Selasa, 14 Maret 2017

TAFSIR AYAT-AYAT MUAMALAH: Jual Beli-Riba




BAB I
PENDAHULUAN
TAFSIR AYAT-AYAT MUAMALAH: Jual Beli-Riba
A.  Latar Belakang
Islam sebagai agama tidak hanya membahas problem theologi, tapi juga berbicara tentang hubungannya sesama makhluk tuhan. Adapun hubungan manusia dengan manusia telah diatur dengan baik dalam al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci menjadi pedoman terbentuknya aturan-aturan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga Al-Qur’an sangat relefan dijadikan dasar berpijak dikehidupan ini.
Dalam firman suci-Nya (al-Qur’an), Allah s.w.t telah memberikan rambu-rambu dan aturan bagi manusia guna meneraturkan aktifitas yang dilakukan manusia agar terciptaanya keteraturan dan peradaban yang baik. Dengan terciptanya masyarakat yang mapan perdabannya, masyarakat khusunya muslim, mampu menjadi pribadi yang bermartabat dan memiliki ketahanan yang kuat. Dalam hal ini, Allah s.w.t telah memberikan aturan main sebagai sistem yang relefan digunakan dalam hubungan antar manusia dalam segala aspek terutama perihal ekonomi.
Dewasa ini, telah memberikan sumbangan yang sangat bermanfaat sebagai acuan bertindak dalam ranah ekonomi. Menurut hemat kami, iniah wujud yang indah dalam aturan yang telah dibuat tuhan untuk manusia, sehingga nantinya mewujudkan ketahanan ekonomi, baik bersifat general maupun personal. Perlu ditekankan, Islam membuat, mengatur asas ekonomi atas dasar keadilan dan transparan.
Dengan demikian, maka Islam (Al-Qur’an) berperan penting sebagai manajer   dalam sistem tansaksi yang terjadi di masyarakat. Jual beli, merupakan satu mekanika yang ada pada ranah transaksi. Demikian Al-quran tidak luput membahas perihal tersebut karena hal tersebut merupakan salah satu stlye al-Quran. perlu diketahui penjelasan secara umum dalam A-Qur’an, menjadikan suatu keindahan tersendiri dalam memahamiNya, kerena pada dasarnya pemahaman yang ditmbulkan dari usaha memahami –menafsirkan- Al-Qur’an merupakan seni. Maka kualitas seni dari usaha tersebut terpengaruh oleh kualitas yang mendasar pada diri penafsir tersebut yaitu intelektual mufasir. Dengan demikian maka Al-Qur’an akan dapat terfahami teraplikasi dalam kehidupan terutama pada ranah transaksi ssuai dengan kebutuhan, meskipun sifat yang diutarakan didalamnya umum.
Dalam hal ini, kami mencoba memeberikan pemahaman baru yang sesuai dengan realita yang menuntut dalam seni memahami Al-Qur’an. Sedangkan landasan kami, berada pada terori-teori tradisional dan moderent dengan merujuk pada tafsir kontemporer.
Selain Al-Qur’an sendiri, hadis juga menjadi suatu complement dalam memahami al-Qur’an serta landasan pijak setelah Al-Qur’an, meski terkadang hal tersebut tidak pasti dalam hal dan urusan tertentu.  
Seperti yang telah kita ketahui, Nabi Muhammad s.a.w diutus sebagai  penjelas dari ayat-ayat al-Quran. Jual-beli, sistem yang  ditawarkan al-Quran berdasarkan asas keadilan bersama. Meskipun demikian, dalam perjalan ironisnya masyarakat muslim masih sedikit yang mampu memahami dengan betul prinsip-prinsip jual-beli yang dijelaskan al-Quran dan as-sunnah.
Dampaknya terjadi praktik-praktik transaksi yang mengarah pada penyimpangan dalam kehidupan sosial-masyarakat. Sehingga mengakibatkan  terjadi kesenjangan dari salah satu pihak. Dan sanggat disayangkan,  praktik-paraktik tersebut masih banyak terjadi di masyarakat. Salah satunya adalah praktek jual-beli sapi glonggongan.
Hal itu mendorong penulis untuk membahas ayat-ayat yang terkait jual-beli dan kaitanyya dengan praktek penjualan sapi glonggongan.
B.  Rumusan Masalah
A.   Legitimasi Kehalalan Bai’ (jual-beli).
B.     Pembahasan ayat-ayat ba’i
C.     Etika Jual Beli.
D.    Definisi Riba.
E.     Hukum Riba.
F.      Macam-macam Riba.
G.    Barang-barang yang didalamnya mengandung unsur riba.
H.    Illat (sebab) riba.
I.       Syarat-syarat pertukaran antara barang ribawi dengan yang lain Riba pada perbankan konvensional.
J.       Hikmah diharamkannya riba.



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Legitimasi Kehalalan Bai’ (jual-beli)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikan itu, adalah disebabkan mereka berpendapat, sesungguhnya jual beli itusama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqoroh:275).
Sebab Turunnya Ayat
Kaum Tsaqif, penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan dengan Rasulallah SAW bahwa semua hutang mereka demikian juga piutang (tagihan) yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah, Rasulallah SAW menunjuk ’Itab bin Usaid sebagai gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif. Bani Amr bin Umar yang adalah orang biasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah sejak zaman jahiliyah dan senantiasa Bani Mughirah membayarkannya. Setelah kedatangan Islam, mereka memiliki kekeyaan yang banyak. Karenanya datanhlah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi Bani Mughirah menolak. Maka diangkatlah maslah itu kepada ‘Itb bin Usaid dan beliau menulis surat kepada rasulallah. Maka turunlah ayat ini. Rasulallah SAW lalu menulis surat balasan yang isinya “Jika mereka ridha atas ketentuan Allah SWT di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah perang kepada mereka[1].
Allah SWT dalam ayat di atas mengatakan dengan tegas kebolehan jual beli dan keharaman riba. Dan mengancam pelaku riba kekal di dalam neraka. Berdasarkan asbabun nuzul tersebut, tampak jelas sikap rasulallah terhadap orang-orang yang masih melakukan praktik riba.
Nabi memberi mereka ultimatum perang jika tetap melanggar peringatan beliau. Hal ini menunjukan agar orang Islam selalu melakukan praktek bai’ yang sesuai tuntutan Allah SWT.
Jual beli dan riba diibaratkan sisi mata uang. Sehingga banyak orang yang melakukan praktek jual beli, tapi justru terjebak dalam praktek riba yang dilarang oleh agama. Padahal keduanya memiliki substansi yang sungguh berbeda.
B.        Pengertian Jual Beli (Bai’)
Kata ba’i bentuk mufrad dari lafadz buyu’, yang secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan bai; menurut istilah adalah memberikan hak kepemilikan harta dengan adanya penukar dan cara-cara yang dilegalkan syariat[2].
Jual beli merupakan suatu bentuk transaksi pemindahan kepemilikan dari satu orang ke orang lain. Al-Qur’an mengatur praktik tersebut agar satu sama lain tidak ada yang dirugikan. Pada dasarnya, Islam menghendaki terciptanya tatanan masyarakat yang jauh dari nilai-nilai jahiliyah. Dimana sistem ekonomi dibangun berdasarkan riba yangmana bertentangan dengan ketetapan syari’at (al-Quran).
Riba merupakan sistem jahiliyah yang membawa kesengsaraan rakyat. Dilihat dari efek yang ditimbulkan, seperti pemaksaan kehendak, pemiskinan kekayaan secara bertahap maupun sepotan bagi objek peminjam maupun penghutang, penjeratan kekayaan, pemutus sirkulasi perekonomian mikro. Maka dari itu, aturan-aturan yang dibangun al-Quran menghantarkan umat manusia pada kehidupan yang cerah dan adil[3], dengan mengharamkan riba.
Jual beli adalah transaksi yang memberi keuntungan kepada penjual dan pembeli, sedangkan riba merugikan salah satu pihak. Keuntungan jual beli berdasarkan usaha manusia, dan aktivitas manusia. Jual beli mengandung kalkulasi serta oreantasi untung dan rugi, tergantung kepandaian pengelola modal atau pemilik saham.
Berbeda dengan riba, keuntungan yang didapatkan tidak melalui usaha manusia, tidak menuntut adanya aktivitas manusia dan tidak ada kemungkinan untung dan rugi. Riba hanya menguntungkan salah satu pihak saja[4]. Lebih lanjut akan diulas pada bab tersendiri.
C.  Etika Jual Beli
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (الانعام: 152)
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara terbaik, hingga dia mencapai kedewasaannya. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan bil qist (dengan adil). Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai kemampuannya. Dan apabila kamu berucap, maka berlaku adillah, kendati pun dia adalah kerabatm(-mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kamu agar kamu terus ingat.”
Ayat di atas mengandung beberpa larangan, diantaranya adalah larangan untuk mengurangi takaran atau timbangan. Ini diisratkan oleh Allah dengan kata-kata “Sempurnakanlah takaran dan timbangan bi al-qisth, yakni dengan adil, konsensus keadailan adalah dengan penakaran dan pemimbangan yang pas dan sesuai tanpa pengurangan. Konsekuensi logisnya, jika terdapat suatu kecurangan akan berakibat kerugian dari penerima, pembeli, penukar, peminjam dan ataupun pemilik, pedagang, penjual, hal ini kelura dari pembahsan shodaqoh yang diberikan oleh penjual, pemilik, pedagang kepada pelangannya. Kesesuaian aturan tersebut menjadikan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.
Allah SWT dalam ayat tersebut menggunakan bentuk perintah sekaligus mengandung unsur larangan penyelewengan dalam penakaran dan penimbangan (wa auful kaila wal mizana bil qisth). Thahir ibn Asyur mengatakan bahwa hal tersebut memberikan isyarat mereka dituntut untuk menyempurnakan timbangan dan takarannya. Sehingga mereka tidak hanya berusaha untuk tidak mengurangi, tetapi perhatiaannya juga pada penyempurnaannya.
Kata بِالْقِسْط bukan hanya sebatas berlaku adil antara kedua pihak yang bertransaksi, namun mengandung makna rasa senang di antara keduanya. Yang artinya timbangan atau takaran harus menyenangkan kedua belah pihak. Jadi kaitannya dengan jual beli, kejujuran antara penjual dan pembeli perlu dibangun dan diaplikasikan dalam praktik jual beli secara khusus tanpa adanya tindak kecurangan[5].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (النساء:29-30)
Penggunaan kata Bathil yang mengngandung makna larangan dalam memperoleh harta merupakan sebagai sebab untuk dapat memperoleh makanan sebagai konsumsi keseharian. Maka wujud dari korekasi kata la ta’kuluu dengan amwalakum ada pada sebab-akibat yang terjadi, ketika terdapat harta dimungkinkan akan terjadi aktifitas komsumsi –makan- karena secara umum kebutuhan primer masyarakat lebih dominan “makan”, tanpa menghilangkan konsumsi “minum”. Kalau makan merupakan kebutuhan primer yang disebebkan adanya harta terlarang dilihat dari cara perolehannya secara batil, tentu lebih terlarang jika perolehan makanan sebagai konsumsi didapati dari cara yang batil, seperti: mengutil[6], mencuri -dalam bentuk yang bersifat bahan pangan- dan sebangainya. Atapun barang kebutuhan yang menyangkut kebutuhan skunder atau tertier.
Kata أَمْوَالَكُمْ amwalukum yang dimaksud adalah harta yang beredar dalam masyarakat. Di mana dalam surat an-Nisa juga disebutkan term amwalukum yang menunjukan bahwa harta yang beredar di masyarakat bertujuan untuk menghasilkan manfaat bagi masyarakat.
Semua pihak baik pembeli, penjual, penyewa maupun pemilik sewaan tentulah mempunyai orientasi keuntungan yang inggin di dapati.
Dhomir kum yang disandarkan pada lafdz amwal menunjukan akan fungsi sosial, dimana hal tersebut dapat mengundang jalinan kerja sama tanpa penyelewengan. Sebagai anjuran bersyari’at dalam berbisnis hendaknya kedua belah pihak berada pada keadaan atau tempat tanpa adanya ketimpangan –seimbangan-. Inilah yang diisyaratkan oleh ayat di atas dengan kata  بينكم bainakum.
Maka Allah menetapkan neraca dan memerintahkan untuk menegakkannya bil qisth, bukan bil ‘adl. “Allah telah meninggikan langit dan dia meletakan neraca, dan tegakanlah timbangan itu dengan qisth dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (QS. Ar-Rahman [55] :9) Menegakan neraca dengan qisth menjadikan kedua belah pihak tidak mengalami kerugian, bahkan masing-masing memperoleh apa yang diharapkannya.
Sementara Thabathaba’I menangkap pesan lain dari kata bainakum. Menurutnya, kata tersebut mengandung arti adanya gabungan harta diantara mereka. Dilarangnya memakan harta di antara mereka, memberi petunjuk bahwa memakan harta orang lain tanpa ijin bahkan secara batil, merupakan tindakan transaksi yang memicu hal negatif lainnya sehingga mengantarkan pada kehancuran dan kebejatan seperti praktik riba, perjudian, jual beli yang mengandung penipuan dan lain-lain[7].
Rasulallah juga menegaskan adanya larangan jual beli yang mengandung unsur penipuan, bahkan orang yang melakukan tindakan tersebut tidak dianggap golongan beliau. Sebagaimana beliau bersabda dalam sebuah hadits:
أن أبا قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من غشنا فليس منا
Dari Abu al-Hamra, ia berkata: rasulallah Saw bersabda: Barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan (golongan) kami.”(HR. Ibnu Majah)
Asbabul wurud
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abi Hurairah bahwasanya rasulallah pernah lewat di depan seorang laki-laki yang menjual makanan, dan bertanya kepadanya: “Bagaimana cara engkau menjual?” Orang itu pun memberitahukannya. Lalu Allah mewahyukan kepada beliau: “Masukan tanganmu dalam makanan itu,” dan Nabi Muhammad pun memasukan tangannya, ternyata beliau mendapati sesuatu yang lembab. Maka bersabdalah beliau: “Bukan dari (golongan) kami siapa saja yang menipu kami[8].”
Ayat diatas (QS. An-Nisa) menekankan juga keharusan mengindahkan peraturan yang ditetapkan dan tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh ayat diatas dengan al-bathil yakni pelanggaran terhadap ketentuan aturan syari’at yang telah disepakati. Dalam konteks ini, nabi bersabda, “Kaum muslim sesuai dengan (harus menepati) syarat-syarat yang mereka sepakati, selama tidak menghalalkan yang haram/mengharamkan yang halal.
Selanjutnya ayat diatas menekankan juga keharusan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya dengan ‘an taraadhim minkum. Sebagian ulama mengatakan bahwa kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat diketahui. Ijab dan qabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat istiadat sebagai serah terima, merupakan suatu bentuk yang digunakan sebagai hukum untuk menunjukan indikator kerelaan.
Sedangkan Imam Alusi berpendapat bahwa taradhi adalah kerelaan akan apa yang telah disepakati atau diakadi oleh kedua belah pihak. Syafi’iyah dan malikiyah menggambarkan kerelaan itu ketika kedua belah pihak telah berpisah dari tempat transaksi. Maka unsur kerelaan menjadi sangat urgent dalam transaksi[9].
D.    Definisi riba
Secara umum transaksi keuangan dianggap sah menurut syariat jika tidak mengandung unsur tertentu seperti riba (bunga), gharar (tipu muslihat), qimar (judi) dan lain sebagainya. Walaupun riba mendapatkan perhatian yang sangat penting bukan berarti meremehkan yang lain, larangan atas riba juga bukan hanya ada dalam Islam tetapi pada semua agama samawi dan dalam sejarah sepanjang tradisi peradaban.
Agama Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin maka tidaklah Islam memerintahkan sesuatu melainkan didalamnya terdapat maslahat dan tidaklah mengharamkan sesuatu melainkan karena ada kemudaratan. Demikian pula, Islam menghalalkan jual beli karena didalamnya terdapat keuntungan dan maslahat bagi manusia, dan mengharamkan riba, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis, tak lain melainkan karena terdapat mudarat bagi kehidupan manusia, karena aturan-aturan syariat yang komprehensif telah menetapkan muamalah ma’aallah dan muamalah ma’al khalqi dan transaksi ekonomi merupakan salah satu hubungan antar manusia yang tak terlepas dari jual beli, utang piutang dan masalah riba. Berikut ini penulis mencoba memaparkan pendekatan seputar riba itu sendiri
Secara etomologi riba berarti pertumbuhan atau tambahan (ziadah). Sebagaimana firman Allah swt.(اهتزت وربت)[10] yang artinya: menjadi subur dan menumbuhkan. Yakni tumbuh dan berkembang.
Sedangkan menurut istilah para Imam mazhab fikih Islam sebagai berikut:[11]
1. Syafi’iah: mengatakan bahwa riba adalah akad atas imbalan tertentu, tidak sama dalam ukuran syariat ketika akad, atau dengan penagguhan antara kedua belah pihak atau salah satunya.
2. Hanafiah: mengemukakan bahwa riba adalah tambahan atas harta pokok (modal) tanpa penyeimbang yang bernilai dalam kaca mata syariat, yang disyaratkan oleh salah satu pihak pelaku akad dalam pengembalian.
3. Hanabilah: berpendapat bahwa riba adalah tambahan dalam suatu tertentu. Apakah semua tambahan atas harta pokok dinamakan riba? Jawabannya tidak, sebab tambahan yang diberikan oleh peminjam dengan kerelaan hati tanpa persyaratan tergolong akhlak mulia yang dianjurkan, termasuk ihsan atau husnul qadha’.
E.     Hukum Riba
Riba, haram hukumnya. Al-Mawardi menyatakan bahwa riba tidak pernah diperbolehkan atau dihalalkan oleh seluruh syariat samawi. Al-Qur’an dan As-sunah telah menyatakan larangan tegas akan riba ini. Juga para ulama’ telah berijma’ bahwa riba haram hukumnya.
1.      Al-Qur’an.
يٲ ايها الذين ٲمنوااتقوالله وذروامابقي من الربوا إن كنتم مؤمنين ٠فإن لم تفعلوا فٲذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكم رءوس ٲموالكم   لاتظلمون ولا تظلمون٠(البقرة:287-289)                                                                                                                     
Artinya: ”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah sw. dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah swt. dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. (QS.Al-Baqarah:278-279)
2.      As-sunnah.
عن عبادة بن صامت قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبربالبروالشعيربالشعيروالتمربالتمر والملح  بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فإاذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذاكان يدا بيد                                                                                                                                              
Artinya:Dari Ubadah bin as-shamit berkata,Rasulullah saw. bersabda: emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam yang satu jenis, sama(kadarnya), dan ada serah terima, maka jika bagian-bagiannya (yang diperjualbelikan) berbeda, juallah sesuai dengan yang kamu kehendaki jika ada serah terima.
F.           Macam-macam riba.
Riba menurut Jumhur ulama ada dua macam yaitu riba fadhli dan riba nasi’ah.[12]
a.       Riba fadhli.
Riba fadhli adalah pertukaran dua barang ribawi yang sejenis dengan ada kelebihan atau tambahan pada salah satunya. Misalnya menukar sepuluh kilo kurma dengan dua belas kilo kurma.
Ada empat unsur yang dapat menggolongkan suatu transaksi jual beli menjadi riba fadli, yaitu:[13]
-Kedua barang yang ditransaksikan adalah barang ribawi.
-Keduanya satu jenis.
-Adanya kelebihan yang bernilai dalam kacamata syara’ dalam salah satu barang.
-Penyerahan barang itu pada saat akad, tanpa ditangguhkan.
Hikmah diharamkannya riba fadhli:
Melindungi manusia dari kerugiaan dan bahaya, yang mana telah diyakini bahwa terdapat kelebihan pada salah satu jenis barang.
Maka tidak ada  perbedaan kualitas pada barang ribawi, kualitas baik dan buruknya sama, sampai tidak menjadikan alasan kualitas sebagai cara untuk membolehkan riba, maka dilarang untuk menghalangi perantara menuju riba.
b.      Riba nasi’ah.
Riba nasi’ah disebut juga riba jahiliah dan riba pada bank konvensional di zaman kita ini yaitu: pertukaran dua barang ribawi yang satu jenis maupun beda jenis, dengan menangguhkan penyerahan keduanya atau salah satunya. Baik tambahan itu berupa nominal maupun rill (nyata), misalnya pertukaran satu kilo beras dengan dua kilo gandum setelah satu bulan, yakni salah satunya diberikan sekarang dan lainnya diberikan bulan mendatang. Didalamnya terdapat riba, karena meskipun di bolehkan kelebihan pada salah satu barang yang berbeda jenis akan tetapi diharuskan penyerahan kedua barang pada saat akad tanpa ditangguhkan. Ini adalah pelaksanaan yang disyaratkan dalam pertukaran bahan makanan satu dengan lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis diatas.
Maka dalam pertukaran barang yang sejenis: disyaratkan keduanya satu jenis dan penyerahan barang pada saat akad tanpa ditangguhkan. Hal demikian untuk menghindari riba. Adapun barang yang tak sejenis: disyaratkan penyerahan keduanya pada saat akad.
Hikmah dari diharamkannya riba nasi’ah.[14]
Adalah karena membebani orang yang terpaksa melakukan transaksi riba ini, orang kaya mengambil manfaat dari kebutuhan si miskin, memberikan bahaya besar bagi manusia, mengambil tambahan dengan tidak benar dan tanpa usaha.
Apabila membeli bahan makanan dengan uang maka dibolehkan, karena pertukaran dua barang dari jenis yang berbeda.
            Adapun menurut Syafi’iah riba terdiri dari tiga jenis yaitu:
1. Riba fadhl adalah pertukaran dua barang sejenis dengan penambahan pada salah satunya tanpa penangguhan.
2. Riba yad adalah pembelian barang dengan menangguhkan penyerahan salah satu barang atau keduanya tanpa menyebutkan waktunya, atau pertukaran barang berlain jenis seperti gandum dan kurma tanpa diserahkan pada saat akad. Jenis ini termasuk riba nasi’ah menurut hanafiah yaitu syarat penyerahan barang pada saat akad, didalamnya ada penangguhan dalam penyerahan salah satu barang atau keduanya. Dalilnya yaitu pada hadis dibawah ini:
عن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الذهب بالذهب ربا الا هاء وها "أي خذ  وأعط٠
Dari Umar bahwa Nabi saw. Bersabda: emas dengan emas riba kecuali sini dan sini, yakni ambillah dan berikanlah. (HR.Bukhori dan Muslim)
c..Riba nasi’ah
            Riba nasi’ah adalah pertukaran barang dengan penangguhan waktu serta penambahan pada salah satu barang ketika pembayarannya, yakni penambahan pada salah satu barang tanpa adanya usaha nyata atas  penangguhan waktu pembayaran, baik dari satu jenis maupun beda jenis dan kualitas yang sama maupun beda.
Kesimpulan:Riba nasi’ah adalah penangguhan hutang dengan penambahan atas jumlah asalnya (ini adalah riba jahiliah), atau penangguhan penyerahan atas salah satu barang ribawi sejenis.Adapun riba fadhl adalah penambahan pada salah satu barang ribawi yang sejenis maupun beda jenis diserahkan secara langsung pada akad.
G.    Barang-barang yang didalamnya mengandung unsur riba
Para Jumhur ulama sepakat komoditas yang mengandung unsur riba terdapat pada enam jenis barang yaitu: emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam. Sebagian ulama membatasi riba hanya pada enam barang tersebut. Namun mayoritas ulama berpendapat riba juga terjadi pada selain enam barang tersebut, asalkan didalamnya mengandung ‘illat (sebab) salah satu barang yang disebutkan dalam hadis diatas, hal itu karena hukum berdasarkan kesamaan sebab didalamnya. Dari sini para ulama secara panjang lebar membahas ‘illat (baranng ribawi untuk tolak ukur (qias) barang-barang lainnya yang tidak disebutkan dalam hadis.
H.    Illat (sebab) riba
            illat (sebab) riba adalah sifat yang terdapat pada barang yang sesuai dengan barang ribawi yaitu(emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam).Apabila pada barang terdapat sifat yang sesuai pada barang ribawi tersebut maka merupakan transaksi riba.
Para Ulama berbeda pendapat dalam sifat barang yang melanggar hukum dari barang ribawi yang telah ditetapkan, hal itu karena barang-barang yang lain tidak disebutkan pada ayat, maka harus diambil kesimpulan dengan ijtihat para ulama, inilah pendapat mereka:[15]
            1. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa illat (sebab) riba fadhl adalah takaran atau timbangan pada barang sejenis, ketika ada keduanya maka diharamkan riba fadhl dan riba nasi’ah, yakni illat (sebab) riba pada empat barang yang disebutkan yaitu (gandum, jewawut, kurma dan garam) adalah takaran dan satu jenis. Adapun illat pada emas dan perak adalah timbangan dan sejenis, maka tidak termasuk illat riba apabila tidak terdapat dua sifat yaitu kadar dan sejenis, yakni riba terdapat pada barang yang didalamnya terkumpul jenis dan kadar yang sama, seperti penjualan emas dengan emas apabila ada penambahan pada salah satunya maka tambahan ini adalah riba, karena kedua barang tersebut adalah ditimbang, inilah maksud dari kadarnya. Maka dari itu barang sejenis (yang ditakar dan ditimbang) merupakan barang ribawi. Adapun barang yang menurut perbandingan nilai seperti hewan, karpet dan mobil didalamnya tidak mengandung illat riba, maka dibolehkan pertukaran banyak dengan sedikit seperti seekor domba dengan dua ekor, karena nilai bukan termasuk kadar, yakni takaran dan timbangan.
            -Kadar pada riba fadhl
            Kadar riba fadhl yang ada pada makanan adalah setengah sha’ atau lebih karena  penaksiran pada syara’ selain itu, maka apabila penambahan kurang dari setengah sha’ dibolehkan.
            -Jenis illat (sebab)
            Demikianlah illatnya adalah kadar dan jenis yang sama, maka didalamnya termasuk barang ribawi baik berupa bahan makanan atau tidak, gandum dan jewawut dikiaskan pada riba fadlh  yaitu setiap apa yang dijual dengan takaran seperti biji-bijian, padi dan susu, jika dijual dengan takaran. Adapun emas dan perak dikiaskan pada setiap apa yang dijual dengan timbangan seperti timah, tembaga dan besi.
-Kualitas yang baik dan buruk pada barang
            Perlu diperhatikan juga bahwa kualitas baik atau buruk pada barang ribawi sama saja, maka tidak dibolehkan penjualan kualitas baik dan buruk pada barang ribawi kecuali bila serupa atau sama kadarnya, karena kualitas gugur pada barang ribawi  berdasarkan kaidah syariah “Baik maupun buruk kualitasnya sama saja”.
            -Illat (sebab) pada riba nasi’ah
            illat pada riba nasi’ah atau riba jahiliah adalah salah satu sifat yang terdapat pada illat  riba fadhl yaitu takaran atau timbangan yang sama dan satu jenis, misalnya seseorang membeli satu sha’ gandum pada musim dingin dan mengembalikannya sebanyak satu setengah sha’ kurma ketika musim panas, maka setengah sha’  tambahan pada nilai, bukan karena barang jualnya akan tetapi karena penangguhan waktu pembayaran saja, maka dari itu dinamakan riba nasi’ah atau penang   guhan pada salah satu pengembalian.
Masyarakat jahiliaا apabila seseorang meminjam pada mereka, ketika tiba waktu pembayaran ia berkata pada si peminjam,”kamu melunasi sekarang atau menambahkan”, maka si peminjam membayarnya ketika itu juga atau menangguhkan dan menambah pembayaran pada modal pokok, dengan ini akan memberatkan peminjam dan membahayakannya, karena hutang telah menguasai hartanya.
            -Riba pada perbankan
Sesungguhnya bagian dari riba nasiah yang akan di jelaskan pada bab terakhir adalah riba yang telah kita ketahui di zaman sekarang yang ada pada perbankan konvensional yaitu memberikan pinjaman dengan pembayaran yang ditangguhkan dan mendapat manfaat tahunan atau bulanan, tujuh dalam seratus atau dua dan setengah, ini merupakan memakan harta orang lain dengan bathil . dan bahaya riba sangat jelas didalamnya, maka diharamkan sebagaimana diharamkannya riba, dan dosanyapun seperti dosa riba,[16] yakni itu merupakan riba nasi’ah ,sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an:
وٳن تبتم فلكم رءوس أموالكم ٠(البقرة:279)
Dan jika kamu bertaubat maka bagimu pokok hartamu. (QS.Al-Baqarah:279)
            Riba yang diketahui manusia pada zaman sekarang adalah keuntungan yang didapat karena penangguhan pembayaran hutang yakni riba nasi’ah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat jahiliah. Adapun riba fadhl jarang dilakukan.
-Barang yang sejenis dan berbeda jenis
            Sebagaimana ditetapkan bahwa diharamkan penjualan antara dua barang sejenis apabila ada penambahan pada salah satunya, dan dibolehkan saling melebihi satu sama lain pada barang yang tidak sejenis bagi Abu Hanifah, kecuali pada daging burung, maka dibolehkan pembelian daging burung yang sejenis seperti burung quail dan burung pipit dengan saling melebihkan, karena burung bukan termasuk barang ribawi ,yang mana tidak dijual dengan takaran maupun timbangan, akan tetapi dikecualikan pada daging ayam dan angsa, karena biasanya keduanya ditimbang, maka tidak diperbolehkan dijual dengan saling dilebihkan.
2. Mazhab Maliki berpendapat bahwa illat diharamkannya penambahan pada emas dan perak merupakan uang atau alat tukar untuk barang-barang lainnya, adapun illat ada pada makanan menurut mereka antara riba fadhl dan riba nasi’ah.
Illat (sebab) diharamkannya riba nasi’ah adalah bahan makanan yang bukan untuk obat, baik berupa makanan maupun yang dapat disimpan, makanan saja atau salah satunya, seperti jenis sayuran dari mentimun, lemon, kol, wortel dan buah-buahan segar seperti apel dan pisang.
            Adapun illat (sebab) diharamkannya riba fadhl adalah pada bahan makanan dan yang dapat disimpan, yakni makanan yang banyak dimakan, artinya makanan yang sering dikonsumsi manusia seperti semua biji-bijian, kurma, kismis, daging-daging, susu dan apa yang dibuat darinya. Adapun makna dari bahan makanan yaitu makanan yang baik seperti garam dan sejenisnya dari rempah-rempah, cuka, bawang merah, bawang putih, dan minyak. Dan maksud dari makanan baik dan dapat disimpan ialah makanan yang tidak rusak dengan penangguhan waktu maka dikembalikan pada kebiasaan tanpa dibatasi enam bulan atau satu tahun, sebagaimana pendapat sebagian dari mereka.
-Barang yang sejenis dan lain jenis
            Iman Malik mengibaratkan gandum, jewawut dan sultu (jenis gandum yang tidak memilki kulit) satu jenis, biji-bijian dan beras satu jenis, kacang-kacangan seperti kacang dan adas satu jenis, maka dari itu tidak boleh saling melebihkan antara gandum dan jewawut, dan boleh dilebihkan antara gandum dan biji-bijian. Adapun daging bagi Imam Malik terbagi menjadi tiga golongan yaitu daging hewan berkaki empat satu jenis, daging burung satu jenis dan daging ular-ularan satu jenis.[17]
3.   Mazhab Syafi’i mengemukakan bahwa illat pada emas dan perak adalah mata uang atau alat tukar, artinya nilai kedua logam mulia itu sebagai harga barang-barang.
Adapun illat pada empat barang sisanya (gandum, jewawut, kurma dan garam) adalah makanan yakni bahan makanan, bahan makanan meliputi tiga hal yaitu:
-Makanan pokok seperti gandum dan jewawut atau makanan yang sering dikonsumsi, masuk dalam kategori ini adalah kacang, beras, biji-bijian, turmus dan lain sebagainya dari biji-bijian yang diwajibkan zakat didalamnya.
-Buah-buahan, yang telah disebutkan dalam hadis atas kurma, maka mencangkup didalamnya buah-buahan seperti buah kismis dan buah tin.
-Bahan yang memperbaiki makanan dan badan yakni untuk obat. Dan telah disebutkan dalam hadis yaitu garam, maka mencangkup didalamnya obat-obatan masa lampau seperti jahe dan biji-bijian kering.
            4. Mazhab Hambali mengatakan tiga riwayat dalam illat riba, riwayat yang paling masyhur adalah seperti mazhab Abu Hanifah yakni takaran atau timbangan dengan barang sejenis merupakan illat riba, maka semua yang ditakar dan ditimbang pada barang sejenis baik makanan maupun tidak merupakan barang ribawi. Akan tetapi Iman Hambali berbeda pendapat dengan Abu Hanifah yaitu, Imam Hanifah berkata: diharamkan riba fadhl pada setiap takaran dan timbangan barang sejenis, meskipun sedikit seperti kurma dengan kurma, dan apa yang tidak terbuat dari emas dan perak, tidak pada air, dan sesuatu yang tidak ditimbang:karena tidak terbuat dari emas dan perak, seperti barang yang tebuat dari tembaga,besi atau kapas dll.
-Adapun riwayat kedua sama seperti pada mazhab Syafi’i.
-Riwayat ketiga yaitu:illat yang ada pada selain emas dan perak adalah makanan yang ditakar dan ditimbang, maka tidak ada riba pada makanan yang tidak ditakar dan ditimbang seperti semangka, buah pir, apel dll. Dan tidak pula pada barang yang tidak dimakan seperti besi, timah dll.
-Barang satu jenis dan beda jenis                      
            Dalam hal ini pendapat Imam Syafi’i sama dengan Imam Hambali yakni apabila dua barang mempunyai rumpun dan karakteristik sama maka termasuk satu jenis misalnya gamdum dan jewawut.
5.Mazhab Dzohiri menyebutkan bahwa riba tidak ditafsirkan, yakni khusus pada barang yang disebutkan dalam hadis saja, hal itu karena mereka mengingkari kias, syariat telah menyebutkan riba pada enam jenis barang, maka selain enam jenis barang tersebut adalah dibolehkan.
-Kesimpulan:illat dalam mengharamkan saling melebihkan pada makanan menurut imam Abu Hanifah dan Hambali adalah takaran dan timbangan, menurut imam Malik adalah bahan makanan yang dapat disimpan, dan menurut Syafi’i adalah makanan.
Adapun dibolehkan penambahan pada selain emas perak dan makanan menurut imam Maliki dan Syafi’i dan selain takaran dan timbangan menurut imam Hanafi dan Hambali karena bukan termasuk kebutuhan penting manusia, baik dalam makanan dan perekonomian mereka, karena tamak dalam keuntungan tidak mengakibatkan bahaya besar bagi mereka.
At-tarjih
Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai illat riba yang mereka kemukakan maka disini penulis mengikuti atau memilih pendapat imam Syafi’i yang mengatakan bahwa illat riba pada emas dan perak adalah mata uang dan alat tukar sebagai harga barang-barang, adapun illat (sebab) pada barang-barang lain adalah bahan makanan yang dapat disimpan yakni makanan pokok termasuk gandum, buah-buahan pada kurma, dan bahan untuk memperbaiki makanan dan obat masuk dalam kategori garam. Hal ini karena mencangkup bagian terpenting pada kehidupan manusia.
I.       Syarat-syarat pertukaran antara barang ribawi dengan yang lain
            Pertukaran antara barang ribawi dihalalkan apabila memenuhi persyaratan yaitu:[18]
-Kesamaan antara kedua barang yakni takaran dengan takaran, timbangan dengan timbangan dan jumlah dengan jumlah.
-Kedatangan/pengadaan barang, agar tidak menangguhkan penyerahan salah satu barang dari majlis akad, yakni tidak menyebutkan penangguhan dalam akad.
-Serah terima, agar menyerahkan kedua barang pada saat akad sebelum salah satu pihak meninggalkan yang lain.
Adapun pertukaran antara kedua barang berlainan jenis seperti emas dan perak dibolehkan dengan syarat:
-Mendatangkan barang diwaktu akad tanpa ditangguhkan.
-Serah terima barang pada saat akad.
      G. Riba pada perbankan konvensional
            Riba pada perbankan konvensional termasuk jenis riba nasi’ah , meskipun dengan bunga ringan ataupun berlipat ganda, karena pekerjaan bank aslinya adalah pinjam meminjam, bank memberi bunga pada penabung sebesar 4 atau 5 % dan mengambil bunga pada peminjam sebesar 9 atau 10 %, maka tidak benar bila dikatakan bank hanya sebagai perantara antara penabung dan peminjam yang mengambil keuntungan dari jasanya, karena pada bank konvensional tidak ada inventasi secara riil, tidak ada bagi hasil kerugian dan keuntungan antara bank dan nasabah baik penabung maupun peminjam, adapun nisbah atau bunga bank antara kedua belah pihak telah ditetapkan dan disyaratkan diawal bagi penabung maupun peminjam, adapun bagi peminjam yang diharuskan memberi bunga pada pinjaman bank tanpa memperdulikan usaha nasabah tersebut untung atau rugi yang mana bunga ini sifatnya wajib dan tidak boleh tidak, hal ini menyebabkan si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin karena terlilit oleh hutang beserta bunganya, sesungguhnya bahaya riba pada perbankan konvensional sangat jelas sekali sebagaimana yang disebutkan dalam ayat al-Qur’an diatas bahwa riba yang diketahui manusia zaman sekarang bukan hanya pada keuntungan atas penambahan modal pokok dari penangguhan hutang, yaitu sama dengan riba jahiliah yang berlipat ganda dengan berlalunya waktu.
J.      Hikmah diharamkannya riba
            Adapun sebab diharamkannya riba karena menimbaulkan kemudaratan besar bagi umat manusia baik dalam bidang moral, social-ekonomi bahkan politik, kemudaratan tersebut antara lain:[19]
1.Riba menyebabkan permusuhan antar individu dan menghilangkan jiwa tolong menolong antar sesama. Padahal Islam sangat mendorong adanya perbuatan tolong menolong sesama manusia.
2.Riba mendorong terbentuknya kelas elite yang tanpa kerja keras mereka mendapat harta seperti benalu yang setiap saat mengisap orang lain.
3.Riba merupakan perantara terjadinya penjajahan dibidang ekonomi dimana si kaya menidas si miskin.
4.Dalam hal ini Islam mendorong umatnya agar mau meminjamkan atau menginfakkan hartanya kepada orang lain yang membutuhkan. Sedang riba bertentangan dengan ajaran Islam yang selalu bersedekah dan berzakat sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah swt.
Dalam segi moral riba dapat menimbulkan sifat egois dan invidualis, bakhil, cemas dan gelisah, dan materialistik.




















BAB III.
PENUTUP
A.    Ringkasan
Syari’at Islam bukan bahkan tidak berfungsi sebagai justifikasi hitam atau putih, melaiankan landasan, aturan, acuan, pedoman dan juga sebagai solusi dalam problem kehidupan secara universal dan tanpa menghilangkan peranan adat sosial sebagai kanca (teman-red) dialog problem sosial-masyarakat suatu tatanan kehidupan untuk menuju barometer kesejateraan kebaikan bersama. Sedangkan Al-qur’an sebagai teks suci keagamaan yang menjadi rujukan primer sebagai landasan berfikir, bertindak dan beramal, denganya syari’at dapat terbentuk dengan penjelasan dari hadis secara apik dan proporsi yang pas.
Asas utama dalam jual beli, bukanlah sah atau tidaknya akad jual beli, melainkan efek dampak saat dan pasca jual beli, maka dari itu Al-Qur’an hadir sebagai konseptor dan manajer aturan jual beli. Terkaiat dengan itu, pemahaman –tafsir- terhadap Al-Qur’an berperan sebagai media cara memahaminya yang bersifat seni. Pemahaman terhadap Al-Qur’an secara tekstual tanpa diimbangai unsur sufistik ataupun tashawuf dapat memberiakan kesan kekakuan dalam aturan syari’at, maka tentulah perlu unsur tersebut disandingkan  sebagai penyeimbang syari’at –fiqh-.
Riba adalah suatu perkara yang diterapkan oleh sesama masyarakat jahiliah, banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis secara tegas telah mengharamkan riba. Riba dapat diartikan dengan tambahan yang disyaratkan dalam trasaksi bisnis tanpa adanya usaha dan penyeimbang yang dibenarkah syariah terhadap penambahan tersebut. Pembahan diatas menunjukkan bahwa dengan segala macam bentuknya, termasuk sistem bunga bank yang berlaku saat ini adalah haram.
Riba pada umumnya dan sisitem bunga bank pada khususnya telah menimbulkan beberapa dampak negativ diantaranya menghancurkan prinsip-prinsip Islam dalam hak kepemilikan, merusak moralitas, melahirkan benih kebencian dan permusuhan, kesenjangan yang semakin melebar si kaya dan si miskin, monopoli sumber dana. Semua akibat tersebut telah memicu ketidak stabilan ekonomi.
Sebagaimana yang pernah diulas sebelumnya riba dan bunga bank adalah racun perekonomian, yang dapat merusak, menghancurkan dan mematikan siapapun yang menggunakannya, oleh karena itu kita harus menghilangkan racun pada perekonomian ini. Hal ini merupakan tugas umat Islam dalam mengupayakan terwujudnya sistem perekonomian syariat yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia.































B.   Daftar pustaka
Al-Ahmad, Basam, al- Fikih al-Muamalah al-Maliah al-Mu’asirah, Damaskus, Daar al-Musthafa, 2012.
Al-Zuhaily, Dr, Wahbah, al-Fikih al-Islami wa adillatuhu, Damaskus, Daar al-Fikr, 2010.
Al-Zuhaily, Dr. Wahbah, al-Mu’amalah al-Maliah al-Mu’asirah, Damaskus, Daar al-Fikr, 2002.
Mardani, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011.
Produk-produk investasi bank Islam; teori dan praktek, Kairo,2002.
Qutb , Sayyid, Tafsir Fi Dzilalil al-Quran, Maktabah Syamilah.
Shihab , M. Quraisy, Tafsir Al-Misbah, Jaakarta: penerbit Lentera Hati. 2002.
Suja', Abi, Fathul Qorib, Maktabah Syamilah.
Thantawi , Muhammad Sayyid, Tafsir Al-Washit, Maktabah Syamilah.
Zuhaily, Wahbah, Tafsir Munir, Maktabah Syamilah.



[1] . Dr. Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, hal. 83, vol. 3
[2] Abi Syuja’, Fathul Qorib,
[3] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilalil al-Quran, hal. 318
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentara Hati), hal. 721.
[5]. Ibid, hal. 344-346.
[6] Ngutil: mengambil atau melebihkan barang belian tanpa sepengetahuan penjual
[7]. Ibid, hal. 392-393.
[8] . Dr. Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah,(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 189-190.
[9] . Muhammad Sayid Thantawi, Tafsir  al-Washit, hal. 126.
[10]  Qs. al-Hajj:5
[11]  Dr. Basam al-Ahmad, al-Fikih al-Muamalah al-Maliah, Damaskus, Dar el-Mustofa, hal.187.
[12]  Bidayatu al-Mujtahid, jilid 2, hal.129
[13]  Produk-produk investasi bank islam; teori dan praktik, hal.49.
[14]  Dr.Wahbah Zuhaili, al-Mu’amalah al-Maliah al-Mu’asirah, Damaskus, Dar el-Fikr, 2002, hal.49.
[15]  Dr.Wahbah Zuhaili, Mausu’ah al-Fikih al-Islami,Damaskus, Dar el-Fikr, 2010, Vol 4, hal.442.
[16]  Al-Fikih ala mazahib al-Arba’ah, Vol. 2, hal.246
[17]  Al-qowanin al-Fiqhiah, hal.253.
[18]  Ibid, hal.460.
[19]  As-Sayyid Sabiq, Fikih as-Sunah, Dar al-Hadis, Kairo, hal.124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar