Minggu, 19 Maret 2017

Pengertian Sejarah dan perkembangan sejarah menjadi disiplin ilmu tersendiri.



BAB I PENDAHULUAN
 Pengertian Sejarah dan perkembangan sejarah menjadi disiplin ilmu tersendiri.

A.  Latar belakang
            Sejarah, dewasa ini merupakan suatu urgensi untuk membuat perubahan dari berbagai aspek dalam kehidupan. Tidak hanya bermanfaat pada satu macam aspek kehidupan, melainkan lebih bersifat general. Seperti yang telah banyak difahami dari kacamata akademis, sejarah akan diulas kembali dimasa kini untuk melihat fenomena, fakta, realita bahkan sejarah itu sendiri yang ada dimasa lalu. Hal ini, terkadang dilakukan untuk dijadikan bahan acuhan dan tela'ah dimasa sekarang.
            Dalam promblem perkembangan pemikiran, sejarah dapat menduduki kusri jabatan yang tinggi sebagai bapak konseptor pemikiran diranah latar belakang lahirnya kosep cara berfikir dalam kronologinya. Sebagaimana yang masih ada dalam perkembangan pemikiran problem teologi agama, sejarah lebih dominan sebagai refrensi prilaku manusia dan pola berfikir manusia yang ada karena dilatarbelakangi sebuah kejadian aktifitas, sehingga secara tidak langsung menjadi bahan cerminan dan pengkajian untuk melihirkan suatu konsep dan gagasan baru. Begitu juga hal tersebut ada dalam diri agama islam, perkembangan pemikiran islam disini kebanyakan terjadi dari imbas suatu sejarah pemikiran yang lebih dahulu berkembang, sehingga berbuntut sebagai rangkaian pergulatan suatu pemahaman tentang seluruh ajaran yang terdapat dalam agama islam, hal ini tampak nyata paska wafatnya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam, sehingga sejarah disini menjadi peristiwa yang amat penting dalam upaya untuk perubahan secara umum dalam diri agama islam.
            Sejauh perkembangan sejarah sendiri, banyak mengalami perubahan baik dari penngertian secara etomilogi, terminologi maupun disiplin keilmuan tersendiri untuk menemukan suatu hal yang dicari karena pentingnya suatu hal tersebut. Adapun dalam kesempatan kali ini, penulis akan mencoba mengutarakan tentang sejarah sebagai hal yang terpenting bagi perkembangan pemikiran dunia islam pada khususnya. Menurut penulis hal ini perlu diulas dan diutarakan guna mengetahui latar belakan terjadinya sebuah pemikiran yang kian baru dan dominan berbeda dari preode ke preode yang lain, dari satu komunitas ke komunitas yang lain dan sebagian lain. Seperti halnya pemikiran teologi yang terjadi dari masa shahabat-tabi'in-tabi'it tabi'in-tabi'it tabi'it tabi'in dan dunia kontemporer dan pada komunitas yang berfaham mu'tazilah ke faham yang di sebut Asy-Ariyah dan berbagai macam laiannya.
B.  Perumusan Masalah
I.     Pengertian Sejarah dan perkembangan sejarah menjadi disiplin ilmu tersendiri.
II.  Sejarah sebagai piranti analisis yang jernih dalam perkembangan pemikiran agama islam.
BAB II PEMBAHASAAN
I.     Pengertian Sejarah dan perkembangan sejarah menjadi disiplin ilmu tersendiri.
            Pemahanan tentang "sejarah", terdapat suatu sejarah yang harus diketahui dari asal-mulanya istilah tersebut muncul. Istilah sejarah dalam bahasa indonesia, berasal  dari bahasa arab  "syajaratun" yang berarti "pohon" atau "keturunan" atau "asal usul", setelah mengalami perkembangan yang ada, istilah tersebut menjadi kata yang diserap kedalam bahasa Melayu dengan eja'an "syajarah". Seperti yang telah diketahui, awal sejarah bahasa indonesia dari bahasa melayu yang mengalami perubahan ejaan, bentuk dan lain-lain, hal ini pun terjadi pada istilah "syajarah" menjadi "sejarah" dalam bahasa indonesia[1].
            Perkembangan istilah history atau sejarah kian waktu kian berubah menurut pengertian dan fungsinya. Hal ini dilatar belakangi oleh perbedaan sudut pandang dan pemahaman yang dipengarui dari kapasitas keilmuan yang berbeda, terbukti terdapat perbedaan dan pemahaman serta perubahan arti baik dari segi bahasa maupun istilah. Seperti yang familiar dipendengaran kita, sejarah di gunakan oleh orang barat dengan mengunakan bahasa lain, yaitu "History", kata ini pun tidak luput dari adanya bahasa serapan, seperti kebanyakan bahasa indonesia.
            History berasal dari bahasa Yunani kuno "historia" yang berarti inquiry (penelitian-red), interview (wawancara-red), interigasi dari seorang saksi mata dan laporan mengenai hasil tindakan-tindakan itu; witness (saksi mata), judge (seorang hakim) dan seorang yang tahu[2]. Terkait dengan pengartian tersebut, F. Muller meberikan tiga arti dari historia: 1. Research (penelitian-red) dan laporan tetang penelitian tersebut, 2. Suatu cerita puitis, dan 3. Suatau pernyataaan tengtang fakta-fakta[3].  Adapun terkembangan alih pengertian  dan bahsa, historia masuk kebarbagai bahsa melalui perantara bahasa Latin yang artinya tidak jauh berbeda dengan arti saat Historia  masih berbeda dalam bahsa Yunani kuno yang menekankan pada direct Observation (pengamatan langsung), Research (penelitian), dan laporan hasil penelitian[4].    
            Tidak jauh berbeda, sejarawan Tacitius (69-96?) juga memberikan arti dan pengartian sendiri terkait dengan historia, yang dipegaruhi dari pengetahuan dan kedalaman ilmuannya, dia mengunakan istilah Historia dalam bukunya Historiae untuk laporan-laporan yang diamatinya secara pribadi, sedangkan laporan-laporan mengenai periode yang awal (14-68M) dia menguakan istilah Annales[5].  Pada masa Yunani klasik dan Romawi klasik, istilah annal dan chronicles (kronikel-red), resmi digunakan sebagai istilah untuk menunjukan suatu catatan mutakhir mengenai fakta-fakta terpenting dan atau seatu penulisan sejarah naratif. Istilah-istilah tersebut juga dipergunakan pada abad pertengahan sebagai penanda seperti yang telah disebutkan diatas. Pada kedua masa ini, istilah historia belum digunakan untuk menunjukan peristiwa-peristiwa di masa lampau[6].
            Dalam perkembangan di kemudian hari, konsep history memperoleh suatu pengertian baru setelah terjadi percampuran penulisan kronikel yang ketat akan kronologis dengan narasi sejarah yang bebas. Di abad pertengahan istilah biografi disebut sebgai vitae[7], baru pada akhir abad pertengahan istilah histroria duigunakan dalam arti khusus, seperti yang telah di sebutkan di atas. Istilah historia atau historiae sangat luas dipergunakan pada abad pertenagahan sebagai penanda yang menunjuk kepada peristiwa-peristiwa suci yang digambarkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang nama hal tersebut lepas dari pengunaan sporadis untuk menunjukan kepada periatiwa-periatiwa masa lalu pada umumnya.
            Pada akhir abad pertengahan juga, di Jerman mengembangankan bahasa jerman sendiri dengan istilah mereka sendiri yang mana istilah tersebut berhubungan erat dengan istilah Latin gesta atau res gestae. Istilah yang dimaksud mempunyai bentuk dalam bahsa Jerman Geschichte (geschiedenes), yang berasal dari kata geschehen maksudnya "terjadi". Dalam perkembangnya,  istilah ini telah berkembang menjadi istilah yangg paling utama dan sangat komprehensif untuk history dalam berbagai pengertian, yang terdapat dalam bahsa jerman. Dari berbagai bahasa asing, peranan kata atau istilah dan pengertiannya ini sering dimainkan oleh historia, atau variasi dari berbagai grafis dan fonetiknya[8].
            Pada abad ke-16,istilah annal dan kronikel lambat laun menghilang, dan historie mendapatkan tuntutan kritis. Kecenderungan dan perkembangan semacan tipe yang seragam, menjadikan penulisan sejarah sebagai penulisan sejarah ilmiah. Selanjutnya pada periode Renaissance, konsep tentang history dan geschihte menghubungkan dua kecenderungan yang mendasar dalam perhatiannya terhadap manusia mengenai peristiwa-peristiwa di masa lalu. Dalam perbedaan antara sejarah sebagai peristiwa di masa lalu dan sejarah sebagai narasi dari masa lalu, mendapatkan suatu aspek metodologis yang hanya dapat terwujud ketika penulisan sejarah menjadi ilmiah, yang mana penelitian sejarah tidak jauh dari pembahasan peristiwa di masa lalu yang meliputi dari berbagai aspek kehidupan manusia, seperti politik, sosial, ekonomi dan budaya[9], adapun fokus dari kajian sejarah adalah tentang manusia atau masyarakat yag bertujuan untk membedakannya dengan duani alami[10].
            Seperti yang telah dipaparkan diatas, bahwasanya arti, pemahaman, pengertian bahkan konsep dari sejarah mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan kemajuan keilmuan serta terdapat perkembangan persoalan yang semakin perlu perhatian lebih terhadap hal tersebut, maka dari itu sejarah dan semua yang melingkupinya, baik konsep ataupun pengertian perlu ditampilkan sebagai salah satu piranti untuk memecahkan permasalahan yang mengandung kronologi kejadian dan juga sebagai konsep untuk pembaharuan dalam kehidupan masyarakat.
            Bagi Topolski, sejarah mempunyai tiga pengertian mendasar: 1. Sejarah sebagai peristiwa masa lalu, 2. Sejarah sebagai riset yang dilakuakan oleh sejarawan, dan 3. Sejarah sebagai laporan dari riset tersebut yang berrupa pernyataan-pernyataan tentang peristiwa di masa lalu[11]. Sejarah sebagai sebuah kajian tentunya tidak pernah statis, maka dari itu tentulah pengertian yang ditawarkan Topolski pada pengertian pertama tidaklah mungkin diperoleh pasalnya peristiwa sejarah hanya sekali terjadi tidak dapat bisa terulang, sedangkan apabila sejarah dimaksudkan dengan ilmu sejarah, maka tentulah pengertian kedua dan ketiga dapat menjadi pengertian yang diperoleh sebab adanya pembahasan dalam bentuk kajian ilmiah tentang dewasa ini.
            Sejarah sebagai kajian keilmuan, pada mulnya hakekat pembahsannya melingkupi seluruhn aspek kehidupan di bumi, baik maunusia ataupun alam pada pengertian khusus yang dimaksudkan selain aspek dari dalam manusia, seperti yang di jelaskan oleh Gottschalk; pembatasan pembahasan tidak hanya yang menyangkut tentang kehidupan manusia, melainkan mencakup semua gejala alam secara universal[12].
            Dalam usaha untuk memperoleh  kesusaian pengertian sejarah yang sebenarnya, yaitu sejarah sebagai ilmu, tentunya perlu mengetahui pembatas-pembatas yang tertentu tentang peristiwa masal lalu, guna mewujudkan sejarah berkedudukan sebagai disiplin keilmuan. Dalam hal ini, Taufik Abdullah memberikan empat pemaparan tentang hal yang membatasi peristiwa di masa lalu[13]. Pertam, Pembatasan yang menyangkut dimensi waktu. Salah satu konsensus dalam ilmu sejarah menyatakan bahwa zaman sejarah bermula ketika bukti-bukti tertulis telah ditemukan, sedangkan yang sebelumnya disebut "prasejarah"[14]. Zaman sejarah, bagi berbagai bangsa masih terlalu luas untuk dijabarkan, sehingga diperlukan periode-periode yang dianggap merupakan suatu kesatuan tertentu yang berdasarkan dari beberapa patokan, baik secara konvensional dan umum diterima, maupun secara individual yang mana adanya kesesuaian dengan sasaran perhatian sejarawan. Setiap periode yang dikenalkan pada unit-unit sejarah tertentu, mengisyaratkan akan adanya suatu karakterristik yang dominan[15].
            Kedua, pembatasan yang menyangkut peristiwa. Dalam hal ini, boleh diasumsikan bahwa tidak selalu peristiwa di masa lalu dipandang sebagai sejarah. Menurut Taufik Abdullah, kecenderungan yang makin umum sekarang adalah pemusaatan pada peristiwa yang menyangkut manusia, atau tindakan dan prilaku manusia. Lebih dari itu, ada yang berpendapat bahwa sejarah adalah peristiwa yang disengaja, tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, peristiwa alam hanya berfungsi sebagai salah satu kekuatan yang bisa ikut mempengaruhi "peristiwa yang disengaja"[16] karena alam mengandung gejala yang dapat menjadi latar belakang suatu aktifitas manusia dan tempat berlangsungnya aktifitas manusia. Dengan kata lain, peristiwa alam hanyalah wadah dimana berbagai tindakan manusia terjadi.
Ketiga, pembatasan yang menyangkut tempat. Sejarah haruslah diartikan sebagai tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa tertentu pada masa lampau yang dilakuakan di tempat tertentu.
            Keempat,pembatasan yang menyangkut seleksi. Tidak semua peristiwa di masa silam termasuk dalam katagori sejarah. Peristiwa-peristiwa itu baru merupakan kepingan-kepingan yang bisa dipertimbangan untuk menjadi bagian dari sejarah. Semua itu baru bisa disebut sejarah kalau masing-masing terkait atau bisa dikaitkan dalam satu konteks historis, yaitu ketika keingan-kepingan tersebut merupakan lbagian dari suatu proses, atau dinamika yang terjadi perhatian sejarawan.
            Dalam kata lain, sejarah adalah gambaran masa lalu dalam karya para sejarawan. Kendati perlu diketahui dan diperhatikan dalam kenyataanya, bahwa tidak semua kejadian masa lampau bisa diungkapkan, karena studi sejarah hanya terfokuskan terhadap bagian-bagian peristiwa yang bukti-buktinya masih dapat ditemukan atau memang masih dapat direkontruksi dan mempunyai arti penting bagi peristiwa yang hendak direkontruksi[17].
            Sebagai mana yang telah dipaparkan diatas, sejarah termasuk sebagian dari piranti untuk memperoleh suatu keterangan dari peristiwa yang berbobot kebenaran empiris, maksudnya suatu yang ditoleransi oleh suatu kelompok masyarakat atau mayoritas anggota suatu kelompok masyarakat sebagai suatu kebenaran[18], adapun sejarah sendiri berakar dari kearifan, hikmah ataupun filsafat yang teramat penting bagi kelangsungan kehidupan suatu masyarakat dan negara, oleh karena itu pendekannya haruslah malalui penalaran kritikal[19].  Maka dari itu, tentu perlulah upaya untuk menyingkap sebuah fenomena-interaktif dalam sejarah, perlu dilakukan pendekatan miltidimensional, hal itu merupakan usaha untuk mendaptkan  suatu pandangan yang holistik dan porposional atas berbagai unsur yang membentuknya, sehingga sejarawan  dapat dimungkinkan mendapatkan  sebuah kearifan, himpunan dari segala kabajikan.
            Dalam ke-umuman sebuah sejarah, memang tidak sertamerta membahas dan meneliti permaslahan yang besar di kehidupan manusia[20], karena permaslahan tersebut masuk kedapam pembahasan filsafat tau setidak-tidaknya pada pembahsan filsafat sejarah. Seprti yang telah diungkapkan Alan Nevis, bahwa hal tersebut berasal dari pandnagan menyeluruh seorang penulis tentang nasib manusia dan dengan demikian mengandung filsafat kehidupan manusia; karena sebuah tafsiran tentang bahan sejarah hanya penjelasan penulis tentang makna serentetan kejadian, sebuah jaman atau gerakan[21].                                                                                                                                                                                                                                                                                            
            Terkait dengan semua itu, persoalan yang urgen adalah pertanyaan begaimana menuangkan masa lampau ke dalam karya tulis, itulah yang sebenarnya menjadi persoalan sejarah sebagai disiplin ilmu. Penulisan sejarah dapat dikata sebagai usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. penulisan itu akan dapat dikerjakan setelah adanya penelitian, karena tanpa penelitian aktifiats penulisan menjadikan usaha untuk merekonstruksi tatapi tidak adanya pembuktian. Adapun sebuah penelitian dibutuhkan skil untuk mengali sebuah informasi dari berbagai sumber, begitu juga dengan penulisan yang membutuhkan kecakapan dan ketrampilan tertentu. Penelitian akan mendapkna pengakuan kebenaran sebuah sejarah, ketika peneliti mampu untuk mencari, menemukan dan menguji sumber-sumber yang telah dipadatan, sehingga dapat menilai suatu sumber tersebut[22]. Sedangkan penulisan sejarah, dibutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta walaupun bersifat fragmentaris, ke dalam suatu uaraian yang sistematis, urut, dan kominikatif.
            Tantunya dalam proses dan kemampuan dari kedua item tersebut membutuhkan kesadaran teoritis yang unggul serta imajinasi-historis yang baik. Sehingga, dapat menghasilkan sejarah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer yang terkait pada pertanyaan pokok maupun pertanyaan yang bersifat "meminta pemaparan dan atau penjelasan secara detail", sedangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut mempunyai jawaban yang paling mendasar yaitu tentang fakta sejarah dan merupakan unsur yang memungkinkan adanya sejarah.
Sejarah sebagai ilmu, tentunya mempunyai klasifikasi tertentu dalam penilaian untuk dapat dikatagorikan sebgai ilmu. Adapun dasar-dasar suatu dapat dikata sebagai ilmu, tatkala memiliki enam ciri-ciri tertentu.
1.      Adanya kesadaran untuk mencapai kebenaran.
2.      Adanya metode, untuk mencapai kebenaran.
3.      Tersususn secara sistematis dari hasil suatu kegiatan ilmiah dan dikoralasikan satu sam lain menurut cara-cara tertentu.
4.      Bernilai objektiv dan mempunyai tingkatan objektivitas yang tinggi, dalam arti meninggalkan sejauh-jauhnya prasangka-prasangka dan kecenderungan-kecenderungan tertentu.
5.      Sersifat  Generalisasi.
6.      Mengandung prediksi dalam generalisasi tersebut[23].
            Memang sejarah sebagaimana ilmu-ilmu sosial dan kemanusian lainnya, tidak dapat mengharap tingkat kebenaran seperti ilmu-ilmu exacta, tetapi tidak berarti meragukan posisi sejarah sebagai ilmu. Kuntowijiyo mengolaborasi beberapa ciri yang mendasarkan sejarah sebagai ilmu[24] dengan mengumpulkan ke dalam lima gugsan besar; sejarah suatu yang empiris, dalam arti sebuah pengalaman yang telah terjadi dan direkam sebagai dokumen, sejarah mempunyai objek untuk di kaji yang berwujudkan sebuah waktu dan dari waktu itulah objek sejarah, sejarah memiliki teori baik teori untuk pengkajian maupun teori yang ada dalam suatu yang di kaji, sejarah memiliki karakter yang generalisasi dalam arti memiliki korelasi dangan ilmu-ilmu lain, meskipun pada dasarnya sejarah bersifat idiografi; sejarah memiliki metode terapan dalam pengamatan.
            Sejarah seperti yang dipahami dan diketahui sekarang, dalam bahasa arab di kenal dengan al-tarikh. Seperti halnya "sejarah" kata al-Tarikh, yang telah mengalami banyak perubahan perkembangan makna. Tentunnya akan mengalami kesulitan untuk mendefinisikan sebuah makna kata dari ta'rikh atau turikh tanpa melihat dan mengtahui asal-usul sebuah arti kata sersebut. Dalam  Kamus-kamus bahsa arab dan kitab kitab sejarah, kata tersebut dipandang sebagai kata dari bahasa Persia dan Syuryani yang di alih bahsakan ke bahasa arab atau bahkan berasal dari bahsa Arab Selatan[25]. Kendati terdapat banya perbedaan dalam pergertian ini, pada umumnya yang diterima adalah pernyataan bahwa kata tarikh berasal dari kata bahasa arab. Kata tersebut juga digunakan oleh bahasa-bahasa Semit, dan juga adanya kedekatan makna dari kata tarikh dengan kata yarikh yang berarti bulan/di langit dan dalam bahasa ibrani berarti bulan/tigapuluh hari. Drs. Badri Yatim mengutarakan, bahwasannya bangsa-bangsa Semit melakuakan penghitungan kalender dengan berdasarkan bulan, seperti halnya yang digunakan dalam agama islam sebagai perhitungan kalender yang terkenal dengan nama ''Hijriyah", tentunya mereka tidak mengunakan matahari sebagai perhitungan kalender mereka[26], dapat diketahui bahwa kata tarikh bermula digunakan sebagai istilah yang berarti penetapan bulan kemudian meluas menjadi arti dan makna secara umum sebagai kalender[27].
            Meski terdapat banyak perbedaan dari arti tarikh yang sesuai dengan konteks pebahasanya, pada umumnya kata tarikh menunjukkan ilmu yang berusaha menggali peristiwa-peristiwa masa lalu yang bertujuan agar tidak terlupakan sebagai kejadian yang pernah terjadi, sepadan dengan pengertian history sebagai ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu dan dalam pengertian inilah kata tarikh diberlakukan[28].

II.                Sejarah sebagai piranti analisis yang jernih dalam perkembangan         pemikiran agama islam.
            Sejarah akan menempati kedudukkan tertingi sebagai pondasi kelanjutan sebuah keilmuan, hal ini katika sejarah di posisikan sebagai disiplin ilmu tersendiri yang mengkaji bagian-bagian tertentu, seperti yang telah diuraikan diatas. Dalam perkembangan pemikiran agama islam, sejarah sangat perlu digunakan dan diperlukan sebagai bahan study penelitian untuk mengetahui perkembangan suatu hal, baik dalam lingkup keilmuan mauapun sosial-masyarakat, pasalnya menurut hemat penulis semua itu merupakan elmen-elmen yang berpengaruh dalam pembentukan sebuah pola pikir suatu golongan ataupun personal dalam suatu waktu tertentu. Dimana perkembangan dan faham akan kondisi suatu golongan atau personal sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai langkah menuju perubahan selanjutnya ataupun sebagai bahan kritik suatu permasalahan yang ada pada waktu itu maupun waktu yang telah lampau.
            Seperti yang telah umum diketahui dalam lingkup akademik, selain keilmuan sebuah pemikiran banyak dipengaruhi oleh keadaan sosial-masyarakat yang melingkupinya tidak terkecuali kejadian peristiwa sosial-masyarakat di masa lalu sebelum pola pikir tersebut dibentuk. Adapun keilmuan yang dimaksud merupakan piranti sebagai elemen-elemen pendukung terbentuknya sebuah pola pikir yang berorientasi kepada tindakkan karenanya kapasitas keilmuan berperan sebagai kepala pergerakan yang dapat menentukan nilai kualitas sebuah pemikiran. Pada dasarnya suatu pemikiran bermula sebagai tanda tanya atas sebuah problem yang terjadi, sehingga mendapat respon atas problem tersebut dari suatu alanisa dan kekritisan sebuah pola pikir yang sudah tertata apik oleh kapasitas keilmuan yang di miliki.
            Selain faktor keilmuan sebagai pengaruh pemikiran, keadaan sosial-masyarakat pun menjadi suatu bentuk yang dapat mempengaruhi perkembangan pemikiran. Dalam hal ini, dimaksudkan semua hal yang ada dalam sosial-masyarakat, baik situasi keadaan politik, ekonomi, kebudayaan ataupun hubugan interaksi lainnya. Maka dari itu tentunya perlu pengkajian yang mendalam dalam pengalasisaan sebuah fenomena yang terjadi di masa lalu atau masa dimana sebuah pemikiran terbentuk dengan melihat faktor yang mempengaruhi pemikiran tersebut, guna menentukan, membuat dan menganalisa sebuah wacana yang baru dengan konsep-konsep yang lebih baru. Seperti halnya pengkajian, penelitian dan pemahaman yang dilakukan oleh pemikir-pemikir kontemporer seperti Fadhlur Rahman dengan konsep yang ditawarkannya Doble Movemnt, lebih dalam lagi, seperti respon yang dilakukan Al-Ghazali terhadap problem keilmuan khususnya dalam bidang filssafat terhadap perkembangan filsafat pada masa itu.
            Tentunya dapat diketahui sebuah pemikiran tentang landasan berfikir dan respon yang diberikan, ketika hal tersebut dilakukan dengan cara mengkaji fenomena pada masa dimana sebuah pemikiran lahir. Dari sinilah peranan sejarah sebagai disiplin keilmaun digunakan untuk menganalisa pengkajian peristiwa fenomena yang terjadi dimasa lalu, atau dengan istilah "membaca mundur sebuah peristiwa". Dalam hal ini kedudukan sejarah sangat diperlukan guna mengkaji peristiwa-peristiwa lampau serta sebagai pergerakan untuk membangkitkan moment history yang menampilkan esensi kandungan islam dengan wajah baru[29].
            Seiring dengan pergantian masa ke masa, problem dalam kehidupan masyarakat semakin berkembang, maka perlu dibutuhkan sebuah gagasan baru yang berguna sebagai pemecah masalah atas kesesuainnya terhadap masa dimana problem tersebut hendak diselesaikan. Terkait dengan semua itu, permasalahan yang terjadi dalam perkembangan pemikiran islam, di dominasi oleh persoalan-persoalan teologi. Meskipun demikin W. Montgomery Watt, mengungkapkan problem dalam pemikiran islam tidak sertamerta tentang teologi karena di periode yang menjadi sasara studi ini –pemikiran islam- merupakan pusat kehidupan intelektual seluruh masyarakat, termasuk kehidupan politik[30].
            Dewasa ini, merupakan suatu keharusan untuk menampilkan sebuah wajah baru dalam diri Islam tetapi bukan dalam arti suatu hal yang menjadikan legitimasi-subjektif terhadap diri islam. Contoh yang sangat jelas dalam perkembangan pemikiran islam terutama sebagai wujud dari pergerakan untuk menafsirkan dan menela'ah Al-Qur'an dan Hadis agar mendapat suatu hal baru yang teranggap sebagai suatu usaha dalam menampilkan Al-Qur'an dan Hadis secara nyata, relevan dan kapabel di mana pun dan kapan pun dua sumber primer dalam islam tersebut dijadikan sebagai alat penilaian terhadap masalah yang ditimbang; seperti perkembangan yang terjadi di ranah penafsiran yang dominan terhadap Al-Qur'an sebagi objeknya, salah satunnya aksi yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi dalam penafsiranya terhadap Al-Qur'an sebagai suatu respon jawaban dari pertanyaan dan permasalahan yang dilontarkan oleh penafsir-penafsir sebelumnya, hal ini menurut penulis terdapat suatu aktifitas pembacaan ulang yang di lakukan al-Razi terhadap masa lalunya dan masa di mana terjadinya perhelatan dalam menafsirkan ayat-ayat suci –masa penafsiran yang dilakukan al-Zamakhshari dalam persoalan ideologi teologisnya konsep freewill-[31] yang mana ia lakukan tidak lain dan tidak hanya berlatar belakang terhadap problem teologi-agama semata.
            Dimana sosok al-Razi mempunyai latar belakan lain, dia sebagai seorang pemukan Asy'ariyyah, filosof dan ahli retorika, berbeda lagi dengan al-Zamakhshari sebagai slah satu pemikir dari kubu Mu'tazillah. Tidak hanya itu, fakor kedatangan al-Razi pun ikut sebagai salah satu sel pembentukan sejarah yang ada –lahir pada tahun 1149 M di kota Rayy[32]- sebagai pembanding penafsiran yang di lakukan al-Zamakhsyari –lahir pada tahun 1074 M di Zamakhsyar, Turkestan,  Rusia[33]- maka kemungkianan besar kesempatan untuk melahirkan sintesa baik pendapat al-Zamakhsyari maupun para penafsir pendahulunya yang lain lebih memungkinkan, karena terpaut jarak yang lumayan jauh. Berbeda lagi dengan situasi di lain waktu, penafsiran Al-Qur'an akan sedikit berbeda pembahasannya dari penafsiran abad klasik. Dengan adanya perkembangan ke-kompleksitas sutau sains, politik, ekonomi, seni informasi dan lain-lain sudah mencapai level yang jauh lebih rumit dibandingkan masa ketika al-Razi dan al-Zamakhsyari berusaha memahami ayat-ayat suci[34], yang mana pada masa modren para pemikir penafsir lebih menekankan pembahsan dari wacana sosial-masyarakat yang tidak melulu berkutat dalam pembahasan teologi agama belaka atau tentang permasalahan keabsoluttan Allah S.W.T, tentunya kita sepakat bawa hal tersebut dipenaruhi oleh isu-isu yang mengintari dan akhirnya membentuk worldview pembaca, sehingga dapat mengantarkan suatu metode, teori dan produk interpretasi baru.
            Seperti gerakan feminisme yang di pelopori oleh tokoh feminis islam; Rifat Hasan, Fatimah Mernisi dan Amina Wadud Muhsin, gerakan ini dilatar belakangi akibat ketimpangan  dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarkhal[35]. Hal ini tentunya tidak jauh dari akifitas yang mereka lakukan dengan melihat sejarah masyarakat sosial pada masa meraka dan atau masa lalu sebelum mereka, sehingga mereka membuat suatu gagasa yang baru dalam pemikiran islam melalui jalur penafsiran terhadap teks Al-Qur'an, disini dapat dikatakan bahwa hal ini masih ada sebagai aksi legitimasi-sujektif terhadap persoalan yang berbeda dengan memgikuti perkembangan situasi yang melingkupi. Meskipun demikian peranan sejarah sangat penting sebagai alat analisa agar mendapatkan suatu kejernihan tentang pemahaman suatu persoalan yang sangat kompleks meskipun masih teranggap sebagai Subjektifitasi-objek, hal ini tidak mengurangki perenan sejarah sebagai disiplin keilmuan tersendiri sebagai upaya dalam menguak suatu keaslian sebuat kejadian dan hal-hal yang mengintari disekeliling kejadian tersebut.
Terlepas dari benar atau salah, hitam atau putih suatu kejadian, sejarah akan pas berada di posisi sebagai alat analisa, menurut hemat penulis pencarian sebuah hal di masa lalu yang akan diungkap tetapi tanpa melihat sejarah sebagai disiplin keilmuan dan semua piranti yang mendukungnya, mustahil sebuah fenomena kejadian akan dapat diungkap sesuai dengan fakta yang ada. Sepertihalnya penela'ahan terhadap sekte khawarij dengan tujuan untuk megetahui identitas idologi telogi mereka, dalam hal ini tentulah digunakan cara penelusuran latar belakang dan pencarian waktu dan tempat dimana sekte khawarij berdiri dibentuk. Semua itu tidak lain sebagain metode yang ada pada ilmu sejarah, guna menguak semua hal yang hendak diketahui. Tidak hanya sebatas penegetehuan tentang waktu dan tempat yang dihasilkan dalam sejarah, melainkan problem produksi pemikiran pun dapat terkuak dengan mengikuti langkah-langkah dalam penelitian. Maka untuk itu, sebuah sejarah akan dapat mempengaruhi semua aspek yang ada di mana sejarah tersebut terjadi, baik pada generasi yang terdekat maupun yang terjauh dari berbagai aspek tanpa mengurangi suatu pemahaman subjektif yang terpengaruh.
BAB III PENUTUP
A.    Ringkasan
Sebuah sejarah akan menjadi alat analisa yang memupuni sebagai pencari berita pada masa lampau untuk mengetahui tentang hal yag hendak diketahui, meskipun hal tersebut ada, pada dasarnya sejarah salah satu bayangan semu sebuah benda yang terwujud berupa manipulasi data dan pengelihatan, karena sebuah sejarah tidak akan pernah lepas dari prasangka-prasangka, kepentingan-kepentingan dan subjektifitas suatu tindakan maupun pemikiran.
B.     Referensi
1.      Abdullah, Faufik dan Abdurrachman Surjomiharjo (Ed.), Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, Jakarta: PT Gramedia, 1985.
2.      Azan Syahrer, Blog soaial Asyarh, "Biografi Singkat Imam al-Zamakhsyari" http://asyarh.blogspot.com/2014/08/biografi-imam-al-zamaksyari-nama.html, diakses pada bulan Asgutus 2014.
3.      Editor: Mustaqim, Abdul -Sahiron Syamsudin, STUDI AL-QUR'AN KOMTEMPORER: Waca Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Jogjakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002.
4.      Frederick, William H. Dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1982.
5.      Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999.
6.      Maarif, A. Syafi'i, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakarta: Gema Insani Press.
7.      Nashshar, Husein, Nasy'ah al-Tadwin al-Tarikhi 'ind al-'Arab, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah.
8.      Rochmat, Saefur, Ilmu Sejarah dalam Perspektif Ilmu Sosia, Yogyakarta: GRAHA IKMU, 2009.
9.      Sarbini, ISLAM DI TEPIAN REVOLUSI; Ideologi, Pemikiran dan Gerakan, Yogyakarta: NUANSA AKSARA, 2005.
10.  Sjamsuddin, Helius, Metode logi sejarah, Yongyakarta: Ombak, 2007.
11.  Watt, W. Montgomery, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, trj, Sukoyo, Zainul Abas, Asyhabuddin, The Formative Period of Islamic Thought, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999.
12.  Widja, I.G., Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan, Semarang: Satya Wacana, 1988.
13.  Yatim, M.A., Drs. H, badri, HISTORIOGRAFI ISLAM, Pamulang: LOGOS, 1997.


[1] William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1982), h.1.
[2] Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah dalam Perspektif Ilmu Sosia, (Yogyakarta: GRAHA IKMU, 2009), h.2.
[3] Helius Sjamsuddin, Metode logi sejarah, (Yongyakarta: Ombak, 2007), h. 2.
[4] ibid
[5] Ibid. h. 3.                                                                          
[6] Ibid
[7]Ibid
[8] Helius Sjamsuddin, Op. Cit., h. 3-4.
[9] Saefur Rochman, op. Cit., h. 4.
[10] William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 1.
[11] Saefur Rochman, Op. Cit., h. 5.
[12] Ibid.
[13] Faufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomiharjo (Ed.), Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), h. X-xii. 
[14] Drs. H, badri Yatim, M.A., HISTORIOGRAFI ISLAM, (Pamulang: LOGOS, 1997), h. 3.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Saefur Rachman, Op. Cit., h. 7.
[18] Ibid, h. 15.
[19]  A. Syafi'i Maarif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, (Jakarta: Gema Insani Press), h. 48-51.
[20] Saefur Rochman, Op. Cit., h. 15.
[21] ibid
[22] Drs. H. Badri Yatim, M.A. loc. Cit.
[23] I.G. Widja, Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan, (Semarang: Satya Wacana, 1988), h. 7-8.
[24] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu sSejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), h. 60-64.
[25] Drs. H. Badri Yatim, M.A. Op. Cit., h. 4.
[26] Drs.H.Badri Yatim, M.A. Op. Cit., h. 5.
[27] Husein Nashshar, Nasy'ah al-Tadwin al-Tarikhi 'ind al-'Arab, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, ), h. 4.
[28] Ibid.
[29] Sarbini, ISLAM DI TEPIAN REVOLUSI; Ideologi, Pemikiran dan Gerakan, (Yogyakarta: NUANSA AKSARA, 2005), h. 95.
[30] W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, trj, Sukoyo, Zainul Abas, Asyhabuddin, The Formative Period of Islamic Thought, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 1.
[31]Editor: Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin, STUDI AL-QUR'AN KOMTEMPORER: Waca Baru Berbagai Metodologi Tafsir", (Jogjakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 9.
[32]Ibid.
[33]Azan Syahrer, Blog soaial Asyarh, "Biografi Singkat Imam al-Zamakhsyari" http://asyarh.blogspot.com/2014/08/biografi-imam-al-zamaksyari-nama.html, diakses pada bulan Asgutus 2014.
[34]Editor: Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin., Op. cit. h. 11
[35]Ibid.                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar