Minggu, 19 Maret 2017

TASHOWUF: UMMUL AKHLQ



BAB I PENDAHULUAN
TASHOWUF: UMMUL AKHLQ

A.    Latar belakang
Manusia adalah makhluk sosial. Dalam bermasyarakat tentunya memiliki sebuah aturan-aturan atau pijakan-pijakan,  yang berguna sebagai penilai “baik” atau “buruk” dari prilaku interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Suatu aturan atau pijakan tidak lepas dari keterkaitannya dengan aturan bersosial, yang telah diatur dan dituntun oleh agama, sedangankan dalam Islam aturan-aturan tersebut biasa dikenal sebagai Akhlak. Sedangkan dalam masyarakat sosial biasa dikenal dengan sebutan moral, etika atau budi pekerti.
Dengan adanya akhlak dalam tatanan bermasyarakat, menjadikan masing-masing individual dapat meposisikan dirinya sendri sesuai dengan apa yang di kehendakinya, melalui akhlak yang dipakainya. Pasalnya suatu posisi dalam masyarakat tidak hanya satu kedudukan saja dan bila seseorang menginginkan suatu kedudukan yang tinggi dalam bermasyarakat, tidaklah cukup didapat yang hanya melalui satu metode contoh; mulia hanya mengandalkan kekayaan. Pada dasarnya semua interaksi sosial mengandung sebuah akhlak atau etika, sedangakan akhlak atau etika  mempunyai pembagian wujud yaitu baik dan buruk.
Suatu akhlak yang baik akan timbul tatkala dari unsur-unsur yang didasari oleh empat kekuatan, dapat terpadu secara cantik dan seimbang. Sedangkan kekuatan tersebut ada empat macam; 1. Kekuatan ilmu (quwwatul al-ilm), 2. Kekuatan nafsu-syahwat (quwwatu as-syahwah), 3. Kekuatan amarah (quwwatu al-ghadab), 4. Kekuatan adil (quwwatu al-adl). Sehingga akan memunculkan akhlak-akhlak plihan yaitu hikmah (Hikmah), kehormatan ('iffah), keberanian (Syaja'ah), keadilan ('Adalah),   atau sering dikenal ummu Al-Akhlaq. Terkait materi yang akan kami bahas, kami akan mencoba menjabarkannya.
  1. Rumusan masalah
  1. Pengertian Ummahat al-aklaq (Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah, dan 'Adalah).
  2. Contoh-contoh Ummahat al-aklaq (Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah, dan 'Adalah).
  3. Penerapan empat perinsip dalam bersikap dan berprilaku.
BAB II PAMBAHASAN
  1. Pengertian Ummahat al-aklaq (Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah, dan 'Adalah).
Akhlak dalam arti yang populer, merupakan suatu keadaan jiwa[1] . Setiap jiwa pada manusia yang bernyawa, saling berkaitan antara  unsur yang satu dengan yang lain. Jiwa dipandang dari segi fisik, dikenal dengan kalbu jasmani, roh jasmani, hawa nafsu dan ilmu[2], unsur unsur tesebut akan menjadi motorik bagi anggota tubuh untuk melaksanakan kehendak yang dihapakan dan dengan itu, menimbulkan suatu istilah akhlak.
Dewasa ini merupakan suatu tuntun yang telah dianjurkan oleh agama melalui firman Allah s.w.t yang telah termaktub dalam kitab suci al-Qur'an dan diwujudkan melalui prilaku yang sangat mulya dari Nabi Muhammad s.a.w
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ ( القلم :٤)[3]
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur." (Q.S, Al-Qolam: 4)
Akhlak dalam diri seorang hamba seperti suatu gambar dari keadaan jiwa yang dikongkritkan melalui tindakan yang nyata secara dzohiriyah, sehingga bila suatu keadaan jiwa belum diwujudkan secara kongkrit melalui perbuatan, maka belum di namakan akhlak. Menurut al-Ghozali suatu kesempurnaan akhlak akan terwujud ketika terpenuhinya kebagusan bentuk dzahir dan batin[4] Sedangkan
Batin mempunyai sendi-sendi kekuatan sebagai dasar keluarnya akar pokok akhlak dari macam-macam nama akhlak, yang ditentukan dari sikap dan perilaku seorang hamba dalam mengkorelasikan empat kekuatan utama secara apik dan seimbang. Yaitu: kekuatan ilmu-akal (quwwatul al-ilm), kekuatan nafsu-syahwat (quwwatu as-syahwah), kekuatan amarah  (quwwatu al-ghadab), dan kekuatan keadilan (quwwatu al-adl).
Kekuatan ilmu-akal (quwwatul al-ilm),adalah kemampuan seseorang hamba dalam intelektual yang terarahkan dengan sadar dan patuhnya akal kepada tuntunan agama, yang telah ditentukan secara baik dan seimbang, sehingga akan memunculkan sebuah akhlak yang disebut hikmah. Dengan adanya hikmah seorang hamba tersebut dapat membedakan suatu hal yang baik atau buruk dan yang dilarang atau diperbolehkan dan dapat mengambil keputusan yang seimbang tidak terlalu kekanan dan tidak pula terlalu kekiri.
Kekuatan nafsu-syahwat (quwwatu as-syahwah) merupakan kemampuan seseorang yang berkaitan dengan hasrat pemenuhan terhadap suatau hal, dengan  tunduknya nafsu-syahwat kepada akal-ilmu yang telah terdidik berlandaskan agama dan terwujudkan secara seimbang, maka akan memunculkan suatu akhlak yang disebut 'Iffah (kehormatan). Sehingga orang tersebut dapat menjaga dirinya agar tidak terjerumus kedalam hal kenistaan.
Kekuatan amarah (quwwatu al-ghadab) adalah suatu kemampuan yang bersifat penekanan keberanian-marah. Apabila kekuatan tersebut  tunduk pada akal yang juga berlandaskan agama dan berjalan simbang, maka akan memunculkan sebuah akhlak yang disebut Syaja'ah (keberanian).
Kekuatan keadilan (quwwatu al-adl) adalah suatu kekuatan yang sifatnya sebagai penengah dalam korelasi saling terkait antara kekuatan ilmu-akal, kekuatan amarah dan nafsu-syahwat yang terkontrol oleh petunjuk agama secara seimbang.
Dari masing-masing kekuatan yang terealisasikan secara benar, dapat menghasilkan suatu perbuatan atau kejadian yang memiliki nilai lebih dari masing-masing kekuatan. Kakuatan ilmu-akal akan dapat mengeluarkan suatu hikmah, karena ilmu-akal yang dilandasi oleh petunjuk agama, dapat membedakan suatu perkara yang baik atau tidak, halal atau haram dan suatu perbedaan yang lain, ketika ilmu-akal diter3 | Pageapkan secara arif. Hikmah tergolong sebagai akhlak yang baik dan sebuah keutamaan yang diberikan dari Allah s.w.t, seperti dalam firman-Nya:
وَمَنْ يُؤْتَ اْلحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا (البقرة: ٢٦٩)[5]
"Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak." (Q.S, Al-Baqoroh: 269)
Interaksi dalam kehidupan sehari-hari tidak serta merta hanya mengandung hal-hal yang sifatnya mudah difaham dan logis, maka dari itu hikmah dapat berperan selaku penjembatan untuk mengetahui hal-hal tersebut secara arif.
Kekuatan nafsu-syahwat dapat menghasilkan sebuah akhlak yang baik yaitu 'iffah (kehormatan), ketika nafsu-syahwat terarahkan dan terdidik oleh ilmu-akal yang sesuai dengan tuntunan agama. 'Iffah dalam arti etimologis adalaah bentuk masdar dari affa-ya'iffu-'iffah yang berarti menjauhkan diri, sedangkang secara terminologis 'iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya. sedangkan menurut al-Ghozali 'iffah merupakan penjagaan diri[6], maksudya penjagaan diri dari perbuatan yang terela, sehinga beakibat mengurangnya kehormatan dalam diri seseorang, bahkan dapat berdampak hilangnya kehormatan itu. 
Dalam konteks secara umum, menjaga kehormatan merupakan anjuran yang disepakati baik dalam anjuran adat-istiadat, agama maupun negara yang tercatat dalam undang-undang. Seperti contoh dalam agama islam adanya larangan berzina, Allah s.w.t berfirman; 
وَلَا تَقْرَبُوْا الزِّنَ‍ى إِنَّهُ كَانَ فَحِشَةً وَسَآءَ سَبِيْلًا (الإسراء: ٣٢)[7]
"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isro': 32)
Keterangan berzina dalam ayat tersebut, bukanlah sekedar larangan bersetubuh dengan orang yang tidak halal disetubuhi. Lebih luas penjebaranya, kerane dalam perzinaan mengandung dampak negatif yang tidak sekedar menempel pada jasad pelaku. Lebih jauh rusaknya  kerohanian, jiwa dan lain-lain, bahkan dampak untuk orang di sekitar pelakupun  terkena gatahnya, yang sehingga timbulnya hukuman bagi pelaku dan orang yang di sekitarnya baik yang bersifat adat-istiadat seperti cemo'ohan, gunjingan, pengasingan dan lain-lain. Atau yang bersifat agama seperti hukum rajam bagi pelaku yang sudah menikah secara syari'at islam, hukum cambuk bagi pelaku yang belum menikah. Bahkan dalam undang-undang dasar NKRI 1945 menyebutkan Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Undang-undang Dasar, 1945, 28G(1)).
Kekuatana amarah yang terratur dan patuh terhadap ilmu-akal tuntunan agama, akan memwujudkan sifat syaja'ah (keberanian). Sifat syaja'ah adalah keberanian yang berlandaskan, bukan suatu tindakan berani tanpa adanya dasar alasan yang melatar belakangi keberanian dimunculkan, jika syaja'ah ditampakan tenpa adanya dasar, maka keberanian seseorang tersebut akan sia-sia. Seperti contoh seseorang yang berani berjuang dijalan Allah s.w.t walaupun tantangannya adalah kematian, sedangkan seseorang itu sudah mengetahui arti dari jihad atau perjuangan beserta hal yang menyangkut jihad. Seperti firman Allah s.w.t:
إنما المؤمنون الذين امنوابالله ورسوله ثم لم يرتابوا وجاهدوابأموالهم وأنفسهم في سبيل الله، ألئكهم الصادقون (الحجرات: ١٥)[8]
"Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Meraka itulah orang-orang yang benar'' (Q.S, Al-Hujurat: 15)
Sedangkan kekuatan keadialah, menghasilkan akhlak yang dinamakan adil. Akhlak adil akan terwujud apabila seseorang sudah dapat mengusai dan menerapkan tiga kekuatan tersebut secara arif dan dengan proporsi yang pas serta seimbang. Al-Ghozali mengutarakan "Akal itu seumpama nasehat, yang menunjukkan jalan. Dan kekuatan keadilan ialah kekuasaan", (Ihya' al hozali; Ismail Yakub, 1986, 145).
Apabila empat kekuatan itu terpadu dengan baik, maka akan menghasilkan sebuah inti-inti akhlak yang sesuai dengan kekuatan nya, yaitu hikmah, 'iffah, syaja'ah dan 'adalah. Dari empat inti akhlak tersebut akan menghasilkan berbagai cabang-cabang akhlak, yang nantinya akan dibahas pada bagian Korelasi dari kekuatan ilmu-akal, nafsu-syahwat, amarah dan keadilah dalam keidupan sehari-hari.
  1. Contoh-contoh Ummahat al-aklaq (Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah, dan 'Adalah).
Contoh dari hikmah
Dapat membedakaan perkara yang baik dan buruk  dan dapat mengambil manfaat dari pelajaran kehidupa yang telah dilaluinya, melihat masa lalu untuk berintropeksi, melihat masa saat itu untuk perjuangan dan melihat masa yang akan datang untuk harapan dan cita-citanya. Contoh 'Iffah (kehornatan,wibawah), menjaga drinya atas kehormatanya dalam menjaga kepercayaan oranglain terhadap dirinya, seperti menjauhi tindak khiyanat, pembohong, tidak jujur dll.
Contoh Syaja'ah (keberanian)  atas dasar kebenaran untuk melawan kemungkaran yang didasari dengan kesadaran penuh dan terkawal oleh ajaran dan aturan agama-adat istiadat, seperti berani berjihad dijalan alah walaupun nyawa taruhanya dan membela orang-orang yang teraniaya dengan tanpa pamrih dan berani.
Contoh  'Adalah (adil) mampu mengamil jalan tenggah dari semua keputusan yang akan di ambil dalam kehidupanya, mempunyai uang banya, tidak untuk foyah-foyah dan tidak di simpan terus atau kikir melaikan dia pun mendermakan hartanya untuk yang membutuhkan juga.
BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan
Akar pokok dari segala akhlak adalah Hikmah, 'Iffah, Syaja'ah dan 'Adalah, sedangkan itu semua akan muncul apabila unsur dari empat kekuatan (kekuatan ilmu, kekuatan syahwat, kekuatan amarah dan kekauatan keadilan) dapat berjalan secara apik, indah dan seimbang. Serta semua akahlak dapat direalisasikan menjadi akhlak yang terpuji ketika semua itu dapat terlaksana.
  1. Refrensi
Bloger, PANDANGAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN MORAL, http://syamsuljosh.blogspot.com/2012/06/pandangan-al-ghazali-tentang-pendidikan.html, 6 Juni 2012.
Ikhwanuddin, Konsep Akhlak Perspektif al Ghazali, http://www.oaseimani.com/konsep-akhlak-perspektif-al-ghazali.html, diakses 21 January 2012.
Yakub, Ismail. Al-Ghozali, IHYA' AL GHOZALI, terj (Jakatra selatan: C.V FAIsan, 1986), jil. IV,


[1]Ikhwanuddin, "Konsep Akhlak Perspektif al Ghazali", http://www.oaseimani.com/konsep-akhlak-perspektif-al-ghazali.html, diakses 21 January 2012.
[2] Bloger, "PANDANGAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN MORAL", http://syamsuljosh.blogspot.com/2012/06/pandangan-al-ghazali-tentang-pendidikan.html, 6 Juni 2012.
[3] Surat Al-Qolam, terj (Kudus: Menara Kudus, 2006), ayt. 4, hlm. 564.
[4] Al-Ghozali, IHYA' AL GHOZALI,terj Ismail Yakub (Jakatra selatan: C.V FAIsan, 1986), jil. IV, hlm. 144.
[5]Surat al-Baqoroh, terj (Kudus: Menara Kudus, 2006), ayt. 269, hlm. 45
[6] Al-Ghozali, IHYA' AL GHOZALI,terj Ismail Yakub (Jakatra selatan: C.V FAIsan, 1986), jil. IV, hlm. 145
[7]Surat Al-Isro', terj (Kudus: Menara Kudus, 2006), ayt. 32, hlm. 285.
[8]Surat Al-Hujurat, terj (Kudus: Menara Kudus, 2006), ayt. 15, hlm. 517.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar