BAB I PENDAHULUAN
Pengertian Sejarah dan perkembangan sejarah menjadi disiplin ilmu tersendiri.
A.
Latar belakang
Sejarah,
dewasa ini merupakan suatu urgensi untuk membuat perubahan dari berbagai aspek
dalam kehidupan. Tidak hanya bermanfaat pada satu macam aspek kehidupan,
melainkan lebih bersifat general. Seperti yang telah banyak difahami dari
kacamata akademis, sejarah akan diulas kembali dimasa kini untuk melihat
fenomena, fakta, realita bahkan sejarah itu sendiri yang ada dimasa lalu. Hal
ini, terkadang dilakukan untuk dijadikan bahan acuhan dan tela'ah dimasa
sekarang.
Dalam
promblem perkembangan pemikiran, sejarah dapat menduduki kusri jabatan yang
tinggi sebagai bapak konseptor pemikiran diranah latar belakang lahirnya kosep
cara berfikir dalam kronologinya. Sebagaimana yang masih ada dalam perkembangan
pemikiran problem teologi agama, sejarah lebih dominan sebagai refrensi prilaku
manusia dan pola berfikir manusia yang ada karena dilatarbelakangi sebuah
kejadian aktifitas, sehingga secara tidak langsung menjadi bahan cerminan dan
pengkajian untuk melihirkan suatu konsep dan gagasan baru. Begitu juga hal
tersebut ada dalam diri agama islam, perkembangan pemikiran islam disini
kebanyakan terjadi dari imbas suatu sejarah pemikiran yang lebih dahulu
berkembang, sehingga berbuntut sebagai rangkaian pergulatan suatu pemahaman
tentang seluruh ajaran yang terdapat dalam agama islam, hal ini tampak nyata
paska wafatnya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam, sehingga sejarah
disini menjadi peristiwa yang amat penting dalam upaya untuk perubahan secara
umum dalam diri agama islam.
Sejauh
perkembangan sejarah sendiri, banyak mengalami perubahan baik dari penngertian
secara etomilogi, terminologi maupun disiplin keilmuan tersendiri untuk
menemukan suatu hal yang dicari karena pentingnya suatu hal tersebut. Adapun
dalam kesempatan kali ini, penulis akan mencoba mengutarakan tentang sejarah
sebagai hal yang terpenting bagi perkembangan pemikiran dunia islam pada
khususnya. Menurut penulis hal ini perlu diulas dan diutarakan guna mengetahui
latar belakan terjadinya sebuah pemikiran yang kian baru dan dominan berbeda
dari preode ke preode yang lain, dari satu komunitas ke komunitas yang lain dan
sebagian lain. Seperti halnya pemikiran teologi yang terjadi dari masa shahabat-tabi'in-tabi'it
tabi'in-tabi'it tabi'it tabi'in dan dunia kontemporer dan pada komunitas
yang berfaham mu'tazilah ke faham yang di sebut Asy-Ariyah dan berbagai
macam laiannya.
B.
Perumusan Masalah
I.
Pengertian Sejarah dan perkembangan sejarah menjadi
disiplin ilmu tersendiri.
II.
Sejarah sebagai piranti analisis yang jernih dalam perkembangan
pemikiran agama islam.
BAB II PEMBAHASAAN
I. Pengertian
Sejarah dan perkembangan sejarah menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Pemahanan tentang
"sejarah", terdapat suatu sejarah yang harus diketahui dari
asal-mulanya istilah tersebut muncul. Istilah sejarah dalam bahasa indonesia,
berasal dari bahasa arab "syajaratun" yang berarti
"pohon" atau "keturunan" atau "asal usul",
setelah mengalami perkembangan yang ada, istilah tersebut menjadi kata yang
diserap kedalam bahasa Melayu dengan eja'an "syajarah". Seperti yang
telah diketahui, awal sejarah bahasa indonesia dari bahasa melayu yang
mengalami perubahan ejaan, bentuk dan lain-lain, hal ini pun terjadi pada
istilah "syajarah" menjadi "sejarah" dalam bahasa indonesia[1].
Perkembangan istilah history atau
sejarah kian waktu kian berubah menurut pengertian dan fungsinya. Hal ini
dilatar belakangi oleh perbedaan sudut pandang dan pemahaman yang dipengarui
dari kapasitas keilmuan yang berbeda, terbukti terdapat perbedaan dan pemahaman
serta perubahan arti baik dari segi bahasa maupun istilah. Seperti yang
familiar dipendengaran kita, sejarah di gunakan oleh orang barat dengan
mengunakan bahasa lain, yaitu "History", kata ini pun tidak luput
dari adanya bahasa serapan, seperti kebanyakan bahasa indonesia.
History berasal dari bahasa Yunani
kuno "historia" yang berarti inquiry (penelitian-red), interview
(wawancara-red), interigasi dari seorang saksi mata dan laporan
mengenai hasil tindakan-tindakan itu; witness (saksi mata), judge
(seorang hakim) dan seorang yang tahu[2].
Terkait dengan pengartian tersebut, F. Muller meberikan tiga arti dari historia:
1. Research (penelitian-red) dan laporan tetang penelitian tersebut, 2.
Suatu cerita puitis, dan 3. Suatau pernyataaan tengtang fakta-fakta[3]. Adapun terkembangan alih pengertian dan bahsa, historia masuk kebarbagai
bahsa melalui perantara bahasa Latin yang artinya tidak jauh berbeda dengan
arti saat Historia masih berbeda
dalam bahsa Yunani kuno yang menekankan pada direct Observation (pengamatan
langsung), Research (penelitian), dan laporan hasil penelitian[4].
Tidak jauh berbeda, sejarawan
Tacitius (69-96?) juga memberikan arti dan pengartian sendiri terkait dengan historia,
yang dipegaruhi dari pengetahuan dan kedalaman ilmuannya, dia mengunakan
istilah Historia dalam bukunya Historiae untuk laporan-laporan
yang diamatinya secara pribadi, sedangkan laporan-laporan mengenai periode yang
awal (14-68M) dia menguakan istilah Annales[5].
Pada masa Yunani klasik dan Romawi
klasik, istilah annal dan chronicles (kronikel-red), resmi
digunakan sebagai istilah untuk menunjukan suatu catatan mutakhir mengenai
fakta-fakta terpenting dan atau seatu penulisan sejarah naratif.
Istilah-istilah tersebut juga dipergunakan pada abad pertengahan sebagai
penanda seperti yang telah disebutkan diatas. Pada kedua masa ini, istilah
historia belum digunakan untuk menunjukan peristiwa-peristiwa di masa lampau[6].
Dalam perkembangan di kemudian hari,
konsep history memperoleh suatu pengertian baru setelah terjadi percampuran
penulisan kronikel yang ketat akan kronologis dengan narasi sejarah yang bebas.
Di abad pertengahan istilah biografi disebut sebgai vitae[7],
baru pada akhir abad pertengahan istilah histroria duigunakan dalam arti
khusus, seperti yang telah di sebutkan di atas. Istilah historia atau
historiae sangat luas dipergunakan pada abad pertenagahan sebagai penanda yang
menunjuk kepada peristiwa-peristiwa suci yang digambarkan dalam Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru, yang nama hal tersebut lepas dari pengunaan sporadis untuk
menunjukan kepada periatiwa-periatiwa masa lalu pada umumnya.
Pada akhir abad pertengahan juga, di
Jerman mengembangankan bahasa jerman sendiri dengan istilah mereka sendiri yang
mana istilah tersebut berhubungan erat dengan istilah Latin gesta atau res
gestae. Istilah yang dimaksud mempunyai bentuk dalam bahsa Jerman Geschichte
(geschiedenes), yang berasal dari kata geschehen maksudnya
"terjadi". Dalam perkembangnya, istilah ini telah berkembang menjadi
istilah yangg paling utama dan sangat komprehensif untuk history dalam
berbagai pengertian, yang terdapat dalam bahsa jerman. Dari berbagai bahasa
asing, peranan kata atau istilah dan pengertiannya ini sering dimainkan oleh historia,
atau variasi dari berbagai grafis dan fonetiknya[8].
Pada abad ke-16,istilah annal
dan kronikel lambat laun menghilang, dan historie mendapatkan tuntutan
kritis. Kecenderungan dan perkembangan semacan tipe yang seragam, menjadikan
penulisan sejarah sebagai penulisan sejarah ilmiah. Selanjutnya pada periode
Renaissance, konsep tentang history dan geschihte menghubungkan
dua kecenderungan yang mendasar dalam perhatiannya terhadap manusia mengenai
peristiwa-peristiwa di masa lalu. Dalam perbedaan antara sejarah sebagai
peristiwa di masa lalu dan sejarah sebagai narasi dari masa lalu, mendapatkan
suatu aspek metodologis yang hanya dapat terwujud ketika penulisan sejarah
menjadi ilmiah, yang mana penelitian sejarah tidak jauh dari pembahasan
peristiwa di masa lalu yang meliputi dari berbagai aspek kehidupan manusia,
seperti politik, sosial, ekonomi dan budaya[9],
adapun fokus dari kajian sejarah adalah tentang manusia atau masyarakat yag
bertujuan untk membedakannya dengan duani alami[10].
Seperti yang telah dipaparkan
diatas, bahwasanya arti, pemahaman, pengertian bahkan konsep dari sejarah
mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan kemajuan keilmuan serta
terdapat perkembangan persoalan yang semakin perlu perhatian lebih terhadap hal
tersebut, maka dari itu sejarah dan semua yang melingkupinya, baik konsep
ataupun pengertian perlu ditampilkan sebagai salah satu piranti untuk
memecahkan permasalahan yang mengandung kronologi kejadian dan juga sebagai
konsep untuk pembaharuan dalam kehidupan masyarakat.
Bagi Topolski, sejarah mempunyai
tiga pengertian mendasar: 1. Sejarah sebagai peristiwa masa lalu, 2. Sejarah
sebagai riset yang dilakuakan oleh sejarawan, dan 3. Sejarah sebagai laporan
dari riset tersebut yang berrupa pernyataan-pernyataan tentang peristiwa di
masa lalu[11].
Sejarah sebagai sebuah kajian tentunya tidak pernah statis, maka dari itu tentulah
pengertian yang ditawarkan Topolski pada pengertian pertama tidaklah mungkin
diperoleh pasalnya peristiwa sejarah hanya sekali terjadi tidak dapat bisa
terulang, sedangkan apabila sejarah dimaksudkan dengan ilmu sejarah, maka
tentulah pengertian kedua dan ketiga dapat menjadi pengertian yang diperoleh
sebab adanya pembahasan dalam bentuk kajian ilmiah tentang dewasa ini.
Sejarah sebagai kajian keilmuan,
pada mulnya hakekat pembahsannya melingkupi seluruhn aspek kehidupan di bumi,
baik maunusia ataupun alam pada pengertian khusus yang dimaksudkan selain aspek
dari dalam manusia, seperti yang di jelaskan oleh Gottschalk; pembatasan
pembahasan tidak hanya yang menyangkut tentang kehidupan manusia, melainkan
mencakup semua gejala alam secara universal[12].
Dalam usaha untuk memperoleh kesusaian pengertian sejarah yang sebenarnya,
yaitu sejarah sebagai ilmu, tentunya perlu mengetahui pembatas-pembatas yang
tertentu tentang peristiwa masal lalu, guna mewujudkan sejarah berkedudukan
sebagai disiplin keilmuan. Dalam hal ini, Taufik Abdullah memberikan empat
pemaparan tentang hal yang membatasi peristiwa di masa lalu[13]. Pertam,
Pembatasan yang menyangkut dimensi waktu. Salah satu konsensus dalam ilmu
sejarah menyatakan bahwa zaman sejarah bermula ketika bukti-bukti tertulis
telah ditemukan, sedangkan yang sebelumnya disebut "prasejarah"[14].
Zaman sejarah, bagi berbagai bangsa masih terlalu luas untuk dijabarkan,
sehingga diperlukan periode-periode yang dianggap merupakan suatu kesatuan
tertentu yang berdasarkan dari beberapa patokan, baik secara konvensional dan
umum diterima, maupun secara individual yang mana adanya kesesuaian dengan
sasaran perhatian sejarawan. Setiap periode yang dikenalkan pada unit-unit
sejarah tertentu, mengisyaratkan akan adanya suatu karakterristik yang dominan[15].
Kedua, pembatasan yang menyangkut peristiwa. Dalam
hal ini, boleh diasumsikan bahwa tidak selalu peristiwa di masa lalu dipandang
sebagai sejarah. Menurut Taufik Abdullah, kecenderungan yang makin umum sekarang
adalah pemusaatan pada peristiwa yang menyangkut manusia, atau tindakan dan
prilaku manusia. Lebih dari itu, ada yang berpendapat bahwa sejarah adalah
peristiwa yang disengaja, tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, peristiwa
alam hanya berfungsi sebagai salah satu kekuatan yang bisa ikut mempengaruhi
"peristiwa yang disengaja"[16]
karena alam mengandung gejala yang dapat menjadi latar belakang suatu aktifitas
manusia dan tempat berlangsungnya aktifitas manusia. Dengan kata lain,
peristiwa alam hanyalah wadah dimana berbagai tindakan manusia terjadi.
Ketiga, pembatasan yang menyangkut tempat. Sejarah haruslah diartikan sebagai
tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa tertentu pada masa
lampau yang dilakuakan di tempat tertentu.
Keempat,pembatasan yang menyangkut seleksi. Tidak
semua peristiwa di masa silam termasuk dalam katagori sejarah.
Peristiwa-peristiwa itu baru merupakan kepingan-kepingan yang bisa
dipertimbangan untuk menjadi bagian dari sejarah. Semua itu baru bisa disebut
sejarah kalau masing-masing terkait atau bisa dikaitkan dalam satu konteks
historis, yaitu ketika keingan-kepingan tersebut merupakan lbagian dari suatu
proses, atau dinamika yang terjadi perhatian sejarawan.
Dalam kata lain, sejarah adalah
gambaran masa lalu dalam karya para sejarawan. Kendati perlu diketahui dan
diperhatikan dalam kenyataanya, bahwa tidak semua kejadian masa lampau bisa
diungkapkan, karena studi sejarah hanya terfokuskan terhadap bagian-bagian
peristiwa yang bukti-buktinya masih dapat ditemukan atau memang masih dapat
direkontruksi dan mempunyai arti penting bagi peristiwa yang hendak
direkontruksi[17].
Sebagai mana yang telah dipaparkan
diatas, sejarah termasuk sebagian dari piranti untuk memperoleh suatu keterangan
dari peristiwa yang berbobot kebenaran empiris, maksudnya suatu yang
ditoleransi oleh suatu kelompok masyarakat atau mayoritas anggota suatu
kelompok masyarakat sebagai suatu kebenaran[18], adapun
sejarah sendiri berakar dari kearifan, hikmah ataupun filsafat yang teramat
penting bagi kelangsungan kehidupan suatu masyarakat dan negara, oleh karena
itu pendekannya haruslah malalui penalaran kritikal[19]. Maka dari itu, tentu perlulah upaya untuk
menyingkap sebuah fenomena-interaktif dalam sejarah, perlu dilakukan pendekatan
miltidimensional, hal itu merupakan usaha untuk mendaptkan suatu pandangan yang holistik dan porposional
atas berbagai unsur yang membentuknya, sehingga sejarawan dapat dimungkinkan mendapatkan sebuah kearifan, himpunan dari segala
kabajikan.
Dalam ke-umuman sebuah sejarah,
memang tidak sertamerta membahas dan meneliti permaslahan yang besar di
kehidupan manusia[20],
karena permaslahan tersebut masuk kedapam pembahasan filsafat tau
setidak-tidaknya pada pembahsan filsafat sejarah. Seprti yang telah diungkapkan
Alan Nevis, bahwa hal tersebut berasal dari pandnagan menyeluruh seorang
penulis tentang nasib manusia dan dengan demikian mengandung filsafat kehidupan
manusia; karena sebuah tafsiran tentang bahan sejarah hanya penjelasan penulis
tentang makna serentetan kejadian, sebuah jaman atau gerakan[21].
Terkait dengan semua itu, persoalan
yang urgen adalah pertanyaan begaimana menuangkan masa lampau ke dalam karya
tulis, itulah yang sebenarnya menjadi persoalan sejarah sebagai disiplin ilmu.
Penulisan sejarah dapat dikata sebagai usaha rekonstruksi peristiwa yang
terjadi di masa lampau. penulisan itu akan dapat dikerjakan setelah adanya
penelitian, karena tanpa penelitian aktifiats penulisan menjadikan usaha untuk
merekonstruksi tatapi tidak adanya pembuktian. Adapun sebuah penelitian
dibutuhkan skil untuk mengali sebuah informasi dari berbagai sumber, begitu
juga dengan penulisan yang membutuhkan kecakapan dan ketrampilan tertentu.
Penelitian akan mendapkna pengakuan kebenaran sebuah sejarah, ketika peneliti
mampu untuk mencari, menemukan dan menguji sumber-sumber yang telah dipadatan,
sehingga dapat menilai suatu sumber tersebut[22]. Sedangkan
penulisan sejarah, dibutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta walaupun bersifat
fragmentaris, ke dalam suatu uaraian yang sistematis, urut, dan kominikatif.
Tantunya dalam proses dan kemampuan dari
kedua item tersebut membutuhkan kesadaran teoritis yang unggul serta
imajinasi-historis yang baik. Sehingga, dapat menghasilkan sejarah yang mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer yang terkait pada pertanyaan pokok
maupun pertanyaan yang bersifat "meminta pemaparan dan atau penjelasan
secara detail", sedangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut mempunyai jawaban
yang paling mendasar yaitu tentang fakta sejarah dan merupakan unsur yang
memungkinkan adanya sejarah.
Sejarah sebagai
ilmu, tentunya mempunyai klasifikasi tertentu dalam penilaian untuk dapat
dikatagorikan sebgai ilmu. Adapun dasar-dasar suatu dapat dikata sebagai ilmu,
tatkala memiliki enam ciri-ciri tertentu.
1.
Adanya kesadaran untuk mencapai kebenaran.
2.
Adanya metode, untuk mencapai kebenaran.
3.
Tersususn secara sistematis dari hasil suatu kegiatan
ilmiah dan dikoralasikan satu sam lain menurut cara-cara tertentu.
4.
Bernilai objektiv dan mempunyai tingkatan objektivitas
yang tinggi, dalam arti meninggalkan sejauh-jauhnya prasangka-prasangka dan
kecenderungan-kecenderungan tertentu.
5.
Sersifat
Generalisasi.
6.
Mengandung prediksi dalam generalisasi tersebut[23].
Memang sejarah sebagaimana ilmu-ilmu
sosial dan kemanusian lainnya, tidak dapat mengharap tingkat kebenaran seperti
ilmu-ilmu exacta, tetapi tidak berarti meragukan posisi sejarah sebagai
ilmu. Kuntowijiyo mengolaborasi beberapa ciri yang mendasarkan sejarah sebagai
ilmu[24]
dengan mengumpulkan ke dalam lima gugsan besar; sejarah suatu yang empiris,
dalam arti sebuah pengalaman yang telah terjadi dan direkam sebagai dokumen,
sejarah mempunyai objek untuk di kaji yang berwujudkan sebuah waktu dan dari
waktu itulah objek sejarah, sejarah memiliki teori baik teori untuk pengkajian
maupun teori yang ada dalam suatu yang di kaji, sejarah memiliki karakter yang
generalisasi dalam arti memiliki korelasi dangan ilmu-ilmu lain, meskipun pada
dasarnya sejarah bersifat idiografi; sejarah memiliki metode terapan dalam
pengamatan.
Sejarah seperti yang dipahami dan
diketahui sekarang, dalam bahasa arab di kenal dengan al-tarikh. Seperti
halnya "sejarah" kata al-Tarikh, yang telah mengalami banyak
perubahan perkembangan makna. Tentunnya akan mengalami kesulitan untuk
mendefinisikan sebuah makna kata dari ta'rikh atau turikh tanpa
melihat dan mengtahui asal-usul sebuah arti kata sersebut. Dalam Kamus-kamus bahsa arab dan kitab kitab
sejarah, kata tersebut dipandang sebagai kata dari bahasa Persia dan Syuryani
yang di alih bahsakan ke bahasa arab atau bahkan berasal dari bahsa Arab
Selatan[25].
Kendati terdapat banya perbedaan dalam pergertian ini, pada umumnya yang
diterima adalah pernyataan bahwa kata tarikh berasal dari kata bahasa
arab. Kata tersebut juga digunakan oleh bahasa-bahasa Semit, dan juga adanya
kedekatan makna dari kata tarikh dengan kata yarikh yang berarti
bulan/di langit dan dalam bahasa ibrani berarti bulan/tigapuluh hari. Drs.
Badri Yatim mengutarakan, bahwasannya bangsa-bangsa Semit melakuakan
penghitungan kalender dengan berdasarkan bulan, seperti halnya yang digunakan
dalam agama islam sebagai perhitungan kalender yang terkenal dengan nama
''Hijriyah", tentunya mereka tidak mengunakan matahari sebagai perhitungan
kalender mereka[26], dapat diketahui bahwa kata tarikh
bermula digunakan sebagai istilah yang berarti penetapan bulan kemudian meluas
menjadi arti dan makna secara umum sebagai kalender[27].
Meski terdapat banyak perbedaan dari
arti tarikh yang sesuai dengan konteks pebahasanya, pada umumnya kata tarikh
menunjukkan ilmu yang berusaha menggali peristiwa-peristiwa masa lalu yang
bertujuan agar tidak terlupakan sebagai kejadian yang pernah terjadi, sepadan
dengan pengertian history sebagai ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa
masa lalu dan dalam pengertian inilah kata tarikh diberlakukan[28].
II.
Sejarah sebagai piranti analisis yang jernih
dalam perkembangan pemikiran
agama islam.
Sejarah akan menempati kedudukkan
tertingi sebagai pondasi kelanjutan sebuah keilmuan, hal ini katika sejarah di
posisikan sebagai disiplin ilmu tersendiri yang mengkaji bagian-bagian
tertentu, seperti yang telah diuraikan diatas. Dalam perkembangan pemikiran
agama islam, sejarah sangat perlu digunakan dan diperlukan sebagai bahan study
penelitian untuk mengetahui perkembangan suatu hal, baik dalam lingkup keilmuan
mauapun sosial-masyarakat, pasalnya menurut hemat penulis semua itu merupakan
elmen-elmen yang berpengaruh dalam pembentukan sebuah pola pikir suatu golongan
ataupun personal dalam suatu waktu tertentu. Dimana perkembangan dan faham akan
kondisi suatu golongan atau personal sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai
langkah menuju perubahan selanjutnya ataupun sebagai bahan kritik suatu
permasalahan yang ada pada waktu itu maupun waktu yang telah lampau.
Seperti yang telah umum diketahui
dalam lingkup akademik, selain keilmuan sebuah pemikiran banyak dipengaruhi
oleh keadaan sosial-masyarakat yang melingkupinya tidak terkecuali kejadian
peristiwa sosial-masyarakat di masa lalu sebelum pola pikir tersebut dibentuk. Adapun
keilmuan yang dimaksud merupakan piranti sebagai elemen-elemen pendukung
terbentuknya sebuah pola pikir yang berorientasi kepada tindakkan karenanya
kapasitas keilmuan berperan sebagai kepala pergerakan yang dapat menentukan
nilai kualitas sebuah pemikiran. Pada dasarnya suatu pemikiran bermula sebagai
tanda tanya atas sebuah problem yang terjadi, sehingga mendapat respon atas
problem tersebut dari suatu alanisa dan kekritisan sebuah pola pikir yang sudah
tertata apik oleh kapasitas keilmuan yang di miliki.
Selain faktor keilmuan sebagai
pengaruh pemikiran, keadaan sosial-masyarakat pun menjadi suatu bentuk yang
dapat mempengaruhi perkembangan pemikiran. Dalam hal ini, dimaksudkan semua hal
yang ada dalam sosial-masyarakat, baik situasi keadaan politik, ekonomi,
kebudayaan ataupun hubugan interaksi lainnya. Maka dari itu tentunya perlu
pengkajian yang mendalam dalam pengalasisaan sebuah fenomena yang terjadi di
masa lalu atau masa dimana sebuah pemikiran terbentuk dengan melihat faktor
yang mempengaruhi pemikiran tersebut, guna menentukan, membuat dan menganalisa
sebuah wacana yang baru dengan konsep-konsep yang lebih baru. Seperti halnya
pengkajian, penelitian dan pemahaman yang dilakukan oleh pemikir-pemikir
kontemporer seperti Fadhlur Rahman dengan konsep yang ditawarkannya Doble
Movemnt, lebih dalam lagi, seperti respon yang dilakukan Al-Ghazali
terhadap problem keilmuan khususnya dalam bidang filssafat terhadap perkembangan
filsafat pada masa itu.
Tentunya dapat diketahui sebuah
pemikiran tentang landasan berfikir dan respon yang diberikan, ketika hal
tersebut dilakukan dengan cara mengkaji fenomena pada masa dimana sebuah
pemikiran lahir. Dari sinilah peranan sejarah sebagai disiplin keilmaun
digunakan untuk menganalisa pengkajian peristiwa fenomena yang terjadi dimasa
lalu, atau dengan istilah "membaca mundur sebuah peristiwa". Dalam
hal ini kedudukan sejarah sangat diperlukan guna mengkaji peristiwa-peristiwa lampau
serta sebagai pergerakan untuk membangkitkan moment history yang
menampilkan esensi kandungan islam dengan wajah baru[29].
Seiring dengan pergantian masa ke
masa, problem dalam kehidupan masyarakat semakin berkembang, maka perlu
dibutuhkan sebuah gagasan baru yang berguna sebagai pemecah masalah atas
kesesuainnya terhadap masa dimana problem tersebut hendak diselesaikan. Terkait
dengan semua itu, permasalahan yang terjadi dalam perkembangan pemikiran islam,
di dominasi oleh persoalan-persoalan teologi. Meskipun demikin W. Montgomery
Watt, mengungkapkan problem dalam pemikiran islam tidak sertamerta tentang
teologi karena di periode yang menjadi sasara studi ini –pemikiran islam-
merupakan pusat kehidupan intelektual seluruh masyarakat, termasuk kehidupan
politik[30].
Dewasa ini, merupakan suatu
keharusan untuk menampilkan sebuah wajah baru dalam diri Islam tetapi bukan
dalam arti suatu hal yang menjadikan legitimasi-subjektif terhadap diri islam. Contoh
yang sangat jelas dalam perkembangan pemikiran islam terutama sebagai wujud
dari pergerakan untuk menafsirkan dan menela'ah Al-Qur'an dan Hadis agar
mendapat suatu hal baru yang teranggap sebagai suatu usaha dalam menampilkan
Al-Qur'an dan Hadis secara nyata, relevan dan kapabel di mana pun dan kapan pun
dua sumber primer dalam islam tersebut dijadikan sebagai alat penilaian
terhadap masalah yang ditimbang; seperti perkembangan yang terjadi di ranah
penafsiran yang dominan terhadap Al-Qur'an sebagi objeknya, salah satunnya aksi
yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi dalam penafsiranya terhadap Al-Qur'an
sebagai suatu respon jawaban dari pertanyaan dan permasalahan yang dilontarkan
oleh penafsir-penafsir sebelumnya, hal ini menurut penulis terdapat suatu
aktifitas pembacaan ulang yang di lakukan al-Razi terhadap masa lalunya dan
masa di mana terjadinya perhelatan dalam menafsirkan ayat-ayat suci –masa
penafsiran yang dilakukan al-Zamakhshari dalam persoalan ideologi teologisnya
konsep freewill-[31] yang
mana ia lakukan tidak lain dan tidak hanya berlatar belakang terhadap problem
teologi-agama semata.
Dimana sosok al-Razi mempunyai latar
belakan lain, dia sebagai seorang pemukan Asy'ariyyah, filosof dan ahli
retorika, berbeda lagi dengan al-Zamakhshari sebagai slah satu pemikir dari
kubu Mu'tazillah. Tidak hanya itu, fakor kedatangan al-Razi pun ikut sebagai
salah satu sel pembentukan sejarah yang ada –lahir pada tahun 1149 M di kota
Rayy[32]-
sebagai pembanding penafsiran yang di lakukan al-Zamakhsyari –lahir pada tahun
1074 M di Zamakhsyar, Turkestan, Rusia[33]- maka
kemungkianan besar kesempatan untuk melahirkan sintesa baik pendapat
al-Zamakhsyari maupun para penafsir pendahulunya yang lain lebih memungkinkan,
karena terpaut jarak yang lumayan jauh. Berbeda lagi dengan situasi di lain
waktu, penafsiran Al-Qur'an akan sedikit berbeda pembahasannya dari penafsiran
abad klasik. Dengan adanya perkembangan ke-kompleksitas sutau sains, politik,
ekonomi, seni informasi dan lain-lain sudah mencapai level yang jauh lebih
rumit dibandingkan masa ketika al-Razi dan al-Zamakhsyari berusaha memahami
ayat-ayat suci[34],
yang mana pada masa modren para pemikir penafsir lebih menekankan pembahsan
dari wacana sosial-masyarakat yang tidak melulu berkutat dalam pembahasan
teologi agama belaka atau tentang permasalahan keabsoluttan Allah S.W.T,
tentunya kita sepakat bawa hal tersebut dipenaruhi oleh isu-isu yang mengintari
dan akhirnya membentuk worldview pembaca, sehingga dapat mengantarkan
suatu metode, teori dan produk interpretasi baru.
Seperti gerakan feminisme
yang di pelopori oleh tokoh feminis islam; Rifat Hasan, Fatimah Mernisi dan
Amina Wadud Muhsin, gerakan ini dilatar belakangi akibat ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu
tatanan sosial yang patriarkhal[35].
Hal ini tentunya tidak jauh dari akifitas yang mereka lakukan dengan melihat
sejarah masyarakat sosial pada masa meraka dan atau masa lalu sebelum mereka,
sehingga mereka membuat suatu gagasa yang baru dalam pemikiran islam melalui
jalur penafsiran terhadap teks Al-Qur'an, disini dapat dikatakan bahwa hal ini
masih ada sebagai aksi legitimasi-sujektif terhadap persoalan yang berbeda
dengan memgikuti perkembangan situasi yang melingkupi. Meskipun demikian
peranan sejarah sangat penting sebagai alat analisa agar mendapatkan suatu
kejernihan tentang pemahaman suatu persoalan yang sangat kompleks meskipun
masih teranggap sebagai Subjektifitasi-objek, hal ini tidak mengurangki perenan
sejarah sebagai disiplin keilmuan tersendiri sebagai upaya dalam menguak suatu
keaslian sebuat kejadian dan hal-hal yang mengintari disekeliling kejadian
tersebut.
Terlepas dari benar atau salah, hitam atau putih suatu
kejadian, sejarah akan pas berada di posisi sebagai alat analisa, menurut hemat
penulis pencarian sebuah hal di masa lalu yang akan diungkap tetapi tanpa
melihat sejarah sebagai disiplin keilmuan dan semua piranti yang mendukungnya,
mustahil sebuah fenomena kejadian akan dapat diungkap sesuai dengan fakta yang
ada. Sepertihalnya penela'ahan terhadap sekte khawarij dengan tujuan untuk
megetahui identitas idologi telogi mereka, dalam hal ini tentulah digunakan
cara penelusuran latar belakang dan pencarian waktu dan tempat dimana sekte
khawarij berdiri dibentuk. Semua itu tidak lain sebagain metode yang ada pada
ilmu sejarah, guna menguak semua hal yang hendak diketahui. Tidak hanya sebatas
penegetehuan tentang waktu dan tempat yang dihasilkan dalam sejarah, melainkan
problem produksi pemikiran pun dapat terkuak dengan mengikuti langkah-langkah
dalam penelitian. Maka untuk itu, sebuah sejarah akan dapat mempengaruhi semua
aspek yang ada di mana sejarah tersebut terjadi, baik pada generasi yang
terdekat maupun yang terjauh dari berbagai aspek tanpa mengurangi suatu
pemahaman subjektif yang terpengaruh.
BAB III PENUTUP
A.
Ringkasan
Sebuah sejarah
akan menjadi alat analisa yang memupuni sebagai pencari berita pada masa lampau
untuk mengetahui tentang hal yag hendak diketahui, meskipun hal tersebut ada,
pada dasarnya sejarah salah satu bayangan semu sebuah benda yang terwujud
berupa manipulasi data dan pengelihatan, karena sebuah sejarah tidak akan
pernah lepas dari prasangka-prasangka, kepentingan-kepentingan dan
subjektifitas suatu tindakan maupun pemikiran.
B.
Referensi
1.
Abdullah, Faufik dan Abdurrachman Surjomiharjo (Ed.), Ilmu
Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, Jakarta: PT Gramedia,
1985.
2.
Azan Syahrer, Blog soaial Asyarh, "Biografi
Singkat Imam al-Zamakhsyari" http://asyarh.blogspot.com/2014/08/biografi-imam-al-zamaksyari-nama.html, diakses pada bulan Asgutus 2014.
3.
Editor: Mustaqim, Abdul -Sahiron Syamsudin, STUDI
AL-QUR'AN KOMTEMPORER: Waca Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Jogjakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 2002.
4.
Frederick, William H. Dan Soeri Soeroto, Pemahaman
Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1982.
5.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta:
Bentang Budaya, 1999.
6.
Maarif, A. Syafi'i, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis
Barat dan Timur, Jakarta: Gema Insani Press.
7.
Nashshar, Husein, Nasy'ah al-Tadwin al-Tarikhi 'ind
al-'Arab, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah.
8.
Rochmat, Saefur, Ilmu Sejarah dalam Perspektif Ilmu
Sosia, Yogyakarta: GRAHA IKMU, 2009.
9.
Sarbini, ISLAM DI TEPIAN REVOLUSI; Ideologi, Pemikiran
dan Gerakan, Yogyakarta: NUANSA AKSARA, 2005.
10.
Sjamsuddin, Helius, Metode logi sejarah, Yongyakarta:
Ombak, 2007.
11.
Watt, W. Montgomery, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik
Sejarah, trj, Sukoyo, Zainul Abas, Asyhabuddin, The Formative Period of Islamic
Thought, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999.
12.
Widja, I.G., Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam
Perspektif Pendidikan, Semarang: Satya Wacana, 1988.
13.
Yatim, M.A., Drs. H, badri, HISTORIOGRAFI ISLAM, Pamulang:
LOGOS, 1997.
[1] William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman
Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1982), h.1.
[10] William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman
Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 1.
[13] Faufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomiharjo (Ed.), Ilmu
Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, (Jakarta: PT Gramedia,
1985), h. X-xii.
[18] Ibid, h. 15.
[19] A. Syafi'i Maarif, Ibn Khaldun dalam
Pandangan Penulis Barat dan Timur, (Jakarta: Gema Insani Press), h. 48-51.
[23] I.G. Widja, Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam
Perspektif Pendidikan, (Semarang: Satya Wacana, 1988), h. 7-8.
[24] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu sSejarah, (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 1999), h. 60-64.
[27] Husein Nashshar, Nasy'ah al-Tadwin al-Tarikhi 'ind
al-'Arab, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, ), h. 4.
[29] Sarbini, ISLAM DI TEPIAN REVOLUSI; Ideologi, Pemikiran
dan Gerakan, (Yogyakarta: NUANSA AKSARA, 2005), h. 95.
[30] W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik
Sejarah, trj, Sukoyo, Zainul Abas, Asyhabuddin, The Formative Period of
Islamic Thought, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 1.
[31]Editor: Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin, STUDI
AL-QUR'AN KOMTEMPORER: Waca Baru Berbagai Metodologi Tafsir",
(Jogjakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 9.
[32]Ibid.
[33]Azan Syahrer, Blog soaial Asyarh, "Biografi
Singkat Imam al-Zamakhsyari" http://asyarh.blogspot.com/2014/08/biografi-imam-al-zamaksyari-nama.html, diakses pada bulan Asgutus 2014.
[34]Editor: Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin., Op. cit. h. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar