BAB I
PENDAHULUAN
Kesakralan dan kemanusiawian problem membaca as-Syafi’i menurut Nasir Hamid Abu Zayd.
A.
Latar belakang.
Fenomena
tunduk serta takluk seseorang maupun kelompok terhadap pengerak dalam arti
pemikir, pada umumnya merupakan kewajaran bagi manusia. Pasalnya hal tersebut
sudah menjadi sifat manusiawi, yang dapat menjadikan manusia tersebut
bercondong kepada suatu perkara/keadaan yang teranggap benar olehnya, baik
diukur berdasarkan rasio maupun rasa yang ditemuinya terhadap perkara/keadaan
yang terjadi. Bahkan dapat menjadi lebih dari sekedar “condong” dalam ukuran
penilaian, hal itu pada dasarnya sebab adanya
rasa yang sangat nyaman bila berada dalam suatu perkara/keadaan tersebut.
Tetapi akan menjadi tidak umum -tidak wajar- ketika sikap tunduk dan ataupun
patuh bermertamorfisis menjadi pengkultusan dan pengsakralan terhadap suatu
perkara/keadaan, karena tanpa disadari sikap tersebut timbul sebab overaktif
diri manusia. Dan dengannya akan menjadian sosok manusia yang haus bersikap
diskriminatif, mendiskredit dan lain-lain, baik sadar ataupun tidak, baik
langsung ataupun bersekala.
Keadaan
ini, nampaknya terjadi tidak hanya di ranah sosial-politik-ekonomi dalam
pengertian umum, bahkan dalam ranah agama pun tidak luput dari eksploitasi
fenomena tersebut sebagai objek sasaran. Seperti halnya keadaan yang terjadi
dalam permasalahan kubu kesefahaman, yang kali ini disandarkan pada agama islam
dalam sikap bermadzhab. Dimana kebanyakan dari orang muslim-muslimlah, tanpa
mereka sadari kebedaraan mereka ada dalam lingkup legitimasi-subjektif alim
–yang dianggap- agama, terutama di zaman
moderen ini, pasalnya saat terjadinya perkembangan sarana komunikasi dan transformasi
berlangsung dari masa dulu sampai sekarang, tanpa disadari keadaan tersebut
membentuk suatu pemikiran-pemikiran baru yang mana dipengaruhi oleh keadaan
pada masa pemikiran-pemikiran tersebut terbentuk, dengan adanya hal yang baru
itu tentulah dapat memepangaruhi daya pikir dan daya analisa bagi
manusia-manusia yang nyaman dalam zona taqlid baik secara langsung
ataupun tidak; baik dalam masalah hukum maupun ideologi-teologi. Dari sinilah
gagasan-gagasan baru dibentuk kembali untuk mengungkap permasalahan yang tampak
di permukaan sejarah perkembangan pemikiran islam, hal itu bertujuan untuk
menampilkan pembaharuan cara baca, cara berpikir secara kritis dari
penganalisaan.
Kali
ini penulis akan mencoba mengulas pemahaman, pembahasan, kritik-kritis, gagasan
dan analisa Nasir hamid abu zayd dalam bukunya yang berjudul “Imam Syafi’i:
Moderalisme, Eklektisisme, Arabisme” terhadap sepak terjang imam Syafi’i.
B.
Rumusan masalah
1.
Kesakralan dan kemanusiawian problem
membaca as-Syafi’i menurut Nasir Hamid Abu Zayd.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kesakralan dan kemanusiawian problem
membaca as-Syafi’i menurut Nasir Hamid Abu Zayd.
Wacana
merupakan wujud dari ibu yang melahirkan pemikiran-pemikiran, istilah yang
penulis gunakan sebagai awalan pembahasan wacana dari imam syafi’i yang telah
dibahas oleh Nasir Hamid; wacana dalam hal ini sebagai daya baca terhadap
situasi yang seketika akan melahirkan kemapuan berfikir, menganalisa,
mengkritisi, menjawab dan menyangkal. Dari sinilah pemikiran-pemikiran
dinamakan, guna sebagai petanda suatu raelita akal manusia.
Untuk mengungkap sebuah metode dalam pemikiran
imam syafi’i, Nasr Hamid mengunakan kajian secara metodologis berlandasakan
pada analisis pemikiran dan pegungkapan pengertian tekstual dari pemikiran imam
syafi’i yang tertuang ditulusan-tulusan beliau[1].
Penerapan yang dilakukan Nasir merupakan kajian sebelum beralih arti dan
pengertian serta pemahamn tetang pemikiran-pemikiran imam syafi’i yang
disebut-sebut sebagai pelopor utama dalam kajian dasar-dasar arus pemikiran
menjadi singnifikasi sosio-politik, sebab adanya aktifitas semangat menjadikan
arus khusus ini, sebagia legitimasi budaya, sejarah dan realitas yang
berdasarkan kepada paradigma as-Syafii di satu pihak oleh mereka yang merubah
arus tersebut sebagai hegemonik. Pada dasarnya, imam syafi’i merupakan sosok
yang moderat dalam intelektual, dari sebab itulah perlulah tinjauan ulang
dengan cara mengungkap dimensi ideologisnya, agar dapat mengungkap kebenaran
intelektual.
Sedangkan
dalam penelusuran yang dilakukan Nasr Hamid, merupakan kajian yang bergerak
dari dalam ke luar, dari pemikiran ke kenyataan yang memproduksi arus tersebut.
Hal ini dilakukan oleh Nasr Hamid sebagai antisipasi dalam bentuk penghindaran
kesalahan-kesalahan analisis mekanik reflektif yang bergerak dari luar ke
dalam. Tentulah dalam pembahsan tersebut tidak meninggalkan kritik sejarah yang
terjadi, untuk menganalisis perkembangan pemikiran dari sebelum masa imam
syafi’i hidup dan setelah beliau wafat. Sedangkan objek kajian yang dilakukan
Nasr dalam membaca sejarah adalah teks-kontektual, dalam hal ini Nasr membaca
terhadap realita pertarungan pemikiran yang memuncak antara ahl al-ra’y
dan ahl al-hadis dalam bidang fiqh dan syari’ah yang didominasi oleh dua
pertarungan ganda antara pemikiran teologis Mu’tazilah dengan musuh-musuhnya,
dan kelompok Musyabbihah dengan Murji’ah, yang mana pertarungan ini menyebabkan
dua tataran yang berbeda yaitu dalam betuk lahiriah yakni permusuhan etnik
antara Arab dengan Persia khususnya, yang berdimensi kultur-intelektual; dan
pertarungan sosiologis (ekonomi-polotik) yang berwujud pertarungan
intelektual-keagamaan.[2]
Lebih jauh
penelusuran di ranah intelektual, Nasr hamid Abu Zayd berasumsi bahwa saat ini
kita memperlakukan warisan intelektual dari ulama terdahulu yang memiliki “daya
kritis” sebagai benda “antik” yang harus dirawat dan tidak boleh diganggu,
dalam artian pemanfaatan dengan cara mengikuti cara kekritisan ulama terdahulu.
Tidak jauh berbeda pengaruh yang ada pada setiap pemikiran di setiap zaman,
dimana pengaruh sosio-ekonomi-politik pun ikut mewarnai pada pola pemikiran.
Begitu juga terjadi pada imam-imam, seolah-olah hanya makna literal teks yang tampak, tetapi
juga menguak signifikansi sosio-ekonomi-politiknya. Dalam memembaca fenomena
ini, pertanyaan tentang kemungkinan pembaharuan keagamaan bisa terjadi tanpa
adanya kritisme yang membebaskan diri dari model tradisional yang hanya
mengulang, meringkas, dan merangkum pikiran lama, yang membuat pemikiran
tersebut hampir menjadi pengetahuan baku yang stagnan dan durtasalsul
serta tahsil al-khasil.
Keempat
imam, khulafah ar-rasyidin, imam-imam dan khalifah yang lain adalah
sosok manusia yang mencoba berijtihad dan berpikir, dan mereka mewariskan
sesuatu yang menjadi hak kita untuk memikirkan dan berijtihad seperti mereka.
Warisan tersebut akan berkembang bila senantiasa dikaji, dan dianalisa setiap
kali muncul metode-metode baru, dan setiap kali kemampuan akal manusia secara
intelektual semakin luas dalam menangkap apa yang selama ini belum tertangkap.
Dalam
perkembangan pembahasan yang di suguhkan Nasr, merambat kepersoalan keagamaan –fiqh
dan ushl fiqh- secara tidak langsung, meskipun pada akhirnya ia diklem
oleh orang banyak yang fokus pada kajian fiqh dan ushl fiqh,
sebagai seorang yang frontal membabi
buda mengkritisi dua aspek formalitas tersebut, menurut mereka tanpa melihat
aspek pondasi agama yang telah tersepakati oleh ulama-ulama. Hal ini tampanya
sangat wajar menjadi diskurus di ranah kajian intelektual dan menjadi wajar
ketika terdapat perdebatan sebab perbedaan dalam fokus pembahasaan, sebab
terdapat perbedaan cara baca dari sudut analisa berbeda. Hal ini pun terjadi
pada fokus kajian analisa-kritis yang dilakukan Nasr, lebih jelas nampaknya
Nasir lebih dalam penganalisaannya tidak hanya pada problem teks, melainkan
tektual-kontektual-linguistik-sejarah, berbeda pada kebanyakan para pengkaji
teks –keagamaan- pada umumnya yang hanya melihat dari satu sisi cara baca
dengan mengkaji legitimasi sebuah petuah-petuah keagamaan yang cenderung beku.
Dari sinilah wacana keagamaan –imam Syafi’i-
yang menjadi objek kajian yang berawal dari pertanyaan-pertanyaan atas
ke-validitasan sebuah labeling yang di berikan terhadap fatwa agama, dengan
melihat argumen-argumen sebagai pembelaannya, dimana sikap tersebut dilakukan
sebab keberhasilan as-Syafi’i mengkontruksi agenda pembaharuan dalam problem
wacana keagamaan –tanpa mereka sadari-. Nasr menampakan suatu analisanya atas
pemahaman yang ia dapat, diwujudkan dalam pertanyaan, atas pembelaan mereka
terhadap sikap “taklid” yang dipertahankan atas nama as-Syafi’i dengan
segala nilai-nilai ilmiah dan
intelektual yang dicerminkan dalam image kaum muslimin, hal ini sekaligus
pertanyaan tentang banar atau tidaknya pembelaaan serta alasan dari pembelaan
mereka. Dimana hal tersebut sebagai temeng untuk membela tradisionalitas
pikiran-pikiran yang bertendensi untuk memperkukuhkan status quo. Lebih jauh
ia menerangkan, pembelaan yang mereka lakukan secara mati-matian terhadap fatwa
keagamaan dari as-Syafi’i sebagai praktek pembunuhan kritik ilmiah yang Nasr
lakukan.
“paraktek
pembunuhan dilakuakan dengan cara
pengkultusan wacana as-Syafi’i untuk mengeluarkan tema tersebut dari
jangkauan kajian analisa-kritis. Walaupun sebenarnya “pengkultusan” ini
dimaksudkan untuk menutupi tesis-tesis wacana keagamaan tersebut yang
mengajarkan taklidisme. Merekan berangan-angan memiliki Imam Syafi’i,
pemikirannya dan warisan intelektual secara umum, lalu atas dasar itu mereka
beranggapan tidak seorang pun –selain mereka- berhak menulis tentang imam
syafi’i atau imam yang lain.” [3]
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan metode yang digunakan oleh Nasr
dalam kajian ini adalah analisis wacana dari pemikiran-pemikiran Imam Syafi’i
yang ada dalam kitab al-Risalah dengan pendekatan Filosofis
antropologis, yakni kajian tentang proses berpikir serta kondisi sosial,
ekonomi, dan politik yang mempengaruhinya.
Meskipun Kajian ini menyampaikan
tentang sumber hukum Islam yang diletakkan Imam Syafi’i, yakni al-Qur’an,
sunnah, ijma’, dan qiyas, yang menjadi inti kajian ini adalah sikap moderat,
eklektik, dan arabisme yang dimiliki Imam Syafi’i dalam merekonstruksi pemikiran
beliau.
Seperti yang telah penulis ungkapkan
sebelumnnya, kajian bukanlah tentang ilmu fiqh atau prinsip-prinsip
pensyariatan, melaikan pembahasan tentang dasar-dasar teoritik yang dijadikan
landasan bagi mekanisme pemikiran dan aplikasi metodologis as-Syafi’i, yakni
mencoba menguak metode yang tidak disampaikan oleh Imam Syafi’i secara
eksplisit, tetapi tersebar secara implisit dalam tulisan-tulisan beliau serta
menganalisa menganalisa beberapa aspek pertarungan antara “kelompok ra’yu/rasionalis”
dan hadis dengan beberapa pra-anggapan dasar yaitu:[4]
1.
Setiap bidang pengetahuan tidak
terlepas dari bidang-bidang yang lain dalam konteks kebudayaan tertentu.
2.
Aktivitas intelektual bukanlah
aktivitas yang terpisah dari watak problematika sosial (ekonomi-politik-intelektual)
yang menyibukkan manusia.
3.
Metode berpikir mendapatkan atribut
“benar” atau “salah” dari sudut pandang yang berbeda-beda secara rinci antara
satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam satu kebudayaan. Hal ini
memungkinkan untuk membicarakan mengenai ideologi-ideologi yang beragam dalam
pemikiran Islam, dan memungkinkan kita untuk menempatkan pemikiran Imam Syafi’i
dalam rangkaian sistem ideologi “moderatisme” yang mengasumsikan secara logika
adanya ideologi-ideologi lain yang ditengahi.
4.
Setiap perbedaan sosiologis di
antara berbagai kelompok dalam sejarah kerajaan Islam telah terungkap lewat
bahasa ideologis keagamaan.
5.
Hegemoni sebuah trend pemikiran
dalam rentang waktu yang panjang, tidak berarti bahwa trend-trend yang lainnya
adalah “sesat” dan “kafir”. Kebenaran harus diletakkan di tempat yang sama
dengan kebenaran yang diajukan oleh trend-trend yang berkuasa.
6.
Yang “kokoh” dan “mapan” dalam
pemikiran keagamaan saat ini seringkali mengaitkan diri kepada akar-akar
tradisi, warisan intelektual.
Analisa-kritik yang Nasr lakukan
tampaknya lebih condong terhadap upaya dia untuk mendekontruksi kembali
sumber-sumber sekunder –sunnah, ijma, qiyas- yang telah berubah fungsi menjadi
sumber primer –Al-Qur’an- karena adanya upaya pengaktualisasi nilai dalam
Al-Qur’yang tidak seimbang antara kesadaran intelektual dengan kritik wacana
dari sumber pertama/primer. Secara umum perhatian yang dibahas Nasr
merupakan teks, karena melihat realita yang ada kebanyakan orang terpaku dengan
teks belaka sehingga wilayah-wilayah teks menjadi sempit dan terhegemonikkan,
maka dari itu ia menawarkan konsep baru yaitu kekuasaan teks, hegemoni –dalam
arti sebagai analisa-, dan totalitariannya. Dalam analisis wacana “teks” dibedakan menjadi dua, yaitu teks primer dan
teks sekunder, adapaun istilah yang di gunakan Nasr utuk mengklasifikasi
kedudukan pada sunnah sebagai teks sekunder, tidaklah dimaksudkan untuk
mengurangi nilainya, sebab istilah tersebut menurut Nasr hanya istilah diskriptif,
tidak memuat putusan nilai apapun. Atas dasar ini, dimungkikan berbicara keagamaan tersebut. Sebagai pertanyaan apakah
ia teks dasar atau teks sekunder sebagai penjelas kesamaran.
Nasr hamid berpendapat bahwa fiqh
atau ushl fiqh berpusat pada empat sumber yakni al-Qur’an, Sunnah, ijma’
dan qiyas yang susunannya menunjukkan urutan prioritas, hirarki sumber-sumber
tersebut bertumpu pada prinsip transformasi “non teks” ke dalam wilayah “teks”,
dan peresmian “non teks” tesebut menjadi teks yang legalitas dan potensi
semantiknya sebanding dengan “teks” dasar yang pertama yaitu al-Qur’an. Dalam
konteks warisan intelektual Islam adalah al-Qur’an, dan teks sekunder berasal
dari teks kedua, yaitu teks sunnah.
Wacana pemikiran Imam Syafi’i merupakan
hasil dari sebuah proses, dari kajian ini ditemukan adanya sikap arabisme yang
dimiliki imam Syafi’i. Beliau menolak pendapat yang menyatakan adanya kata-kata
non-Arab dalan al-Qur’an. Sikap ini merupakan sikap moderat eklektik di antara
dua kubu, yakni kubu yang berpendapat adanya kata-kata non-Arab dalam al-Qur’an
dan kubu yang menolak pendapat tidak ada kata-kata non-Arab dalam al-Qur’an
dengan asumsi hal tersebut tidak sesuai dengan teks al-Qur’an sendiri “araby”.
Menurut metode moderat-eklektik teks yang menjadi perdebatan merupakan teks yang
kebetulan sama-sama dimiliki oleh berbagai bahasa, bukan karena bahasa tersebut
bermigrasi dari satu bahasa ke bahasa lain.
Dialek yang ditetapkan sebagai
bacaan resmi adalah dialek Quraisy setelah terjadi perselisihan pada masa
Khalifah Usman bin Affan. Hal ini menurut hipotesa penulis, bahwa pembelaan
Imam Syafi’i terhadap kemurnian bahasa al-Qur’an dari kata serapan non-Arab,
bukan hanya pembelaan terhadap bahasa Arab secara keseluruhan, melainkan terhadap
kemurnian bahasa Quraisy, dan penegasan terhadap otoritas dan hegemoni dialek
Quraisy atas dialek-dialek Arab lainnya. Pendapat tentang kemurnian bahasa Arab
dalam al-Qur’an berimplikasi pada masalah fiqh seperti membaca surah pertama
al-Qur’an sebagai syarat sah salat. Berbeda dengan Abu Hanifah yang beretnik
Parsi. Beliau membolehkan membaca al-Fatihah dengan bahasa Parsi dalam salat
bagi orang yang tidak mampu membacanya dengan bahasa Arab.
Dalam sejarah peradaban Arab-Islam,
teks-teks sekunder berubah menjadi teks
primer karena beberapa faktor dan pengaruh sosio-historis, teks sekunder
menjadi teks yang merepresentasikan kerangka otoritatifnya pada dirinya
sendiri. Hal ini terjadi hampir di seluruh bidang pengetahuan terutama di
bidang tafsir dan fiqh, dimana ijtihad para imam berubah menjadi teks-teks
dasar yang diseputarnya beredar uraian dan penafsiran, bahkan dikultuskan atas
kesucian daya pikir intelektual –dalam anggapan mereka-.
Pada dasarnya teks-teks tidak
mempunya kekuasaan apapun, ecuali kuasa epistemonologis. Yaitu kuasa yang
diupayakan oleh setiap Teks –sebagai teks-
untuk diprektekkan dalam wilayah epistemonologis tertentu. Setiap teks
berusaha memunculkan kekuasaan epistemonologinya secara baru, dengan asumsi
bahwa ia memperbarui teks-teks yang mendahuluinya. Namun kekuasaan tekstual ini
tidak akan berubah menjadi kekuasaan kultural-sosiologis, kecuali melalui
kelompok yang mengadopsi teks tersebut dan mengubahnya menjadi kerangka
ideologi. Oleh karena itu, haruslah dibedakan antara teks-teks dengan kuasa
yang diselipkan kepadanya oleh akal manusia sehingga tidak muncul dari teks
dengan sendirinya. Sehingga pembebasan dari kekuasaan teks sebenarnya berarti
membebaskan diri dari kuasa teks mutlak dan otoritas hegemonik pemikiran yang
mempraktekkan pemaksaan dan penguasaan, melalui dengan menyususpkan
indikasi-indikasi dan makna-makna di luar masa, ruang, kondisi dan lingkungan
ke dalam teks, inilah wujud dari gerak metodek sistemasitis yang dilakukan
dalam mewacanai permasalahan teks; seruan tersebut merupakan ajakan untuk
memahami, menganalisa dan menginterpretasi secara ilmiah yang berdasarkan
analisa bahasa terhadap teks tersebut dalam kompleksitas konteks-konteksnya.
Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan teks pada pembahasan ini yaitu kekuasaan
yang dilimpahkan as-Syafi’i dan pemikiran keagamaan terhadap teks dan akan
berbeda lagi dalam penyandaran istilah yang di gunakan Nasr, ketika di terapkan
di lain tempat atau pembahasaan.
Ada beberapa hegemoni yang
disusupkan Imam Syafi’i terhadap teks-teks keagamaan, yaitu melalui perluasan
wilayah efektifitas teks dan pengaruhnya, dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1.
Mengubah teks sekunder (sunnah
nabawiyah) menjadi teks yang mempunyai legitimasi, yang indikasi tasyri’nya
tidak kurang dari teks primer (al-Qur’an). Hal ini berbeda dengan pendapat
mapan pada masanya, bahwa sunnah adalah teks pengurai dan penjelas.
2.
Memperluas konsep sunnah dengan
memasukkan ijma’ ke dalamnya, sehingga tidak ada perbedaan antara sunnah
“wahyu” dan sunnah “adat istiadat”.
3.
Mengaitkan konsep qiyas dan ijtihad
secara erat dengan teks, dan mempersempit wilayahnya.
Kaitan
antara sunnah dan al-Qur’an dilihat dari tiga hal yaiu, kemiripan semantik yang
didasarkan pada pengulangan sunnah terhadap wacana al-Qur’an, hubungan tafsir
dan al-bayan, dan sunnah berdiri sendiri sebagai teks tasyri’
meskipun kehujjahan tekstualnya
bersumber dari pemaknaan yang terdapat dalam al-kitab. Imam Syafi’i menganggap sunnah sebagai sejenis “wahyu”
yang berarti inspisi (ilham) melalui takwil terhadap kata al-hikmah yang
banyak disebutkan di dalam al-Qur’an setelah kata al-kitab. Namun dalam
masalah naskh dan mansukh, Imam Syafi’i memisahkan antara
al-Qur’an dan Sunnah, karena apabila keduanya merupakan satu kesatuan teks maka
sunnah dapat menaskh al-Qur’an sebagai mana al-Qur’an dapat menaskh sunnah.
Secara logika sunnah tidak dapat menaskh al-Qur’an, sebab yang pokok (ushul)
tidak mungkin dirubah oleh cabang (furu’). Sikap ini menunjukkan
inkonsistensi yang merupakan ciri dari model pemikiran eklektik (talfiqi),
yaitu pemikiran yang berusaha mendamaikan antara dua metode atas dasar
ideologis, bukan atas dasar rasio.
Menurut,
Imam Syafi’i menganggap ijma’ sama dengan sunnah, dengan membatasinya pada lima
sisi: (1) yang mutawatir; (2) teks-teks yang mengandung takwil dan makna tidak
boleh dialihkan dari makna lahiriahnya kecuali dengan ijma’; (3) Ijma’ adalah
apa yang disepakati oleh kaum muslimin, dan mereka peroleh dari orang
sebelumnya sebagai sesuatu yang disepakati, meskipun mereka tidak mengatakan
ini menurut al-Qur’an atau sunnah. Ijma yang seperti ini menurut penulis sama
dengan sunnah yang disepakati, ; (4) dimensi keilmuan; (5) qiyas. Demikianlah,
ijma’ masuk ke dalam konsep sunnah, yang menurut Imam Syafi’i memuat
sunnah-sunnah yang berupa urf, adat istiadat. Maksudnya konsep sunnah
tersebut meluas (di samping kesepakatan generasi berikutnya) yang merupakan
sunnah-sunnah (tradisi) yang bersifat historis.
Adapun qiyas
hanya berperan terbatas dalam menyingkapkan hukum yang secara praktis ada di
dalam teks-teks keagamaan, meskipun keberadaannya samar dan tersembunyi. Imam
Syafi’i berpendapat bahwa qiyas adalah segala sesuatu yang selain nash dari
al-Qur’an dan sunnah dan memasukkan setiap upaya pencarian tanda ke dalam
wilayah ijtihad/qiyas. Ijtihad yang berlangsung di luar wilayah teks dan
indikasi literalnya dinilai sebagai istihsan (pendapat dengan dasar
rasio dan nafsu). Sikap yang menolak istihsan ini menampakkan
pertarungan pemikiran pada masa beliau. Bahkan menghapus tendensi “sikap
tengah/moderat” dan “kompromisme” serta menyingkap sikap eklektik. Penolakan
terhadap istihsan dan penegasan terhadap qiyas (terikat dalam pemahaman
literal terhadap teks) merupakan “senjata” untuk menghancurkan pluralitas
pemikiran filosofis dan fiqh: suatu peperangan yang tidak lepas dari
signifikansi sosial, pemikiran dan politik yang jelas. Lebih lanjut, penolakan
Imam Syafi’i terhadap istihsan lantaran menimbulkan kemajemukan dan
persilisihan tetapi beliau menerima atas perselisihan dalam batas-batas
sengketa dengan orang-orang yang menggunakan dan menerapkan Qiyas, bahkan
perselisihan tersebut dipertahankan oleh beliau, menurut Nasr Hamid bahwa imam
Syafi’i melakukan pembelaan tersebut dengan bagus sekaligus dengan mencela. Hal
ini kemungkinan adanya unsur yang lain dengan dominasi lebih kuat sehingga
keadaan pun ikut berubah.
Dalam
ungkapan Nasr Hamid dari hasil analisa terhadap konsep Qiyas dan wacana imam
syafi’i, ia mengutarakan dalam konsep itu merefleksikan sebuah pandangan hidup
yang menjadikan manusia terbelenggu dan terikat dengan sejumlah ketentuan yang
apabila dilepaskan, maka jiwa tersebut dianggap telah keluar dari
kemanusiawiaannya. Hal tersebut terdapat hubungan kesamaan yang terdapat dalam pandangan Imam
Syafi’i terhadap qiyas dangan konsep al-hakimiyyah dalam wacana keagamaan
kontemporer, dimana hubungan Allah dan manusia dipandang dari sudut hubungan
antara tuhan dengan hamba yang hanya mengenal kedudukan. Menurutnya, tatkala
aksi menyatukan antara pemahaman Imam Syafi’i terhadap teks dengan makna
literal teks-teks suci, karena penyamaan ini merupakan penyamaan yang sangat
berbahaya, karena telah mengabaikan jarak epistemonologis antara pemahaman yang
mana merupakan proses kemanusiaan yang bersifat relatif dengan maksud tuhan.
Dengan kata lain, ia menyatukan pikiran dengan agama.
Hegemoni
yang diberikan oleh Imam Syafi’i terhadap teks-teks keagamaan dengan merubah
teks kedua yang berfungsi sebagai pengurai menjadi teks asli dan memiliki
tingkat legalitas yang sama, kemudian memperluas konsep sunnah dengan memasukkan
ijma’ dan adat istiadat ke dalamnya. Kemudian mengkaitkan ijtihad dengan semua
sumber yang ada mengandung arti pembelengguan manusia dengan mengabaikan
kemampuan kerjanya dan menafikan eksperimentasinya. Sikap ijtihadiyah Imam
Syafi’i kebanyakan berkisar pada wilayah pelestarian apa yang sudah mapan dan
terbentuk. Konteks ideologis yang menjadi pusat berputarnya seluruh wacana
menjadikan sistem tersebut tetap hidup, berkembang dan menguasai sebagian besar
wacana keagamaan sampai masa kini. Meskipun demikian hal ini, menjadikan tidak
adanya pembeda antara Sunnah wahyu/Nubuwah dan sunnah adat-istiadat, karena
sebab perluasaan konsep Sunnah dengan memasukkan ijma’ ke dalamnya. Selain itu,
usaha Imam Syafi’i menyusupkan hegemoni ke dalam teks-teks keagamaan melalui perluasan wilayah
efektifitas teks dan pengaruhnya dengan mengkaitkan konsep qiyas dan ijtihad
secara erat dengan teks dan mempersempit wilayahnya.
Kaitan
dengan pembahasan teks yang Nasr lakuakan, merupakan langkah ia untuk
membangunkan kembali “kebangkitan intelektual islam” yang telah lama tidur
disudut gubuk dunia dan tidak juga hanya sebagai upaya mengkritisi tanpa
tawaran solusi terhadap agama dan semua hal-hal yang mencangkup di dalamnya. Ia
menggunakan kajian filosofis-antropologis.
Kita harus
meninjau ulang dan mengadakan transformasi ke fase pembebasan tidak hanya dari
otoritas teks semata tetapi dari semua otoritas yang menghadang perjalanan
manusia di dunia ini, maksudnya membebaskan diri dari “kekuasaan” yang
disisipkan oleh orang-orang tertentu terhadap teks-teks tersebut. Mari
memahami, menganalisa dan menafsirkan secara ilmiah dan penentuan wilayah yang
khusus untuk “peradaban pembangunan dan pembangunan peradaban”. Umat Islam jangan
hanya menerima hasil pemikiran dari para imam terdahulu, tetapi hendaknya
mengkaji proses pemikiran tersebut agar tidak hanya bertaklid tetapi selain
memahami, umat Islam juga dapat memproses suatu pemikiran baru.
Seperti
halnya yang dilakukan sahabat Umar bin Khattab atas kelihaiannya membaca
konteks ayat di saat ia di hapadkan dengan problem zakat yang kala itu memui
hasil dengan menempatkan orang yang hatinya masih lemah/muallaf sebagai
orang-orang yang berhak memperoleh bagian zakat; problem pencurian dengan
menghasilkan ijtihad sahabat umar tidak memotong tangan pencuri –pada musim
kelaparaan, yang sekilas akan berkesan ia tidak memutuskan perkara dengan berlandaskan
ayat, dimana keterangan ayat tersebut mempunyai muatan hukum fiqh-syari’at potong
tanggan bagi pelaku pencurian, tetapi ia tidak menjalankan sebab kemampuan daya
bacanya terhadap situasi yang ada secara cermat dan teliti sangat kuat, lebih
dari sekedar pemahamannya terhadap arti tekstual sebuah ayat. Sehingga ia tidak
memperlakukan hukum-hukum teks sebagai representasi kekuasaan mutlak.
Perlu
ditekankan kembali, bahwa sahnya semua pemikiran atas wacana yang ada sehingga
menimbulkan sebuah konsep-konsep yang beragam, tidak lah mingkin tanpa
bergesekan –dalam sekala kecil- dengan situasi kondisi pada saat itu, seperti
sosio-ekonomi-politik. Dari itulah perlu kita ketahui semangat zaman yang ada
pada masa dimana pemikiran dibentuk dan dikembangankan, agar tidak mudah untuk
kita mengklem menyalahkan atau fanatik berlebihan sebagai kebenaran yang
absolut dimana hanya berdasarkan paradigma-paradigma yang dipengaruhi
postulat-postulat. “Terima-analisa-hasil-to extion” mungkin itulah istilah
sebagai wakil dari pemahaman penulis atas semua yang telah disebutkan di atas.
BAB III
PENUTUP
A.
Ringkasaan
Setiap
pemikiran seseorang dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik yang ada
disekitar serta intelektualnya. Begitu
pula ideologi Imam Syafi’i dalam menetapkan sumber hukum Islam dengan susunan
hierarkinya yakni al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas dengan berbagai
ketentuannya.
Kita sebagai
umat islam hendaknya mengkaji dan meneliti setiap warisan intelektual dari para
pendahulu kita secara ilmiah dalam rangka berijtihad demi perkembangan agama
dan kemaslahatan ummat, tidak semata-mata bertaklid kepada mereka. Jangan
menyalahkan pendapat orang lain tanpa mengkaji terlebih dahulu kebenarannya,
bukankah para imam tidak pernah saling menyalahkan hasil dari ijtihad pada
masanya, bahkan mereka mempelajari dan memperbaharuinya. Dalam problem wacana
tersebut Nasr Hamid Abu-Zayd mencoba menawarkan konsep cara baca baru terhadap
warisan intelektual yang dimiliki umat muslim, serta solusi yang ia miliki
untuk di tawarkan, dimana tujuan itu agar nantinya umat islam dapat bersikap
lebih bijak dan arif terhadap problem perbedaan, terutama memperkaya khazanah
kekayaan intelektual islam seperti masa dimana intelektual islam menapai
kemajuan yang sangat tinggi, hal ini dilihat tanpa melihat sisi unsur
kepentingan praktis yang bermain.
B. Referensi.
Nasr
Hamid Abu-Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, trj.
Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar