Minggu, 19 Maret 2017

1. Kesakralan dan kemanusiawian problem membaca as-Syafi’i menurut Nasir Hamid Abu Zayd.



BAB I
PENDAHULUAN
 Kesakralan dan kemanusiawian problem membaca as-Syafi’i menurut Nasir Hamid Abu Zayd.
 
A.    Latar belakang.
            Fenomena tunduk serta takluk seseorang maupun kelompok terhadap pengerak dalam arti pemikir, pada umumnya merupakan kewajaran bagi manusia. Pasalnya hal tersebut sudah menjadi sifat manusiawi, yang dapat menjadikan manusia tersebut bercondong kepada suatu perkara/keadaan yang teranggap benar olehnya, baik diukur berdasarkan rasio maupun rasa yang ditemuinya terhadap perkara/keadaan yang terjadi. Bahkan dapat menjadi lebih dari sekedar “condong” dalam ukuran penilaian, hal itu pada dasarnya sebab adanya  rasa yang sangat nyaman bila berada dalam suatu perkara/keadaan tersebut. Tetapi akan menjadi tidak umum -tidak wajar- ketika sikap tunduk dan ataupun patuh bermertamorfisis menjadi pengkultusan dan pengsakralan terhadap suatu perkara/keadaan, karena tanpa disadari sikap tersebut timbul sebab overaktif diri manusia. Dan dengannya akan menjadian sosok manusia yang haus bersikap diskriminatif, mendiskredit dan lain-lain, baik sadar ataupun tidak, baik langsung ataupun bersekala.
            Keadaan ini, nampaknya terjadi tidak hanya di ranah sosial-politik-ekonomi dalam pengertian umum, bahkan dalam ranah agama pun tidak luput dari eksploitasi fenomena tersebut sebagai objek sasaran. Seperti halnya keadaan yang terjadi dalam permasalahan kubu kesefahaman, yang kali ini disandarkan pada agama islam dalam sikap bermadzhab. Dimana kebanyakan dari orang muslim-muslimlah, tanpa mereka sadari kebedaraan mereka ada dalam lingkup legitimasi-subjektif alim –yang dianggap-  agama, terutama di zaman moderen ini, pasalnya saat terjadinya perkembangan sarana komunikasi dan transformasi berlangsung dari masa dulu sampai sekarang, tanpa disadari keadaan tersebut membentuk suatu pemikiran-pemikiran baru yang mana dipengaruhi oleh keadaan pada masa pemikiran-pemikiran tersebut terbentuk, dengan adanya hal yang baru itu tentulah dapat memepangaruhi daya pikir dan daya analisa bagi manusia-manusia yang nyaman dalam zona taqlid baik secara langsung ataupun tidak; baik dalam masalah hukum maupun ideologi-teologi. Dari sinilah gagasan-gagasan baru dibentuk kembali untuk mengungkap permasalahan yang tampak di permukaan sejarah perkembangan pemikiran islam, hal itu bertujuan untuk menampilkan pembaharuan cara baca, cara berpikir secara kritis dari penganalisaan.
            Kali ini penulis akan mencoba mengulas pemahaman, pembahasan, kritik-kritis, gagasan dan analisa Nasir hamid abu zayd dalam bukunya yang berjudul “Imam Syafi’i: Moderalisme, Eklektisisme, Arabisme” terhadap sepak terjang imam Syafi’i.
B.     Rumusan masalah
1.      Kesakralan dan kemanusiawian problem membaca as-Syafi’i menurut Nasir Hamid Abu Zayd.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kesakralan dan kemanusiawian problem membaca as-Syafi’i menurut Nasir Hamid Abu Zayd.
Wacana merupakan wujud dari ibu yang melahirkan pemikiran-pemikiran, istilah yang penulis gunakan sebagai awalan pembahasan wacana dari imam syafi’i yang telah dibahas oleh Nasir Hamid; wacana dalam hal ini sebagai daya baca terhadap situasi yang seketika akan melahirkan kemapuan berfikir, menganalisa, mengkritisi, menjawab dan menyangkal. Dari sinilah pemikiran-pemikiran dinamakan, guna sebagai petanda suatu raelita akal manusia.
 Untuk mengungkap sebuah metode dalam pemikiran imam syafi’i, Nasr Hamid mengunakan kajian secara metodologis berlandasakan pada analisis pemikiran dan pegungkapan pengertian tekstual dari pemikiran imam syafi’i yang tertuang ditulusan-tulusan beliau[1]. Penerapan yang dilakukan Nasir merupakan kajian sebelum beralih arti dan pengertian serta pemahamn tetang pemikiran-pemikiran imam syafi’i yang disebut-sebut sebagai pelopor utama dalam kajian dasar-dasar arus pemikiran menjadi singnifikasi sosio-politik, sebab adanya aktifitas semangat menjadikan arus khusus ini, sebagia legitimasi budaya, sejarah dan realitas yang berdasarkan kepada paradigma as-Syafii di satu pihak oleh mereka yang merubah arus tersebut sebagai hegemonik. Pada dasarnya, imam syafi’i merupakan sosok yang moderat dalam intelektual, dari sebab itulah perlulah tinjauan ulang dengan cara mengungkap dimensi ideologisnya, agar dapat mengungkap kebenaran intelektual.
Sedangkan dalam penelusuran yang dilakukan Nasr Hamid, merupakan kajian yang bergerak dari dalam ke luar, dari pemikiran ke kenyataan yang memproduksi arus tersebut. Hal ini dilakukan oleh Nasr Hamid sebagai antisipasi dalam bentuk penghindaran kesalahan-kesalahan analisis mekanik reflektif yang bergerak dari luar ke dalam. Tentulah dalam pembahsan tersebut tidak meninggalkan kritik sejarah yang terjadi, untuk menganalisis perkembangan pemikiran dari sebelum masa imam syafi’i hidup dan setelah beliau wafat. Sedangkan objek kajian yang dilakukan Nasr dalam membaca sejarah adalah teks-kontektual, dalam hal ini Nasr membaca terhadap realita pertarungan pemikiran yang memuncak antara ahl al-ra’y dan ahl al-hadis dalam bidang fiqh dan syari’ah yang didominasi oleh dua pertarungan ganda antara pemikiran teologis Mu’tazilah dengan musuh-musuhnya, dan kelompok Musyabbihah dengan Murji’ah, yang mana pertarungan ini menyebabkan dua tataran yang berbeda yaitu dalam betuk lahiriah yakni permusuhan etnik antara Arab dengan Persia khususnya, yang berdimensi kultur-intelektual; dan pertarungan sosiologis (ekonomi-polotik) yang berwujud pertarungan intelektual-keagamaan.[2]
Lebih jauh penelusuran di ranah intelektual, Nasr hamid Abu Zayd berasumsi bahwa saat ini kita memperlakukan warisan intelektual dari ulama terdahulu yang memiliki “daya kritis” sebagai benda “antik” yang harus dirawat dan tidak boleh diganggu, dalam artian pemanfaatan dengan cara mengikuti cara kekritisan ulama terdahulu. Tidak jauh berbeda pengaruh yang ada pada setiap pemikiran di setiap zaman, dimana pengaruh sosio-ekonomi-politik pun ikut mewarnai pada pola pemikiran. Begitu juga terjadi pada imam-imam, seolah-olah  hanya makna literal teks yang tampak, tetapi juga menguak signifikansi sosio-ekonomi-politiknya. Dalam memembaca fenomena ini, pertanyaan tentang kemungkinan pembaharuan keagamaan bisa terjadi tanpa adanya kritisme yang membebaskan diri dari model tradisional yang hanya mengulang, meringkas, dan merangkum pikiran lama, yang membuat pemikiran tersebut hampir menjadi pengetahuan baku yang stagnan dan durtasalsul serta tahsil al-khasil
Keempat imam, khulafah ar-rasyidin, imam-imam dan khalifah yang lain adalah sosok manusia yang mencoba berijtihad dan berpikir, dan mereka mewariskan sesuatu yang menjadi hak kita untuk memikirkan dan berijtihad seperti mereka. Warisan tersebut akan berkembang bila senantiasa dikaji, dan dianalisa setiap kali muncul metode-metode baru, dan setiap kali kemampuan akal manusia secara intelektual semakin luas dalam menangkap apa yang selama ini belum tertangkap.
Dalam perkembangan pembahasan yang di suguhkan Nasr, merambat kepersoalan keagamaan –fiqh dan ushl fiqh- secara tidak langsung, meskipun pada akhirnya ia diklem oleh orang banyak yang fokus pada kajian fiqh dan ushl fiqh, sebagai  seorang yang frontal membabi buda mengkritisi dua aspek formalitas tersebut, menurut mereka tanpa melihat aspek pondasi agama yang telah tersepakati oleh ulama-ulama. Hal ini tampanya sangat wajar menjadi diskurus di ranah kajian intelektual dan menjadi wajar ketika terdapat perdebatan sebab perbedaan dalam fokus pembahasaan, sebab terdapat perbedaan cara baca dari sudut analisa berbeda. Hal ini pun terjadi pada fokus kajian analisa-kritis yang dilakukan Nasr, lebih jelas nampaknya Nasir lebih dalam penganalisaannya tidak hanya pada problem teks, melainkan tektual-kontektual-linguistik-sejarah, berbeda pada kebanyakan para pengkaji teks –keagamaan- pada umumnya yang hanya melihat dari satu sisi cara baca dengan mengkaji legitimasi sebuah petuah-petuah keagamaan yang cenderung beku.
 Dari sinilah wacana keagamaan –imam Syafi’i- yang menjadi objek kajian yang berawal dari pertanyaan-pertanyaan atas ke-validitasan sebuah labeling yang di berikan terhadap fatwa agama, dengan melihat argumen-argumen sebagai pembelaannya, dimana sikap tersebut dilakukan sebab keberhasilan as-Syafi’i mengkontruksi agenda pembaharuan dalam problem wacana keagamaan –tanpa mereka sadari-. Nasr menampakan suatu analisanya atas pemahaman yang ia dapat, diwujudkan dalam pertanyaan, atas pembelaan mereka terhadap sikap “taklid” yang dipertahankan atas nama as-Syafi’i dengan segala  nilai-nilai ilmiah dan intelektual yang dicerminkan dalam image kaum muslimin, hal ini sekaligus pertanyaan tentang banar atau tidaknya pembelaaan serta alasan dari pembelaan mereka. Dimana hal tersebut sebagai temeng untuk membela tradisionalitas pikiran-pikiran yang bertendensi untuk memperkukuhkan status quo. Lebih jauh ia menerangkan, pembelaan yang mereka lakukan secara mati-matian terhadap fatwa keagamaan dari as-Syafi’i sebagai praktek pembunuhan kritik ilmiah yang Nasr lakukan.
“paraktek pembunuhan dilakuakan dengan cara  pengkultusan wacana as-Syafi’i untuk mengeluarkan tema tersebut dari jangkauan kajian analisa-kritis. Walaupun sebenarnya “pengkultusan” ini dimaksudkan untuk menutupi tesis-tesis wacana keagamaan tersebut yang mengajarkan taklidisme. Merekan berangan-angan memiliki Imam Syafi’i, pemikirannya dan warisan intelektual secara umum, lalu atas dasar itu mereka beranggapan tidak seorang pun –selain mereka- berhak menulis tentang imam syafi’i atau imam yang lain.” [3]
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan metode yang digunakan oleh Nasr dalam kajian ini adalah analisis wacana dari pemikiran-pemikiran Imam Syafi’i yang ada dalam kitab al-Risalah dengan pendekatan Filosofis antropologis, yakni kajian tentang proses berpikir serta kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang mempengaruhinya.
Meskipun Kajian ini menyampaikan tentang sumber hukum Islam yang diletakkan Imam Syafi’i, yakni al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas, yang menjadi inti kajian ini adalah sikap moderat, eklektik, dan arabisme yang dimiliki Imam Syafi’i dalam merekonstruksi pemikiran beliau.
Seperti yang telah penulis ungkapkan sebelumnnya, kajian bukanlah tentang ilmu fiqh atau prinsip-prinsip pensyariatan, melaikan pembahasan tentang dasar-dasar teoritik yang dijadikan landasan bagi mekanisme pemikiran dan aplikasi metodologis as-Syafi’i, yakni mencoba menguak metode yang tidak disampaikan oleh Imam Syafi’i secara eksplisit, tetapi tersebar secara implisit dalam tulisan-tulisan beliau serta menganalisa menganalisa beberapa aspek pertarungan antara “kelompok ra’yu/rasionalis” dan hadis dengan beberapa pra-anggapan dasar yaitu:[4]
1.        Setiap bidang pengetahuan tidak terlepas dari bidang-bidang yang lain dalam konteks kebudayaan tertentu.
2.        Aktivitas intelektual bukanlah aktivitas yang terpisah dari watak problematika sosial (ekonomi-politik-intelektual) yang menyibukkan manusia.
3.        Metode berpikir mendapatkan atribut “benar” atau “salah” dari sudut pandang yang berbeda-beda secara rinci antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam satu kebudayaan. Hal ini memungkinkan untuk membicarakan mengenai ideologi-ideologi yang beragam dalam pemikiran Islam, dan memungkinkan kita untuk menempatkan pemikiran Imam Syafi’i dalam rangkaian sistem ideologi “moderatisme” yang mengasumsikan secara logika adanya ideologi-ideologi lain yang ditengahi.
4.        Setiap perbedaan sosiologis di antara berbagai kelompok dalam sejarah kerajaan Islam telah terungkap lewat bahasa ideologis keagamaan.
5.        Hegemoni sebuah trend pemikiran dalam rentang waktu yang panjang, tidak berarti bahwa trend-trend yang lainnya adalah “sesat” dan “kafir”. Kebenaran harus diletakkan di tempat yang sama dengan kebenaran yang diajukan oleh trend-trend yang berkuasa.
6.        Yang “kokoh” dan “mapan” dalam pemikiran keagamaan saat ini seringkali mengaitkan diri kepada akar-akar tradisi, warisan intelektual.
Analisa-kritik yang Nasr lakukan tampaknya lebih condong terhadap upaya dia untuk mendekontruksi kembali sumber-sumber sekunder –sunnah, ijma, qiyas- yang telah berubah fungsi menjadi sumber primer –Al-Qur’an- karena adanya upaya pengaktualisasi nilai dalam Al-Qur’yang tidak seimbang antara kesadaran intelektual dengan kritik wacana dari sumber pertama/primer. Secara umum perhatian yang dibahas Nasr merupakan teks, karena melihat realita yang ada kebanyakan orang terpaku dengan teks belaka sehingga wilayah-wilayah teks menjadi sempit dan terhegemonikkan, maka dari itu ia menawarkan konsep baru yaitu kekuasaan teks, hegemoni –dalam arti sebagai analisa-, dan totalitariannya. Dalam analisis wacana “teks”  dibedakan menjadi dua, yaitu teks primer dan teks sekunder, adapaun istilah yang di gunakan Nasr utuk mengklasifikasi kedudukan pada sunnah sebagai teks sekunder, tidaklah dimaksudkan untuk mengurangi nilainya, sebab istilah tersebut menurut Nasr hanya istilah diskriptif, tidak memuat putusan nilai apapun. Atas dasar ini, dimungkikan  berbicara  keagamaan tersebut. Sebagai pertanyaan apakah ia teks dasar atau teks sekunder sebagai penjelas kesamaran.
Nasr hamid berpendapat bahwa fiqh atau ushl fiqh berpusat pada empat sumber yakni al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas yang susunannya menunjukkan urutan prioritas, hirarki sumber-sumber tersebut bertumpu pada prinsip transformasi “non teks” ke dalam wilayah “teks”, dan peresmian “non teks” tesebut menjadi teks yang legalitas dan potensi semantiknya sebanding dengan “teks” dasar yang pertama yaitu al-Qur’an. Dalam konteks warisan intelektual Islam adalah al-Qur’an, dan teks sekunder berasal dari teks kedua, yaitu teks sunnah.
Wacana pemikiran Imam Syafi’i merupakan hasil dari sebuah proses, dari kajian ini ditemukan adanya sikap arabisme yang dimiliki imam Syafi’i. Beliau menolak pendapat yang menyatakan adanya kata-kata non-Arab dalan al-Qur’an. Sikap ini merupakan sikap moderat eklektik di antara dua kubu, yakni kubu yang berpendapat adanya kata-kata non-Arab dalam al-Qur’an dan kubu yang menolak pendapat tidak ada kata-kata non-Arab dalam al-Qur’an dengan asumsi hal tersebut tidak sesuai dengan teks al-Qur’an sendiri “araby”. Menurut metode moderat-eklektik teks yang menjadi perdebatan merupakan teks yang kebetulan sama-sama dimiliki oleh berbagai bahasa, bukan karena bahasa tersebut bermigrasi dari satu bahasa ke bahasa lain.
Dialek yang ditetapkan sebagai bacaan resmi adalah dialek Quraisy setelah terjadi perselisihan pada masa Khalifah Usman bin Affan. Hal ini menurut hipotesa penulis, bahwa pembelaan Imam Syafi’i terhadap kemurnian bahasa al-Qur’an dari kata serapan non-Arab, bukan hanya pembelaan terhadap bahasa Arab secara keseluruhan, melainkan terhadap kemurnian bahasa Quraisy, dan penegasan terhadap otoritas dan hegemoni dialek Quraisy atas dialek-dialek Arab lainnya. Pendapat tentang kemurnian bahasa Arab dalam al-Qur’an berimplikasi pada masalah fiqh seperti membaca surah pertama al-Qur’an sebagai syarat sah salat. Berbeda dengan Abu Hanifah yang beretnik Parsi. Beliau membolehkan membaca al-Fatihah dengan bahasa Parsi dalam salat bagi orang yang tidak mampu membacanya dengan bahasa Arab.
Dalam sejarah peradaban Arab-Islam, teks-teks sekunder  berubah menjadi teks primer karena beberapa faktor dan pengaruh sosio-historis, teks sekunder menjadi teks yang merepresentasikan kerangka otoritatifnya pada dirinya sendiri. Hal ini terjadi hampir di seluruh bidang pengetahuan terutama di bidang tafsir dan fiqh, dimana ijtihad para imam berubah menjadi teks-teks dasar yang diseputarnya beredar uraian dan penafsiran, bahkan dikultuskan atas kesucian daya pikir intelektual –dalam anggapan mereka-.
Pada dasarnya teks-teks tidak mempunya kekuasaan apapun, ecuali kuasa epistemonologis. Yaitu kuasa yang diupayakan oleh setiap Teks –sebagai teks-  untuk diprektekkan dalam wilayah epistemonologis tertentu. Setiap teks berusaha memunculkan kekuasaan epistemonologinya secara baru, dengan asumsi bahwa ia memperbarui teks-teks yang mendahuluinya. Namun kekuasaan tekstual ini tidak akan berubah menjadi kekuasaan kultural-sosiologis, kecuali melalui kelompok yang mengadopsi teks tersebut dan mengubahnya menjadi kerangka ideologi. Oleh karena itu, haruslah dibedakan antara teks-teks dengan kuasa yang diselipkan kepadanya oleh akal manusia sehingga tidak muncul dari teks dengan sendirinya. Sehingga pembebasan dari kekuasaan teks sebenarnya berarti membebaskan diri dari kuasa teks mutlak dan otoritas hegemonik pemikiran yang mempraktekkan pemaksaan dan penguasaan, melalui dengan menyususpkan indikasi-indikasi dan makna-makna di luar masa, ruang, kondisi dan lingkungan ke dalam teks, inilah wujud dari gerak metodek sistemasitis yang dilakukan dalam mewacanai permasalahan teks; seruan tersebut merupakan ajakan untuk memahami, menganalisa dan menginterpretasi secara ilmiah yang berdasarkan analisa bahasa terhadap teks tersebut dalam kompleksitas konteks-konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan teks pada pembahasan ini yaitu kekuasaan yang dilimpahkan as-Syafi’i dan pemikiran keagamaan terhadap teks dan akan berbeda lagi dalam penyandaran istilah yang di gunakan Nasr, ketika di terapkan di lain tempat atau pembahasaan.
Ada beberapa hegemoni yang disusupkan Imam Syafi’i terhadap teks-teks keagamaan, yaitu melalui perluasan wilayah efektifitas teks dan pengaruhnya, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Mengubah teks sekunder (sunnah nabawiyah) menjadi teks yang mempunyai legitimasi, yang indikasi tasyri’nya tidak kurang dari teks primer (al-Qur’an). Hal ini berbeda dengan pendapat mapan pada masanya, bahwa sunnah adalah teks pengurai dan penjelas.
2.      Memperluas konsep sunnah dengan memasukkan ijma’ ke dalamnya, sehingga tidak ada perbedaan antara sunnah “wahyu” dan sunnah “adat istiadat”.
3.      Mengaitkan konsep qiyas dan ijtihad secara erat dengan teks, dan mempersempit wilayahnya.
Kaitan antara sunnah dan al-Qur’an dilihat dari tiga hal yaiu, kemiripan semantik yang didasarkan pada pengulangan sunnah terhadap wacana al-Qur’an, hubungan tafsir dan al-bayan, dan sunnah berdiri sendiri sebagai teks tasyri’ meskipun kehujjahan tekstualnya   bersumber dari pemaknaan yang terdapat dalam al-kitab. Imam Syafi’i  menganggap sunnah sebagai sejenis “wahyu” yang berarti inspisi (ilham) melalui takwil terhadap kata al-hikmah yang banyak disebutkan di dalam al-Qur’an setelah kata al-kitab. Namun dalam masalah naskh dan mansukh, Imam Syafi’i memisahkan antara al-Qur’an dan Sunnah, karena apabila keduanya merupakan satu kesatuan teks maka sunnah dapat menaskh al-Qur’an sebagai mana al-Qur’an dapat menaskh sunnah. Secara logika sunnah tidak dapat menaskh al-Qur’an, sebab yang pokok (ushul) tidak mungkin dirubah oleh cabang (furu’). Sikap ini menunjukkan inkonsistensi yang merupakan ciri dari model pemikiran eklektik (talfiqi), yaitu pemikiran yang berusaha mendamaikan antara dua metode atas dasar ideologis, bukan atas dasar rasio.
Menurut, Imam Syafi’i menganggap ijma’ sama dengan sunnah, dengan membatasinya pada lima sisi: (1) yang mutawatir; (2) teks-teks yang mengandung takwil dan makna tidak boleh dialihkan dari makna lahiriahnya kecuali dengan ijma’; (3) Ijma’ adalah apa yang disepakati oleh kaum muslimin, dan mereka peroleh dari orang sebelumnya sebagai sesuatu yang disepakati, meskipun mereka tidak mengatakan ini menurut al-Qur’an atau sunnah. Ijma yang seperti ini menurut penulis sama dengan sunnah yang disepakati, ; (4) dimensi keilmuan; (5) qiyas. Demikianlah, ijma’ masuk ke dalam konsep sunnah, yang menurut Imam Syafi’i memuat sunnah-sunnah yang berupa urf, adat istiadat. Maksudnya konsep sunnah tersebut meluas (di samping kesepakatan generasi berikutnya) yang merupakan sunnah-sunnah (tradisi) yang bersifat historis.
Adapun qiyas hanya berperan terbatas dalam menyingkapkan hukum yang secara praktis ada di dalam teks-teks keagamaan, meskipun keberadaannya samar dan tersembunyi. Imam Syafi’i berpendapat bahwa qiyas adalah segala sesuatu yang selain nash dari al-Qur’an dan sunnah dan memasukkan setiap upaya pencarian tanda ke dalam wilayah ijtihad/qiyas. Ijtihad yang berlangsung di luar wilayah teks dan indikasi literalnya dinilai sebagai istihsan (pendapat dengan dasar rasio dan nafsu). Sikap yang menolak istihsan ini menampakkan pertarungan pemikiran pada masa beliau. Bahkan menghapus tendensi “sikap tengah/moderat” dan “kompromisme” serta menyingkap sikap eklektik. Penolakan terhadap istihsan dan penegasan terhadap qiyas (terikat dalam pemahaman literal terhadap teks) merupakan “senjata” untuk menghancurkan pluralitas pemikiran filosofis dan fiqh: suatu peperangan yang tidak lepas dari signifikansi sosial, pemikiran dan politik yang jelas. Lebih lanjut, penolakan Imam Syafi’i terhadap istihsan lantaran menimbulkan kemajemukan dan persilisihan tetapi beliau menerima atas perselisihan dalam batas-batas sengketa dengan orang-orang yang menggunakan dan menerapkan Qiyas, bahkan perselisihan tersebut dipertahankan oleh beliau, menurut Nasr Hamid bahwa imam Syafi’i melakukan pembelaan tersebut dengan bagus sekaligus dengan mencela. Hal ini kemungkinan adanya unsur yang lain dengan dominasi lebih kuat sehingga keadaan pun ikut berubah.
Dalam ungkapan Nasr Hamid dari hasil analisa terhadap konsep Qiyas dan wacana imam syafi’i, ia mengutarakan dalam konsep itu merefleksikan sebuah pandangan hidup yang menjadikan manusia terbelenggu dan terikat dengan sejumlah ketentuan yang apabila dilepaskan, maka jiwa tersebut dianggap telah keluar dari kemanusiawiaannya. Hal tersebut terdapat hubungan  kesamaan yang terdapat dalam pandangan Imam Syafi’i terhadap qiyas dangan konsep al-hakimiyyah dalam wacana keagamaan kontemporer, dimana hubungan Allah dan manusia dipandang dari sudut hubungan antara tuhan dengan hamba yang hanya mengenal kedudukan. Menurutnya, tatkala aksi menyatukan antara pemahaman Imam Syafi’i terhadap teks dengan makna literal teks-teks suci, karena penyamaan ini merupakan penyamaan yang sangat berbahaya, karena telah mengabaikan jarak epistemonologis antara pemahaman yang mana merupakan proses kemanusiaan yang bersifat relatif dengan maksud tuhan. Dengan kata lain, ia menyatukan pikiran dengan agama.
Hegemoni yang diberikan oleh Imam Syafi’i terhadap teks-teks keagamaan dengan merubah teks kedua yang berfungsi sebagai pengurai menjadi teks asli dan memiliki tingkat legalitas yang sama, kemudian memperluas konsep sunnah dengan memasukkan ijma’ dan adat istiadat ke dalamnya. Kemudian mengkaitkan ijtihad dengan semua sumber yang ada mengandung arti pembelengguan manusia dengan mengabaikan kemampuan kerjanya dan menafikan eksperimentasinya. Sikap ijtihadiyah Imam Syafi’i kebanyakan berkisar pada wilayah pelestarian apa yang sudah mapan dan terbentuk. Konteks ideologis yang menjadi pusat berputarnya seluruh wacana menjadikan sistem tersebut tetap hidup, berkembang dan menguasai sebagian besar wacana keagamaan sampai masa kini. Meskipun demikian hal ini, menjadikan tidak adanya pembeda antara Sunnah wahyu/Nubuwah dan sunnah adat-istiadat, karena sebab perluasaan konsep Sunnah dengan memasukkan ijma’ ke dalamnya. Selain itu, usaha Imam Syafi’i menyusupkan hegemoni ke dalam  teks-teks keagamaan melalui perluasan wilayah efektifitas teks dan pengaruhnya dengan mengkaitkan konsep qiyas dan ijtihad secara erat dengan teks dan mempersempit wilayahnya.
Kaitan dengan pembahasan teks yang Nasr lakuakan, merupakan langkah ia untuk membangunkan kembali “kebangkitan intelektual islam” yang telah lama tidur disudut gubuk dunia dan tidak juga hanya sebagai upaya mengkritisi tanpa tawaran solusi terhadap agama dan semua hal-hal yang mencangkup di dalamnya. Ia menggunakan kajian filosofis-antropologis. 
Kita harus meninjau ulang dan mengadakan transformasi ke fase pembebasan tidak hanya dari otoritas teks semata tetapi dari semua otoritas yang menghadang perjalanan manusia di dunia ini, maksudnya membebaskan diri dari “kekuasaan” yang disisipkan oleh orang-orang tertentu terhadap teks-teks tersebut. Mari memahami, menganalisa dan menafsirkan secara ilmiah dan penentuan wilayah yang khusus untuk “peradaban pembangunan dan pembangunan peradaban”. Umat Islam jangan hanya menerima hasil pemikiran dari para imam terdahulu, tetapi hendaknya mengkaji proses pemikiran tersebut agar tidak hanya bertaklid tetapi selain memahami, umat Islam juga dapat memproses suatu pemikiran baru.
Seperti halnya yang dilakukan sahabat Umar bin Khattab atas kelihaiannya membaca konteks ayat di saat ia di hapadkan dengan problem zakat yang kala itu memui hasil dengan menempatkan orang yang hatinya masih lemah/muallaf sebagai orang-orang yang berhak memperoleh bagian zakat; problem pencurian dengan menghasilkan ijtihad sahabat umar tidak memotong tangan pencuri –pada musim kelaparaan, yang sekilas akan berkesan ia tidak memutuskan perkara dengan berlandaskan ayat, dimana keterangan ayat tersebut mempunyai muatan hukum fiqh-syari’at potong tanggan bagi pelaku pencurian, tetapi ia tidak menjalankan sebab kemampuan daya bacanya terhadap situasi yang ada secara cermat dan teliti sangat kuat, lebih dari sekedar pemahamannya terhadap arti tekstual sebuah ayat. Sehingga ia tidak memperlakukan hukum-hukum teks sebagai representasi kekuasaan mutlak.
Perlu ditekankan kembali, bahwa sahnya semua pemikiran atas wacana yang ada sehingga menimbulkan sebuah konsep-konsep yang beragam, tidak lah mingkin tanpa bergesekan –dalam sekala kecil- dengan situasi kondisi pada saat itu, seperti sosio-ekonomi-politik. Dari itulah perlu kita ketahui semangat zaman yang ada pada masa dimana pemikiran dibentuk dan dikembangankan, agar tidak mudah untuk kita mengklem menyalahkan atau fanatik berlebihan sebagai kebenaran yang absolut dimana hanya berdasarkan paradigma-paradigma yang dipengaruhi postulat-postulat. “Terima-analisa-hasil-to extion” mungkin itulah istilah sebagai wakil dari pemahaman penulis atas semua yang telah disebutkan di atas.
BAB III
PENUTUP
A.           Ringkasaan
Setiap pemikiran seseorang dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik yang ada disekitar serta  intelektualnya. Begitu pula ideologi Imam Syafi’i dalam menetapkan sumber hukum Islam dengan susunan hierarkinya yakni al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas dengan berbagai ketentuannya.
Kita sebagai umat islam hendaknya mengkaji dan meneliti setiap warisan intelektual dari para pendahulu kita secara ilmiah dalam rangka berijtihad demi perkembangan agama dan kemaslahatan ummat, tidak semata-mata bertaklid kepada mereka. Jangan menyalahkan pendapat orang lain tanpa mengkaji terlebih dahulu kebenarannya, bukankah para imam tidak pernah saling menyalahkan hasil dari ijtihad pada masanya, bahkan mereka mempelajari dan memperbaharuinya. Dalam problem wacana tersebut Nasr Hamid Abu-Zayd mencoba menawarkan konsep cara baca baru terhadap warisan intelektual yang dimiliki umat muslim, serta solusi yang ia miliki untuk di tawarkan, dimana tujuan itu agar nantinya umat islam dapat bersikap lebih bijak dan arif terhadap problem perbedaan, terutama memperkaya khazanah kekayaan intelektual islam seperti masa dimana intelektual islam menapai kemajuan yang sangat tinggi, hal ini dilihat tanpa melihat sisi unsur kepentingan praktis yang bermain.
B.       Referensi.
Nasr Hamid Abu-Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, trj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS, 1997.













[1] Nasr Hamid Abu-Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, trj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS, 1997), h. 4.
[2] Ibid. h. 5.
[3] Ibid. h. 102.
[4] Ibid. h. 107-110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar