Selasa, 14 Maret 2017

Teologi dalam Al-Qur’an sebagai Pengaruh Tindakan



BAB I
PENDAHULUAN
Teologi dalam Al-Qur’an sebagai Pengaruh Tindakan
 
A.  Latar belakang
Sebagai suatu ilmu, teologi merupakan suatu kajian yang membahas masalah ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap penciptanya, melalui penggunaan akal dan wahyu. Akal, sebagai potensi pikir manusia, selalu aktif dan berusaha semaksimal mungkin untuk sampai kepada Tuhan[1]. Sedangkan wahyu –yang berwujud teks Al-Qur’an- sebagai pengkhabaran dari alam metafisika yang turun kepada manusia melalui perantara malaikat jibril, yang berisikan keterangan-keterangan tentang pencipta dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhannya. Dengan kata lain teologi merupakan pentelaahan tentang ajaran-ajaran dasar agama yang termuat dalam teks-teks keagamaan.
Abad ke-delapan belas merupakan awal kontak dunia Islam dengan Eropa, setelah keterpurukannya yang menggenaskan. Kondisi ini akhirnya mendorong para intelektual muslim untuk merenungkan apa yang terbaik dilakukan guna meraih dan menata kembali kemajuan, sebagaimana pada zaman kemilangan. Dengan demikian bermunculanlah para penggagas pembaharuan dari berbagai Negara Islam, yang menawarkan berbagai ide demi kebangkitan Islam kembali, tak terkecuali dalam bidang teologi. Sehingga lahirlah aliran-aliran teologi. Ada yang bersifat liberal dan ada pula yang bersifat tradisional, bahkan ada yang berada antara liberal dan tradisional,[2] seperti yang dilontarkan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Akhmad Khan, Iqbal dan lain sebagainya.
Mesir merupakan Negara yang cukup subur bagi pertumbuhan para tokoh muslim, yang selalu memunculkan ide dan gagasan untuk kemajuan Islam. Sejak terhitumg dari masa itu, dari Negara ini muncul Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Hasan al-Banna, Qasim Amin, Ali Abd al-Raziq dan Hassan Hanafi, yang terakhir ini dibesarkan dalam suasana pesatnya perkembangan pemikiran pembaharuan Islam dalam bidang pemikira teologi yang bersumber dari daya analisa pemahaman dan penafsiran teks-teks agama. Para tokoh ini telah berhasil mewarnai peta pembaharuan Islam dengan berbagai ide dan gagasan. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ide dan gagasan tersebut dipengaruhi oleh pemikiran Barat, baik dalam rangka menentang maupun menerimanya, baik langsung maupun tidak langsung.  
Apabila ide dan gagasan itu ditelusuri maka akan kita jumpai pertentangan atau perbedaan yang cukup mencolok antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya. Sebagai contoh; kadang-kadang ada tokoh yang cenderung mengadopsi pemikiran dari Barat tanpa adanya seleksi dan ada juga tokoh yang menyeleksi, bahkan memberikan kritikan terhadap pemikiran Barat itu sendiri. Tetapi penulis melihat, bahwa perbedaan itu muncul dalam rangka menuju kepada sebuah proses pendewasaan dan meraih sebuah puncak kebangkitan Islam, dalam ranah pemahaman terhadap kandunagn yang ada dalam agama islam. Yusuf al-Qardhawi telah membuat tahapan kebangkitan Islam, jika dikait dengan pemikran Barat, maka tahapan itu terbagi kepada empat tahapan, yaitu : (1) Fase mengekor; (2) Fase legalisasi (Tabriri); (3) Fase apolegetik (I’tizari) dan; (4) Fase konfrontasi (dapat mengatakan ini salah dan ini benar).[3] Di Mesir, semenjak awal abad ke XIX, terjadi dinamika politik dan selalu didominasi oleh pertentangan antara golongan nasionalis, sekuler dan golongan Islam tradisional.[4]
Situasi tersebut pun tidak jauh berbeda seperti yang dialami dalam methode memahami Al-Qur’an, tercatat sejak masa dimana Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w, Al-Qur’an sudah mengalami penafsiran, dalam hal ini penafsir pertama merupaan penerima wahyu –Al-Qur’an- yaitu Nabi Muhammad saw. Dimasa ini, kesepaktan orisinalitas makna kandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengalami pembantahan makna yang telah diutarakan olah Nabi saw. Hal ini, dipengarui oleh kedudukan yang dimiliki oleh Nabi saw, selaku utusan sekaligus mufasir atas wahyu-wahyu Tuhan yang hendak di transformasikan ke umat manusia. 
Sejalan dengan waktu, perkembangan penafsiran ikut mengalami perubahan baik dari penfsiran, pemahamna teks, method, orientasi, corak maupun jenis penamaan tafsir tersebut. Tidak terkecuali pemahaman teologi ikut mengalir sebagai frase pemahan pertama yang harus ditekankan dalam ajaran agama.
Sebuah pemahaman tidak akan meninggalkan dasar lendasr pemikiran, begitu juga pemahaman dalam menfsirkan suatu teks keagamaan, unsur kandungan yang melingkupi diri mufasir akan ikut mewarnai penafsirannya, baik sengaja maupun tidak dan baik sedikit maupun sebagian besar. Hal ini, menurut penulis dapat menjadi sebab penggaruh terhadap umat muslim lainnya. sehingga penggaruh pemahaman tersebut dapat menjalar bahkan mengakar ke kadar kemimanan, dari nya akan menimbul suatu set tingkah-laku yang pakem dipengang oleh penerima gagasan sautu pemahaman tentang agama. Begitu juga lingkungan social, akan mengalami pengaruh secara signifikan sebagai perubahan pola tingkah-laku dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Pemahaman ini, akan mengalami sekema kausalitas yang beragam di lingkungan social sesui dengan transformasi pemahaman yang samapai kepada masyarakat tersebut. Hal ini, menimbulkan suatu aturan dalam social masyarakat yang dilegalkan, baik mencangkup hukum adat maupun hukum kenegaraan. Selain itu, pemahaman tersebut akan membentuk suatu golongan tertentu dengan nama tertentu yang mencerminkan kadar daya pemahman golongan tersebut terhadap pemahaman agama –Al-Qur’an- serta ciri pola tingkahlaku tertantu. Seperti yang banyak diketahui, seperti golongan fundamenta, moderat dan tradisional. Mungkin klasifikasi tersebut cukup mengambarkan macam-macam pemahaman ajaran agama islam yang banyak ragamnya, menurut hemat penulis hal ini dikarenakan corak sekema pola yang cenderung mirip dari macam-macam pemahaman sehingga klasifikasi tersebut tampak menjadikan perwakilan dari perbedaan yang ada.
Dari semua yang telah dituturkan, penulis hendak membahas problem yang telah dan masih menjadi diskursus yang selalu hangat dari masa ke masa, dengan mengangkat judul teologi dalam Al-qur’an sebagai Pengaruh tindakan.
Rumusan Masalah.
i.        Ulasan pemahaman judul “Teologi dalam Al-Qur’an sebagai Pengaruh Tindakan”.
ii.   Pengaruh pemahaman produk hukum dari pemahaman teologi yang terkandung dalm Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Ulasan Pemahaman judul “Teologi dalam Al-Qur’an sebagai Pengaruh Tindakan”
Teologi merupakan istilah yang diambil dari bahasa Yunani Theologia gabungan dari dua suku kata theos= Tuhan, logos= logika. Secara sederhana, menurut A. H. Strong Teologi  merupakan ilmu tentang tuhan dan hubungan-hubungan antara Tuhan dengan alam semesta.[5] Adapun menurut Thomas Aquinas, teologi merupakan pikiran Tuhan, ajaran Tuhan dan memimpin kepada Tuhan (Sinclair B. Ferguson, ENDIT: “Theology”:1988). Secara umum teologi merupakan pembahasan primer dalam ajaran setiap agama yang tidak jauh dengan kerangka berfikir filsafat, bila ditinjau dari filsafat Aristoteles menyebutkan bahwa Teologi merupakan sebgai disiplin filsafat teologi dan atau metafisika tersendiri. Senada dengan itu, Reese mengetakan bahwa teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan, Gove menambahkah teologi merupakan penjelasan tentang keimanan, pebuatan dan pengalaman agama seara rasional.[6] Fergilius Ferm mengatakan
The discipline which concern God (or the divine Reality) and God relation to the word.
Dilihat dari pengertian-pengertian diatas, dapat di tarik garis besar, teologi merupakan disiplin ilmu tentang Tuhan dan semua yang berhubungan denganNya terutama manusia itu sendiri selaku pengkaji tentang Tuhan dengan berdasarkan kerangka berfikir filsafat.
Setiap bahasa tertentu mempunyai makna literature tertentu, baik secara independent suku kata tersebut maupun secara gabungan suku kata ataupun rangkain kalimat, seperti contoh makna yang timbul dari kata yang diungkapkan melalui kesalahan pendenganran, kata “kehadirat Allah swt” didengar lalu diungkapkan menjadi “kehadiran Allah swt,” maka akan berkonotasi Allah swt sama dengan makhlukNya, berawal dan berakhir, lahir dan mati. Tentu dasar tersebut akan merubah  dan mempengaruhi paradigma pemahaman yang teraplikasi ke dalam tindakan. Jika demikian, hal ini kontradiksi dengan penjelasan Kalam Allah bahwa Dia (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak ada sesorangpun yang setara dengan Dia (Allah) (QS.112:3-4).  
Seperti halnya kata Teologi, akan berimplikasi terhadap makna yang ditimbulkan dari pengabungan atau rangkaian kata tersebut dengan kata yang lain, seperti kata Teologi yang tercatat dalam judul makalah ini.
Teologi merupkan istilah dalam disiplin keilmuan yang diadosi dari berbagai generasi dan transformasi keilmuan yang sudah banyak dipergunakan sebagai istilah ilmiah dan juga familiar diidentikan dengan pembahasan keagamaan, tidak terkecuali oleh orang muslim. Istilah ini pun kerap ditayangkan sebagai ciri khas pembahsan dalam problem keagamaan –ajaran pemahaman tentang Allah, iman dan ketaqwaan kepanya- yang diulas mengunakan frem pemahaman ajaran  islam, baik dalam kegiatan merekontruksi pemahaman, mengontekstualisasikan pemahman maupun mendekonstruksi. Dewasa ini, sangat penting untuk diketahui, difahami dimengerti pasalnya pemahaman sebuah keilmuan yang membahas tentang Tuhan haruslah lebih dulu difahami, lantaran teologi sebagai frese awal sesorang dapat dilegitimasi sebagai muslim. Ibnu as Sa’id Abdurrahman an Nahrawi menjelaskan  bahwa kewajiban bagi setiap orang mukalaf adalah menetapkan keyakinan bertauhid dalam dirinya yaitu iman, yangmana iman tersebut bergantung terhadap ketetapan keyakinan bertauhid, maka ketika seseorang tidak menetapkan dasar keyakinan bertauhid dikarenakan keraguan yang dialami, dia tetap dikatagorikan sebagai orang kafir.[7]
Iman merupakan suatu dasar universal dalam penilaian tingkat kualitas kehidupan sesorang terhadap agamanya dan sosialnya, semakin komplit keimanan yang diaktualisasikan dan diaplikasikan semasa hidup, semakin mulia kualitas kehidupannya. Sebaliknya, akan menjadi sebuah kerugian yang menjalar diberbagai sector keadaan seseorang jika iman tidak dapat berperan sebagai dasar yang mempengaruhi semua keadaan manusia –dengan apik-, karena iman tidak hanya berbicara tentang tuhan yang bersifat individual, melaikan semua yang melingkupi baik respon manusia dengan sesamanya maupun respon manusia dengan alam yang melingkupi dirinya. Pengakuan ke-iman-an yang terdapat dalam diri seseorang dapat dilegitimasi, ketika iman dapat diaplikasikan dan diaktualisasikan keyakianan dalam hati, diungkapkan melalui ucapkan dan diwujudkan dengan adanya tindakan yang mencerminkan keimanan tersebut, Tashdiqu bi al janani, waiqraru bi lisani, wa’amalu bi al arkan.[8]
Al-qur’an merupakan kalam ilahiyah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, melalui malaikat jibril sebagai media tranformasi dari dimensi Tuhan ke dimensi manusia. Mana’ Khalil al Qathan memberikan keterangan, Al Qur’an al Karim merupakan mu’jizat umat islam yang abadi, tanpa tendensi penambahan terhadap keilmiahan yang lebih terdahulu melainkan hal ini merupakan suatu ketetapan yang tidak terbantahkan dalam sebuah mukjizat.[9] Semua sepakat bahwa Al-Qur’an tidak hanya mengandung hukum selaku pengatur kehidupan bagi pemeluknya. Lebih dari itu, Al-Qur’an merupakan karya tuhan yang telah mengalami trans ke bahasa manusia dengan keindahan linguistiknya dan mekna yang dikandungnya, seperti halnya penguraian makna peperangana atau konflik yang terjadi di dalam masyarakat islam generasi pertama, yang memang hal ini perlu karena melihat kondisi social pada masa itu, serta menampilkan dimensi ilahiyah pada kehidupan manusia.[10]
Merupakan sebuah ketidak mungkinan Al-Qur’an sebagai ucapan yang keluar dari Nabi Muhammad saw saat beliau tertidur, atau syair yang dilantunkan seperti syair-syair dengan bahasa arab konvensional pada masanya, Karen Armstrong memberikan argument bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah karya sastra fenomenal dan dilingkupi dimensi spiritual klasik yang terbesar sepanjang sejarah dimana karya tersebut adalah firman Tuhan, (Karen Armstrong:2002). Senada dengan itu, Prof. K.H. Ali Yafie menegaskan bahwa kebanyakan kita memandang al-Qur’an sebgai hukum atau keseluruhan muatannya adalah hukum, akan tetapi sesungguhnya al-Qur’an lebih dari itu, ia adalah nilai yang tertinggi dan ia adalah sumber segala nilai.[11]
Bagi makhluk-makhluk selain manusia tidak ada persoalaan nilai, karena hal itu ada kaitannya dengan pandangan yang bersumber dari akal pikiran dan berpangkal dari moral, tentulah hal itu menjadi pembenar karena Allah swt pun berfirman dalam Al-Qur’an bahwa nabi Muhammad merupakan seorang figure yang berakhlak agung, karena beliau ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak, tentulah pasti menjadi keharusan Al-Qur’an ikut sebagai tuntunan moral, pasalnya Al-Qur’an ditempatkan sebagai referensi utama dalam agama islam selain dari Al-Qur’an ditempatkan sebagai wahyu suci ilahi.
Al-Qur’an bukan sebuah narasi ataupun argument membutuhkan tatanan berurutan, sussan dalam Al-Qur’an merupakan bentuk merefleksikan berbagai tema yang dikandungnya; tentang kehadiran Tuhan di dunia, kehidupan para nabi ataupun Hari Akhir. Bagi orang yang tidak bias mengapresiasi keindahan bahasa Arab yang luar biasa, Al-Qur’an akan tampak membosankan  dan bertele-tela karena sering mengulang-ulang tema yang sama.[12] Secara garis besar Al-Qur’an memperkenalkan kepada manusia tiga nilai dasar, ilmu, amal dan akhlak. Ilmu merupakan suatu yang sering di sebut sebgai cahaya untuk menerangi katidak fahaman ataupun ketidaktahuan, begitu juga dalam Al-Qur’an mengandung sebuah ilmu dari berbagai cabang keilmuan. Sejak pertama kalinya Al-Qur’an diturunkan ke nabi Muhammad, Al-Qur’an mengenalkan ilmu pengetahuan yang harus dilalui dengan cara membaca baik menbaca dalam arti verbal maupun akal –analisis-, “Iqra’…..” karenannya sebuah ilmu perlu ditekankan lebih dahulu, sebagai awal untuk memulai tindakkan, selain itu ilmu juga sebagai mitra  iman yang merupakan persyaratan bagi terwujudnya sumber daya  manusia yang berkualitas, dari ilmulah seseorang akan mendapatkan deraja serta dapat memperoleh nilai tambah dalam harkatnya, “….Yarfa’illahuladzina amanu minkum alladzina utul ‘ilma darajat….”. Selain ilmu, nilai dasar selanjutnya, amal. Dalam ajaran Islam, amal menempati posisi sebagai barometer kualitas dan kuantitas pahala maupun siksa (dosa.red) yang akan didapat. Amal merupakan segala yang dikerjakan dan diperbuat oleh manusia, baik bersifat gerak badan maupun hati dan pkiran, dalam pandangan sufistik. Karena manusia memiliki peranan yang berpengaruh bagi kelangsungan kehidupan, tentulah sebuah amal harus dikonsepkan dan ditetapkan sebagai aturan main. Dalam hal ini Al-Qur’an pun sudah meberikan ranbu-rambu,
(Yaitu) Orang yang dicabut nyawanya oleh para nalaikat dalam keadaan berbuat zalim kepada diri sendiri, lalu mereka menyerahkan diri sambil berkata, ‘Kami tidak pernah mengerjakan sesuatu kejahatan pun,”(Malaikat menjawab) “Pernah ! Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang telah kamu perbuat.
Bila ditelisik dari arti ayat tersebut, temuat hukum sebab-akibat atau kausalitas, ketika seseorang berbuat salah maka Allah akan memberikan konsekuwensinya. Karena amal merupakan sebuah barometer kualitas dan kuantitas konskuwensi yang akan didapat, maka tentu perlulah manusia harus mengefisiensikan kedudukannya di dunia ini, hal ini akan kembali lagi terhadap diri manusia tersebut lantaran kehormatan dan nilai manusia tergantung dan ditentukan oleh tindakannya, …”Fani’ma ajru al amylin”.
Nilai dasar selnjutnya adalah akhlak atau moral. Seperti yang telah diungkapkan di atas, moral merupakan pesan dalam Al-Qur’an yang harus diungkapkan, lantaran Al-Qur’an merupakan kitab suci sebagai kalam ilahi yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw, sedangakn Nabi Muhammad saw merupakan uturan yang tiada lain sebagai Agent penyempurna moral atau akhlak. Tentu merupakan sebuah keharusan bagi setiap muslim yang telah mampu mempadukan tiga nilai dasar tersebut serta mengaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari, sehingga ia pun menjadi sosok yang berkepriadian apik dan selaras dengan ajaran agama yang dianutnya.
Teologi dan Al-Qur’an merupakan suatu koheren yang tidak dapat dipisahkan, lantaran ajaran agama islam semua termuat dalam Al-Qur’an tanpa pengecualian, terlebih pembhasan tentang teologi keagamaan. Sedangkan Teologi atau sering disebut tauhid merupakan pondasi penguat sebelum seorang muslim lebih jauh mengetahui ajaran yang dianutnya dan juga sebelum mereka ketetapan sebuah aturan untuk menjalankan semua ritus agama baik yang berhubungan dengan tuhanya, dirinya dengan manusia laian ataupun dirinya dengan alam yang ia tempati.
Dalam hal ini, tentulah sebuah pemahan teologi yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat menjadi motor perubahan ataupun pengaruh tindakan seoarang muslim dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam pengeruh tindakakan tentulah bersumber dari kemapuan seorang memahami isi kandungan al-Qur’an bagi seorang muslim, tetapi akan menjadi problem keagamaan ketika ia tidak mampu memahaminya, atau bahkan salam memahami, maka hal ini akan menjadikan salah persepsi sebuah ajaran agama, sehingga dapat dimungkinkan tindakan tersebut akan menyalahi tidak sejalan dengan aturan yang ada, baik dari sudut pandang agama, social amaupun budaya, sehingga menjadikan timbulnya persepsi miring terhadap pelaku dari pemngamat laiannya. Dengan adanya hal itu akan mengakibatkan perseptif buruk terhadap ajaran agama islam secara menyeruluh, seperti Islamobia dari mereka yang memeng tidak tahu kebenaran sejati dari nilai konsep yang diajarankan dalam agama islam; atau bahkan dari mereka yang mengang tidak suka terhadap agama samawi yang terakhir ini.
II.      Pengaruh pemahaman produk hukum dari pemahaman teologi yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Pemahaman, dapat diperoleh dari berbagai cara, melalui penafsiran, analisis, observasi dan laian sebagainya. Begitu juga terhadap Al-Qur’an, untuk memahami Al-Qur’an kemungkinan besar penafsiran mengandung sebuah analisis kritis maupun observasi guna menemukan makna yang terdapat dalam Al-Qur’an baik makna tersirat maupun tersurat. Seperti yang kita ketahui, Al-Qur’an nerupakan sumber uatama ajaran Islam yang asli dan abadi. Dimana Al-Qur’an mengandunghal hal-hal yang berhubungan dengan ilmu penegetahuan, kisah-kisah, filsafat, undang-undang yang mengatur tingkah laku, dan tatacara kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk social, sehingga dapat hidup di dunia secara ideal, bahagia sampai pada kehidupan akhiratnya. Dalam menyampaikan hal-hal di atas, Al-Qur’an ada kalanya menjelaskan secara terperinci; seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum waris, ada kalanya dikemukakan secara garis besar; seperti ayat-ayat tentang ekonomi dan masih banyak laiannya. Dari pemukaaan secara garis besar inilah kemudian dibutuhkan peroncian penjelasan dan pemehaman tersendiri.[13]
Selain Al-Qur’an, hadis juga ditetapkan sebgai sumber setelah Al-Qur’an, yangmana hadis merupakan fakta konseptual, manifestasi pertama dari fenomena metodologi keagamaan dan merupakan kodifikasi yang mencerminkan perkataan dan perbuatan,[14] yangmana hadis disini ditempatkan sebagai penjelas pertama terhadap Al-Qur’an, sebelum datangnya penjelasan dari diri manusia sendiri dengan kepereluan, keadaan, masa dan tempat tertentu.
Manusia adalah salah satu makhluk hidup yang diciptakan Allah dengan bentuk yang sempurna.[15] Ia tidak hanya bersifat jasmaniyah yang tersusun dari tulang-belulang, daging, darah dan urat-saraf, [16] melainkan juga ruhani yang dilengkapi dengan akal.[17] Dengan keistimewaan ini, Allah swt memberi manusia hikmah dan kekuatan untuk memanfaatkan dan mengolah serta mengatur sumber-sumber alam, tidak terkecuali kondisi masyarakat yang berkaitan dengan manusia itu sendiri, hal ini merupakan sesutau yang Allah swt jadikan berada dan takluk dibawah kekuasaan manusia. Sedangkan kedudukan manusia telah ditentukan olah Allah swt sebagai pemimpin-Khalifah fil Ardl-, tentulah menjadi tangung jawab yang telah diamatkan dari Allah swt, sehingga hendaknya amanat tersebut harus dimanfaatkan, dilaksanakan secara arif  sesuai dengan kaidah keagamaan yang tidak lain sebagai nilai dasar untuk menuju keteraturan dan keseimbangan dari segala sector yang melingkupi diri manusia, maka sebab itu hendaklah manusia melakukan kearifan, kebaikan di dunia ini, karena pada dasarnya prilaku arif, bijaksana, baik dan bagus seseorang muslim merupak wujud implementasi suatu pemahaman teologis yang sempurna.[18] Secara umum, peraturan mempunyai konsekuensi. Al-Qur’an yang ditempat sebagai sumber primer suatu hukum islam, telah memberikan rambu-rambu peringatan atas tindakan yang diperbuat.[19]
Islam merupakan agama dakwah yang menjunjung tinggi kebebasan beragama tanpa adanya paksaan ataupun peperangan[20], seperti asas dasar ajaran islam berguna sebagai rahmat seluruh alam.[21] Kepantasan bagi semua pemeluk agama islam untuk dapat bertangung jawab mengamplikasikan isi kandungan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik sector, muamalah ataupun ubudiyah yang bersifat pribadi. Pemahaman teologis tentu dapat menjadikan suatu pengaruh yang signifikan bagi prodak hukum dalam pengaplikasiannya. Seperti halnya prodak hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang pada akhirnya dikenal dengan disiplin ilmu Fiqh. Dalam perkembangannya, Fiqh telah memelui peremajaan baik dari segi cara penerapannaya maupun cara istimbathnya.
Seperti yang telah kita ketahui terminology fiqh –sebagai ilmu yang utuh dan berdiri sendiri- sanglah terkenal dan dominan dalam dunia islam. Fiqh merupakan produk ijtihad yang berkesimambungan sejak jaman Nabi saw masih hidup, terungkap dalam history shahabat Mu’az bin jabbal yang secara nyata ia berijtihan,[22] meskipun kenyataannya Nabi saw masih hidup; sampai masa sekarang. Pada mulanya wujud fiqh hanya berupa catatan-catatn yang memuat yurisprudensi dan interpretasi para shabat terhadap materi-materi hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As sunnah/Hadis. Seiring berjalanan waktu, masa dimana tegistrasi dan kodifikasi hukum-hukum islam mulai terbentuklah pola-pola pikir dan metode penalarana hukum islam sebagai cara mengolah sumber-sumber hukum menjadi dictum-diktum hukum yang dibutuhkan oleh umat islam dalam penyelengaraan ibadah maupun muamalah. Seiring perjalanan waktu, berbagai metode istimbathpun kian beragam, seperti yang telah diulans diatas, ijtihad ada lantaran adanya Mujtahid. Mujtahid yang pada akhirnya lazim di kenal dengan madzhab, pada awal perkembangan Prof, Ali Yafie mengabarkan bahwa terdapat 500 madzhab, kemudian dalam proses selanjutnya hanya menjadi puluhan saja, dan setelah mengalami seleksi alamiah dalam kurun dua adab lamnya, hanya tersisa empat madzhab yang tersebar dan dikenal di seluruh dunia, dengan penegcualian madzhab Syi’ah (Prof. Ali Yafie, 1997:130). Dalam situasi inilah, mulai gencar penyusunan kitab-kitab yang berisikan seputar ilmu agama, baik secara umum maupun khusu, dengan penyusunan secara sisitematis dari berbagai bab dan judul pembahasan (Fashl.red).
Dalam koridor hukum fiqh terdapat ketentuan yang mengikat bagi pihak-pihak yang berssangkutan, lantaran hal tersebut menjadi sebuah keputusan/vonis dari seorang Qadhi (Hakim.red). atau bahkan menjadi putusan umum dari pemegang otoritas, hal ini juag menjadikan muatan hukum tersebut mengikat bagi masyarakat umum.
Dlihat dari ragam ijtihad, dapat dilihat adanya pola yang sangat jelas dari pola perfikir yang berbeda dan juga cara memahami serta langkah-langah beristimbath dari sumber ajaran islam. Seperti yang terjadi pada cara beristimbath dari kalangan dua ormas besar di Indonesia –NU dan Muhammaddiyah- yang memiliki perbedaan yang mencolok dalam berijtihat, baik cara pamehaman, tahapan istimbath, maupun metodenya. Seperti method Tarjih di Muhammadiyah dan Bathsul masail, berbeda pula dalam tahapan-tahapannya, bagi Muhamaddiyin Tarjih merupakan suatu usaha untuk membanding-bandingan pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat,[23]  berbeda dengan Nahdliyyin, mereka mengunakan metode bathsul masail untuk memecahkan berbagai permasalahan keagamaan bagi masyarakat, dengan melalui berbagai tahapan.
Meeurut hemat penulis, dari perbedaan kedua ormas ini, sebagai pemicu tindakan yang di lakukan oleh pengikut dari ormas keagamaan asas dasar hasil dari produk fatwa mereka. Seperti halnya tahlilan.
Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut kalimah ―syahadah‖ yaitu ―La ilaha illa Allah‖ ( .) ا اللهDalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Kegiatan tahlil sering juga disebut dengan istilah tahlilan. Tahlilan, sudah menjadi amaliah warga NU sejak dulu hingga sekarang. Sementara kalangan Muhammadiyah tidak membenarkan diselenggarakannya tahlilan. Bacaan-bacaan doa serta urutan dalam acara tahlil juga sudah tersusun sedemikian rupa, dan dihafal oleh warga NU. Begitu pula tentang bagaimana tradisi pelaksanaannya, di mana keluarga sedang tertimpa musibah kematian (shohibul mushibah) memberikan sedekah makanan bagi tamu yang diundang untuk turut serta mendoakan.
NU menganggap bahwa acara tahlilan tidak bertentangan dengan syariat Islam, melainkan justru sesuai dengan apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah saw. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa acara tahlilan merupakan sesuatu hal yang baru, tidak pernah dikerjakan dan diperintahkan rasulullah (bid‘ah). NU membenarkan bahwa bacaan doa, kiriman pahala dari membaca ayatayat al-Qur‘an, dan shodaqah, bisa dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, sementara Muhammadiyah berpendapat bahwa membaca al-Qur‘an, dan bacaan lain, serta bersodaqah yang dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal pahala tersebut tidak akan sampai. Perbedaan pendapat seputar tahlil ini terjadi, dikarenakan terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap ayat al-Qur‘an dan hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut. Selain juga karena dalil yang digunakan serta metode pengistimbathan hukumnya yang berbeda. Untuk lebih jelasnya, baiknya langsung kita pahami bersama dasar-dasar penolakan dan penerimaan tahlil dari NU dan Muhammadiyah.
1.      Muhammadiyah.
Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran agama Muhammadiyah cenderung ingin memurnikan syariat Islam (tajdid). Islam yang menyebar luas di Indonesia, khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan perjuangan dari para pendakwah Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga. Dalam menyebarkan agama Islam, Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang mana tidak membuang keseluruhan tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran yang menjadi mayoritas pada masa itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan kepercayaan Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang yang meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada hari pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya. Dari tradisi itulah kemudian muncul tradisi yang kemudian dikenal dengan tahlil. Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam Majalah Suara Muhammadiyah dan dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan Muhammadiyah, tahlilan tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam. Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran Islam. Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari terdapatnya gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari tradisi tarekat inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat Islam Indonesia. Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara Muhammadiyah disebutkan macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin, yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan, kelahiran dan lainnya.
Di masyarakat umum juga berkembang bentuk-bentuk tahlil dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia. Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal pokok yang menyertai tahlil, yaitu; 1. Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal, 2. Bacaan tahlil yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu. Berikut akan kami berikan argumentasi penolakan Muhammadiyah terhadap tahlil:
Argumentasi Pertama: Bahwa mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal dunia tidak ada tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis Rasul. Muhammadiyah berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak ada tuntunannya, maka yang harus dipegangi adalah sabda Rasulullah saw, yang artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku
untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Dalam situs pdmbontang.com memuat sebuah artikel yang berjudul ―Meninggalkan Tahlilan, siapa takut?, sebuah artikel yang bersumber dari MTAonline. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika masih hidup pernah mendapat musibah kematian atas orang yang dicintainya, yaitu Khodijah. Tetapi Nabi saw tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan ritual tahlilan. Semasa Nabi hidup juga pernah ada banyak sahabatnya dan juga pamannya yang meninggal, di antaranya Hamzah, si singa padang pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati kematian pamannya dan para sahabatnya. Demikian pula setelah Rasulullah saw wafat, tahlilan atau peringatan hari kematian belum ada pada masa khulafaur Rasyidin. Pada masa Abu Bakar tidak pernah memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu Bakar wafat Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga tidak pernah memperingati kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Singkatnya semua Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati kematian Rasulullah saw. Dalil aqli atas sejarah tersebut adalah, kalau Rasulullah saw tidak pernah memperingati kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian, berarti peringatan kematian adalah bukan termasuk ajaran Islam, sebab yang menjadi panutan umat Islam adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan? Selain itu, berkaitan dalam masalah tahlil, Muhammadiyah menolaknya dengan dasar dari hadist Rasulullah saw, yang artinya Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Apabila manusia telah mati, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]
Berkaitan dengan hadis tersebut, yang juga digunakan oleh Ulama atau kalangan yang membolehkan tahlilan, Muhammadiyah memandang bahwa hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal yang beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi mengirim pahala doa dan bacaan, menurut kepercayaan Muhammadiyah, tidak ada tuntunannya sama sekali.
Argumentasi kedua: selain dasar sebagaimana sudah disebutkan, Muhammadiyah juga mendasarkan argumentasinya pada al-Qur‘an surat an-Najm ayat 39, ath-Thur 21, al-Baqarah 286, al-An‘am 164, yang mana dalam ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang telah dikerjakannya sendiri. Berikut adalah petikan ayat-ayatnya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52): 21]
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S. al-Baqarah: 286)
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." [QS. al-An‘am (6): 164]
Dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut, kalangan yang menolak tahlilan mengutip pendapat madzhab Syafii yang dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya, di sana dikatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai, sebagaimana disebutkan dalam dalam al-Qur‘an surat an-Najm ayat 39 di atas. Selain itu, juga dikuatkan dengan pendapat Imam Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah yang mengatakan:
Mayit tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain. (Al Umm juz 7, hal 269).
Dasar selanjutnya adalah, perbuatan Nabi yang tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al Umm, juz I, hal 248). Juga perkataan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286). Sebagaimana sudah menjadi keputusan Tarjih Muhammadiyah dalam masalah ini, bahwa ketika ada yang meninggal yang seharusnya membuat makanan adalah tetangga atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit. Dasarnya adalah hadis dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata, yang artinya: Setelah datang berita kematian Ja'far, Rasulullah bersabda:
Buatlah makananuntuk keluarga Ja'far, karena telah datang kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka”. (H.R Tirmidzi dengan sanad hasan).
Demikianlah pendapat Muhammadiyah dalam masalah tahlil. Penolakannya terhadap tradisi tahlilan talah terang memiliki dasar. Lalu, bagaimana pendapat NU? Dalil-dalil apa yang digunakan oleh Ulama NU sehingga sampai sekarang masih mempertahankan tahlilan? Mari kita kaji bersama-sama.
2.      Nahdhatul Ulama.
Di atas, kita telah tahu pengertian tahlil secara bahasa maupun istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa berarti pengucapan kalimat la ilaha illallah. Sedang tahlil secara istilah, sebagaimana ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh NU, ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diitilahkan sebagai rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya tahlil bisa dilakukan sendiri-sendiri, namun kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara berjamaah. Dalam buku Antologi NU diterangkan, sebelum doa dilakukan, dibacakan terlebih dahulu kalimah-kalimah syahadad, hamdalah, takbir, shalawat, tasbih, beberapa ayat suci al-Qur‘an dan tidak ketinggalan hailallah (membaca laa ilaaha illahllaah) secara bersama-sama.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi apda hari ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya. Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, the, telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya. Dalam menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil Nafis, tokoh pembesar NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan dasar-dasar dibolehkannya tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang untuk tahlilan pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo. Warga NU sampai sekarang tetap mempertahankan tahlil, salah satu tradisi yang dimunculkan pertama kali oleh Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU dari Jawa Tengah, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah. Kalau kita tinjau apa yang disampaikan KH Sahal Mahfud, terdapat dua hikmah dilakukannya tahlil, yaitu, pertama, hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan ibadah sosial; dan kedua, hablumminallah, dengan meningkatkan dzikir kepada Allah. Mari kita lihat perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Pertama, bahwa dalam tahlil terdapat aspek ibadah sosial, khususnya tahlil yang dilakukan secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama muslil akan berkumpul sehingga tercipta hubungan silaturrahmi di antara mereka. Selain itu, dibagikannya berkat, sedekah berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian dari ibadah sosial. Dalam sebuah hadis dijelaskan, yang artinya:
 Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.‖ (HR Ahmad).
Menurut NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil Nafis, memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud
dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain. Dalam hadits shahih yang lain disebutkan, yang artinya:
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi).
Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikuatkan dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. Namun demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu berupa berkat adalah hukumnya boleh, maka kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tradisi NU dalam memberi jamuan makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang wajib. Orang yang tidak mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain, demikian dikatakan KH. Cholil Nafis. Semua jamuan dan doa dalam tahlilan pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit. Dalam buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah hadis di mana Rasulullah pahala sedekah untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (HR. Muttafaqu ‘alaih).
Perintah Rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam haditshadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akan pernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda: 'Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Dalil lain adalah hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah, sebagaimana dikutip KH. Chilil Nafis, yang artinya sebagai berikut: ―Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda:
Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!
Jadi, menurut NU, doa dan sedekah yang pahalanya diberikan kepada mayit akan diterima oleh Allah. Argumentasi selanjutnya adalah, bahwa tahlil merupakan sarana hablumminallah, sebab doa-doa atau bacaan-bacaan dalam tahlil merupakan bacaan-bacaan dzikrullah yang mana apa yang dibaca tersebut sesuati dengan sunnah Nabi Muhamamd saw. Bahwa ummat Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa untuk orang yang masih hidup, tetapi juga untuk orang yang sudah meninggal. Allah swt berfirman
Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah berimanlebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (QS. Muhammad: 19).
KH M. Irfan Ms pernah mengatakan bahwa tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i‘tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Dari susunan bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu syarat dan rukun. Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil adalah:Surat al-Ikhlas. Surat al-Falaq. Surat an-Nas. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 4. Surat al-Baqarah ayat 163. Surat al-Baqarah ayat 255. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286. Surat al-Ahzab ayat 33. Surat al-Ahzab ayat 56.
Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan: Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan : Surat al-Hud ayat 73. Shalawat Nabi. Istighfar. Kalimat Thayyibah. Tasbih Ayat-ayat serta bacaan-bacaan dzikir di atas memiliki keutamaannya masingmasing sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi saw. Seperti, misalnya sebuah hadis yang mengatakan bahwa ―orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan dari neraka." Dalam rangkaian tahlil biasanya juga membaca surat Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang diperintahkan Nabi SAW dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan memerintahkan supaya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur‘an untuk orang yang telah meninggal dunia. Dari Mu‘aqqol ibn Yassar r.a:
Barang siapa membaca surat Yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi, dalam Jami‘us Shogir: bab Syu‘abul Iman).
Masih banyak hadis-hadis berkaitan dengan keutamaan surat-surat al-Qur‘an serta bacaan-bacaan dzikir dalam serangkaian bacaan tahlil yang akan terlalu panjang jika semuanya ditulis di sini. Kemudian, tentang dzikir yang dilakukan secara berjamaah, termasuk dalam acara tahlilan, juga masuk perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah. Permasalah ini akan kita bahas pada bab tersendiri. Yang perlu dibahas lebih dalam disini, yang juga menjadi kontroversi Ulama, adalah membaca surat al-Fatiah untuk dihadiahkan kepada mayit. Dalam pembacaan tahlil, setelah jamaah bersama-sama melantunkan shahadat, sebelum dilanjutkan dengan bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain, biasanya pemimpin tahlil akan menghadiahi fatihah yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad saw berserta keluarga, para sahabat, kepada orang-orang sholih, dan kepada orang yang meninggal.
NU berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah boleh. KH A Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali yang mengatakan: "Disunnahkan menghadiahkan bacaan AlQur'an kepada Nabi SAW.‖ Ibnu 'Abidin telah bertaka sebagaimana tersebut dalam Raddul Muhtar 'AladDurral Mukhtar: "Ketika para ulama kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasulullah SAW. Karena beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas budi baiknya. Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua amal umatnya otomatis masuk dalam tambahan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta‟ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan mengatakan:
Ya Allah berikanlah rahmat kemuliaan buat Muhammd. Wallahu A‟lam.” (lihat dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar, jilid II, hlm. 244)
Bolehnya menghadiakan al-Fatikhah juga diperkuat dengan pendapat Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, yang mengatakan: "Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang. Jika hadiah bacaan Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU, menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali dan orangorang saleh yang jelas-jelas membutuhkan tambahnya ketinggian derajat dan kemuliaan juga dihukumi boleh. Selain hadiah al-Fatihal, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan tidak terdapat di Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali tepat untuk sekalian kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang ditradisikan oleh NU dipastikan ada pembacaan tahlil. Haul adalah peringatan kematian yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan untuk memperingati kematian para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh. Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan:
Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang
Uhud dan makam keluarga Baqi‟. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amalamal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Wakidi disebutkan bahwa:
Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi‟ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu‟alaikum bimâ shabartum fani‟ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah).
Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip A. Khoirul Anam dalam artikelnya, menjelaskan, para Sahabat dan Ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul yang diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan. Demikianlah pendapat NU mengenai tahlil, yang intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat. Karena dengan seseorang mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah, dalam acara haul atau tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah, juga membaca ayat suci alQur‘an serta bacaan dzikir yang lain, yang semua itu tidak lain sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.
BAB III
PENUTUP
A.    Ringkasan.
Pemahaman merupakan hal pokok dalam sebuah keilmuan, tidak terkecuali terhadap persoalaan keagamaan, teologi yang merupakan pondasi utama untuk membangunkepercayaan pengakuan dari suatu golongan, akan menjadi sebuah tindakan tatkala pengikut teologi tersebut tahu dan sadar akan keimannya.
Problem keagamaan misalnya, akan dapat teraplikasikan jika teologi yang menopang pemahman keagamaan tersebut dapat murni terpahami dan terimplementasikan. Tidak hanya sebuah ritus kegamaan saja yang dapat terpengaruhi oleh pemahaman teologi seseorang, melainkan tradisi yang ada pun akan ikut terpengaruhi, seperti yang telah penulis utarakan di atas, akan sebuah tradisi yang dilakukan oleh Nahdliyin.
Untuk kita tentulah harus dapat mengankap makna diharapkan, minimal tidak menyalahi pada kebiasaan. Agar nantinya diharapkan kita dapat, menjadi seorang yang benar-benar mengaplikasikan ajaran agama di sendi-sendi kehidupan.
B.   Referensi
Asy Syeh Muhammad Nawawi ibnu Umar Al Jawi Asy Syafi’I, Fathu al Majid, Semarang: Karya Thaha Putra,…...
E-book: M. Yusuf Amin Nugroho, FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH,……………….
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: University Of Chicago Press, 1979.
Karen Armstrong, SEJARAH TUHAN, Bandung: MIZAN, 2002.
Mana’ Khalil al Qathan, Mana’u al Qathan Mabahis fi Ulum Al Qur’an, Kairo: Maktabatu Wahbah, 2007.
Prof. K.H. Ali Yafie, TEOLOGI SOSIAL: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan, Yogyakarta: Tiara Annisa, 1997.
Shadruddin Muhammad ibn ‘Alauddin ‘Ali ibn Muhammad ibn Abi al Az al hanafi, Syarahu al Akidatu al Thahawiyah, Saudi: Darul islam, 2005.
Siti Musfiqoh, Relasi keyakianan Teologis, Etos Kerja dan Sumberdaya Manusia, Jurnal Pemikiran Islam Al-Tahrir, vol.7 No. 1 Januari 2007, Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2007.


[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7] Asy Syeh Muhammad Nawawi ibnu Umar Al Jawi Asy Syafi’I, Fathu al Majid, (Semarang: Karya Thaha Putra,…..), h. 3.
[8] Shadruddin Muhammad ibn ‘Alauddin ‘Ali ibn Muhammad ibn Abi al Az al hanafi, Syarahu al Akidatu al Thahawiyah, (Saudi: Darul islam, 2005), 57.
[9] Mana’ Khalil al Qathan, Mana’u al Qathan Mabahis fi Ulum Al Qur’an, (Kairo: Maktabatu Wahbah, 2007), h.5.
[10] Karen Armstrong, SEJARAH TUHAN, (Bandung: MIZAN, 2002), h. 196.
[11] Prof. K.H. Ali Yafie, TEOLOGI SOSIAL: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan, (Yogyakarta: Tiara Annisa, 1997), h.69.
[12] Karen Armstrong. Loc. Cit.
[13] Siti Musfiqoh, Relasi keyakianan Teologis, Etos Kerja dan Sumberdaya Manusia, Jurnal Pemikiran Islam Al-Tahrir, vol.7 No. 1 Januari 2007, (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2007), h.32.
[14] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University Of Chicago Press, 1979). 43.
[15] QS, 95:4.
[16] Ibid. 23:14.
[17] Ibid. 66:12.
[18] Ibid. 82:1.
[19] Ibid. 81:1.
[20] Ibid. 125:16
[21] Ibid. 107:21.
[22] انَّ رسُوْل الله صَلَّ الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعَثَ مُعَا ذًا أِلى الْيَمَنِ فَقَا لَ  كَيْفَ تَقْضِيْ فَقَا لَ أَقْضِيْ بِمَا فِي كِتَا بِ الله قَا لَ فَإِ نْ لَمْ يَكُنْ فِيْ كِتَا بِ الله قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ الله صَّلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ  يَكُنْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ أَجْتَهِدُ رَأْ يِيْ قَالَ الْحَمْدُ الِلهِ الَّذِيْ وَ فَّقَ اللهُ الَّذِ يْ وَ فَّقَ رَسُوْ لَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Rasulullah Saw mengutus Mu’az ke Yaman sebagai Qadhi.Rasul betrnya kepadanya, bagaimana kamu menmnutuskan apabila di hadapkan kepadamu suatu maslah hukum? Mu’az menjwab, aku memutuskannya dengan kitabullah, Rasul bertanya lagi, bagaimana caranya apabila kamu tidak menemukan jawabannya dalam kitabullah? Mu’az menjawab aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. Bagaimana apabila dalam sunnah Rasulullah SAW juga tidak ada jawabannya? Mu’az menjawab, aku akan melakukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya. Mendengar jawaban itu Rasulullah SAW berkata: Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah SAW. (HR. Tirmidzi).

[23] E-book: M. Yusuf Amin Nugroho, FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH, (………………), h. 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar