR INDONESIA MBAH SHOLEH NDARAT-SEMARANG
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran
dari Nabi Muhammad s.a.w atas ajaran, agama serta mu’jizatnya sebagai seorang
nabi dan rasul, sekaligus sebagai petunjuk untuk umat mausia kapan dan di
manapun Al-Qur’an dibutuhkan. Tidak hanya itu, pesona Al-Qur’an terwujud dalam keindahan
kesuastraan bahasa dan keistimewaan yang lainnya seperti kadungan makna yang
menyamudra bagi siapapun yang berkehedak menafsirkan Al-Qur’an, meskipun tidak
dipungkiri akan terdapat perbedaan-perbedaan sudut pandang dan makna yang
didapati sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki dan factor yang
melingkupi[1].
Ibnu Kaldun memberi kometar, bahwa
Al-Qur’an diwahyukan dalam bahasa oaring arab, yang disesuaikan dengan retorika
dan gaya bahasa mereka, sehingga mereka mampu memahaminya[2]. Dengan
demikian dapat difahami dari gambaran tersebut, bahwa al-Qur’an menempati
posisi sentral dan sebagai inspirator, serta sebagai petunjuk pemandu
gerak-gerak mereka yang lebihh dari empat belas abad bagi umat Islam pada
khususnya. Dapat diasumsikan bahwa kemajuan perkembangan islam dipangku
tangankan terhadap penafsiran-penafsiran yang dilakukan. Maka dari itu
dibutuhkan metodologi penafsiran yang berfungsi sebagai pegarah dalam
penafsiran[3],
meskipun sebuah metodologi tersebut tidak jauh dari rumusan subjektif ataupun
legitimasi kelompok mayoritas.
Banyak perbedaan dalam metode, corak dan model
penafsiran, merupakan perwujudan nyata dari kekayaan makna yang terkadung dalam
al-Qur’an menurut sudut pandang penafsir dengan pertimbangan kepekaan rasa
terhadap situasi yang tampak dan dibarengi dengan pembacaan sebuah ilmu dan
pengetahuan yang terdapat pada ayat-ayat al-Qur’an serta diimbangi keilmuan
yang memupuni dari penafsir tersebut. Wujud dari berbagai macam kitab atau buku
tafsir, merupakan indikasi kuat, perhatian ulama selama ini untukmenjelaskan ungkapan-ungkapan
al-Qur’an danmenerjemahkan misi-misinya[4].
Pertumbuhan dan perkembangan
penafsiran al-Qur’an sudah ada sejak masa Nabi Muhammad s.a.w masih hidup. Di
mana pada masa itu, para shahabat bertanya langsung kepada Nabi tentang sebuah
makna peafsiran dari suatu ayat, karena memang pada masa itu Nabi lah penafsir
pertama yang tidak lagi dipertanyaakan keotentikan makna yag terkandung dalam
ayat-ayat tersebu serta sebagai seorang yang diberi tugas untuk menjelaskan dan
menerangkan maksud dari ayat-ayat al-Qur’an.
Seiring dengan meluasnya penyebaran
orang-orang islam di berbagai wilayah pemukiman yang ada di berbagi belahan dunia, tidak dapat
terelakan adanya gesekan antara budaya arab-islam dengan daerah yang menjadi
penyebaran ajaran agama islam. Sehingga berpengaruh terhadap makna hasil dari
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, selain itu perkembangan sosial-kultural
pun ikut berperan sebagai cara membaca situasi yang berkembangn. Berbeda halnya pada masa moderen seperti saat ini,
hasil penafsiran pun akan berbeda dengan peafsiran abad sebelum-sebelumnya
menurut metode dan corak yang ditampilkan dalam penafsiran al-Qur’an. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu tafsir[5],
karena sebab adanya pengaruh yang melatar belakangi.
Meskipun terdapat perbedaan
disetiap masa perkembangan penafsiran, pada umumnya penafsiran banyak di kenal
mengunakan metode ijmali, tahlili, seiring dengan perkembangannya
metode-metode lain turut dilahirkan sebagai cara baru dalam metode penafsiran;
seperti muqarrin dan maudhui[6],
tidak hanya dalam metodenya saja yang mengalami perkembangan, corak
penafsiran pun ikut mengalami perkembangan dan perubahan. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh pakar-pakar al-Qur’an. M. Quraish
Syihab bahwa berbagai corak tafsir yang di kenal luas dewasa ini, yakni corak
penafsiran ilmiah, fiqih, hukum, tasawuf, corak tafsir sastra budaya dan
kemasyarakatan[7].
Perkembangan dewasa ini turut
merambah ke bumi nusatara dengan tampilah karakteristik yang berbeda dalam
penafsiran pada umumnya. Sedangkan awal mucul karya
tafsir yang ada di nusatara di tulis dalam bahasa Melayu atau Jawi pada abad ke
XVII M. Adalah sebuah tafsir berbahasa Arab-Melayu karya Ulama Aceh Abd Ra’uf
al-Singkeli (1024-1105 H/1615-1693M) bernama Tarjuman al-Mustafid,
tafsir lengkap 30 juz pertama di Nusantara. Sebelumnya hanya ada Tafsir Surat
al-Kahfi yang diperkirakan ditulis oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
al-Sumatrani (yang mengikuti Tafsir alKazim) yang menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an secara mistis[8].
Meski Abdul Ra’uf
al-Singkili tidak menyebutkan tahun penyelesaian kitabnya, tetapi kitab ini
adalah kitab tafsir paling awal peredarannya di wilayah Melayu-Indonesia.
Sebagai terjemahan tafsir pertama, tidak mengherankan kalau karya ini beredar
luas di wilayah Indonesia dan di negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu.
Selama hampir tiga abad kitab Tarjuman al-Mustafid merupakan satusatunya
terjemahan lengkap al-Qur’an di tanah Melayu. Baru pada abad ke-20 muncul
tafsir baru yang semula memakai bahasa Arab Melayu. Untuk wilayah berbahasa
Jawa, di penghujung abad ke-18, Syaikh Nawawi al-Bantani membuat tafsir Marah
Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, diterbitkan di Makkah pada tahun
1880 M, ditulis dengan bahasa Arab[9]. Dalam cetakan Bairut yang terbit pada tahun
1981 M, terdapat tiga nama bagi litab tafsir milik Nawawi, yaitu Tafsir Marah Labid, Tafsir Nawawi,
dan Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil[10].
Selain itu, salah satu karya dari Muhammad Sholeh Darat yang berupa
tafsir, dewasa ini menjadikan warna-warni baru dalam dunia penafsiran khususnya
di bumi nusantara ini. Sebagaimana yang sudah diulas sedikit dari wajah
penafsiran secara umum. Pada kesempatan kali ini penulis akan lebih memfokuskan
pembahasan terhadap tafsir Faidh al-Rahman fi Tarjamah Tasir Kalam Malik
ad-Dayyan karya Muhammad Sholeh Darat –mbah sholeh- yang mengunakan bahasa
jawa dengan bentuk tulisan arab (pegon) sebagai media untuk menyampaikan isi
dari penafsiran beliau. Lebih rincinya akan
diulas pada bab ke dua.
B. Rumusan Masalah
1.
Biografi Muhammad Sholeh As-Samarani Semarang.
2.
Sejarah penulisan Tafsir Faidh ar-Rahman fi Tarjamah
Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan.
3.
Sistematika dan penyusunan penulisan
Tafsir Faidh ar-Rahman
fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Muhammad Shalih As-Samarani Semarang.
Nama lengkapnya adalah
Muhammad Shaleh Ibn Umar as-Samarani, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai
Shaleh Darat. Ayahnya adalah Kiai Umar. Kiai Umar dan Kiai Syada’ serta Kiai
Murtadha merupakan pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Dipenogoro di Jawa bagian
Utara, Semarang. Kiai Shaleh Darat dilahirkan di Desa Kedung Jumbleng,
Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 1235 H/1820 M.
Sedangkan informasi lainnya menyatakan bahwa, Kiai Shaleh Darat dilahirkan di
Bangsri, Jepara. Beliau wafat di Semarang pada hari Jum’at Legi tanggal 28
Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.1 di makamkan di Pemakaman Umum Bergota
Semarang. Makamnya banyak diziarahi orang, baik dari Semarang dan sekitarnya
maupun dari daerah lain, khususnya pada upacara khaulnya[11].
Beliau
disebut tersohor di kalangan ulama jawa khususnya di Semarang dengan sebutan
“Mbah Shaleh Darat” atau “Ki Shaleh Darat”, sebutan itu diakui sendiri oleh
beliau dan tertera di sampul salah satu karyanya yang berjudul Syarkh Barzanji.
Sedangkan sebutan “Darat” sebagai
suatu petanda bahwa beliau tinggal di suatu daerah yang bernama Darat, lebih
jelasnya, imbuhan “Darat” diambil dari nama suatu daerah, tepatnya berada di kelurahan
Dadapsari kecamatan Semarang Utara[12].
Perjalanan pencarian
ilmunya dimulai dari wilayah jawa, seperti di daerah
Waturoyo Kajen Margoyoso Pati, di Kudus, di Desa Bulus Gebang, dan di Semarang.
Selang beberapa tahun, kiai Sholeh Darat bersama ayahnya pergi ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji, tetapi tidak disangka ayahnya wafat di saat menunaikan
ibadah haji dan dimakamkan di Makkah. Keadaan itu, menjadikan Shaleh kecil mengambil
keputusan untuk menetap di sana dalam beberapa tahun untuk menuntut ilmu Agama.
Sayangnya data tentang tahunberapa beliau ke Makkah dan kapan beliau kembali ke
tanah air, tidak ditemukan secara pasti[13],
tatapi tepatnya pada abad ke-19, di mana pada masa itu banyak dari
santri-santri Nusantra yang menuntut ilmu di Makkah. Disana beliau
berguru dengan ulama-ulama besar diantarnya Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh
Muhammad bin Sulaiman Hasballah al-makki, Syaikh ahmad Nahrawi, Syaikh Sayid
Muhammad Zeini Dahlan, Sayyid muhammad saleh bin sayyid Abdurrahman az-Zawawi,
Syaikh Muhammad al-Muqri, Syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Zahid,
Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi dan
Kh Saleh Darat bertemu dengan santri -santri yang berasal dari Indonesia antara
lain KH Nawawi Al bantani dan KH Muhammad Kholil Al Maduri[14].
Karier Kiai Shaleh
Darat diawali sebagai guru di Pondok Pesantren Salatiang, yang terletak di Desa
Maron, Kecamatan Loana, Purworejo. Pesantren ini didirikan sekitar abad ke-18
oleh tiga orang sufi, masing-masing adalah Kiai Achmad Alim, Kiai Muhammad
Alim, dan Kiai Zain al-Alim.dalam perkembangan selanjutnya, pesantren ini
dipercayakan kepada Kiai Zain al-Alim. Sementara Kiai Achmad Alim mengasuh
sebuah pesantren yang bernama al-Imam, di Desa Bulus, Kecamatan Gebang. Adapun
Kiai Muhammad Alim mengembangkan pesantrennya di Desa Maron, yang kini dikenal
dengan pesantren al-Anwar. Jadi kedudukan Kiai Shaleh Darat sebagai pengajar yang
membantu Kiai Zain al-Alim. Pesantren Salatiang sendiri lebih memfokuskan pada
bidang penghafalan al-Qur’an, di samping mengajarkan kitab kuning. Di sinilah
besar kemungkinan, Kiai Shaleh Darat diperbantukan untuk mengajarkan kitabkitab
kuning, seperti Fiqh, Tafsir, Nahwu, dan Sharaf kepada santri yang sedang
menghafalkan al-Qur’an[15].
Meskipun demikian,
kejelasan dari barapa lama waktu Kiai Shaleh menjadi guru pembantu di Pondok
Pesantren Salatiga tidak ditemukan secara pasti, sejarah hanya mencatat di
perkirakan sekitar 1870-an Kiai Shaleh mendirikan pesantren baru di Darat,
Semarang. Hitungan tersebut berdasarkan
pada kitab karyanya yang berjudul
Matn al-Hikam yang selesai
ditulis pada 1289 H/1871 M dengan mengunkan bahasa arab pegon[16].
Konon dari kabar oral, Kiai Shaleh Darat dikenal kurang dalam memperhatikan
kelembagaan Pesantren, sehingga hal itu menjadi faktor yang menyebabkan
pesantren yang didirikannya menghilang tanpa bekas sepeninggal dirinya –Mbah
Shaleh Darat- pada tahun 1903 M[17].
Kabar lain menyebutkan, bersamaan dengan wafatnya Kiai Shaleh Darat, salah
seorang santri seniornya, Kiai Idris dari Solo, telah memboyong sejumlah santri
dari pesantren Darat ini ke Solo. Yang mana Kiai Idris inilah yang kemudian
menghidupkan kembali Pondok Pesantern Jamsaren, pesatren yang pernah didirikan
oleh Kiai Jamsari.
Ada versi lain yang
menyebutkan bahwa pesantren yang didirikan oleh Kiai Shaleh Darat bukanlah arti
sebenarnya, sebagai bangunan fisik
pesatren pada umumnya. Pesantren Darat hanyalah bentuk majelis pengajian dengan
kajian bermutu yang diikuti oleh para santri kalong. Ini mungkin terjadi,
mengingat kedekatan Pesantren Darat dengan Pesantren Mangkang, di mana Kiai
Shaleh Darat pernah belajar di sana, bisa mempengaruhi tingkat ketawadluan Kiai
senior[18].
Karya-karya beliau diantaranya:
Kitab ini terdiri dari
dua bagian, yaitu : bagian pertama, berkaitan dengan permasalahan iman dan
sedikit persoalan akhlak atau moral dalam hubungannya dengan penguasa. Bagian
kedua, berkaitan dengan fiqh, terutama yang berkaitan dengan masalah ubudiyah,
diteruskan dengan masalah muamalah dan munakahat.
Sebuah kitab yang
merupakan petikan dari kitab Ihya ‘Ulum al-Din jilid III dan IV. Kitab ini
terdiri dari dua bagian, yaitu : - Bagian pertama, Muhlikat Madzmumah atau
perbuatan yang dapat membinasakan dan tercela. - Bagian kedua, Munjiyat
Mahmudah atau perbuatan yang menyelamatkan dan terpuji.
3.
Lathaif al-Thaharat wa
Asrar al-Shalah fi Kaifiyat Shalat al-Abidin wa al-Arifin[21].
Kitab ini ditulis
dengan bahasa Jawa dan selesai pada tanggal 27 Sya’ban 1307 H/18 April 1890 M,
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan Asrar Shaum atau rahasia-rahasia puasa,
keutamaan bulan Sya’ban, bulan Muharram, dan bulan Rajab.
4.
Manasik al-Hajj wa
al-‘Umrah
Kitab ini berisi
tuntunan atau tata cara ibadah haji dan umrah yang dimulai dengan riwayat
melaksanakan haji, kemudian keutamaan Bait Allah, syarat dan rukun haji beserta
umrah, tata kerama melaksanakan ibadah haji.
5.
Matn al-Hikam[22].
Kitab ini merupakan
terjemahan dan ringkasan dari kitab al-Hikam karya Syaikh Ahmad ibn Ata’
al-Askandari, merupakan kitab terjemahan dalam bahasa Jawa, merupakan kitab
Tasawuf.
6.
Sabilul al-Abid
Terjemah Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani.
Kitab ini merupakan
terjemahan berbahasa Jawa. Dalam kitab ini disampaikan, bahwa orang Islam wajib
mengetahui tiga hal, yaitu: pertama, Ilmu Tauhid. Kedua, Ilmu Fiqih. Ketiga,
Ilmu Tasawuf.
7.
Fasalatan.
Kitab ini ditujukan
untuk orang-orang awam, yang berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat
(tuntunan shalat) lima waktu sesuai syari’at, kitab ini ditulis dengan bahasa
Jawa berhuruf Arab Pegon.
8. Minhaj
al-Atqiya fi Syarh Ma’rifah al-Atqiyah ila Thariq al-Aulia.
Kitab ini merupakan
terjemahan dan syarh dari nazham Hidayah al-Azkiya’ ila Thariq al-Auliya karya
Syaikh Zain ad-Din al-Malibari, dengan menggunakan bahasa Jawa huruf Arab
dengan maksud agar manfaat bagi Awam al-Mukmin al-Jawi.
9. Al-Mursyid al-Wajiz fi ‘Ilm al-Qur’an al ‘Aziz.
Kitab ini berisi
tentang ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu tajwid, meliputi: pendidikan al-Qur’an,
keutamaan mengajarkan al-Qur’an, biaya pendidikan al-Qur’an, kesopanan membaca
al-Qur’an dan menghafalkannya, serta tajwid (sifat-sifat huruf, bacaan sampai
pada tanda waqof).
10. Syarh Barzanji.
Kitab ini merupakan
terjemahan dari kitab Barzanji karya Syaikh Baranji dengan menggunakan bahasa
Jawa huruf Arab seperti ktab-kitabnya yang lain.
11. Tafsir Faidh al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam
Malik adDayyan[23].
Sebuah kitab tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim yang bercorak isyari dari surat al-Fatihah sampai surat
al-Nisa’, terdiri dari dua jilid besar, jilid pertama terdiri dari surat
al-Fatihah sampai surat al-Baqarah sebanyak 503 halaman, sedangkan jilid kedua
terdiri dari surat Ali ‘Imran sampai surat al-Nisa’ sebanyak 705 halaman.
12. Al-Mahabbah wa al-Mawaddah fi Tarjamah Qaul
al-Burdah fi Mahabbah wa al-Madhu ‘ala Sayyid al-Mursalin.
Kitab ini terkenal
dengan sebutan Syarh al-Maulid al-Burdah dan kitab ini adalah karya Abu
Abdallah Muhammad Said al-Busiri (1212- 1296 M) dalam bentuk syair. Berisi
tentang sanjungan terhadap Nabi Muhammad SAW, sejumlah kemu’jizatan Rasulullah
SAW, keagungan al-Qur’an, peperangan dan ditutup dengan doa.
13. Manasik Kaifiyah al-Shalat al-Musyafirin.
Kitab ini ditulis pada
tahun 1288 H/1870 M, diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh ‘Abd al-Ra’uf
Trenggono (sumber lain mengatakan Abd al-Yusuf Trenggono). Kitab ini (kalau
melihat judulnya) berisi tentang tata cara melaksanakan shalat fardu bagi orang
yang sedang dalam perjalanan.
14. Hadits al-Mi’raj.
Kitab ini selesai
ditulis pada malam Ahad jam 10.00 (22.00) tanggal 2 Rajab 1314 H/7 Desember
1896 M. dan dicetak pada tanggal 26 Rabi’uts Tsani 1315 H./24 September 1897 M.
kitab ini dicetak sebelum kitab Fasalatan dan Sabilul al-Abid Terjemah Jauhar
alTauhid.
Murid yang pernah berguru kepadanya
adalah K.H. Hasyim Asy’ari Pendiri ponpes Tebuireng dan Pendiri Jamiyyah
Nahdlatul Ulama {NU) dan KH.Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyyah, KH Mahfudh Termas Pacitan (pendiri Ponpes), KH Idris
(pendiri Ponpes Jamsaren Solo), KH Sya’ban (ahli falak dari Semarang), Penghulu
Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan),
dan KH Munawir (Krapyak Yogyakarta). Juga KH Abdul Wahab Chasbullah
Tambak Beras, KH Abas Djamil Buntet CIrebon, KH Raden Asnawi Kudus, KH Bisri
Syansuri Denanyar dan lain-lainnya. Bisa dikatakan,
beliau adalah embahnya para ulama di Jawa karena menjadi guru dari guru ulama
yang ada sekarang, maka pantas rasanya bila KH Shalih Darat disebut
sebut sebagai gurunya para Ulama di Jawa. Beliau
berkesempatan belajar di Mekkah.
B.
Sejarah
penulisan Tafsir Faidh ar-Rahman fi Tarjamah
Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan.
Semasa hidupnya, selain mengajar
masyarakat awam, Kiai Soleh Darat juga aktif mengisi pengajian di kalangan
priyayi. Diantara jama’ah pengajiannya adalah Raden Ajeng Kartini, anak Bupati
Jepara. Ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak
yang bupatinya adalah pamannya sendiri, RA Kartini sangat tertarik dengan Kiai
Soleh Darat. Saat itu beliau sedang
mengajarkan tafsir surat al-Fatihah.
Menurut keterangan Kiai Shaleh Darat,
penulisan tafsîr Faidh al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan ini
dilatarbelakangi oleh keinginan Kiai Shaleh Darat untuk menerjemahkan al-Qur’an
kedalam bahasa Jawa sehingga orang-orang awam pada masa itu bisa mempelajari
al-Qur’an karena saat itu orang-orang tidak bisa bahasa Arab[24]
dan sebagai jawaban bagi kegelisahan
R.A. Kartini. Karena pada waktu itu tidak ada ulama yang berani
menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Jawa karena al-Quran dianggap terlalu
suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun dan melarang keras
penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa.[25]
Melalui kitab itu pula Kartini
menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Orang-orang beriman dibimbing
Allah dari gelap menuju cahaya (QS al-Baqarah: 257). Dalam banyak suratnya
kepada sahabat Belandanya, JH Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari
Gelap, Terbitlah Terang”. Abendanon mengutip tulisan berbahasa Belanda sebagai
“Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane kalimat tersebut diterjemahkan
“Habis Gelap Terbitlah Terang” untuk menjadi judul buku kumpulan surat-surat
Kartini.
C.
Sistematika
dan penyusunan penulisan kitab Tafsir Faidh
ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan.
Pekembangan
metode dalam penafsiran tentunya sudah banyak kita ketahui macamnya, seperti
yang telah diungkapkan di atas, metode penafsiran beragam sesuai dengan harapan
dan tujuan yang ingin diperoleh oleh mufasir tersebut, tidak hanya itu, faktor situasi
dan kondisi sosial kultural masyarakat pada masa itu juga ikut andil dalam pembentukan
pola pikir mufasir. Hal ini pun terjadi pada Tafsir ini, yang mana lebih
cenderung memakai metode ijmali dalam metode menerangkan ayat-ayat,
seperti contoh pada surah Ali Imran:155
وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ يُكْفَرُوهُ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ(Ali
Imran:155)
اتوي
بواڠ ٢ا ك ووس فدا لاكوني سیرا كابیه یا امة اڠ عمل كبا وسن مك اورا فدا كیلا ن سیرا
كابیه لن اورا فدا كتوتوفن سیرا كابیه اڠ نجراني عمل خیر. بلیك دین نجر سیرا كابیه لن دین ولس. اتوي االله سبحانه وتعالى ایكو ذات
ا ك ودانیني كلون وو ك متقین یعني ارتیني یایكي ایة مخاطب مرڠ سكابیھاني مؤمنین. لن كلبو مؤمنین او اھل الكتاب. ارتیني اندي ٢عمل كلاكوھن ا ك سیرا لاكوني ایكو
مسطي دین نجر عمل ایرا كابیه.
أسباب
النزول
لن
تتكلاني فدا نمن ٢ني كفلاني یھودي كابیه مرڠ اولیھي اصیلاكن ارتا. كرن اراه باكل ناوي مرا ي نبي محمد
لن ناوي فرابوتي یاترو اڠ نبي محمد صلى االله علیه وسلم مك نولي تمورون ایكي
ایة.[26]
Artinya: Dan apa
saja kebajikan yang mereka kerjakan, Maka sekali-kali mereka tidak dihalangi
(menenerima pahala) nya; dan Allah Maha mengetahui orang-orang yang bertakwa.
Terjemahnya: Kamu tidak akan sia-sia terhadap amal
kebaikan yang sudah kamu lakukan maka kamu tidak akan merasa kehilangan dan
tidak terhalang untuk mandapatkan pahala dari amal kebaikan itu.
Asbabun Nuzul: Ketika para pemuka Yahudi giat untuk
mencari uang dikarenakan untuk memusuhi Nabi saw dan untuk membuat alat untuk
memusuhi Nabi Muhammad saw. Kemudian turunlah ayat ini.
Sedangkan penyusunan Tafsir Faidh
al-Rahman terbagi menjadi dua jilid besar. Jilid pertama, diawali dengan
muqaddimah kitab Tafsir Faidh al-Rahman. Kemudian dilanjutkan dengan muqaddimah
Surat al-Fatihah kemudian penafsiran ayat 1 sampai ayat 7. Dilanjutkan dengan
tafsir Surat al-Baqarah yang dimulai dengan muqaddimah Surat al-Baqarah
dilanjutkan penafsiran ayat 1 sampai ayat 286. Dengan jumlah 503 halaman.
Ditulis pada malam Kamis, 20 Rajab 1309H/1891 M dan selesai pada malam kamis,
19 Jumadil Awal 1310 H/1892 M., dicetak di Singapura oleh percetakan Haji
Muhammad Amin pada 27 Rabiul Akhir 1311 H/ 1893 M.
Jilid Kedua, dimulai dari muqaddimah
dari penulis kemudian muqaddimah surat Ali ‘Imran dan dilanjutkan dengan
penafsiran ayat 1 sampai ayat 200.
Dilanjutkan dengan tafsir surat al-Nisa’ yang dimulai dengan muqaddimah Surat
al-Nisa’ kemudian penafsiran ayat 1 sampai ayat 176. Dengan jumlah 705 halaman.
Selesai ditulis pada selasa, 17 Safar 1312 H/1894 M. Dicetak oleh percetakan
yang sama pada 1312 H/ 1895 M. Jadi tafsir ini baru selesai sampai juz enam,
akhir surat an-Nisa. Dalam Tafsir Faidh al-Rahman pembahasannya dimulai dengan
mengarahkan keterangan tentang identitas surat yang meliputi sejarah turunnya
sebuah surat, kemudian melanjutkannya dengan penjelasan tentang nama surat, tujuan
surat dan jumlah ayat-ayat, dan beliau juga menjelaskan asbabun nuzul.
Setiap kitab tafsir,
memiliki sistematika dan karakteristik yang berbeda dengan kitab lainnya.
Perbedaan tersebut sangat dilatar belakangi pada kecenderungan, keahlian,
minat, dan sudut pandang penulis yang di pengaruhi oleh latar belakang
pengetahuan dan pengalaman serta tujuan yang hendak dicapai. Sistematika
penafsiran al-Qur’an merupakan aturan penyusunan atau tata cara dalam
menafsirkan al-Qur’an, misalnya yang berkaitan dengan teknik penyusunan atau
penulisan sebuah tafsir. Jadi sistematika penafsiran lebih menekankan pada
prosedur penafsiran yang dilalui atau menekankan pada urutan–urutan al-Qur’an.
Dalam Tafsir Faidh al-Rahman pembahasannya dimulai dengan mengarahkan
keterangan tentang identitas surat yang meliputi sejarah turunya sebuah surat,
kemudian melanjutkannya dengan penjelasan tentang nama surat, tujuan surat dan
jumlah ayat-ayat.
Dalam menafsirkan Al-Qur`an beliau
menukil para mufassir terdahulu seperti:
a.
Tafsir Jalalain, karya Imam
Jalaluddin al Mahalli(w.864 H/1459 M) dan Imam Jalaluddin as Suyuti (w.911
H/1505 M)[27]
b.
Tafsir Anwar at Tanzil wa Asrar at
Ta’wil, karya Imam ‘Abdullah bin Umar al Baidhawi(w.685 H/1286 M)
c.
Lubab at Ta’wil fi Ma’ani at
Tanzil, karya Syaikh ‘Ala ad Din al Khazin (w.741 H/1360 M)[28]
d.
Jawahir at Ta’wil, Misykat al Anwar
dan Ihya’Ulum adDin karya al-Ghazali(505 H/1111 M)
e.
Tafsir al-Qur’an al Azim, karya
Imam Ismail ibn Amir ibn Katsir ad Dimasyqi(w.774 H/1372 M)
Contoh penafsiran Muhammad Shaleh
Ibn Umar as-Samarani dalam surat al-Fatihah.
ﺳﻮرة اﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﻣﻜﯿﺔ او ﻣﺪﯾﻨﯿﺔ او ﻣﻜﯿﺔ
ﻣﺪﯾﻨﯿﺔ
اﺗﻮي ﺳﻮرة ﻓﺎﺗﺤﺔ
اﯾﻜﻮ ﻧﺰوﻟﻲ ﻗﺒﻞ ھﺠﺮة دﯾﻦ ﻧﻤﺎﻧﻲ ﻣﻜﯿﺔ ﻣﻮﻮهﻛﺮﺳﺎﻧﻲاﻣﺎم اﻟﺒﯿﻀﺎويﻟﻦ ﻛﺮﺳﺎﻧﻲاﻛﺜﺮ ﻋﻠﻤﺎء .ﻟﻦ
دﯾﻦ ﺗﻤﻮروﻧﻲ اﯾﻜﻮ ﺳﻮوﺳﻲ دﯾﻦ ﻓﺮﺿﻮﻛﺎﻛﻲ ﺻﻼة اﻟﻤﻜﺘﻮﺑﺔ ﻟﻦ ﺳﻮوﺳﻲ ﺗﻤﻮروﻧﻲ ﺳﻮرة اﻗﺮأ ﻟﻦ ﯾﺎاﯾﮭﺎ
اﻟﻤﺪ ﺛﺮ .لن عند يكا ا مام ﻣﺠﺎھﺪ ﺳﺘﮭﻮﻧﻲ اﯾﻜﻲ ﻓﺎﺗﺤﮫ ﺗﻤﻮروﻧﻲ ﺑﻌﺪ ھﺠﺮة دين نماني
مدانية نليكاني دين ا يعو كاكن صلاة مراع كعبه, لن عنديكا ستعهى علماء المفسرين
ستهوني ايكي سورة فاتحه تموروني امبل كفندو, سفيسنن تموروني انا اع مكة لن كفندوني
تموروني انا اع مدينيه . ، ﻛﺮان اوﯾﺔ وروه اڠ ﻣﻠﯿﺎﻧﻲ اﯾﻜﻲ ﺳﻮرة ، اﺗﻮي اﯾﺎﺗﻲ ﻓﺎﺗﺤﺔ اﯾﻜﻮ ﻓﺘﻮڠ
اﯾﺔ ﺑﺴﻢ اﷲ الرحمن الرحيم ايكو ساء اية موعكوة كرساني امامناالشافعي رحمه الله, لن
اتوى ﻛﻠﻤﺎھﻲ ﻓﺎﺗﺤﺔ ﻓﺘﻮ ﻟﯿﻜﻮر ﻛﻠﻤﺔ ، ﻟﻦ اﺗﻮي ﺣﺮوﻓﻲ ﻓﺎﺗﺤﺔ
اﯾﻜﻮ ﺳﺎﺗﻮس ﻓﺘﺎڠ ﻓﻮﻟﮫ ﺣﺮوف ﻟﯿﺎﻧﻲ ﺗﺸﺪﯾﺪي ، اﻋﻠﻢ وروھﺎ ﺳﯿﺮا ﻣﺆﻣﻦ ﺳﺘﮭﻮﻧﻲ اﯾﻜﻲ ﻓﺎﺗﺤﮫ
اﯾﻜﻮ ﻛﻼم اﷲ ﻋﺰوﺟﻞ ﻧﻨﻔﻲ ﻧﻮﻟﻲ ﻛﺎدا ووهاكن مرع كاولني كا بيه هي كا ول كع فدا موءمن
تتكلاني عادف سيرا مرع اعسن لن سووان سير كابيه اع عرساني اعسن مكا فدا عوجفا سيرا
كا بيه كلون, ايكي فعوجف بسم الله الرحمن الرحيم تكا واياك نستعين, لن نولى فدا
نوونا سيرا كا بيه مرع اعسن كلون ايكي فنوون اهدناالصراط. اﻻﯾة[29]
Terjemah:
Surat al- Fatihah itu
Makiyyah atau Madaniyyah atau Makiyyah Madaniyyah
Menurut Imam al-Baidhawi dan
kebanyakan para ulama, surat al-Fatihah itu turunnya sebelum hijrah dan disebut
surat Makiyyah. Dan turunnya itu sesudah di fardhukannya sholat maktubah dan
sesudah turunnya Surat Iqra’ dan Surat Ya Ayyuhal Muddastir dan Imam Mujahid
berkata sesungguhnya surat Fatihah itu turunnya sesudah hijrah dan disebut
surat Madaniyyah dan pada waktu dibelokkannya sholat menuju Ka’bah, Dan
beberapa ulama mufassirin berkata sesungguhnya surat al-Fatihah turunnya dua
kali, Pertama turun di Makkah dan yang kedua turun di Madinah, Sebab untuk
memberitahu betapa agungnya surat ini, Ayatnya surat al-Fatihah ada tujuh ayat,
menurut Imam Syafi’i Bismillah al-Rahman al-Rahim merupakan satu ayat, dan
kalimatnya surat al-Fatihah itu ada dua puluh tujuh kalimat, dan hurufnya surat
al-Fatihah itu ada seratus empat puluh huruf dan yang lainnya merupakan
tasydid, ketahuilah wahai orang mukmin sesungguhnya surat al-Fatihah itu kalam
Allah Azza wa Jalla kemudian difirmankan kepada hamba-Nya semua yaitu hamba
yang beriman, ketika kamu semua berhadapan dan bertemu dengan-Ku maka
ucapkanlah Bismillah al-Rahman al-Rahim sampai Wa Iyyaka Nasta’in, dan kemudian
mintalah kamu semua kepada-Ku dengan mengucapkan Ihdinas Shirath al-Ayah
· Sumber
penafsiran
Dalam
menerjemahkan Tafsir Faidh ar-Rahman dalam bahasa Jawa ( Arab Pegon)
K.H. Muhammad Shaleh Darat berusaha menjadikan lebih mudah difahami, misalnya
dengan cara member penjelasan-penjelasan ma`na secara global, jelas dan
singkat. Dalam menerjemahkan Tafsir Faidh ar-Rahman, beliau mengambil
sumber-sumber sebagai rujukan dalam menulis tafsirnya sebagai berikut:
1.
Menafsirkan al-Qur`an dengan
al-Qur`an (Tafsir bil Ma`tsur)[30],
merupakan langkah penafsiran yang paling baik.
2.
Mengambil keterangan dari Sunnah
Nabi[31].
3.
Mengambil keterangan dari atsar
sahabat[32].
4.
Mengambil keterangan dari Ulama` [33]salaf
karena mereka adalah pewaris nabi.
5.
Mengambil keterangan dari hikayat
atau sejarah.
I.
Corak Penafsiran
Dalam menafsirkan al-Qur`an K.H.
Shaleh Darat menggunakan beberapa corak penafsiran seperti:
a)
Corak Isyari[34].
Sebagaimana dapat dilihat dalam tafsiran ayat berikut (al-Baqoroh: 173)
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(173)
Artinya
: Sungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam
Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Arti
Isyari:Sesungguhnya makna dari bangkai adalah harta benda. Hal ini sesuai
dengan sabda Nabi SAW: “Jika hati kalian lebih mencintai harta benda dan harta
benda itu bisa melupakanmu dari mencintai Allah, maka harta benda itu bisa jadi
haram”. Sedangkan makna dari babi adalah hawa nafsu, babi dibaratkan hawa nafsu
karena keduanya sama-sama buruk dan sama-sama jelek di dalam maupun di luarnya.
Arti dari darah adalah syahwat. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: Jika
syahwat tidak bertempat di dalam darah maka syetan tidak bisa masuk ke dalam
tubuh manusia. Ibarat dari binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama)
selain Allah adalah perbuatan-perbuatan yang dikerjakan tidak dengan rasa
ikhlas dan tidak karena allah. Jadi ayat ini bisa diartikan sebagai berikut “
haram jika hati kalian lebih mencintai harta benda daripada cinta kepada Allah
dan cinta kepada hawa nafsu dan cinta kepada syahwat dan cinta dengan selain Allah
tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa melakukannya, sedang Dia tidak
menginginkannya banyak dan tidak pula melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya[35].
Tafsir Faidh ar Rahman fi Tarjamah
Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan yang bercorak tasawuf isyari.
Isy’ari yaitu menakwilkan ayat-ayat yang berbeda dengan arti lahirnya berdasarkan
isyarat yang tersembunyi yang hanya dapat diketahui oleh pimpinan suluk, tetapi
tetap dapat dikompromikan dengan arti lahir yang dimaksud. Tafsir semacam ini
bukanlah hal baru, sebab sudah dikenal sejak turunnya al-Qur’an dan telah
diberitahukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatpun telah mengetahuinya.
II.
Tafsir isyari ini dapat diterima
dengan syarat:
1.
Tidak bertentangan dengan makna
lahirnya ayat
2.
Memiliki dalil syar’i sebagai
penguat
3.
Tidak bertentangan dengan ajaran
agama dan akal
4.
Tidak menentukan makna batin itulah
yang paling benar dan dikehendaki Allah, dan masih memperhatikan makna lahir.
Menurut
Muhammad Salih kebolehan penakwilan terhadap ayat-ayat al Qur’an itu, selama
tidak menyalahi nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw.
b)
Corak Fiqih. Contoh dalam surah
Al-Baqarah: 280
-Dasar hutang piutang
وان كان ذو
عسرة فنظرة الى ميسرة وان تصدقوا خيرلكم ان كنتم تعلمون
Artinya: Dan jika orang yang
berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu), lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui.
Penjelasan:
1.
Sesungguhnya ayat ini masih menjadi
perselisihan antara ulama` mufassirin. Ibnu Abbas berkata “sesungguhnya ayat
ini ditujukan khusus kepada orang yang berhutang riba”. Imam Mujahid dan para
ulama` Mufassirin berkata “ sesungguhnya ayat ini ditujukan bagi semua orang
yang berhutang, jika suatu saat orang yang berhutang mengalami kesulitan maka
wajib bagi orang yang member hutang untuk member tangguh”. Melunasi hutang itu
lebih utama daripada diberi tangguh walaupun memberi tangguh sampai
berkelapangan itu wajib. Jadi, ada amal sunnah dari amal wajib, disebutkan
dalam suatu hadits “barangsiapa ingin diselamatkan Allah dari susahnya di Hari
Kiamat, maka lebih baik ingatlah kalian terhadap susahnya orang Sebuah kitab
terjemahan dan tafsir al-Qur`an yang pertama menggunakan bahasa jawa (Arab
Pegon).
2.
Sebagai langkah awal untuk
mempelajari ilmu tafsir, baik dari anak-anak yang baru belajar ataupun
masyarakat awam.
3.
Tafsir ini member gambaran dan
penjelasan bagi para pembaca tentang hukum dalam Al-Qur`an.
4.
Tafsir ini memberikan penjelasan
dan keterangan tentang ma`na Isyari dari suatu ayat.
5.
Tafsir Faidh ar-Rahman memberi
gambaran tentang kehidupan orang Islam di masa lampau dalam memahami al-Qur`an.
6.
Tafsir Faidh ar-Rahman walaupun
bisa dikatakan kitab tafsir kecil tetapi penafsiran Muhammad Shaleh Ibn Umar
as-Samarani bisa mencakup beberapa bidang ilmu, Fiqih, Tasawuf, Ushuluddin
(aqidah) yang berhutang yang tidak punya apa-apa untuk membayar atau kalian
mengurangi hutangnya.[36]
·
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir
Faidh ar-Rahman
1.
K.H Shaleh Darat dalam memberikan
keterangan dalam tafsirnya, menggunakan bahasa yang masih campur aduk antara
bahasa jawa Pesisiran dan bahasa Jawa Pedalaman dengan tulisan Pegon sehingga
sulit difahami.
2.
Tafsir ini hanya berisi empat surat
saja, dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nisa`, tidak lengkap sampai 30 juz.
3.
Penggunaan bahasa Melayu atau Jawa
Pegon dalam menafsirkan al-Qur`an, menunjukkan bahwa kitab tafsir tersebut
bersifat local yang hanya bisa difahami oleh masyarakat Jawa saja
4.
Sedangkan bagi orang non Jawa akan
mengalami kesulitan untuk memahaminya.
5.
Kesulitan untuk mendapatkan tafsir
ini di pasaran karena sudah tidak dicetak lagi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Muhammad Shalih Darat merupakan
salah satu ulama’ Indonesia yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan corak tasawuf
isyari dan fiqhi. Beliau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menggunakan bahasa
Jawa (Arab Pegon). Tafsir Faidh al-Rahman dicetak menjadi dua jilid dan
diterbitkan di Singapura. Tafsir Faidh al-Rahman memberi kemudahan bagi
masyarakat awam pada saat itu dan masih layak dikaji pada masa sekarang,
terutama dikalangan pesantren salaf dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir
ini memberikan gambaran, penjelasan dan keterangan tentang makna isyari, Fiqih
dan Ushuluddin bagi pembacanya.
B.
Daftar Pustaka
Al-Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Anwar, Rosihan, Samudra al-Qur’an, Bandung:
Pustaka Setia, 2001.
As-Samarani, Muhammad Shaleh ibn Umar, Lathaif
al-Thaharat wa Asrar al-Sholah fi Kaifiyat Sholat al-Abidin wa al-Arifin,
Semarang: Toha Putra, t.th.
As-Samarani, Muhammad Shaleh ibn Umar, Majmu’at
al-Syariat al-Kafiyat li al-Awam, Semarang: Toha Putra, t.th.
As-Samarani, Muhammad Shaleh ibn Umar, Matn al-Hikam,
Semarang: Toha Putra, t.th.
As-Samarani, Muhammad Shaleh ibn Umar, Munjiyat
Metik Saking Ihya’ Ulum ad-Din al-Gazali, Semarang: Toha Putra, t.th.
As-Samarani, Muhammad Shaleh ibn Umar, Tafsir Faidh
ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan, Singapura: Percetakan
Haji Muhammad Amin, juz 1, 1309 H/1893
M. dan juz 2, 1312 H/1895 M.
Chirzin, Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an,
Yogyakarta: Qirtas, 2003.
http: www.pakdenono.comRedaksi, Kumpulan Berita-Sejarah-SWARAMUSLIM.net
2003-Mei 2006 “Mengenang Kartini”
Jtptiain-gdl-misbahussu-6499-1-skripsi-r.pdf
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren
Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKIS, 2004.
Masyhuri, K.H. A. Aziz, 99 Kiai Kharismatik
Indonesia Biografi, Perjuangan, Ajaran, dan Doa-doa Utama yang Diwariskan,
Yogyakarta: Kutub, 2008.
Munir, Ghazali, Warisan Intelektual Islam Jawa, Semarang: Walisongo
Pers, 2008.
Nor Ichwan, Muhammad, Memasuki Dunia al-Qur’an,
Semarang: Lubuk Raya, 2001.
Rahardjo, M. Dawan, Paradigma al-Qur’an, Metodologi
Tafsir & Kritik Sosial, Jakarta: PSAP, 2005.
Roziqi, Badiatul., dkk, 101 Jejak Tokoh islam Indonesia,
Yogyakarta: e-NUSANTARA, 2009.
Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir,
Yogyakarta: Teras, 2005.
Shihab, M. Quraisy, Membumikan al-Qur’an, Jakarta: Mizan,
1995.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Surur, Misbahus, METODE DAN CORAK TAFSIR FAIDH AR-RAHMAN KARYA
MUHAMMAD SHALEH IBN UMAR AS-SAMARAI,
Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2011.
[1] M. Quraisy shihab, Membumikan al-Qur’an, (Jakarta:
Mizan, 1995), h. 75.
[2] M. Dawan Rahardjo,
Paradigma al-Qur’an, Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, (Jakarta: PSAP,
2005), h. 21.
[3] Abd. Muin Salim, Metodologi
Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 38.
[4] Rosihan Anwar, Samudra
al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 148.
[5] Muhammad Nor
Ichwan, Memasuki Dunia al-Qur’an, (Semarang: Lubuk Raya, 2001), h. 246.
[6] Muhammad Chirzin, Permata
al-Qur’an, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), h. 79-89.
[7] Ibid.
[8] Said Agil Husin
al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), h.69.
[9] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.
291.
[10] Misbahus Surur, METODE DAN CORAK TAFSIR
FAIDH AR-RAHMAN KARYA MUHAMMAD SHALEH IBN UMAR AS-SAMARAI, (Skripsi:
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2011), h. 24.
[11] Ibid. h. 27.
[12] Ibid. 25.
[13] K.H. A. Aziz
Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia Biografi, Perjuangan, Ajaran, dan
Doa-doa Utama yang Diwariskan, (Yogyakarta: Kutub, 2008), h. 67.
[14] Badiatul Roziqi, dkk, 101 Jejak Tokoh
islam Indonesia, (Yogyakarta: e-NUSANTARA, 2009), h. 326.
[15] K.H. A. Aziz
Masyhuri, Op. Cit. h. 76.
[16] Abdurrahman Mas’ud,
Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LKIS,
2004), h. 138. Lihat, Muhammad Shaleh ibn Umar as-Samarani, Matn al-Hikam,
(Semarang: Toha Putra, t.th), h. 2.
[17] Misbahus Surur, Op. Cit. h. 29.
[18] K.H. A. Aziz
Masyhuri, Op. Cit. h. 75.
[19] Muhammad Shaleh ibn
Umar as-Samarani, Majmu’at al-Syariat al-Kafiyat li al-Awam, (Semarang:
Toha Putra, t.th).
[20] Muhammad Shaleh ibn
Umar as-Samarani, Munjiyat Metik Saking Ihya’ Ulum ad-Din al-Gazali, (Semarang:
Toha Putra, t.th).
[21] Muhammad Shaleh ibn
Umar as-Samarani, Lathaif al-Thaharat wa Asrar al-Sholah fi Kaifiyat Sholat
al-Abidin wa al-Arifin, (Semarang: Toha Putra, t.th).
[22] Muhammad Shaleh ibn
Umar as-Samarani, Matn al-Hikam, (Semarang: Toha Putra, t.th).
[23] Muhammad Shaleh ibn
Umar as-Samarani Tafsir Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik
ad-Dayyan, (Singapura: Percetakan Haji Muhammad Amin, juz 1, 1309 H/1893 M. dan juz 2, 1312 H/1895 M).
[24] Jtptiain-gdl-misbahussu-6499-1-skripsi-r.pdf
[25] h t t p: www.pakdenono.comRedaksi, Kumpulan
Berita-Sejarah-SWARAMUSLIM.net 2003-Mei 2006 “Mengenang Kartini”
[26] Muhammad Shaleh ibn
Umar as-Samarani Tafsir Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik
ad-Dayyan, Op. Cit. h. 184.
[27] Muhammad Shaleh ibn
Umar as-Samarani Tafsir Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik
ad-Dayyan, Op. Cit. h. 3.
[28] Ibid.
[29] Muhammad Shaleh
ibnu Umar as-Samarani, Tafsir Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik
ad-Dayyan, Op. Cit. h. 262.
[30] Ibid. h. 350.
[31] Ibid.
[32] Ibid. h. 575.
[33] Ibd. juz. 2, h. 575
[34] Corak ini paling
banyak dalam Tafsir Faidh al-Rahman. Dalam surat al-Baqarah, terdapat 175 ayat,
dalam surat Ali Imran terdapat 122 ayat, dalam surat an-Nisa’ terdapat 60 ayat.
[35] Muhammad Shaleh
ibnu Umar as-Samarani, Tafsir Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik
ad-Dayyan, Op. Cit. h. 264.
[36] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar