BAB I PENDAHULUAN
TASHOWUF: UMMUL AKHLQ
A.
Latar belakang
Manusia adalah makhluk
sosial. Dalam bermasyarakat tentunya memiliki sebuah aturan-aturan atau
pijakan-pijakan, yang berguna sebagai
penilai “baik” atau “buruk” dari prilaku interaksi yang terjadi dalam
masyarakat. Suatu aturan
atau pijakan tidak lepas dari keterkaitannya dengan aturan bersosial, yang
telah diatur dan dituntun oleh agama, sedangankan dalam Islam aturan-aturan
tersebut biasa dikenal sebagai Akhlak. Sedangkan dalam masyarakat sosial biasa
dikenal dengan sebutan moral, etika atau budi pekerti.
Dengan adanya akhlak dalam tatanan bermasyarakat,
menjadikan masing-masing individual dapat meposisikan dirinya sendri sesuai
dengan apa yang di kehendakinya, melalui akhlak yang dipakainya. Pasalnya suatu
posisi dalam masyarakat tidak hanya satu kedudukan saja dan bila seseorang
menginginkan suatu kedudukan yang tinggi dalam bermasyarakat, tidaklah cukup
didapat yang hanya melalui satu metode contoh; mulia hanya mengandalkan
kekayaan. Pada dasarnya semua interaksi sosial mengandung sebuah akhlak atau
etika, sedangakan akhlak atau etika
mempunyai pembagian wujud yaitu baik dan buruk.
Suatu akhlak yang baik akan timbul tatkala dari
unsur-unsur yang didasari oleh empat kekuatan, dapat terpadu secara cantik dan
seimbang. Sedangkan kekuatan tersebut ada empat macam; 1. Kekuatan ilmu (quwwatul
al-ilm), 2. Kekuatan nafsu-syahwat (quwwatu
as-syahwah), 3.
Kekuatan amarah (quwwatu
al-ghadab), 4. Kekuatan adil (quwwatu
al-adl). Sehingga akan
memunculkan akhlak-akhlak plihan yaitu hikmah (Hikmah), kehormatan ('iffah),
keberanian (Syaja'ah), keadilan ('Adalah), atau sering dikenal ummu Al-Akhlaq. Terkait materi yang akan kami bahas, kami akan mencoba
menjabarkannya.
- Rumusan masalah
- Pengertian Ummahat al-aklaq (Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah, dan 'Adalah).
- Contoh-contoh Ummahat al-aklaq (Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah, dan 'Adalah).
- Penerapan empat perinsip dalam bersikap dan berprilaku.
BAB II PAMBAHASAN
- Pengertian Ummahat al-aklaq (Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah, dan 'Adalah).
Akhlak dalam arti yang populer,
merupakan suatu keadaan jiwa[1]
. Setiap jiwa pada manusia yang bernyawa, saling berkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain. Jiwa
dipandang dari segi fisik, dikenal dengan kalbu jasmani, roh jasmani, hawa
nafsu dan ilmu[2], unsur
unsur tesebut akan menjadi motorik bagi anggota tubuh untuk melaksanakan
kehendak yang dihapakan dan dengan itu, menimbulkan suatu istilah akhlak.
Dewasa ini merupakan
suatu tuntun yang telah dianjurkan oleh agama melalui firman Allah s.w.t yang
telah termaktub dalam kitab suci al-Qur'an dan diwujudkan melalui prilaku yang
sangat mulya dari Nabi Muhammad s.a.w
وَإِنَّكَ
لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ ( القلم :٤)[3]
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
luhur." (Q.S, Al-Qolam: 4)
Akhlak dalam diri
seorang hamba seperti suatu gambar dari keadaan jiwa yang dikongkritkan melalui
tindakan yang nyata secara dzohiriyah, sehingga bila suatu keadaan jiwa
belum diwujudkan secara kongkrit melalui perbuatan, maka belum di namakan
akhlak. Menurut al-Ghozali suatu kesempurnaan akhlak akan terwujud ketika
terpenuhinya kebagusan bentuk dzahir dan batin[4]
Sedangkan
Batin mempunyai
sendi-sendi kekuatan sebagai dasar keluarnya akar pokok akhlak dari macam-macam
nama akhlak, yang ditentukan dari sikap dan perilaku seorang hamba dalam
mengkorelasikan empat kekuatan utama secara apik dan seimbang. Yaitu: kekuatan
ilmu-akal (quwwatul al-ilm), kekuatan nafsu-syahwat (quwwatu
as-syahwah), kekuatan amarah (quwwatu al-ghadab),
dan kekuatan keadilan (quwwatu al-adl).
Kekuatan ilmu-akal (quwwatul
al-ilm),adalah kemampuan seseorang hamba dalam intelektual
yang terarahkan dengan sadar dan patuhnya akal kepada tuntunan agama, yang
telah ditentukan secara baik dan seimbang, sehingga akan memunculkan sebuah
akhlak yang disebut hikmah. Dengan adanya hikmah seorang hamba tersebut
dapat membedakan suatu hal yang baik atau buruk dan yang dilarang atau
diperbolehkan dan dapat mengambil keputusan yang seimbang tidak terlalu kekanan
dan tidak pula terlalu kekiri.
Kekuatan nafsu-syahwat (quwwatu
as-syahwah) merupakan kemampuan seseorang yang
berkaitan dengan hasrat pemenuhan terhadap suatau hal, dengan tunduknya nafsu-syahwat kepada akal-ilmu yang
telah terdidik berlandaskan agama dan terwujudkan secara seimbang, maka akan
memunculkan suatu akhlak yang disebut 'Iffah (kehormatan). Sehingga
orang tersebut dapat menjaga dirinya agar tidak terjerumus kedalam hal
kenistaan.
Kekuatan amarah (quwwatu
al-ghadab) adalah suatu kemampuan yang bersifat penekanan
keberanian-marah. Apabila kekuatan tersebut tunduk pada akal yang juga berlandaskan agama
dan berjalan simbang, maka akan memunculkan sebuah akhlak yang disebut Syaja'ah
(keberanian).
Kekuatan keadilan (quwwatu
al-adl) adalah suatu kekuatan yang sifatnya sebagai
penengah dalam korelasi saling terkait antara kekuatan ilmu-akal, kekuatan
amarah dan nafsu-syahwat yang terkontrol oleh petunjuk agama secara seimbang.
Dari masing-masing
kekuatan yang terealisasikan secara benar, dapat menghasilkan suatu perbuatan
atau kejadian yang memiliki nilai lebih dari masing-masing kekuatan. Kakuatan
ilmu-akal akan dapat mengeluarkan suatu hikmah, karena ilmu-akal
yang dilandasi oleh petunjuk agama, dapat membedakan suatu perkara yang baik
atau tidak, halal atau haram dan suatu perbedaan yang lain, ketika ilmu-akal
diter3
|
Pageapkan secara arif.
Hikmah tergolong sebagai akhlak yang baik dan sebuah keutamaan yang
diberikan dari Allah s.w.t, seperti dalam firman-Nya:
وَمَنْ
يُؤْتَ اْلحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا (البقرة: ٢٦٩)[5]
"Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah,
ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak." (Q.S,
Al-Baqoroh: 269)
Interaksi dalam
kehidupan sehari-hari tidak serta merta hanya mengandung hal-hal yang sifatnya
mudah difaham dan logis, maka dari itu hikmah dapat berperan selaku
penjembatan untuk mengetahui hal-hal tersebut secara arif.
Kekuatan nafsu-syahwat
dapat menghasilkan sebuah akhlak yang baik yaitu 'iffah (kehormatan),
ketika nafsu-syahwat terarahkan dan terdidik oleh ilmu-akal yang sesuai dengan
tuntunan agama. 'Iffah dalam arti etimologis adalaah bentuk masdar dari affa-ya'iffu-'iffah
yang berarti menjauhkan diri, sedangkang secara terminologis 'iffah
adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan,
merusak dan menjatuhkannya. sedangkan menurut al-Ghozali 'iffah
merupakan penjagaan diri[6],
maksudya penjagaan diri dari perbuatan yang terela, sehinga beakibat
mengurangnya kehormatan dalam diri seseorang, bahkan dapat berdampak hilangnya
kehormatan itu.
Dalam konteks secara
umum, menjaga kehormatan merupakan anjuran yang disepakati baik dalam anjuran
adat-istiadat, agama maupun negara yang tercatat dalam undang-undang. Seperti
contoh dalam agama islam adanya larangan berzina, Allah s.w.t berfirman;
وَلَا
تَقْرَبُوْا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَحِشَةً وَسَآءَ سَبِيْلًا (الإسراء: ٣٢)[7]
"Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk." (QS. Al-Isro': 32)
Keterangan berzina dalam ayat tersebut, bukanlah
sekedar larangan bersetubuh dengan orang yang tidak halal disetubuhi. Lebih
luas penjebaranya, kerane dalam perzinaan mengandung dampak negatif yang tidak
sekedar menempel pada jasad pelaku. Lebih jauh rusaknya kerohanian, jiwa dan lain-lain, bahkan dampak
untuk orang di sekitar pelakupun terkena
gatahnya, yang sehingga timbulnya hukuman bagi pelaku dan orang yang di
sekitarnya baik yang bersifat adat-istiadat seperti cemo'ohan, gunjingan,
pengasingan dan lain-lain. Atau yang bersifat agama seperti hukum rajam bagi
pelaku yang sudah menikah secara syari'at islam, hukum cambuk bagi pelaku yang
belum menikah. Bahkan dalam undang-undang dasar NKRI 1945 menyebutkan Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi (Undang-undang Dasar, 1945, 28G(1)).
Kekuatana amarah yang terratur dan patuh terhadap
ilmu-akal tuntunan agama, akan memwujudkan sifat syaja'ah (keberanian).
Sifat syaja'ah adalah keberanian yang berlandaskan, bukan suatu tindakan
berani tanpa adanya dasar alasan yang melatar belakangi keberanian dimunculkan,
jika syaja'ah ditampakan tenpa adanya dasar, maka keberanian seseorang tersebut
akan sia-sia. Seperti contoh seseorang yang berani berjuang dijalan Allah s.w.t
walaupun tantangannya adalah kematian, sedangkan seseorang itu sudah mengetahui
arti dari jihad atau perjuangan beserta hal yang menyangkut jihad. Seperti
firman Allah s.w.t:
إنما المؤمنون الذين امنوابالله ورسوله ثم لم يرتابوا وجاهدوابأموالهم وأنفسهم
في سبيل الله، ألئكهم الصادقون (الحجرات: ١٥)[8]
"Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah
mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Meraka
itulah orang-orang yang benar'' (Q.S, Al-Hujurat: 15)
Sedangkan kekuatan
keadialah, menghasilkan akhlak yang dinamakan adil. Akhlak adil akan terwujud
apabila seseorang sudah dapat mengusai dan menerapkan tiga kekuatan tersebut
secara arif dan dengan proporsi yang pas serta seimbang. Al-Ghozali
mengutarakan "Akal itu seumpama nasehat, yang menunjukkan jalan. Dan
kekuatan keadilan ialah kekuasaan", (Ihya' al hozali; Ismail Yakub, 1986,
145).
Apabila empat kekuatan
itu terpadu dengan baik, maka akan menghasilkan sebuah inti-inti akhlak yang
sesuai dengan kekuatan nya, yaitu hikmah, 'iffah, syaja'ah dan 'adalah.
Dari empat inti akhlak tersebut akan menghasilkan berbagai cabang-cabang
akhlak, yang nantinya akan dibahas pada bagian Korelasi dari kekuatan
ilmu-akal, nafsu-syahwat, amarah dan keadilah dalam keidupan sehari-hari.
- Contoh-contoh Ummahat al-aklaq (Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah, dan 'Adalah).
Contoh dari hikmah
Dapat membedakaan
perkara yang baik dan buruk dan dapat
mengambil manfaat dari pelajaran kehidupa yang telah dilaluinya, melihat masa
lalu untuk berintropeksi, melihat masa saat itu untuk perjuangan dan melihat
masa yang akan datang untuk harapan dan cita-citanya. Contoh 'Iffah
(kehornatan,wibawah), menjaga drinya atas kehormatanya dalam menjaga
kepercayaan oranglain terhadap dirinya, seperti menjauhi tindak khiyanat,
pembohong, tidak jujur dll.
Contoh Syaja'ah (keberanian)
atas dasar kebenaran untuk melawan
kemungkaran yang didasari dengan kesadaran penuh dan terkawal oleh ajaran dan
aturan agama-adat istiadat, seperti berani berjihad dijalan alah walaupun nyawa
taruhanya dan membela orang-orang yang teraniaya dengan tanpa pamrih dan
berani.
Contoh 'Adalah (adil) mampu mengamil jalan tenggah
dari semua keputusan yang akan di ambil dalam kehidupanya, mempunyai uang
banya, tidak untuk foyah-foyah dan tidak di simpan terus atau kikir melaikan
dia pun mendermakan hartanya untuk yang membutuhkan juga.
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
Akar pokok dari segala
akhlak adalah Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah dan 'Adalah, sedangkan itu semua
akan muncul apabila unsur dari empat kekuatan (kekuatan ilmu, kekuatan syahwat,
kekuatan amarah dan kekauatan keadilan) dapat berjalan secara apik, indah dan
seimbang. Serta semua akahlak dapat direalisasikan menjadi akhlak yang terpuji
ketika semua itu dapat terlaksana.
- Refrensi
Bloger, PANDANGAN
AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN
MORAL, http://syamsuljosh.blogspot.com/2012/06/pandangan-al-ghazali-tentang-pendidikan.html,
6 Juni 2012.
Ikhwanuddin, Konsep Akhlak Perspektif
al Ghazali, http://www.oaseimani.com/konsep-akhlak-perspektif-al-ghazali.html,
diakses 21 January
2012.
Yakub, Ismail. Al-Ghozali,
IHYA' AL GHOZALI, terj (Jakatra selatan: C.V FAIsan, 1986), jil. IV,
[1]Ikhwanuddin,
"Konsep Akhlak Perspektif al Ghazali", http://www.oaseimani.com/konsep-akhlak-perspektif-al-ghazali.html, diakses 21 January 2012.
[2]
Bloger, "PANDANGAN AL-GHAZALI
TENTANG PENDIDIKAN MORAL", http://syamsuljosh.blogspot.com/2012/06/pandangan-al-ghazali-tentang-pendidikan.html, 6 Juni 2012.
[3]
Surat Al-Qolam, terj (Kudus: Menara Kudus, 2006), ayt. 4, hlm. 564.
[4]
Al-Ghozali, IHYA' AL GHOZALI,terj Ismail Yakub (Jakatra selatan:
C.V FAIsan, 1986), jil. IV, hlm. 144.
[5]Surat
al-Baqoroh, terj
(Kudus: Menara Kudus, 2006),
ayt. 269, hlm. 45
[6]
Al-Ghozali, IHYA' AL GHOZALI,terj Ismail Yakub (Jakatra selatan: C.V FAIsan,
1986), jil. IV, hlm. 145
[8]Surat
Al-Hujurat, terj
(Kudus: Menara Kudus, 2006),
ayt. 15, hlm. 517.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar