BAB I
PENDAHULUAN
Teologi dalam Al-Qur’an sebagai Pengaruh Tindakan
Teologi dalam Al-Qur’an sebagai Pengaruh Tindakan
A. Latar belakang
Sebagai suatu ilmu, teologi
merupakan suatu kajian yang membahas masalah ketuhanan dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap penciptanya, melalui penggunaan akal dan wahyu. Akal, sebagai potensi
pikir manusia, selalu aktif dan berusaha semaksimal mungkin untuk sampai kepada
Tuhan[1].
Sedangkan wahyu –yang berwujud teks Al-Qur’an- sebagai pengkhabaran dari alam
metafisika yang turun kepada manusia melalui perantara malaikat jibril, yang
berisikan keterangan-keterangan tentang pencipta dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Tuhannya. Dengan kata lain teologi merupakan pentelaahan tentang
ajaran-ajaran dasar agama yang termuat dalam teks-teks keagamaan.
Abad ke-delapan belas merupakan
awal kontak dunia Islam dengan Eropa, setelah keterpurukannya yang menggenaskan.
Kondisi ini akhirnya mendorong para intelektual muslim untuk merenungkan apa
yang terbaik dilakukan guna meraih dan menata kembali kemajuan, sebagaimana
pada zaman kemilangan. Dengan demikian bermunculanlah para penggagas
pembaharuan dari berbagai Negara Islam, yang menawarkan berbagai ide demi
kebangkitan Islam kembali, tak terkecuali dalam bidang teologi. Sehingga
lahirlah aliran-aliran teologi. Ada yang bersifat liberal dan ada pula yang
bersifat tradisional, bahkan ada yang berada antara liberal dan tradisional,[2]
seperti yang dilontarkan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Akhmad Khan,
Iqbal dan lain sebagainya.
Mesir merupakan Negara yang
cukup subur bagi pertumbuhan para tokoh muslim, yang selalu memunculkan ide dan
gagasan untuk kemajuan Islam. Sejak terhitumg dari masa itu, dari Negara ini
muncul Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Hasan al-Banna, Qasim Amin, Ali Abd
al-Raziq dan Hassan Hanafi, yang terakhir ini dibesarkan dalam suasana pesatnya
perkembangan pemikiran pembaharuan Islam dalam bidang pemikira teologi yang
bersumber dari daya analisa pemahaman dan penafsiran teks-teks agama. Para
tokoh ini telah berhasil mewarnai peta pembaharuan Islam dengan berbagai ide
dan gagasan. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ide dan gagasan
tersebut dipengaruhi oleh pemikiran Barat, baik dalam rangka menentang maupun
menerimanya, baik langsung maupun tidak langsung.
Apabila ide dan gagasan itu
ditelusuri maka akan kita jumpai pertentangan atau perbedaan yang cukup
mencolok antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya. Sebagai contoh;
kadang-kadang ada tokoh yang cenderung mengadopsi pemikiran dari Barat tanpa
adanya seleksi dan ada juga tokoh yang menyeleksi, bahkan memberikan kritikan
terhadap pemikiran Barat itu sendiri. Tetapi penulis melihat, bahwa perbedaan
itu muncul dalam rangka menuju kepada sebuah proses pendewasaan dan meraih
sebuah puncak kebangkitan Islam, dalam ranah pemahaman terhadap kandunagn yang
ada dalam agama islam. Yusuf al-Qardhawi telah membuat tahapan kebangkitan
Islam, jika dikait dengan pemikran Barat, maka tahapan itu terbagi kepada empat
tahapan, yaitu : (1) Fase mengekor; (2) Fase legalisasi (Tabriri); (3)
Fase apolegetik (I’tizari) dan; (4) Fase konfrontasi (dapat mengatakan
ini salah dan ini benar).[3]
Di Mesir, semenjak awal abad ke XIX, terjadi dinamika politik dan selalu
didominasi oleh pertentangan antara golongan nasionalis, sekuler dan golongan
Islam tradisional.[4]
Situasi tersebut pun tidak jauh
berbeda seperti yang dialami dalam methode memahami Al-Qur’an, tercatat sejak
masa dimana Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w, Al-Qur’an sudah
mengalami penafsiran, dalam hal ini penafsir pertama merupaan penerima wahyu
–Al-Qur’an- yaitu Nabi Muhammad saw. Dimasa ini, kesepaktan orisinalitas makna
kandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengalami pembantahan makna yang telah
diutarakan olah Nabi saw. Hal ini, dipengarui oleh kedudukan yang dimiliki oleh
Nabi saw, selaku utusan sekaligus mufasir atas wahyu-wahyu Tuhan yang hendak di
transformasikan ke umat manusia.
Sejalan dengan waktu,
perkembangan penafsiran ikut mengalami perubahan baik dari penfsiran, pemahamna
teks, method, orientasi, corak maupun jenis penamaan tafsir tersebut. Tidak
terkecuali pemahaman teologi ikut mengalir sebagai frase pemahan pertama yang
harus ditekankan dalam ajaran agama.
Sebuah pemahaman tidak akan
meninggalkan dasar lendasr pemikiran, begitu juga pemahaman dalam menfsirkan
suatu teks keagamaan, unsur kandungan yang melingkupi diri mufasir akan ikut
mewarnai penafsirannya, baik sengaja maupun tidak dan baik sedikit maupun
sebagian besar. Hal ini, menurut penulis dapat menjadi sebab penggaruh terhadap
umat muslim lainnya. sehingga penggaruh pemahaman tersebut dapat menjalar
bahkan mengakar ke kadar kemimanan, dari nya akan menimbul suatu set
tingkah-laku yang pakem dipengang oleh penerima gagasan sautu pemahaman tentang
agama. Begitu juga lingkungan social, akan mengalami pengaruh secara signifikan
sebagai perubahan pola tingkah-laku dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Pemahaman ini, akan mengalami
sekema kausalitas yang beragam di lingkungan social sesui dengan transformasi
pemahaman yang samapai kepada masyarakat tersebut. Hal ini, menimbulkan suatu
aturan dalam social masyarakat yang dilegalkan, baik mencangkup hukum adat
maupun hukum kenegaraan. Selain itu, pemahaman tersebut akan membentuk suatu
golongan tertentu dengan nama tertentu yang mencerminkan kadar daya pemahman
golongan tersebut terhadap pemahaman agama –Al-Qur’an- serta ciri pola
tingkahlaku tertantu. Seperti yang banyak diketahui, seperti golongan
fundamenta, moderat dan tradisional. Mungkin klasifikasi tersebut cukup mengambarkan
macam-macam pemahaman ajaran agama islam yang banyak ragamnya, menurut hemat
penulis hal ini dikarenakan corak sekema pola yang cenderung mirip dari
macam-macam pemahaman sehingga klasifikasi tersebut tampak menjadikan
perwakilan dari perbedaan yang ada.
Dari semua yang telah
dituturkan, penulis hendak membahas problem yang telah dan masih menjadi
diskursus yang selalu hangat dari masa ke masa, dengan mengangkat judul teologi
dalam Al-qur’an sebagai Pengaruh tindakan.
Rumusan Masalah.
i.
Ulasan pemahaman judul “Teologi dalam
Al-Qur’an sebagai Pengaruh Tindakan”.
ii. Pengaruh pemahaman produk hukum dari
pemahaman teologi yang terkandung dalm Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Ulasan Pemahaman judul “Teologi
dalam Al-Qur’an sebagai Pengaruh Tindakan”
Teologi merupakan istilah yang
diambil dari bahasa Yunani Theologia gabungan dari dua suku kata theos=
Tuhan, logos= logika. Secara sederhana, menurut A. H. Strong
Teologi merupakan ilmu tentang tuhan dan
hubungan-hubungan antara Tuhan dengan alam semesta.[5]
Adapun menurut Thomas Aquinas, teologi merupakan pikiran Tuhan, ajaran Tuhan
dan memimpin kepada Tuhan (Sinclair B. Ferguson, ENDIT: “Theology”:1988). Secara
umum teologi merupakan pembahasan primer dalam ajaran setiap agama yang tidak
jauh dengan kerangka berfikir filsafat, bila ditinjau dari filsafat Aristoteles
menyebutkan bahwa Teologi merupakan sebgai disiplin filsafat teologi dan atau
metafisika tersendiri. Senada dengan itu, Reese mengetakan bahwa teologi
merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta
independensi filsafat dan ilmu pengetahuan, Gove menambahkah teologi merupakan
penjelasan tentang keimanan, pebuatan dan pengalaman agama seara rasional.[6]
Fergilius Ferm mengatakan
The discipline which concern God
(or the divine Reality) and God relation to the word.
Dilihat dari
pengertian-pengertian diatas, dapat di tarik garis besar, teologi merupakan
disiplin ilmu tentang Tuhan dan semua yang berhubungan denganNya terutama
manusia itu sendiri selaku pengkaji tentang Tuhan dengan berdasarkan kerangka
berfikir filsafat.
Setiap bahasa tertentu mempunyai
makna literature tertentu, baik secara independent suku kata tersebut maupun
secara gabungan suku kata ataupun rangkain kalimat, seperti contoh makna yang
timbul dari kata yang diungkapkan melalui kesalahan pendenganran, kata
“kehadirat Allah swt” didengar lalu diungkapkan menjadi “kehadiran Allah swt,”
maka akan berkonotasi Allah swt sama dengan makhlukNya, berawal dan berakhir,
lahir dan mati. Tentu dasar tersebut akan merubah dan mempengaruhi paradigma pemahaman yang
teraplikasi ke dalam tindakan. Jika demikian, hal ini kontradiksi dengan
penjelasan Kalam Allah bahwa Dia (Allah) tidak beranak dan tidak pula
diperanakan, dan tidak ada sesorangpun yang setara dengan Dia (Allah)
(QS.112:3-4).
Seperti halnya kata Teologi,
akan berimplikasi terhadap makna yang ditimbulkan dari pengabungan atau
rangkaian kata tersebut dengan kata yang lain, seperti kata Teologi yang
tercatat dalam judul makalah ini.
Teologi merupkan istilah dalam
disiplin keilmuan yang diadosi dari berbagai generasi dan transformasi keilmuan
yang sudah banyak dipergunakan sebagai istilah ilmiah dan juga familiar
diidentikan dengan pembahasan keagamaan, tidak terkecuali oleh orang muslim.
Istilah ini pun kerap ditayangkan sebagai ciri khas pembahsan dalam problem
keagamaan –ajaran pemahaman tentang Allah, iman dan ketaqwaan kepanya- yang
diulas mengunakan frem pemahaman ajaran
islam, baik dalam kegiatan merekontruksi pemahaman, mengontekstualisasikan
pemahman maupun mendekonstruksi. Dewasa ini, sangat penting untuk diketahui,
difahami dimengerti pasalnya pemahaman sebuah keilmuan yang membahas tentang
Tuhan haruslah lebih dulu difahami, lantaran teologi sebagai frese awal
sesorang dapat dilegitimasi sebagai muslim. Ibnu as Sa’id Abdurrahman an
Nahrawi menjelaskan bahwa kewajiban bagi
setiap orang mukalaf adalah menetapkan keyakinan bertauhid dalam dirinya yaitu iman,
yangmana iman tersebut bergantung terhadap ketetapan keyakinan bertauhid, maka
ketika seseorang tidak menetapkan dasar keyakinan bertauhid dikarenakan
keraguan yang dialami, dia tetap dikatagorikan sebagai orang kafir.[7]
Iman merupakan suatu dasar
universal dalam penilaian tingkat kualitas kehidupan sesorang terhadap agamanya
dan sosialnya, semakin komplit keimanan yang diaktualisasikan dan diaplikasikan
semasa hidup, semakin mulia kualitas kehidupannya. Sebaliknya, akan menjadi
sebuah kerugian yang menjalar diberbagai sector keadaan seseorang jika iman
tidak dapat berperan sebagai dasar yang mempengaruhi semua keadaan manusia
–dengan apik-, karena iman tidak hanya berbicara tentang tuhan yang bersifat
individual, melaikan semua yang melingkupi baik respon manusia dengan sesamanya
maupun respon manusia dengan alam yang melingkupi dirinya. Pengakuan ke-iman-an
yang terdapat dalam diri seseorang dapat dilegitimasi, ketika iman dapat
diaplikasikan dan diaktualisasikan keyakianan dalam hati, diungkapkan melalui
ucapkan dan diwujudkan dengan adanya tindakan yang mencerminkan keimanan
tersebut, Tashdiqu bi al janani, waiqraru bi lisani, wa’amalu bi al arkan.[8]
Al-qur’an merupakan kalam
ilahiyah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, melalui malaikat jibril
sebagai media tranformasi dari dimensi Tuhan ke dimensi manusia. Mana’ Khalil
al Qathan memberikan keterangan, Al Qur’an al Karim merupakan mu’jizat umat
islam yang abadi, tanpa tendensi penambahan terhadap keilmiahan yang lebih
terdahulu melainkan hal ini merupakan suatu ketetapan yang tidak terbantahkan
dalam sebuah mukjizat.[9]
Semua sepakat bahwa Al-Qur’an tidak hanya mengandung hukum selaku pengatur
kehidupan bagi pemeluknya. Lebih dari itu, Al-Qur’an merupakan karya tuhan yang
telah mengalami trans ke bahasa manusia dengan keindahan linguistiknya dan
mekna yang dikandungnya, seperti halnya penguraian makna peperangana atau
konflik yang terjadi di dalam masyarakat islam generasi pertama, yang memang
hal ini perlu karena melihat kondisi social pada masa itu, serta menampilkan
dimensi ilahiyah pada kehidupan manusia.[10]
Merupakan sebuah ketidak
mungkinan Al-Qur’an sebagai ucapan yang keluar dari Nabi Muhammad saw saat
beliau tertidur, atau syair yang dilantunkan seperti syair-syair dengan bahasa
arab konvensional pada masanya, Karen Armstrong memberikan argument bahwa Al-Qur’an
merupakan sebuah karya sastra fenomenal dan dilingkupi dimensi spiritual klasik
yang terbesar sepanjang sejarah dimana karya tersebut adalah firman Tuhan,
(Karen Armstrong:2002). Senada dengan itu, Prof. K.H. Ali Yafie menegaskan
bahwa kebanyakan kita memandang al-Qur’an sebgai hukum atau keseluruhan
muatannya adalah hukum, akan tetapi sesungguhnya al-Qur’an lebih dari itu, ia
adalah nilai yang tertinggi dan ia adalah sumber segala nilai.[11]
Bagi makhluk-makhluk selain
manusia tidak ada persoalaan nilai, karena hal itu ada kaitannya dengan
pandangan yang bersumber dari akal pikiran dan berpangkal dari moral, tentulah hal
itu menjadi pembenar karena Allah swt pun berfirman dalam Al-Qur’an bahwa nabi
Muhammad merupakan seorang figure yang berakhlak agung, karena beliau
ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak, tentulah pasti menjadi keharusan
Al-Qur’an ikut sebagai tuntunan moral, pasalnya Al-Qur’an ditempatkan sebagai
referensi utama dalam agama islam selain dari Al-Qur’an ditempatkan sebagai
wahyu suci ilahi.
Al-Qur’an bukan sebuah narasi
ataupun argument membutuhkan tatanan berurutan, sussan dalam Al-Qur’an
merupakan bentuk merefleksikan berbagai tema yang dikandungnya; tentang
kehadiran Tuhan di dunia, kehidupan para nabi ataupun Hari Akhir. Bagi orang yang
tidak bias mengapresiasi keindahan bahasa Arab yang luar biasa, Al-Qur’an akan
tampak membosankan dan bertele-tela
karena sering mengulang-ulang tema yang sama.[12]
Secara garis besar Al-Qur’an memperkenalkan kepada manusia tiga nilai dasar,
ilmu, amal dan akhlak. Ilmu merupakan suatu yang sering di sebut sebgai cahaya
untuk menerangi katidak fahaman ataupun ketidaktahuan, begitu juga dalam
Al-Qur’an mengandung sebuah ilmu dari berbagai cabang keilmuan. Sejak pertama
kalinya Al-Qur’an diturunkan ke nabi Muhammad, Al-Qur’an mengenalkan ilmu
pengetahuan yang harus dilalui dengan cara membaca baik menbaca dalam arti
verbal maupun akal –analisis-, “Iqra’…..” karenannya sebuah ilmu perlu
ditekankan lebih dahulu, sebagai awal untuk memulai tindakkan, selain itu ilmu
juga sebagai mitra iman yang merupakan
persyaratan bagi terwujudnya sumber daya
manusia yang berkualitas, dari ilmulah seseorang akan mendapatkan deraja
serta dapat memperoleh nilai tambah dalam harkatnya, “….Yarfa’illahuladzina
amanu minkum alladzina utul ‘ilma darajat….”. Selain ilmu, nilai dasar
selanjutnya, amal. Dalam ajaran Islam, amal menempati posisi sebagai barometer
kualitas dan kuantitas pahala maupun siksa (dosa.red) yang akan didapat. Amal
merupakan segala yang dikerjakan dan diperbuat oleh manusia, baik bersifat
gerak badan maupun hati dan pkiran, dalam pandangan sufistik. Karena manusia
memiliki peranan yang berpengaruh bagi kelangsungan kehidupan, tentulah sebuah
amal harus dikonsepkan dan ditetapkan sebagai aturan main. Dalam hal ini
Al-Qur’an pun sudah meberikan ranbu-rambu,
(Yaitu) Orang yang dicabut
nyawanya oleh para nalaikat dalam keadaan berbuat zalim kepada diri sendiri,
lalu mereka menyerahkan diri sambil berkata, ‘Kami tidak pernah mengerjakan
sesuatu kejahatan pun,”(Malaikat menjawab) “Pernah ! Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang telah kamu perbuat.
Bila ditelisik dari arti ayat
tersebut, temuat hukum sebab-akibat atau kausalitas, ketika seseorang berbuat
salah maka Allah akan memberikan konsekuwensinya. Karena amal merupakan sebuah
barometer kualitas dan kuantitas konskuwensi yang akan didapat, maka tentu
perlulah manusia harus mengefisiensikan kedudukannya di dunia ini, hal ini akan
kembali lagi terhadap diri manusia tersebut lantaran kehormatan dan nilai
manusia tergantung dan ditentukan oleh tindakannya, …”Fani’ma ajru al
amylin”.
Nilai dasar selnjutnya adalah
akhlak atau moral. Seperti yang telah diungkapkan di atas, moral merupakan
pesan dalam Al-Qur’an yang harus diungkapkan, lantaran Al-Qur’an merupakan
kitab suci sebagai kalam ilahi yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw,
sedangakn Nabi Muhammad saw merupakan uturan yang tiada lain sebagai Agent
penyempurna moral atau akhlak. Tentu merupakan sebuah keharusan bagi setiap
muslim yang telah mampu mempadukan tiga nilai dasar tersebut serta
mengaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari, sehingga ia pun menjadi sosok
yang berkepriadian apik dan selaras dengan ajaran agama yang dianutnya.
Teologi dan Al-Qur’an merupakan
suatu koheren yang tidak dapat dipisahkan, lantaran ajaran agama islam semua
termuat dalam Al-Qur’an tanpa pengecualian, terlebih pembhasan tentang teologi
keagamaan. Sedangkan Teologi atau sering disebut tauhid merupakan pondasi
penguat sebelum seorang muslim lebih jauh mengetahui ajaran yang dianutnya dan
juga sebelum mereka ketetapan sebuah aturan untuk menjalankan semua ritus agama
baik yang berhubungan dengan tuhanya, dirinya dengan manusia laian ataupun
dirinya dengan alam yang ia tempati.
Dalam hal ini, tentulah sebuah
pemahan teologi yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat menjadi motor perubahan
ataupun pengaruh tindakan seoarang muslim dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam
pengeruh tindakakan tentulah bersumber dari kemapuan seorang memahami isi
kandungan al-Qur’an bagi seorang muslim, tetapi akan menjadi problem keagamaan
ketika ia tidak mampu memahaminya, atau bahkan salam memahami, maka hal ini
akan menjadikan salah persepsi sebuah ajaran agama, sehingga dapat dimungkinkan
tindakan tersebut akan menyalahi tidak sejalan dengan aturan yang ada, baik
dari sudut pandang agama, social amaupun budaya, sehingga menjadikan timbulnya
persepsi miring terhadap pelaku dari pemngamat laiannya. Dengan adanya hal itu
akan mengakibatkan perseptif buruk terhadap ajaran agama islam secara
menyeruluh, seperti Islamobia dari mereka yang memeng tidak tahu kebenaran
sejati dari nilai konsep yang diajarankan dalam agama islam; atau bahkan dari
mereka yang mengang tidak suka terhadap agama samawi yang terakhir ini.
II. Pengaruh pemahaman produk hukum
dari pemahaman teologi yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Pemahaman, dapat diperoleh dari
berbagai cara, melalui penafsiran, analisis, observasi dan laian sebagainya.
Begitu juga terhadap Al-Qur’an, untuk memahami Al-Qur’an kemungkinan besar
penafsiran mengandung sebuah analisis kritis maupun observasi guna menemukan
makna yang terdapat dalam Al-Qur’an baik makna tersirat maupun tersurat.
Seperti yang kita ketahui, Al-Qur’an nerupakan sumber uatama ajaran Islam yang
asli dan abadi. Dimana Al-Qur’an mengandunghal hal-hal yang berhubungan dengan
ilmu penegetahuan, kisah-kisah, filsafat, undang-undang yang mengatur tingkah
laku, dan tatacara kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individual maupun
sebagai makhluk social, sehingga dapat hidup di dunia secara ideal, bahagia
sampai pada kehidupan akhiratnya. Dalam menyampaikan hal-hal di atas, Al-Qur’an
ada kalanya menjelaskan secara terperinci; seperti ayat-ayat yang berhubungan
dengan hukum waris, ada kalanya dikemukakan secara garis besar; seperti
ayat-ayat tentang ekonomi dan masih banyak laiannya. Dari pemukaaan secara
garis besar inilah kemudian dibutuhkan peroncian penjelasan dan pemehaman
tersendiri.[13]
Selain Al-Qur’an, hadis juga ditetapkan sebgai
sumber setelah Al-Qur’an, yangmana hadis merupakan fakta konseptual,
manifestasi pertama dari fenomena metodologi keagamaan dan merupakan kodifikasi
yang mencerminkan perkataan dan perbuatan,[14] yangmana
hadis disini ditempatkan sebagai penjelas pertama terhadap Al-Qur’an, sebelum
datangnya penjelasan dari diri manusia sendiri dengan kepereluan, keadaan, masa
dan tempat tertentu.
Manusia adalah salah satu makhluk hidup yang diciptakan
Allah dengan bentuk yang sempurna.[15]
Ia tidak hanya bersifat jasmaniyah yang tersusun dari tulang-belulang, daging,
darah dan urat-saraf, [16]
melainkan juga ruhani yang dilengkapi dengan akal.[17]
Dengan keistimewaan ini, Allah swt memberi manusia hikmah dan kekuatan untuk
memanfaatkan dan mengolah serta mengatur sumber-sumber alam, tidak terkecuali
kondisi masyarakat yang berkaitan dengan manusia itu sendiri, hal ini merupakan
sesutau yang Allah swt jadikan berada dan takluk dibawah kekuasaan manusia.
Sedangkan kedudukan manusia telah ditentukan olah Allah swt sebagai pemimpin-Khalifah
fil Ardl-, tentulah menjadi tangung jawab yang telah diamatkan dari Allah
swt, sehingga hendaknya amanat tersebut harus dimanfaatkan, dilaksanakan secara
arif sesuai dengan kaidah keagamaan yang
tidak lain sebagai nilai dasar untuk menuju keteraturan dan keseimbangan dari
segala sector yang melingkupi diri manusia, maka sebab itu hendaklah manusia
melakukan kearifan, kebaikan di dunia ini, karena pada dasarnya prilaku arif,
bijaksana, baik dan bagus seseorang muslim merupak wujud implementasi suatu
pemahaman teologis yang sempurna.[18] Secara
umum, peraturan mempunyai konsekuensi. Al-Qur’an yang ditempat sebagai sumber
primer suatu hukum islam, telah memberikan rambu-rambu peringatan atas tindakan
yang diperbuat.[19]
Islam merupakan agama dakwah yang menjunjung
tinggi kebebasan beragama tanpa adanya paksaan ataupun peperangan[20],
seperti asas dasar ajaran islam berguna sebagai rahmat seluruh alam.[21]
Kepantasan bagi semua pemeluk agama islam untuk dapat bertangung jawab
mengamplikasikan isi kandungan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik
sector, muamalah ataupun ubudiyah yang bersifat pribadi. Pemahaman teologis
tentu dapat menjadikan suatu pengaruh yang signifikan bagi prodak hukum dalam
pengaplikasiannya. Seperti halnya prodak hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an,
yang pada akhirnya dikenal dengan disiplin ilmu Fiqh. Dalam perkembangannya,
Fiqh telah memelui peremajaan baik dari segi cara penerapannaya maupun cara istimbathnya.
Seperti yang telah kita ketahui terminology
fiqh –sebagai ilmu yang utuh dan berdiri sendiri- sanglah terkenal dan dominan
dalam dunia islam. Fiqh merupakan produk ijtihad yang berkesimambungan sejak
jaman Nabi saw masih hidup, terungkap dalam history shahabat Mu’az bin jabbal
yang secara nyata ia berijtihan,[22]
meskipun kenyataannya Nabi saw masih hidup; sampai masa sekarang. Pada mulanya
wujud fiqh hanya berupa catatan-catatn yang memuat yurisprudensi dan
interpretasi para shabat terhadap materi-materi hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan As sunnah/Hadis. Seiring berjalanan waktu, masa dimana tegistrasi
dan kodifikasi hukum-hukum islam mulai terbentuklah pola-pola pikir dan metode
penalarana hukum islam sebagai cara mengolah sumber-sumber hukum menjadi
dictum-diktum hukum yang dibutuhkan oleh umat islam dalam penyelengaraan ibadah
maupun muamalah. Seiring perjalanan waktu, berbagai metode istimbathpun
kian beragam, seperti yang telah diulans diatas, ijtihad ada lantaran adanya
Mujtahid. Mujtahid yang pada akhirnya lazim di kenal dengan madzhab, pada awal
perkembangan Prof, Ali Yafie mengabarkan bahwa terdapat 500 madzhab, kemudian
dalam proses selanjutnya hanya menjadi puluhan saja, dan setelah mengalami
seleksi alamiah dalam kurun dua adab lamnya, hanya tersisa empat madzhab yang
tersebar dan dikenal di seluruh dunia, dengan penegcualian madzhab Syi’ah
(Prof. Ali Yafie, 1997:130). Dalam situasi inilah, mulai gencar penyusunan
kitab-kitab yang berisikan seputar ilmu agama, baik secara umum maupun khusu,
dengan penyusunan secara sisitematis dari berbagai bab dan judul pembahasan (Fashl.red).
Dalam koridor hukum fiqh terdapat ketentuan
yang mengikat bagi pihak-pihak yang berssangkutan, lantaran hal tersebut
menjadi sebuah keputusan/vonis dari seorang Qadhi (Hakim.red). atau
bahkan menjadi putusan umum dari pemegang otoritas, hal ini juag menjadikan
muatan hukum tersebut mengikat bagi masyarakat umum.
Dlihat dari ragam ijtihad, dapat dilihat
adanya pola yang sangat jelas dari pola perfikir yang berbeda dan juga cara
memahami serta langkah-langah beristimbath dari sumber ajaran islam. Seperti
yang terjadi pada cara beristimbath dari kalangan dua ormas besar di
Indonesia –NU dan Muhammaddiyah- yang memiliki perbedaan yang mencolok dalam
berijtihat, baik cara pamehaman, tahapan istimbath, maupun metodenya. Seperti
method Tarjih di Muhammadiyah dan Bathsul masail, berbeda pula dalam
tahapan-tahapannya, bagi Muhamaddiyin Tarjih merupakan suatu usaha untuk membanding-bandingan pendapat dalam musyawarah dan kemudian
mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat,[23]
berbeda dengan Nahdliyyin, mereka
mengunakan metode bathsul masail untuk memecahkan berbagai permasalahan
keagamaan bagi masyarakat, dengan melalui berbagai tahapan.
Meeurut hemat penulis, dari perbedaan kedua
ormas ini, sebagai pemicu tindakan yang di lakukan oleh pengikut dari ormas
keagamaan asas dasar hasil dari produk fatwa mereka. Seperti halnya tahlilan.
Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti
menyebut kalimah ―syahadah‖ yaitu ―La ilaha illa Allah‖ ( .) ا اللهDalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah
istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam
rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Kegiatan tahlil sering
juga disebut dengan istilah tahlilan. Tahlilan, sudah menjadi amaliah
warga NU sejak dulu hingga sekarang. Sementara kalangan Muhammadiyah tidak
membenarkan diselenggarakannya tahlilan. Bacaan-bacaan doa serta urutan dalam
acara tahlil juga sudah tersusun sedemikian rupa, dan dihafal oleh warga NU.
Begitu pula tentang bagaimana tradisi pelaksanaannya, di mana keluarga sedang
tertimpa musibah kematian (shohibul mushibah) memberikan sedekah makanan bagi
tamu yang diundang untuk turut serta mendoakan.
NU menganggap bahwa acara tahlilan
tidak bertentangan dengan syariat Islam, melainkan justru sesuai dengan apa
yang telah disunnahkan oleh Rasulullah saw. Sementara Muhammadiyah menganggap
bahwa acara tahlilan merupakan sesuatu hal yang baru, tidak pernah dikerjakan
dan diperintahkan rasulullah (bid‘ah). NU membenarkan bahwa bacaan doa, kiriman
pahala dari membaca ayatayat al-Qur‘an, dan shodaqah, bisa dikirimkan kepada
orang yang sudah meninggal, sementara Muhammadiyah berpendapat bahwa membaca
al-Qur‘an, dan bacaan lain, serta bersodaqah yang dikirimkan kepada orang yang
sudah meninggal pahala tersebut tidak akan sampai. Perbedaan pendapat seputar tahlil
ini terjadi, dikarenakan terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap ayat
al-Qur‘an dan hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut. Selain juga karena
dalil yang digunakan serta metode pengistimbathan hukumnya yang berbeda. Untuk
lebih jelasnya, baiknya langsung kita pahami bersama dasar-dasar penolakan dan
penerimaan tahlil dari NU dan Muhammadiyah.
1. Muhammadiyah.
Sebagaimana sudah dikenal, bahwa
ajaran agama Muhammadiyah cenderung ingin memurnikan syariat Islam (tajdid).
Islam yang menyebar luas di Indonesia, khususnya di jawa, tidak dipungkiri
merupakan perjuangan dari para pendakwah Islam pertama, di antaranya adalah
Wali Sanga. Dalam menyebarkan agama Islam, Walisanga menggunakan pendekatan
kultural, yang mana tidak membuang keseluruhan tradisi dan budaya Hindu dan
Budha, dua ajaran yang menjadi mayoritas pada masa itu, melainkan memasukkan
ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan kepercayaan Hindu Budha. Salah satu
tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang yang meninggal adalah kembalinya
ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada hari pertama, ketiga, ketujuh,
empat puluh, seratus, dan seterusnya. Dari tradisi itulah kemudian muncul
tradisi yang kemudian dikenal dengan tahlil. Sebagaimana sudah pernah dibahas
dalam Majalah Suara Muhammadiyah dan dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II
yang diterbitkan Muhammadiyah, tahlilan tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam.
Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk
orang yang meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan
tidak ada sumbernya dari ajaran Islam. Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan
tahlil pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa
diketahui dari terdapatnya gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk
melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada
Allah. Dari tradisi tarekat inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau
tahlilan di kalangan umat Islam Indonesia. Dalam tanya jawab masalah Agama di
Suara Muhammadiyah disebutkan macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan
Keraton terdapat tahlil rutin, yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam
Jum'at dan Selasa Legi; tahlil hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika
keraton mempunyai hajat-hajat tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja,
labuhan, hajat perkawinan, kelahiran dan lainnya.
Di masyarakat umum juga berkembang
bentuk-bentuk tahlil dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal
dunia. Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para
pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian
ajaran Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai
bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah bukan
terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal
pokok yang menyertai tahlil, yaitu; 1. Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an
kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal, 2. Bacaan tahlil
yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu. Berikut
akan kami berikan argumentasi penolakan Muhammadiyah terhadap tahlil:
Argumentasi Pertama: Bahwa
mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal dunia tidak ada
tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis Rasul. Muhammadiyah
berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak ada tuntunannya, maka yang
harus dipegangi adalah sabda Rasulullah saw, yang artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan suatu
perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku
untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim dan Ahmad]
untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Dalam situs pdmbontang.com memuat
sebuah artikel yang berjudul ―Meninggalkan Tahlilan, siapa takut?, sebuah
artikel yang bersumber dari MTAonline. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa
Nabi Muhammad saw ketika masih hidup pernah mendapat musibah kematian atas
orang yang dicintainya, yaitu Khodijah. Tetapi Nabi saw tidak pernah
memperingati kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan ritual
tahlilan. Semasa Nabi hidup juga pernah ada banyak sahabatnya dan juga pamannya
yang meninggal, di antaranya Hamzah, si singa padang pasir yang meninggal dalam
perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati kematian pamannya dan para
sahabatnya. Demikian pula setelah Rasulullah saw wafat, tahlilan atau
peringatan hari kematian belum ada pada masa khulafaur Rasyidin. Pada masa Abu
Bakar tidak pernah memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu
Bakar wafat Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga tidak pernah memperingati
kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Singkatnya semua Khulafaur
Rasyidin tidak pernah memperingati kematian Rasulullah saw. Dalil aqli atas
sejarah tersebut adalah, kalau Rasulullah saw tidak pernah memperingati
kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian,
berarti peringatan kematian adalah bukan termasuk ajaran Islam, sebab yang
menjadi panutan umat Islam adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan?
Selain itu, berkaitan dalam masalah tahlil, Muhammadiyah menolaknya dengan
dasar dari hadist Rasulullah saw, yang artinya Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Apabila manusia telah mati, maka
putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]
jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]
Berkaitan dengan hadis tersebut,
yang juga digunakan oleh Ulama atau kalangan yang membolehkan tahlilan,
Muhammadiyah memandang bahwa hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan
mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang
sudah meninggal yang beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi
mengirim pahala doa dan bacaan, menurut kepercayaan Muhammadiyah, tidak ada
tuntunannya sama sekali.
Argumentasi kedua: selain dasar sebagaimana sudah
disebutkan, Muhammadiyah juga mendasarkan argumentasinya pada al-Qur‘an surat
an-Najm ayat 39, ath-Thur 21, al-Baqarah 286, al-An‘am 164, yang mana dalam
ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang
telah dikerjakannya sendiri. Berikut adalah petikan ayat-ayatnya:
Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
Dan orang-oranng yang beriman, dan
yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu
mereka dengan mereka[1426], dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala
amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS.
ath-Thur (52): 21]
Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka
berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau
kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang
berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S.
al-Baqarah: 286)
Katakanlah: "Apakah Aku akan
mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya
sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian
kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan." [QS. al-An‘am (6): 164]
Dalam menjelaskan ayat-ayat
tersebut, kalangan yang menolak tahlilan mengutip pendapat madzhab Syafii yang
dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya, di sana dikatakan bahwa bacaan
qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai, sebagaimana
disebutkan dalam dalam al-Qur‘an surat an-Najm ayat 39 di atas. Selain itu,
juga dikuatkan dengan pendapat Imam Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al
Fiqhiyah yang mengatakan:
Mayit tidak boleh dibacakan
apapun, berdasarkan
keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya
dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um
Imam Syafi'i menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana
diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri,
seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang
lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain. (Al Umm juz 7, hal
269).
Dasar selanjutnya adalah,
perbuatan Nabi yang tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga
mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan
menimbulkan kesedihan baru (Al Umm, juz I, hal 248). Juga perkataan Imam Nawawi
yang mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan
berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali (Al Majmu'
Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286). Sebagaimana sudah menjadi keputusan Tarjih
Muhammadiyah dalam masalah ini, bahwa ketika ada yang meninggal yang seharusnya
membuat makanan adalah tetangga atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit.
Dasarnya adalah hadis dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata, yang artinya:
Setelah datang berita kematian Ja'far, Rasulullah bersabda:
Buatlah makananuntuk keluarga
Ja'far, karena telah datang kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka”. (H.R Tirmidzi
dengan sanad hasan).
Demikianlah pendapat Muhammadiyah
dalam masalah tahlil. Penolakannya terhadap tradisi tahlilan talah terang
memiliki dasar. Lalu, bagaimana pendapat NU? Dalil-dalil apa yang digunakan
oleh Ulama NU sehingga sampai sekarang masih mempertahankan tahlilan? Mari kita
kaji bersama-sama.
2. Nahdhatul
Ulama.
Di atas, kita telah tahu
pengertian tahlil secara bahasa maupun istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa
berarti pengucapan kalimat la ilaha illallah. Sedang tahlil secara
istilah, sebagaimana ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh NU, ialah
mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada
Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi,
sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil
diitilahkan sebagai rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka
mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya tahlil bisa dilakukan
sendiri-sendiri, namun kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara berjamaah.
Dalam buku Antologi NU diterangkan, sebelum doa dilakukan, dibacakan terlebih
dahulu kalimah-kalimah syahadad, hamdalah, takbir, shalawat, tasbih, beberapa
ayat suci al-Qur‘an dan tidak ketinggalan hailallah (membaca laa ilaaha illahllaah)
secara bersama-sama.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan
sejak malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi
apda hari ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap
tahun dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya.
Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman
kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk
makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat,
bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan,
seperti mie, beras, gula, the, telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan
sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal
dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya.
Dalam menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil Nafis, tokoh pembesar NU,
menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan dasar-dasar dibolehkannya
tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang untuk tahlilan pada mulanya
ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di tanah Jawa). Seperti
yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam
di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas
dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Songo
tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di
masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti
dengan nilai Islam. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak
famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit
tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta
merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul
namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti
pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo. Warga NU sampai sekarang
tetap mempertahankan tahlil, salah satu tradisi yang dimunculkan pertama kali
oleh Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU dari Jawa Tengah, berpendapat bahwa
acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah
satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial
sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah. Kalau kita tinjau apa yang
disampaikan KH Sahal Mahfud, terdapat dua hikmah dilakukannya tahlil, yaitu, pertama,
hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan ibadah sosial; dan kedua,
hablumminallah, dengan meningkatkan dzikir kepada Allah. Mari kita lihat
perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Pertama, bahwa dalam tahlil
terdapat aspek ibadah sosial, khususnya tahlil yang dilakukan secara berjamaah.
Dalam tahlil, sesama muslil akan berkumpul sehingga tercipta hubungan
silaturrahmi di antara mereka. Selain itu, dibagikannya berkat, sedekah
berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian dari ibadah sosial.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, yang artinya:
Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya
mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam
itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan
makanan.‖ (HR Ahmad).
Menurut NU, sebagaimana
disampaiakan H.M.Cholil Nafis, memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada
orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi
jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat
dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya
dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain
yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud
dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain. Dalam hadits shahih yang lain disebutkan, yang artinya:
dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain. Dalam hadits shahih yang lain disebutkan, yang artinya:
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada
seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan bersedekah untuknya?"
Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun,
maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut
atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi).
Pembolehan sedekah untuk mayit
juga dikuatkan dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang dengan tegas
mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah
memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca
Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan
sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. Namun
demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu berupa berkat adalah
hukumnya boleh, maka kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan
utama. Tradisi NU dalam memberi jamuan makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang
wajib. Orang yang tidak mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri
untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana
ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain,
demikian dikatakan KH. Cholil Nafis. Semua jamuan dan doa dalam tahlilan
pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk
mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit. Dalam buku Risalah Amaliyah
Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah hadis di mana Rasulullah pahala sedekah
untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang
laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan
aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya
pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (HR.
Muttafaqu ‘alaih).
Perintah Rasulullah yang senada
itu juga dapat ditemukan dalam haditshadits yang lain. Bahkan beliau menyebut
amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akan pernah putus meskipun oranng yang
bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir
ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah
ditiggalkan oleh rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa
rasulullah SAW.bersabda: 'Tatkala manusia meninggal maka putuslah
semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Dalil lain adalah hadits yang
dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar,
dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah, sebagaimana
dikutip KH. Chilil Nafis, yang artinya sebagai berikut: ―Sungguh para ahli fiqh
telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang
yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami
melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut
pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda:
Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu
benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar
bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang
dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut
dikirimkan kepadanya!
Jadi, menurut NU, doa dan sedekah
yang pahalanya diberikan kepada mayit akan diterima oleh Allah. Argumentasi
selanjutnya adalah, bahwa tahlil merupakan sarana hablumminallah, sebab doa-doa
atau bacaan-bacaan dalam tahlil merupakan bacaan-bacaan dzikrullah yang mana
apa yang dibaca tersebut sesuati dengan sunnah Nabi Muhamamd saw. Bahwa ummat
Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa untuk orang yang masih hidup, tetapi
juga untuk orang yang sudah meninggal. Allah swt berfirman
Orang-orang yang datang sesudah
mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah berimanlebih dulu daripada kami.” (QS.
Al-Hasyr: 10).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
Maka Ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.
dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (QS.
Muhammad: 19).
KH M. Irfan Ms pernah mengatakan
bahwa tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan
tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah
meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu tahlil dengan serentetan bacaannya
mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah dan
seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang bertalian
dengan i‘tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku manusia jika
ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.
Dari susunan bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu syarat dan rukun.
Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil adalah:Surat al-Ikhlas. Surat
al-Falaq. Surat an-Nas. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 4. Surat al-Baqarah
ayat 163. Surat al-Baqarah ayat 255. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai
ayat 286. Surat al-Ahzab ayat 33. Surat al-Ahzab ayat 56.
Dan sela-sela bacaan antara
Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun
tahlil ialah bacaan: Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan : Surat al-Hud ayat
73. Shalawat Nabi. Istighfar. Kalimat Thayyibah. Tasbih Ayat-ayat serta
bacaan-bacaan dzikir di atas memiliki keutamaannya masingmasing sebagaimana
disebutkan dalam hadis-hadis Nabi saw. Seperti, misalnya sebuah hadis yang
mengatakan bahwa ―orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan
dikeluarkan dari neraka." Dalam rangkaian tahlil biasanya juga membaca
surat Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang
diperintahkan Nabi SAW dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan
memerintahkan supaya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur‘an untuk orang yang
telah meninggal dunia. Dari Mu‘aqqol ibn Yassar r.a:
Barang siapa membaca surat Yasin
karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka
bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi,
dalam Jami‘us Shogir: bab Syu‘abul Iman).
Masih banyak hadis-hadis berkaitan
dengan keutamaan surat-surat al-Qur‘an serta bacaan-bacaan dzikir dalam
serangkaian bacaan tahlil yang akan terlalu panjang jika semuanya ditulis di
sini. Kemudian, tentang dzikir yang dilakukan secara berjamaah, termasuk dalam
acara tahlilan, juga masuk perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah.
Permasalah ini akan kita bahas pada bab tersendiri. Yang perlu dibahas lebih
dalam disini, yang juga menjadi kontroversi Ulama, adalah membaca surat
al-Fatiah untuk dihadiahkan kepada mayit. Dalam pembacaan tahlil, setelah
jamaah bersama-sama melantunkan shahadat, sebelum dilanjutkan dengan
bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain, biasanya pemimpin tahlil akan menghadiahi
fatihah yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad saw berserta keluarga, para
sahabat, kepada orang-orang sholih, dan kepada orang yang meninggal.
NU berpendapat bahwa membaca surat
al-Fatihah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah
boleh. KH A Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar
madzhab Hanbali yang mengatakan: "Disunnahkan menghadiahkan bacaan
AlQur'an kepada Nabi SAW.‖ Ibnu 'Abidin telah bertaka sebagaimana tersebut
dalam Raddul Muhtar 'AladDurral Mukhtar: "Ketika para ulama kita
mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang
lain, maka termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasulullah SAW. Karena beliau
lebih berhak mendapatkan dari pada yang lain. Beliaulah yang telah
menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah tersebut termasuk salah satu
bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas budi baiknya. Bukankah seorang
yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat
dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini
adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua amal umatnya otomatis
masuk dalam tambahan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah
masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta‟ala memberitakan dalam Al-Qur'an
bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk
bershalawat kepada Nabi dengan mengatakan:
Ya Allah berikanlah rahmat
kemuliaan buat Muhammd. Wallahu A‟lam.” (lihat dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral
Mukhtar, jilid II, hlm. 244)
Bolehnya menghadiakan al-Fatikhah
juga diperkuat dengan pendapat Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa
al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul
Muhkam al-Matin, yang mengatakan: "Menurut saya boleh saja seseorang
menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun
beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya,
karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak
melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang. Jika hadiah bacaan
Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU,
menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali dan orangorang saleh yang jelas-jelas
membutuhkan tambahnya ketinggian derajat dan kemuliaan juga dihukumi boleh.
Selain hadiah al-Fatihal, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan tidak terdapat
di Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali tepat untuk
sekalian kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang ditradisikan oleh NU
dipastikan ada pembacaan tahlil. Haul adalah peringatan kematian yang dialukan
setahun sekali, biasanya diadakan untuk memperingati kematian para keluarga
yang telah meninggal dunia atau para tokoh. Tradisi haul diadakan berdasarkan
hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan:
Rasulullah berziarah ke makam
Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang
Uhud dan makam keluarga Baqi‟. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amalamal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim).
Uhud dan makam keluarga Baqi‟. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amalamal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan
oleh Al-Wakidi disebutkan bahwa:
Rasulullah SAW mengunjungi makam
para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi‟ib (tempat makam mereka),
Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu‟alaikum bimâ shabartum fani‟ma uqbâ ad-dâr.
(Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah
kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar,
Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah).
Para ulama menyatakan, peringatan
haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa
al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip A. Khoirul Anam dalam artikelnya,
menjelaskan, para Sahabat dan Ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang
tidak ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul
yang diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk
bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh
segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk
menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan. Demikianlah pendapat NU mengenai
tahlil, yang intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat. Karena dengan
seseorang mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah, dalam acara haul
atau tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah,
juga membaca ayat suci alQur‘an serta bacaan dzikir yang lain, yang semua itu
tidak lain sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk
mayit.
BAB III
PENUTUP
A.
Ringkasan.
Pemahaman merupakan hal pokok
dalam sebuah keilmuan, tidak terkecuali terhadap persoalaan keagamaan, teologi
yang merupakan pondasi utama untuk membangunkepercayaan pengakuan dari suatu
golongan, akan menjadi sebuah tindakan tatkala pengikut teologi tersebut tahu
dan sadar akan keimannya.
Problem keagamaan misalnya, akan
dapat teraplikasikan jika teologi yang menopang pemahman keagamaan tersebut
dapat murni terpahami dan terimplementasikan. Tidak hanya sebuah ritus kegamaan
saja yang dapat terpengaruhi oleh pemahaman teologi seseorang, melainkan
tradisi yang ada pun akan ikut terpengaruhi, seperti yang telah penulis
utarakan di atas, akan sebuah tradisi yang dilakukan oleh Nahdliyin.
Untuk kita tentulah harus dapat mengankap
makna diharapkan, minimal tidak menyalahi pada kebiasaan. Agar nantinya
diharapkan kita dapat, menjadi seorang yang benar-benar mengaplikasikan ajaran
agama di sendi-sendi kehidupan.
B.
Referensi
Asy Syeh
Muhammad Nawawi ibnu Umar Al Jawi Asy Syafi’I, Fathu al Majid, Semarang:
Karya Thaha Putra,…...
E-book: M.
Yusuf Amin Nugroho, FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH,……………….
Fazlur Rahman, Islam,
Chicago: University Of Chicago Press, 1979.
Karen
Armstrong, SEJARAH TUHAN, Bandung: MIZAN, 2002.
Mana’ Khalil al
Qathan, Mana’u al Qathan Mabahis fi Ulum Al Qur’an, Kairo: Maktabatu
Wahbah, 2007.
Prof. K.H. Ali
Yafie, TEOLOGI SOSIAL: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan,
Yogyakarta: Tiara Annisa, 1997.
Shadruddin
Muhammad ibn ‘Alauddin ‘Ali ibn Muhammad ibn Abi al Az al hanafi, Syarahu al
Akidatu al Thahawiyah, Saudi: Darul islam, 2005.
Siti Musfiqoh, Relasi
keyakianan Teologis, Etos Kerja dan Sumberdaya Manusia, Jurnal Pemikiran
Islam Al-Tahrir, vol.7 No. 1 Januari 2007, Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2007.
[7] Asy Syeh Muhammad Nawawi ibnu Umar Al Jawi Asy Syafi’I, Fathu al Majid,
(Semarang: Karya Thaha Putra,…..), h. 3.
[8] Shadruddin Muhammad ibn ‘Alauddin ‘Ali ibn Muhammad ibn Abi al Az al
hanafi, Syarahu al Akidatu al Thahawiyah, (Saudi: Darul islam, 2005), 57.
[9] Mana’ Khalil al Qathan, Mana’u al Qathan Mabahis fi Ulum Al Qur’an, (Kairo:
Maktabatu Wahbah, 2007), h.5.
[10] Karen Armstrong, SEJARAH TUHAN, (Bandung: MIZAN, 2002), h. 196.
[11] Prof. K.H. Ali Yafie, TEOLOGI SOSIAL: Telaah Kritis Persoalan Agama dan
Kemanusiaan, (Yogyakarta: Tiara Annisa, 1997), h.69.
[12] Karen Armstrong. Loc. Cit.
[13] Siti Musfiqoh, Relasi keyakianan Teologis, Etos Kerja dan Sumberdaya
Manusia, Jurnal Pemikiran Islam Al-Tahrir, vol.7 No. 1 Januari 2007, (Ponorogo:
STAIN Ponorogo, 2007), h.32.
[14] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University Of Chicago Press, 1979).
43.
[15] QS, 95:4.
[16] Ibid. 23:14.
[17] Ibid. 66:12.
[18] Ibid. 82:1.
[19] Ibid. 81:1.
[20] Ibid. 125:16
[21] Ibid. 107:21.
[22] انَّ رسُوْل الله صَلَّ الله
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعَثَ مُعَا ذًا أِلى الْيَمَنِ فَقَا لَ كَيْفَ
تَقْضِيْ فَقَا لَ أَقْضِيْ بِمَا فِي كِتَا بِ الله قَا لَ فَإِ نْ لَمْ يَكُنْ
فِيْ كِتَا بِ الله قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ الله صَّلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ الله صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ أَجْتَهِدُ رَأْ يِيْ قَالَ الْحَمْدُ الِلهِ
الَّذِيْ وَ فَّقَ اللهُ الَّذِ يْ وَ فَّقَ رَسُوْ لَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Rasulullah Saw mengutus Mu’az ke Yaman sebagai Qadhi.Rasul betrnya kepadanya, bagaimana kamu
menmnutuskan apabila di hadapkan kepadamu suatu maslah hukum? Mu’az menjwab,
aku memutuskannya dengan kitabullah, Rasul bertanya lagi, bagaimana caranya
apabila kamu tidak menemukan jawabannya dalam kitabullah? Mu’az menjawab aku
putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. Bagaimana apabila dalam sunnah
Rasulullah SAW juga tidak ada jawabannya? Mu’az menjawab, aku akan melakukan
ijtihad untuk menetapkan hukumnya. Mendengar jawaban itu Rasulullah SAW
berkata: Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah SAW.
(HR. Tirmidzi).
[23] E-book: M. Yusuf Amin Nugroho, FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH,
(………………), h. 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar