BAB I
PENDAHULUAN
TAFSIR AYAT-AYAT MUAMALAH: Jual Beli-Riba
TAFSIR AYAT-AYAT MUAMALAH: Jual Beli-Riba
A.
Latar Belakang
Islam sebagai agama tidak hanya membahas problem theologi,
tapi juga berbicara tentang hubungannya sesama makhluk tuhan. Adapun hubungan
manusia dengan manusia telah diatur dengan baik dalam al-Quran. Al-Quran
sebagai kitab suci menjadi pedoman terbentuknya aturan-aturan dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga Al-Qur’an sangat relefan dijadikan dasar berpijak
dikehidupan ini.
Dalam firman suci-Nya (al-Qur’an), Allah s.w.t telah
memberikan rambu-rambu dan aturan bagi manusia guna meneraturkan aktifitas yang
dilakukan manusia agar terciptaanya keteraturan dan peradaban yang baik. Dengan
terciptanya masyarakat yang mapan perdabannya, masyarakat khusunya muslim,
mampu menjadi pribadi yang bermartabat dan memiliki ketahanan yang kuat. Dalam
hal ini, Allah s.w.t telah memberikan aturan main sebagai sistem yang relefan
digunakan dalam hubungan antar manusia dalam segala aspek terutama perihal
ekonomi.
Dewasa ini, telah memberikan sumbangan yang sangat
bermanfaat sebagai acuan bertindak dalam ranah ekonomi. Menurut hemat kami,
iniah wujud yang indah dalam aturan yang telah dibuat tuhan untuk manusia,
sehingga nantinya mewujudkan ketahanan ekonomi, baik bersifat general maupun
personal. Perlu ditekankan, Islam membuat, mengatur asas ekonomi atas dasar keadilan
dan transparan.
Dengan demikian, maka Islam (Al-Qur’an) berperan penting
sebagai manajer dalam sistem tansaksi
yang terjadi di masyarakat. Jual beli, merupakan satu mekanika yang ada pada
ranah transaksi. Demikian Al-quran tidak luput membahas perihal tersebut karena
hal tersebut merupakan salah satu stlye al-Quran. perlu diketahui penjelasan
secara umum dalam A-Qur’an, menjadikan suatu keindahan tersendiri dalam
memahamiNya, kerena pada dasarnya pemahaman yang ditmbulkan dari usaha memahami
–menafsirkan- Al-Qur’an merupakan seni. Maka kualitas seni dari usaha tersebut
terpengaruh oleh kualitas yang mendasar pada diri penafsir tersebut yaitu
intelektual mufasir. Dengan demikian maka Al-Qur’an akan dapat terfahami
teraplikasi dalam kehidupan terutama pada ranah transaksi ssuai dengan
kebutuhan, meskipun sifat yang diutarakan didalamnya umum.
Dalam hal ini, kami mencoba memeberikan pemahaman baru
yang sesuai dengan realita yang menuntut dalam seni memahami Al-Qur’an.
Sedangkan landasan kami, berada pada terori-teori tradisional dan moderent
dengan merujuk pada tafsir kontemporer.
Selain Al-Qur’an sendiri, hadis juga menjadi suatu complement
dalam memahami al-Qur’an serta landasan pijak setelah Al-Qur’an, meski
terkadang hal tersebut tidak pasti dalam hal dan urusan tertentu.
Seperti yang telah kita ketahui, Nabi Muhammad s.a.w
diutus sebagai penjelas dari ayat-ayat
al-Quran. Jual-beli, sistem yang ditawarkan al-Quran berdasarkan asas keadilan
bersama. Meskipun demikian, dalam perjalan ironisnya masyarakat muslim masih
sedikit yang mampu memahami dengan betul prinsip-prinsip jual-beli yang
dijelaskan al-Quran dan as-sunnah.
Dampaknya terjadi praktik-praktik transaksi yang mengarah
pada penyimpangan dalam kehidupan sosial-masyarakat. Sehingga mengakibatkan terjadi kesenjangan dari salah satu pihak. Dan
sanggat disayangkan, praktik-paraktik
tersebut masih banyak terjadi di masyarakat. Salah satunya adalah praktek
jual-beli sapi glonggongan.
Hal itu mendorong penulis untuk membahas ayat-ayat yang
terkait jual-beli dan kaitanyya dengan praktek penjualan sapi glonggongan.
B.
Rumusan Masalah
A.
Legitimasi Kehalalan Bai’
(jual-beli).
B.
Pembahasan ayat-ayat ba’i
C.
Etika Jual Beli.
D.
Definisi Riba.
E.
Hukum Riba.
F.
Macam-macam
Riba.
G.
Barang-barang
yang didalamnya mengandung unsur riba.
H.
Illat (sebab)
riba.
I.
Syarat-syarat
pertukaran antara barang ribawi dengan yang lain Riba pada perbankan konvensional.
J.
Hikmah
diharamkannya riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Legitimasi Kehalalan Bai’ (jual-beli)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا
لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
“Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikan itu, adalah disebabkan mereka berpendapat, sesungguhnya jual beli
itusama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqoroh:275).
Sebab
Turunnya Ayat
Kaum Tsaqif,
penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan dengan Rasulallah SAW bahwa semua
hutang mereka demikian juga piutang (tagihan) yang berdasarkan riba agar
dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah,
Rasulallah SAW menunjuk ’Itab bin Usaid sebagai gubernur Makkah yang juga
meliputi kawasan Thaif. Bani Amr bin Umar yang adalah orang biasa meminjamkan
uang secara riba kepada Bani Mughirah sejak zaman jahiliyah dan senantiasa Bani
Mughirah membayarkannya. Setelah kedatangan Islam, mereka memiliki kekeyaan
yang banyak. Karenanya datanhlah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan
riba, tetapi Bani Mughirah menolak. Maka diangkatlah maslah itu kepada ‘Itb bin
Usaid dan beliau menulis surat kepada rasulallah. Maka turunlah ayat ini.
Rasulallah SAW lalu menulis surat balasan yang isinya “Jika mereka ridha atas
ketentuan Allah SWT di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka
kumandangkanlah perang kepada mereka[1].
Allah SWT dalam ayat di atas
mengatakan dengan tegas kebolehan jual beli dan keharaman riba. Dan mengancam
pelaku riba kekal di dalam neraka. Berdasarkan asbabun nuzul tersebut, tampak
jelas sikap rasulallah terhadap orang-orang yang masih melakukan praktik riba.
Nabi memberi mereka ultimatum
perang jika tetap melanggar peringatan beliau. Hal ini menunjukan agar orang
Islam selalu melakukan praktek bai’ yang sesuai tuntutan Allah SWT.
Jual beli dan riba diibaratkan
sisi mata uang. Sehingga banyak orang yang melakukan praktek jual beli, tapi
justru terjebak dalam praktek riba yang dilarang oleh agama. Padahal keduanya
memiliki substansi yang sungguh berbeda.
B.
Pengertian Jual Beli (Bai’)
Kata ba’i bentuk mufrad dari
lafadz buyu’, yang secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu yang
lain. Sedangkan bai; menurut istilah adalah memberikan hak kepemilikan harta
dengan adanya penukar dan cara-cara yang dilegalkan syariat[2].
Jual beli merupakan suatu bentuk
transaksi pemindahan kepemilikan dari satu orang ke orang lain. Al-Qur’an
mengatur praktik tersebut agar satu sama lain tidak ada yang dirugikan. Pada
dasarnya, Islam menghendaki terciptanya tatanan masyarakat yang jauh dari
nilai-nilai jahiliyah. Dimana sistem ekonomi dibangun berdasarkan riba yangmana
bertentangan dengan ketetapan syari’at (al-Quran).
Riba merupakan sistem
jahiliyah yang membawa kesengsaraan rakyat.
Dilihat dari efek yang ditimbulkan, seperti pemaksaan kehendak, pemiskinan
kekayaan secara bertahap maupun sepotan bagi objek peminjam maupun penghutang, penjeratan
kekayaan, pemutus sirkulasi perekonomian mikro. Maka dari itu, aturan-aturan
yang dibangun al-Quran menghantarkan umat manusia pada kehidupan yang cerah dan
adil[3],
dengan mengharamkan riba.
Jual beli adalah transaksi yang
memberi keuntungan kepada penjual dan pembeli, sedangkan riba merugikan salah
satu pihak. Keuntungan jual beli berdasarkan usaha manusia, dan aktivitas
manusia. Jual beli mengandung kalkulasi serta oreantasi untung dan rugi,
tergantung kepandaian pengelola modal atau pemilik saham.
Berbeda dengan riba, keuntungan
yang didapatkan tidak melalui usaha manusia, tidak menuntut adanya aktivitas
manusia dan tidak ada kemungkinan untung dan rugi. Riba hanya menguntungkan
salah satu pihak saja[4].
Lebih lanjut akan diulas pada bab tersendiri.
C. Etika
Jual Beli
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ
إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ
وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا
قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (الانعام: 152)
“Dan janganlah kamu dekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara terbaik, hingga dia mencapai kedewasaannya. Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan bil qist (dengan adil). Kami tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai kemampuannya. Dan apabila
kamu berucap, maka berlaku adillah, kendati pun dia adalah kerabatm(-mu), dan
penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kamu agar
kamu terus ingat.”
Ayat di atas mengandung beberpa larangan, diantaranya
adalah larangan untuk mengurangi takaran atau timbangan. Ini diisratkan oleh
Allah dengan kata-kata “Sempurnakanlah takaran dan timbangan bi al-qisth, yakni
dengan adil, konsensus keadailan adalah dengan penakaran dan pemimbangan yang
pas dan sesuai tanpa pengurangan. Konsekuensi logisnya, jika terdapat suatu
kecurangan akan berakibat kerugian dari penerima, pembeli, penukar, peminjam
dan ataupun pemilik, pedagang, penjual, hal ini kelura dari pembahsan shodaqoh
yang diberikan oleh penjual, pemilik, pedagang kepada pelangannya. Kesesuaian
aturan tersebut menjadikan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.
Allah SWT dalam ayat tersebut menggunakan bentuk perintah
sekaligus mengandung unsur larangan penyelewengan dalam penakaran dan penimbangan
(wa auful kaila wal mizana bil qisth). Thahir ibn Asyur mengatakan bahwa
hal tersebut memberikan isyarat mereka dituntut untuk menyempurnakan timbangan
dan takarannya. Sehingga mereka tidak hanya berusaha untuk tidak mengurangi,
tetapi perhatiaannya juga pada penyempurnaannya.
Kata بِالْقِسْط bukan hanya sebatas
berlaku adil antara kedua pihak yang bertransaksi, namun mengandung makna rasa
senang di antara keduanya. Yang artinya timbangan atau takaran harus
menyenangkan kedua belah pihak. Jadi kaitannya dengan jual beli, kejujuran
antara penjual dan pembeli perlu dibangun dan diaplikasikan dalam praktik jual
beli secara khusus tanpa adanya tindak kecurangan[5].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ
نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (النساء:29-30)
Penggunaan kata Bathil yang mengngandung makna larangan dalam memperoleh
harta merupakan sebagai sebab untuk dapat memperoleh makanan
sebagai konsumsi keseharian. Maka wujud dari korekasi kata la ta’kuluu dengan
amwalakum ada pada sebab-akibat yang terjadi, ketika terdapat harta
dimungkinkan akan terjadi aktifitas komsumsi –makan- karena secara umum
kebutuhan primer masyarakat lebih dominan “makan”, tanpa menghilangkan konsumsi
“minum”. Kalau makan merupakan kebutuhan primer yang disebebkan adanya harta
terlarang dilihat dari cara
perolehannya secara batil, tentu lebih terlarang jika perolehan makanan sebagai konsumsi didapati dari cara yang
batil, seperti: mengutil[6],
mencuri -dalam bentuk yang bersifat bahan pangan- dan sebangainya. Atapun
barang kebutuhan yang menyangkut kebutuhan skunder atau tertier.
Kata أَمْوَالَكُمْ amwalukum yang dimaksud adalah harta yang beredar
dalam masyarakat. Di mana dalam surat an-Nisa juga disebutkan term amwalukum
yang menunjukan bahwa harta yang beredar di masyarakat bertujuan untuk
menghasilkan manfaat bagi masyarakat.
Semua pihak baik pembeli, penjual, penyewa maupun pemilik
sewaan tentulah mempunyai orientasi keuntungan yang inggin di dapati.
Dhomir kum yang disandarkan pada lafdz amwal menunjukan
akan fungsi sosial, dimana hal tersebut dapat mengundang jalinan kerja sama tanpa
penyelewengan. Sebagai anjuran bersyari’at dalam berbisnis hendaknya kedua
belah pihak berada pada keadaan atau tempat tanpa adanya ketimpangan
–seimbangan-. Inilah yang diisyaratkan oleh ayat di atas dengan kata بينكم bainakum.
Maka Allah menetapkan neraca dan memerintahkan untuk
menegakkannya bil qisth, bukan bil ‘adl. “Allah telah meninggikan
langit dan dia meletakan neraca, dan tegakanlah timbangan itu dengan qisth
dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (QS. Ar-Rahman [55] :9) Menegakan
neraca dengan qisth menjadikan kedua belah pihak tidak mengalami
kerugian, bahkan masing-masing memperoleh apa yang
diharapkannya.
Sementara Thabathaba’I menangkap pesan lain dari kata bainakum. Menurutnya,
kata tersebut mengandung arti adanya gabungan
harta diantara mereka. Dilarangnya memakan harta di antara mereka, memberi
petunjuk bahwa memakan harta orang lain tanpa ijin bahkan secara
batil, merupakan tindakan transaksi
yang memicu hal negatif lainnya sehingga
mengantarkan pada kehancuran dan kebejatan seperti praktik riba, perjudian,
jual beli yang mengandung penipuan dan lain-lain[7].
Rasulallah juga menegaskan adanya larangan
jual beli yang mengandung unsur penipuan, bahkan orang yang melakukan tindakan
tersebut tidak dianggap golongan beliau. Sebagaimana beliau bersabda dalam
sebuah hadits:
أن أبا قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من غشنا
فليس منا
“Dari Abu al-Hamra, ia berkata:
rasulallah Saw bersabda: Barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan
(golongan) kami.”(HR. Ibnu Majah)
Asbabul wurud
Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Ahmad dan Muslim dari Abi Hurairah bahwasanya rasulallah pernah lewat di depan
seorang laki-laki yang menjual makanan, dan bertanya kepadanya: “Bagaimana cara
engkau menjual?” Orang itu pun memberitahukannya. Lalu Allah mewahyukan kepada
beliau: “Masukan tanganmu dalam makanan itu,” dan Nabi Muhammad pun memasukan
tangannya, ternyata beliau mendapati sesuatu yang lembab. Maka bersabdalah
beliau: “Bukan dari (golongan) kami siapa saja yang menipu kami[8].”
Ayat diatas (QS. An-Nisa) menekankan juga keharusan
mengindahkan peraturan yang ditetapkan dan tidak melakukan apa yang
diistilahkan oleh ayat diatas dengan al-bathil yakni pelanggaran
terhadap ketentuan aturan syari’at yang telah disepakati. Dalam konteks ini,
nabi bersabda, “Kaum muslim sesuai dengan (harus menepati) syarat-syarat yang mereka sepakati,
selama tidak menghalalkan yang haram/mengharamkan yang halal.
Selanjutnya ayat diatas menekankan juga keharusan adanya
kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya dengan ‘an taraadhim
minkum. Sebagian ulama mengatakan bahwa kerelaan adalah sesuatu yang
tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat diketahui. Ijab dan qabul, atau apa saja yang
dikenal dalam adat istiadat sebagai serah terima, merupakan suatu bentuk yang
digunakan sebagai hukum untuk menunjukan indikator kerelaan.
Sedangkan Imam Alusi berpendapat bahwa taradhi adalah
kerelaan akan apa yang telah disepakati atau diakadi oleh kedua belah pihak.
Syafi’iyah dan malikiyah menggambarkan kerelaan itu ketika kedua belah pihak
telah berpisah dari tempat transaksi. Maka unsur kerelaan menjadi sangat urgent
dalam transaksi[9].
D.
Definisi
riba
Secara umum transaksi keuangan dianggap sah
menurut syariat jika tidak mengandung unsur tertentu seperti riba (bunga), gharar
(tipu muslihat), qimar (judi) dan lain sebagainya. Walaupun riba
mendapatkan perhatian yang sangat penting bukan berarti meremehkan yang lain,
larangan atas riba juga bukan hanya ada dalam Islam tetapi pada semua agama samawi
dan dalam sejarah sepanjang tradisi peradaban.
Agama Islam merupakan agama rahmatan lil
‘alamin maka tidaklah Islam memerintahkan sesuatu melainkan didalamnya
terdapat maslahat dan tidaklah mengharamkan sesuatu melainkan karena ada
kemudaratan. Demikian pula, Islam menghalalkan jual beli karena didalamnya
terdapat keuntungan dan maslahat bagi manusia, dan mengharamkan riba,
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis, tak lain melainkan karena
terdapat mudarat bagi kehidupan manusia, karena aturan-aturan syariat yang
komprehensif telah menetapkan muamalah ma’aallah dan muamalah ma’al
khalqi dan transaksi ekonomi merupakan salah satu hubungan antar manusia
yang tak terlepas dari jual beli, utang piutang dan masalah riba. Berikut ini
penulis mencoba memaparkan pendekatan seputar riba itu sendiri
Secara etomologi riba berarti pertumbuhan atau
tambahan (ziadah). Sebagaimana firman Allah swt.(اهتزت وربت)[10]
yang artinya: menjadi subur dan menumbuhkan. Yakni tumbuh dan
berkembang.
Sedangkan
menurut istilah para Imam mazhab fikih Islam sebagai berikut:[11]
1. Syafi’iah: mengatakan bahwa riba
adalah akad atas imbalan tertentu, tidak sama dalam ukuran syariat ketika akad,
atau dengan penagguhan antara kedua belah pihak atau salah satunya.
2. Hanafiah: mengemukakan bahwa riba
adalah tambahan atas harta pokok (modal) tanpa penyeimbang yang bernilai dalam
kaca mata syariat, yang disyaratkan oleh salah satu pihak pelaku akad dalam
pengembalian.
3. Hanabilah: berpendapat bahwa riba
adalah tambahan dalam suatu tertentu. Apakah
semua tambahan atas harta pokok dinamakan riba? Jawabannya tidak, sebab
tambahan yang diberikan oleh peminjam dengan kerelaan hati tanpa persyaratan
tergolong akhlak mulia yang dianjurkan, termasuk ihsan atau husnul qadha’.
E.
Hukum
Riba
Riba, haram hukumnya. Al-Mawardi menyatakan
bahwa riba tidak pernah diperbolehkan atau dihalalkan oleh seluruh syariat
samawi. Al-Qur’an dan As-sunah telah menyatakan larangan tegas akan riba ini.
Juga para ulama’ telah berijma’ bahwa riba haram hukumnya.
1.
Al-Qur’an.
يٲ ايها الذين ٲمنوااتقوالله وذروامابقي من
الربوا إن كنتم مؤمنين ٠فإن لم تفعلوا فٲذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكم
رءوس ٲموالكم لاتظلمون ولا تظلمون٠(البقرة:287-289)
Artinya:
”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah sw. dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah swt. dan
rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat maka bagimu pokok hartamu.
Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. (QS.Al-Baqarah:278-279)
2.
As-sunnah.
عن عبادة بن صامت قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبربالبروالشعيربالشعيروالتمربالتمر
والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا
بيد فإاذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذاكان يدا بيد
Artinya:Dari
Ubadah bin as-shamit berkata,Rasulullah saw. bersabda: emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma,
garam dengan garam yang satu jenis, sama(kadarnya), dan ada serah terima, maka
jika bagian-bagiannya (yang diperjualbelikan) berbeda, juallah sesuai dengan
yang kamu kehendaki jika ada serah terima.
F.
Macam-macam
riba.
Riba
menurut Jumhur ulama ada dua macam yaitu riba fadhli dan riba nasi’ah.[12]
a. Riba fadhli.
Riba fadhli adalah pertukaran dua
barang ribawi yang sejenis dengan ada kelebihan atau tambahan pada salah
satunya. Misalnya menukar sepuluh kilo kurma dengan dua belas kilo kurma.
Ada empat unsur yang dapat menggolongkan suatu
transaksi jual beli menjadi riba fadli, yaitu:[13]
-Kedua
barang yang ditransaksikan adalah barang ribawi.
-Keduanya
satu jenis.
-Adanya
kelebihan yang bernilai dalam kacamata syara’ dalam salah satu barang.
-Penyerahan
barang itu pada saat akad, tanpa ditangguhkan.
Hikmah diharamkannya riba fadhli:
Melindungi manusia dari kerugiaan dan bahaya,
yang mana telah diyakini bahwa terdapat kelebihan pada salah satu jenis barang.
Maka
tidak ada perbedaan kualitas pada barang
ribawi, kualitas baik dan buruknya sama, sampai tidak menjadikan alasan
kualitas sebagai cara untuk membolehkan riba, maka dilarang untuk menghalangi
perantara menuju riba.
b.
Riba nasi’ah.
Riba nasi’ah disebut juga riba jahiliah
dan riba pada bank konvensional di zaman kita ini yaitu: pertukaran dua barang
ribawi yang satu jenis maupun beda jenis, dengan menangguhkan penyerahan
keduanya atau salah satunya. Baik tambahan itu berupa nominal maupun rill
(nyata), misalnya pertukaran satu kilo beras dengan dua kilo gandum setelah
satu bulan, yakni salah satunya diberikan sekarang dan lainnya diberikan bulan
mendatang. Didalamnya terdapat riba, karena meskipun di bolehkan kelebihan pada
salah satu barang yang berbeda jenis akan tetapi diharuskan penyerahan kedua
barang pada saat akad tanpa ditangguhkan. Ini adalah pelaksanaan yang
disyaratkan dalam pertukaran bahan makanan satu dengan lainnya. Sebagaimana
disebutkan dalam hadis diatas.
Maka dalam pertukaran barang yang sejenis:
disyaratkan keduanya satu jenis dan penyerahan barang pada saat akad tanpa
ditangguhkan. Hal demikian untuk menghindari riba. Adapun barang yang tak
sejenis: disyaratkan penyerahan keduanya pada saat akad.
Hikmah dari diharamkannya riba nasi’ah.[14]
Adalah karena membebani orang yang terpaksa
melakukan transaksi riba ini, orang kaya mengambil manfaat dari kebutuhan si
miskin, memberikan bahaya besar bagi manusia, mengambil tambahan dengan tidak
benar dan tanpa usaha.
Apabila
membeli bahan makanan dengan uang maka dibolehkan, karena pertukaran dua barang
dari jenis yang berbeda.
Adapun menurut Syafi’iah riba
terdiri dari tiga jenis yaitu:
1.
Riba fadhl adalah pertukaran dua
barang sejenis dengan penambahan pada salah satunya tanpa penangguhan.
2.
Riba yad adalah pembelian barang
dengan menangguhkan penyerahan salah satu barang atau keduanya tanpa
menyebutkan waktunya, atau pertukaran barang berlain jenis seperti gandum dan
kurma tanpa diserahkan pada saat akad. Jenis ini termasuk riba nasi’ah menurut hanafiah yaitu syarat
penyerahan barang pada saat akad, didalamnya ada penangguhan dalam penyerahan
salah satu barang atau keduanya. Dalilnya yaitu pada hadis dibawah ini:
عن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الذهب
بالذهب ربا الا هاء وها "أي خذ وأعط٠
Dari
Umar bahwa Nabi saw. Bersabda: emas
dengan emas riba kecuali sini dan sini, yakni ambillah dan berikanlah.
(HR.Bukhori dan Muslim)
c..Riba
nasi’ah
Riba nasi’ah adalah pertukaran barang dengan penangguhan waktu serta penambahan
pada salah satu barang ketika pembayarannya, yakni penambahan pada salah satu
barang tanpa adanya usaha nyata atas
penangguhan waktu pembayaran, baik dari satu jenis maupun beda jenis dan
kualitas yang sama maupun beda.
Kesimpulan:Riba
nasi’ah adalah penangguhan hutang
dengan penambahan atas jumlah asalnya (ini adalah riba jahiliah), atau penangguhan penyerahan atas salah satu barang ribawi sejenis.Adapun riba fadhl adalah penambahan pada salah satu
barang ribawi yang sejenis maupun
beda jenis diserahkan secara langsung pada akad.
G.
Barang-barang
yang didalamnya mengandung unsur riba
Para Jumhur ulama sepakat komoditas yang
mengandung unsur riba terdapat pada enam jenis barang yaitu: emas, perak,
gandum, sya’ir, kurma dan garam. Sebagian ulama membatasi riba hanya pada enam
barang tersebut. Namun mayoritas ulama berpendapat riba juga terjadi pada
selain enam barang tersebut, asalkan didalamnya mengandung ‘illat (sebab)
salah satu barang yang disebutkan dalam hadis diatas, hal itu karena hukum
berdasarkan kesamaan sebab didalamnya. Dari sini para ulama secara panjang
lebar membahas ‘illat (baranng ribawi untuk tolak ukur (qias) barang-barang
lainnya yang tidak disebutkan dalam hadis.
H.
Illat (sebab)
riba
illat
(sebab) riba adalah sifat yang terdapat pada
barang yang sesuai dengan barang ribawi yaitu(emas,
perak, gandum, jewawut, kurma dan garam).Apabila pada barang terdapat sifat
yang sesuai pada barang ribawi tersebut
maka merupakan transaksi riba.
Para Ulama berbeda pendapat dalam sifat barang
yang melanggar hukum dari barang ribawi yang
telah ditetapkan, hal itu karena barang-barang yang lain tidak disebutkan pada
ayat, maka harus diambil kesimpulan dengan ijtihat
para ulama, inilah pendapat mereka:[15]
1. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa illat (sebab) riba fadhl adalah takaran atau timbangan pada barang sejenis, ketika ada
keduanya maka diharamkan riba fadhl dan
riba nasi’ah, yakni illat (sebab) riba pada empat barang
yang disebutkan yaitu (gandum, jewawut, kurma dan garam) adalah takaran dan
satu jenis. Adapun illat pada emas
dan perak adalah timbangan dan sejenis, maka tidak termasuk illat riba apabila tidak terdapat dua
sifat yaitu kadar dan sejenis, yakni riba terdapat pada barang yang didalamnya
terkumpul jenis dan kadar yang sama, seperti penjualan emas dengan emas apabila
ada penambahan pada salah satunya maka tambahan ini adalah riba, karena kedua
barang tersebut adalah ditimbang, inilah maksud dari kadarnya. Maka dari itu
barang sejenis (yang ditakar dan ditimbang) merupakan barang ribawi. Adapun barang yang menurut
perbandingan nilai seperti hewan, karpet dan mobil didalamnya tidak mengandung illat riba, maka dibolehkan pertukaran
banyak dengan sedikit seperti seekor domba dengan dua ekor, karena nilai bukan
termasuk kadar, yakni takaran dan timbangan.
-Kadar pada riba fadhl
Kadar riba fadhl yang ada pada makanan adalah setengah sha’ atau lebih karena
penaksiran pada syara’ selain itu, maka apabila penambahan kurang dari
setengah sha’ dibolehkan.
-Jenis illat (sebab)
Demikianlah illatnya adalah kadar dan jenis yang sama, maka didalamnya termasuk
barang ribawi baik berupa bahan
makanan atau tidak, gandum dan jewawut dikiaskan pada riba fadlh yaitu setiap apa yang
dijual dengan takaran seperti biji-bijian, padi dan susu, jika dijual dengan
takaran. Adapun emas dan perak dikiaskan pada setiap apa yang dijual dengan
timbangan seperti timah, tembaga dan besi.
-Kualitas
yang baik dan buruk pada barang
Perlu diperhatikan juga bahwa
kualitas baik atau buruk pada barang ribawi
sama saja, maka tidak dibolehkan penjualan kualitas baik dan buruk pada
barang ribawi kecuali bila serupa
atau sama kadarnya, karena kualitas gugur pada barang ribawi berdasarkan kaidah
syariah “Baik maupun buruk kualitasnya sama saja”.
-Illat
(sebab) pada riba nasi’ah
illat
pada riba nasi’ah atau riba
jahiliah adalah salah satu sifat yang terdapat pada illat riba fadhl yaitu takaran atau timbangan yang
sama dan satu jenis, misalnya seseorang membeli satu sha’ gandum pada musim dingin dan mengembalikannya sebanyak satu
setengah sha’ kurma ketika musim
panas, maka setengah sha’ tambahan pada nilai, bukan karena barang
jualnya akan tetapi karena penangguhan waktu pembayaran saja, maka dari itu
dinamakan riba nasi’ah atau penang guhan pada salah satu pengembalian.
Masyarakat jahiliaا apabila
seseorang meminjam pada mereka, ketika tiba waktu pembayaran ia berkata pada si
peminjam,”kamu melunasi sekarang atau menambahkan”, maka si peminjam
membayarnya ketika itu juga atau menangguhkan dan menambah pembayaran pada
modal pokok, dengan ini akan memberatkan peminjam dan membahayakannya, karena
hutang telah menguasai hartanya.
-Riba pada perbankan
Sesungguhnya bagian dari riba nasiah yang akan di jelaskan pada bab
terakhir adalah riba yang telah kita ketahui di zaman sekarang yang ada pada perbankan
konvensional yaitu memberikan pinjaman dengan pembayaran yang ditangguhkan dan
mendapat manfaat tahunan atau bulanan, tujuh dalam seratus atau dua dan
setengah, ini merupakan memakan harta orang lain dengan bathil . dan bahaya riba sangat jelas didalamnya, maka diharamkan
sebagaimana diharamkannya riba, dan dosanyapun seperti dosa riba,[16]
yakni itu merupakan riba nasi’ah ,sebagaimana
yang disebutkan dalam al-Qur’an:
وٳن تبتم فلكم رءوس أموالكم ٠(البقرة:279)
Dan jika kamu bertaubat maka bagimu pokok
hartamu. (QS.Al-Baqarah:279)
Riba yang diketahui manusia pada
zaman sekarang adalah keuntungan yang didapat karena penangguhan pembayaran
hutang yakni riba nasi’ah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat jahiliah.
Adapun riba fadhl jarang dilakukan.
-Barang
yang sejenis dan berbeda jenis
Sebagaimana
ditetapkan bahwa diharamkan penjualan antara dua barang sejenis apabila ada
penambahan pada salah satunya, dan dibolehkan saling melebihi satu sama lain
pada barang yang tidak sejenis bagi Abu Hanifah, kecuali pada daging burung,
maka dibolehkan pembelian daging burung yang sejenis seperti burung quail dan
burung pipit dengan saling melebihkan, karena burung bukan termasuk barang ribawi
,yang mana tidak dijual dengan takaran maupun timbangan, akan tetapi
dikecualikan pada daging ayam dan angsa, karena biasanya keduanya ditimbang,
maka tidak diperbolehkan dijual dengan saling dilebihkan.
2. Mazhab Maliki berpendapat bahwa illat diharamkannya
penambahan pada emas dan perak merupakan uang atau alat tukar untuk
barang-barang lainnya, adapun illat ada pada makanan menurut mereka
antara riba fadhl dan riba nasi’ah.
Illat
(sebab) diharamkannya riba nasi’ah
adalah bahan makanan yang bukan untuk obat, baik berupa makanan maupun yang
dapat disimpan, makanan saja atau salah satunya, seperti jenis sayuran dari
mentimun, lemon, kol, wortel dan buah-buahan segar seperti apel dan pisang.
Adapun illat (sebab)
diharamkannya riba fadhl adalah pada bahan makanan dan yang dapat
disimpan, yakni makanan yang banyak dimakan, artinya makanan yang sering
dikonsumsi manusia seperti semua biji-bijian, kurma, kismis, daging-daging,
susu dan apa yang dibuat darinya. Adapun makna dari bahan makanan yaitu makanan
yang baik seperti garam dan sejenisnya dari rempah-rempah, cuka, bawang merah,
bawang putih, dan minyak. Dan maksud dari makanan baik dan dapat disimpan ialah
makanan yang tidak rusak dengan penangguhan waktu maka dikembalikan pada
kebiasaan tanpa dibatasi enam bulan atau satu tahun, sebagaimana pendapat
sebagian dari mereka.
-Barang
yang sejenis dan lain jenis
Iman
Malik mengibaratkan gandum, jewawut dan sultu (jenis gandum yang tidak
memilki kulit) satu jenis, biji-bijian dan beras satu jenis, kacang-kacangan
seperti kacang dan adas satu jenis, maka dari itu tidak boleh saling
melebihkan antara gandum dan jewawut, dan boleh dilebihkan antara gandum dan
biji-bijian. Adapun daging bagi Imam Malik terbagi menjadi tiga golongan yaitu
daging hewan berkaki empat satu jenis, daging burung satu jenis dan daging
ular-ularan satu jenis.[17]
3.
Mazhab
Syafi’i mengemukakan bahwa illat pada emas dan perak adalah mata uang
atau alat tukar, artinya nilai kedua logam mulia itu sebagai harga
barang-barang.
Adapun illat pada empat barang sisanya
(gandum, jewawut, kurma dan garam) adalah makanan yakni bahan makanan, bahan
makanan meliputi tiga hal yaitu:
-Makanan
pokok seperti gandum dan jewawut atau makanan yang sering dikonsumsi, masuk
dalam kategori ini adalah kacang, beras, biji-bijian, turmus dan lain
sebagainya dari biji-bijian yang diwajibkan zakat didalamnya.
-Buah-buahan,
yang telah disebutkan dalam hadis atas kurma, maka mencangkup didalamnya
buah-buahan seperti buah kismis dan buah tin.
-Bahan
yang memperbaiki makanan dan badan yakni untuk obat. Dan telah disebutkan dalam
hadis yaitu garam, maka mencangkup didalamnya obat-obatan masa lampau seperti
jahe dan biji-bijian kering.
4. Mazhab Hambali mengatakan tiga
riwayat dalam illat riba, riwayat yang paling masyhur adalah
seperti mazhab Abu Hanifah yakni takaran atau timbangan dengan barang sejenis
merupakan illat riba, maka semua yang ditakar dan ditimbang pada barang
sejenis baik makanan maupun tidak merupakan barang ribawi. Akan tetapi
Iman Hambali berbeda pendapat dengan Abu Hanifah yaitu, Imam Hanifah berkata:
diharamkan riba fadhl pada setiap takaran dan timbangan barang sejenis,
meskipun sedikit seperti kurma dengan kurma, dan apa yang tidak terbuat dari
emas dan perak, tidak pada air, dan sesuatu yang tidak ditimbang:karena tidak
terbuat dari emas dan perak, seperti barang yang tebuat dari tembaga,besi atau
kapas dll.
-Adapun
riwayat kedua sama seperti pada mazhab Syafi’i.
-Riwayat
ketiga yaitu:illat yang ada pada selain emas dan perak adalah makanan
yang ditakar dan ditimbang, maka tidak ada riba pada makanan yang tidak ditakar
dan ditimbang seperti semangka, buah pir, apel dll. Dan tidak pula pada barang
yang tidak dimakan seperti besi, timah dll.
-Barang
satu jenis dan beda jenis
Dalam hal ini pendapat Imam Syafi’i
sama dengan Imam Hambali yakni apabila dua barang mempunyai rumpun dan
karakteristik sama maka termasuk satu jenis misalnya gamdum dan jewawut.
5.Mazhab Dzohiri menyebutkan bahwa riba tidak
ditafsirkan, yakni khusus pada barang yang disebutkan dalam hadis saja, hal itu
karena mereka mengingkari kias, syariat telah menyebutkan riba pada enam jenis
barang, maka selain enam jenis barang tersebut adalah dibolehkan.
-Kesimpulan:illat dalam mengharamkan
saling melebihkan pada makanan menurut imam Abu Hanifah dan Hambali adalah
takaran dan timbangan, menurut imam Malik adalah bahan makanan yang dapat
disimpan, dan menurut Syafi’i adalah makanan.
Adapun dibolehkan penambahan pada selain emas
perak dan makanan menurut imam Maliki dan Syafi’i dan selain takaran dan
timbangan menurut imam Hanafi dan Hambali karena bukan termasuk kebutuhan
penting manusia, baik dalam makanan dan perekonomian mereka, karena tamak dalam
keuntungan tidak mengakibatkan bahaya besar bagi mereka.
At-tarjih
Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai
illat riba yang mereka kemukakan maka disini penulis mengikuti atau
memilih pendapat imam Syafi’i yang mengatakan bahwa illat riba pada emas
dan perak adalah mata uang dan alat tukar sebagai harga barang-barang, adapun illat
(sebab) pada barang-barang lain adalah bahan makanan yang dapat disimpan
yakni makanan pokok termasuk gandum, buah-buahan pada kurma, dan bahan untuk
memperbaiki makanan dan obat masuk dalam kategori garam. Hal ini karena
mencangkup bagian terpenting pada kehidupan manusia.
I. Syarat-syarat pertukaran antara barang ribawi
dengan yang lain
Pertukaran antara barang ribawi dihalalkan
apabila memenuhi persyaratan yaitu:[18]
-Kesamaan
antara kedua barang yakni takaran dengan takaran, timbangan dengan timbangan
dan jumlah dengan jumlah.
-Kedatangan/pengadaan
barang, agar tidak menangguhkan penyerahan salah satu barang dari majlis akad,
yakni tidak menyebutkan penangguhan dalam akad.
-Serah
terima, agar menyerahkan kedua barang pada saat akad sebelum salah satu pihak
meninggalkan yang lain.
Adapun pertukaran antara kedua barang
berlainan jenis seperti emas dan perak dibolehkan dengan syarat:
-Mendatangkan
barang diwaktu akad tanpa ditangguhkan.
-Serah
terima barang pada saat akad.
G. Riba pada perbankan konvensional
Riba pada perbankan konvensional
termasuk jenis riba nasi’ah , meskipun dengan bunga ringan ataupun
berlipat ganda, karena pekerjaan bank aslinya adalah pinjam meminjam, bank
memberi bunga pada penabung sebesar 4 atau 5 % dan mengambil bunga pada peminjam
sebesar 9 atau 10 %, maka tidak benar bila dikatakan bank hanya sebagai
perantara antara penabung dan peminjam yang mengambil keuntungan dari jasanya,
karena pada bank konvensional tidak ada inventasi secara riil, tidak ada bagi
hasil kerugian dan keuntungan antara bank dan nasabah baik penabung maupun
peminjam, adapun nisbah atau bunga bank antara kedua belah pihak telah
ditetapkan dan disyaratkan diawal bagi penabung maupun peminjam, adapun bagi
peminjam yang diharuskan memberi bunga pada pinjaman bank tanpa memperdulikan
usaha nasabah tersebut untung atau rugi yang mana bunga ini sifatnya wajib dan
tidak boleh tidak, hal ini menyebabkan si kaya bertambah kaya dan si miskin
bertambah miskin karena terlilit oleh hutang beserta bunganya, sesungguhnya bahaya
riba pada perbankan konvensional sangat jelas sekali sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat al-Qur’an diatas bahwa riba yang diketahui manusia zaman
sekarang bukan hanya pada keuntungan atas penambahan modal pokok dari
penangguhan hutang, yaitu sama dengan riba jahiliah yang berlipat ganda
dengan berlalunya waktu.
J.
Hikmah
diharamkannya riba
Adapun
sebab diharamkannya riba karena menimbaulkan kemudaratan besar bagi umat
manusia baik dalam bidang moral, social-ekonomi bahkan politik, kemudaratan tersebut
antara lain:[19]
1.Riba
menyebabkan permusuhan antar individu dan menghilangkan jiwa tolong menolong
antar sesama. Padahal Islam sangat mendorong adanya perbuatan tolong menolong sesama
manusia.
2.Riba
mendorong terbentuknya kelas elite yang tanpa kerja keras mereka mendapat harta
seperti benalu yang setiap saat mengisap orang lain.
3.Riba
merupakan perantara terjadinya penjajahan dibidang ekonomi dimana si kaya
menidas si miskin.
4.Dalam
hal ini Islam mendorong umatnya agar mau meminjamkan atau menginfakkan hartanya
kepada orang lain yang membutuhkan. Sedang riba bertentangan dengan ajaran
Islam yang selalu bersedekah dan berzakat sebagai bentuk rasa syukur kepada
Allah swt.
Dalam
segi moral riba dapat menimbulkan sifat egois dan invidualis, bakhil, cemas dan
gelisah, dan materialistik.
BAB III.
PENUTUP
A.
Ringkasan
Syari’at Islam bukan bahkan tidak berfungsi sebagai
justifikasi hitam atau putih, melaiankan landasan, aturan, acuan, pedoman dan
juga sebagai solusi dalam problem kehidupan secara universal dan tanpa
menghilangkan peranan adat sosial sebagai kanca (teman-red) dialog
problem sosial-masyarakat suatu tatanan kehidupan untuk menuju barometer
kesejateraan kebaikan bersama. Sedangkan Al-qur’an sebagai teks suci keagamaan
yang menjadi rujukan primer sebagai landasan berfikir, bertindak dan beramal,
denganya syari’at dapat terbentuk dengan penjelasan dari hadis secara apik dan
proporsi yang pas.
Asas utama dalam jual beli, bukanlah sah atau tidaknya
akad jual beli, melainkan efek dampak saat dan pasca jual beli, maka dari itu
Al-Qur’an hadir sebagai konseptor dan manajer aturan jual beli. Terkaiat dengan
itu, pemahaman –tafsir- terhadap Al-Qur’an berperan sebagai media cara
memahaminya yang bersifat seni. Pemahaman terhadap Al-Qur’an secara tekstual
tanpa diimbangai unsur sufistik ataupun tashawuf dapat memberiakan kesan kekakuan
dalam aturan syari’at, maka tentulah perlu unsur tersebut disandingkan sebagai penyeimbang syari’at –fiqh-.
Riba adalah suatu perkara yang diterapkan oleh sesama
masyarakat jahiliah, banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis secara tegas telah
mengharamkan riba. Riba dapat diartikan dengan tambahan yang
disyaratkan dalam trasaksi bisnis tanpa adanya usaha dan penyeimbang yang
dibenarkah syariah terhadap penambahan tersebut. Pembahan diatas menunjukkan
bahwa dengan segala macam bentuknya, termasuk sistem bunga bank yang berlaku
saat ini adalah haram.
Riba pada umumnya dan sisitem bunga bank pada
khususnya telah menimbulkan beberapa dampak negativ diantaranya menghancurkan
prinsip-prinsip Islam dalam hak kepemilikan, merusak moralitas, melahirkan
benih kebencian dan permusuhan, kesenjangan yang semakin melebar si kaya dan si
miskin, monopoli sumber dana. Semua akibat tersebut telah memicu ketidak
stabilan ekonomi.
Sebagaimana yang pernah diulas sebelumnya riba
dan bunga bank adalah racun perekonomian, yang dapat merusak, menghancurkan dan
mematikan siapapun yang menggunakannya, oleh karena itu kita harus
menghilangkan racun pada perekonomian ini. Hal ini merupakan tugas umat Islam
dalam mengupayakan terwujudnya sistem perekonomian syariat yang bermanfaat bagi
seluruh umat manusia.
B. Daftar
pustaka
Al-Ahmad, Basam, al- Fikih
al-Muamalah al-Maliah al-Mu’asirah, Damaskus, Daar al-Musthafa, 2012.
Al-Zuhaily, Dr, Wahbah, al-Fikih al-Islami
wa adillatuhu, Damaskus, Daar al-Fikr, 2010.
Al-Zuhaily, Dr. Wahbah, al-Mu’amalah
al-Maliah al-Mu’asirah, Damaskus, Daar al-Fikr, 2002.
Mardani, Ayat-Ayat dan
Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011.
Produk-produk investasi bank Islam; teori dan
praktek, Kairo,2002.
Qutb , Sayyid, Tafsir Fi Dzilalil al-Quran, Maktabah Syamilah.
Shihab , M. Quraisy, Tafsir
Al-Misbah, Jaakarta: penerbit Lentera Hati. 2002.
Suja', Abi, Fathul
Qorib, Maktabah Syamilah.
Thantawi , Muhammad
Sayyid, Tafsir Al-Washit, Maktabah Syamilah.
Zuhaily, Wahbah, Tafsir Munir, Maktabah
Syamilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar