BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran dan Gagasan Arthur Jeffery terhadap Al-Qur’an
A. Latar belakang
Berbicara
mengenai orientalisme, tentu tidak lepas dari kajian terhadap pandangan Barat
mengenai ketimuran. Suatu hal yang pasti, adalah setiap kajian yang dilakukan
tentu tidak pernah lepas dari sebuah tujuan. Sama halnya dengan para
orientalis, mereka tidak pernah bisa lepas dari tujuan awal yang akan dicapai.[1]
Secara umum, pemikiran orientalis
telah lama mempengaruhi pemikiran dunia secara global, tidak luput juga para
islamisis, maupun para pemikir atau cendekiawan muslim sendiri. Hal ini karena
memang keunggulan Barat dibanding dengan Timur yang bukan sekedar isapan jempol
belaka. Namun lebih dari itu, pengaruh pemikiran barat telah merambah keseluruh
aspek kehidupan, kebudayaan dan bahkan peradaban Timur. Dengan kata lain,
kemajuan peradaban Islam pada saat ini jauh di bawah negara-negara barat.
Khusus kajian
orientalis terhadap ke-Islaman sendiri, sudah jauh merambah dibanding apa yang
dilakukan oleh ulama Islam sendiri yang lebih menyibukkan diri pada perdebatan
fiqih, hukum, theologi yang tak jarang saling mengkafirkan. Sehingga para
orientalis telah jauh lebih mendalami berbagai aspek Islam, mulai dari kajian
al-Qur’an, tafsir, sunnah Nabi, dan bahkan sejarah teks itu sendiri. Sehingga tidak
jarang hasil kajian mereka membuat umat muslim merasa tidak nyaman dan bahkan
geram. Salah satu penelitian orientalis yang banyak membuat dunia Islam gempar,
khususnya dunia akademik Islam adalah hasil pemikiran pencarian panjang seorang
tokoh orientalis dari Australia, Arthur Jeffrey. Arthur Jeffrey adalah seorang
orientalis yang banyak mengkaji Islam dari segi kritik al-Qur'an, dan tak kalah
hebohnya tanggapannya terhadap Nabi Muhammad. Namun dalam hal ini, penulis
hanya ingin memfokuskan kajian ini terhadap pemikiran Jeffrey terhadap
al-Qur’an, karena sejauh pengetahuan penulis, Jeffrey ketika membahas pribadi
Nabi Muhammad, hanya mengutip beberapa sejarah Muhammad yang dilakukan oleh Dr.
Margoliouth, Sprenger, Dr. Macdonald.[2]
B.
Rumusan masalah
1.
Biografi Arthur Jeffery.
2.
Karir Akademik.
3.
Karya-karya Arthur Jeffrey.
4.
Pemikiran dan Gagasan Arthur Jeffery terhadap Al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Arthur Jeffrey
Arthur Jeffrey
dilahirkan pada tahun 1892 di Melbourne, Australia. Meninggal 2 Augustus 1959
di Selatan Milford. Arthur Jeffrey adalah seorang profesor di bidang semiotika
bahasa di Universitas Columbia.[3]
Pada tahun 1923, Jeffrey menikahi Elsie Gordoen Walker, seorang sekretaris
ketua di Universitas Amerika di Kairo.[4]
B. Karir Akademik
Arthur Jeffrey
belajar di Universitas Melbourn, Australia dan mendapat gelar BA pada tahun
1918, serta gelar MA pada tahun 1920. Awal karir Arthur Jeffrey di Kairo
dimulai pada tahun 1921 sebagai profesor di Sekolah Studi Oriental (S.O.S ‘Scholl
of Oriental Studies’) di American
University di Kairo. Awalnya,
S.O.S adalah hanya berupa pusat pengembangan studi bahasa yang merupakan misi
Amerika sebagai lembaga atau institusi non akademik yang berfungsi untuk
melatih calon misionaris di Mesir.[5]
Setelah
perkembangan selanjutnya, ternyata Universitas ini membutuhkan seorang yang
ahli dan profesional di bidang Oriental. Setelah pencarian yang penuh
pertimbangan, Dr. Watson sebagai ketua pertama American University at Cairo,
pada saat itu, menjatuhkan pilihannya terhadap Arthur Jeffrey sebagai
penanggung jawab. Pada saat itu, Arthur Jeffrey adalah seorang sarjana muda
yang tidak begitu mengenal studi Islam, namun pada saat itu, Arthur Jeffrey
adalah seorang guru di Madras
Christian College, di India.[6]
Setelah
bergabung dalam S.O.S di Kairo, ia mulai tertarik terhadap bahasa Arab.[7] Dengan kejeniusan dan briliannya,
Jeffrey menyelesaikan studinya dibidang Western Orientalists dengan hasil yang
sangat baik. Pada tahun 1926 ia berhasil meraih gelar B. Th. Selain itu, pada
tahun 1929, ia meraih gelar Ph. D kehormatan dari Edinburgh Universitas.
Kemudian di Universitas yang sama, ia meraih D. Lit dengan derajat summa cum laude, pada tahun
1938.[8]
Setelah lama
berkarir di S.O.S Kairo, Universitas Amerika, ternyata pada tahun 1938, Jeffrey
terpaksa harus meninggalkan Kairo dan S.O.S, karena diberikan amanah menjadi
ketua jurusan Kajian Timur Tengah di Universitas Columbia. Selama di S.O.S,
Jeffrey banyak memberikan kontribusi yang sangat berpengaruh, di antaranya, dia
berhasil menulis karya besar dan sangat kontroversial, berjudul Materials for the History of the
Text of the Qur'an yang
diterbitkan di Leiden pada tahun 1937.[9]
Selain
dikenal sebagai sarjana brilian, Jeffrey juga dikenal sebagai sosok yang sangat
antusias dalam memberi motivasi dan dorongan bagi mahasiswanya. Bahkan menurut
John S. Badeau, setelah sepeninggal Jeffrey terhadap S.O.S, ternyata tidak ada
lagi yang mampu menggantikan perannya yang luar biasa.[10]
Secara
personal, Jeffrey adalah sosok yang tidak hanya sekedar akademisi yang
disiplin, serta motivator bagi mahasiswanya, namun lebih dari itu, Jeffrey
dikenal sebagai sosok yang akrab, hangat, berjiwa empati yang natural,
cemerlang, dan juga punya spritual tinggi. Bahkan Eric F. Bishop menambahkan
bahwa Jeffrey adalah sosok yang hidup dengan jiwa, pemikiran, cinta dan
cita-cita[11] Untuk ungkapan personal ini, Frederick
C. Grant menjelaskan bahwa Jeffrey adalah akademisi yang disiplin dan cerdas,
wawasan luas, lantang terhadap keadilan, namun ia adalah seorang yang
menghormati dan menghargai para muridnya yang juga berjiwa besar. Dia adalah
sosok yang ramah, simpatik, bahkan bukan orang yang sentimen. Dia juga mengutip
perkataan dari R. W.
Emerson untuk memperkuat pendapatnya yang mengatakan bahwa Jeffrey adalah sosok
tetangga yang baik dan suka melindungi orang lain. Dan dikabarkan, rumahnya
dijadikan sebagai tempat pertemuan murid-muridnya, sering dikunjungi oleh
mahasiswa-mahasiswa yang datang dari dekat maupun jauh, beragama Kristen,
Yahudi, Muslim dan lain-lain.[12]
C. Karya-karya Arhur Jeffrey.[13]
Arthur Jeffrey
adalah seorang tokoh orientalis yang sangat konsen dalam mempelajari Islam.
Namun ia lebih intensif dalam mempelajari al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Ia telah
berhasil melahirkan beberapa karya tulis mengenai al-Qur’an dan Muhammad. Di
antara karyanya adalah Materials
for the History of the Text of the Qur'an yang
diterbitkan di Leiden pada tahun 1937. The
Foreign Vocabulary Of The Qur'an, diterbitkan oleh Oriental Institute
Baroda, India pada tahun 1938. Kedua
karya ini didasarkan pada Desertasinya, hasil dari penelitian ketika menempuh
Doktoral.
Karya lainnya
adalah Was Muhammad a
Prophet From His Infancy?, The
Textual History of the Qur'an. The
Quest of the Historical Muhammad, The
Orthography Of The Samarqand Codex, The Mystic Letters Of The Koran, A Variant
Text of the Fatiha, Islam: Muhammad and His Religion, The Mystic Letters Of The
Koran, dan The Textual History of the
Qur'an.
D. Pemikiran dan Gagasan Arthur Terhadap
al-Qur’an.
Untuk memulai pemikiran Arthur Jeffrey mengenai Islam, khususnya mengenai al-Qur’an dan sejarahnya. Penulis akan mencantumkan statement penting dari Jeffrey. Ia berkata:
Kita membutuhkan tafsir kritis yang mencontoh karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Quran.[14]
Dengan tujuan yang dikatakan oleh Jeffrey, maka ia sangat antusias untuk membuat tafsir-kritis al-Qur’an. Salah satu cara yang dilakukannya dengan membuat kamus al-Qur’an, hal ini menurutnya, karya-karya tafsir yang lahir selama ini tidak banyak memuat serta membahas mengenai kosa kata teknis di dalam al-Qur’an. Menurutnya, para mufassir dari kalangan Muslim, masih lebih banyak yang tertarik untuk menafsirkan ruang lingkup hukum dan teologi dibanding untuk menemukan makna asal (original meaning) dari ayat-ayat al-Qur’an. Untuk merealisasikan impiannya tersebut, pada tahun 1925-1926, ia mengkaji dengan serius kosa-kata asing di dalam al-Qur’an. Hasil dari usahanya, ia wujudkan sebagai buku The Foreign Vocabulary of the Quran yang diterbitkan oleh Oriental Institute, di Baroda pada tahun 1938.
Kritik Jeffrey terhadap al-Qur’an dibangun dari asumsi, bahwa setiap agama-agama yang sudah ada di dunia, selalu ada permasalahan yang ditemukan. Khususnya mengenai manuskrip keagamaan. Dalam agama Budha misalnya ditemukan adanya masalah dalam kitab kepercayaannya, seperti adanya Pali Canon, Sanskrit Canon, Tibetan Canon, the Chinese Canon. Demikian terhadap penganut Zoroaster, ternyata permasalahan yang sama juga muncul dalam teks kepercayaan mereka, Avestan. Setelah itu, muncul kritik terhadap teks perjanjian lama. Maka, tidak mustahil bagi al-Qur’an juga terdapat kesalahan dan kejanggalan, karena pada kenyataanya, al-Qur’an adalah kitab yang paling muda.[15]
Kritik yang dibangun oleh Jeffrey adalah, adanya perubahan tulisan dari setiap kitab suci. Misalnya, kitab Avesta, pada awalnya ditulis dengan bentuk tulisan ‘Sassanian Times’, namun yang ada saat sekarang ini adalah ‘Sassanian Pahlavi’. Selain itu, naskah kitab Hebrew juga yang awalnya berupa "Square Script", namun yang ada sekarang adalah bukan tulisan aslinya. Belum lagi adanya penambahan titik dalam setiap jenis huruf kitab suci. Padahal kitab-kitab itu semua pada awalnya tidak memiliki titik.
Ketika semua permasalahan tersebut dikembalikan pada al-Qur’an. Ternyata juga menghadapi hal yang sama. Al-Qur’an pada awalnya tidak memiliki titik, tidak memiliki huruf vokal, dan ditulis dengan bentuk huruf ‘Kufi’. Tentunya sangat berbeda dengan apa yang ditemukan di abad modern ini. Al-Qur’an sudah ditandai dengan huruf vokal, ditandai dengan titik, serta berbagai bentuk tulisan. Jeffrey bahkan menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada teks tersebut adalah kesengajaan dan bahkan diselipi dengan niat pemalsuan.[16]
Sedangkan perubahan tulisan dari Kufi menjadi tulisan modern seperti yang ada dalam mushaf ‘Usmani sekarang, sebenarnya bukan hal penting untuk diperdebatkan. Apakah karena misalnya sebuah artikel ketika dirubah font-nya dari Arial ke Times New Arabic menyebabkan kandungan makna yang ada dalam artikel tersebut juga berubah?
Untuk memperkuat argumentnya, Jeffrey mencoba menganalisa keyakinan para muslim yang menurut Jeffrey dianggap sebagai alasan ortodok. Iya menyatakan bahwa kedatangan Malaikat Jibril untuk melakukan muraja’ah pada Nabi adalah alasan ortodok. Karena menurut Jeffrey, yang harus diperhatikan adalah, bahwa pada masa Nabi pengkodifikasian al-Qur’an belum ada. Namun pengkodifikasian baru dilakukan di masa ‘Usman. Sehingga, menurut Jeffrey tidak mustahil kalau seandainya ada manuskrip yang di zaman Rasul tidak terkumpulkan atau hilang.[17]
Menurut penulis, sikap skeptisme Jeffrey ini terlalu dibangun dengan asumsi yang tidak berdasar. Karena kalau dengan alasan seperti di atas, seolah Jeffrey menutup mata dari sebuah kebudayaan yang sudah mengakar dalam diri orang Arab ketika itu, yaitu budaya menghafal. Kalaupun seandainya ada manuskrip yang hilang, bukankah di antara para sahabat banyak yang mengafal al-Qur’an, sehingga hal ini menjadi rujukan penting ketika penulisan al-Qur’an dilakukan.
Melihat kondisi al-Qur’an yang menurut Jeffrey rentan dengan kesalahan dan pemalsuan, maka Jeffrey bersama koleganya Prof. Bergstrasser mencoba untuk membuat edisi kritis al-Qur’an.[18] Adapun contoh Pemikiran kritis dari Arthur Jeffrey, sebagai berikut.
1. Kritik Arthur Jeffrey Terhadap Surat al-Fatihah
Kritik Jeffrey terhadap al-Qur’an, khususnya mengenai keberadaan surat al-Fatihah dimulai dari bentuk redaksi. Ia berkata, bahwa secara redaksi, umumnya dalam al-Qur’an Allah-lah yang bertindak sebagai penyeru dan pemerintah terhadap umat munusia. Namun anehnya, dalam surat al-Fatihah, manusia yang bertindak sebagai penyeru.
Setelah melihat lebih dalam, Jeffrey menyimpulkan bahwa al-Fatihah adalah do’a yang sering diucapkan oleh Nabi. Hal ini terlihat dari gaya bahasa yang digunakan serta ekspresi yang ada dalam al-Fatihah itu sendiri. Menurut Jeffrey, al-Fatihah itu dimasukkan oleh para pengkodifikasi terdahulu. Ia menganggap bahwa al-Fatihah tidak asli bagian dari al-Qur’an, namun sengaja dibangun di awal karena hal semacam itu tidak biasa dan tidak dikenal di kebiasaan Arab dulu.[19]
Untuk memperkuat argumennya ini, Jeffrey juga membuktikan bahwa keraguan terhadap al-Fatihah tidak hanya datang dari sarjana Barat seperti Noldeke, namun juga dari para sarjana Muslim, seperti Fakhr al-Din al-Razi yang mengutip pendapat Abu Bakr al-Asamm. Al-Asamm memulai pembahasannya dari surat al-Baqarah karena meyakini al-Fatihah bukan bagian dari al-Qur’an yang dilandaskan pada mushaf Ibn Mas’ud yang tidak memasukkan al-Fatihah di dalamnya. Al-Asamm juga mengatakan bahwa al-Fatihah tidak ditemukan dalam naskah Kufi al-Qur’an awal. Kalaupun ada, maka akan ditulis di akhir naskah tersebut.[20] Arthur menambahkan bahwa keberagaman atas bacaan dan tulisan al-Fatihah disebabkan karena bukan bagian dari al-Qur’an.
Untuk membuktikan ini, Jeffrey mengutip bacaan yang beredar di kalangan Syi’ah seperti tertulis dalam kitab Tazkirah al-A'imma yang ditulis oleh Muhammad Baqir Majlisi (Tehran, 1331, halaman 18). Dalam artikel ini, tertulis seperti di bawah ini:
Nuhammidu 'llaha, Rabba 'l-alamina,
'r-rahmana 'r-rahima,
Mallaka yaumi'd-dini,
Hayyaka na'budu wa wiyyaka nasta’inu,
Turshidu sabil a'l-mustaqimi,
Sabila 'lladhina an'amta 'alaihim,
Siwa 'l-maghdubi 'alaihim, wa la'd-dallina,
Dalam redaksi bahasa arab, sebagai permudah. Kurang lebih.
نُحَمِّدُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
اَلرَّحْمَنَ الرَّحِيْمَ
مَلَكَ يَوْمِ الدِّيْنِ
هَيَّاكَ نَعْبُدُ وَ وِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
تُرْشِدُ سَبِيْلَ الْمُسْتَقِيْمِ
سَبِيْلَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
سِوَي الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ. وَ لاَالضَّالِّيْنَ
Selain varian bacaan ini, Jeffrey memperkuat keyakinannya dengan sebuah buku yang ditemukannya di saat berkunjung ke Mesir. Ia diberikan buku fiqih manual dan kecil oleh seseorang pada saat itu. Buku ini diawali dengan al-Fatihah. Buku tersebut boleh dicopy dan diperbanyak, asal jangan mencantumkan penulisnya, karena khawatir akan diserang oleh penganut Muslim ortodok. Namun kata Jeffrey, kitab tersebut hilang, hingga belum sempat tahu nama pengarangnya. Di bawah tulisan ini, Arthur berkata ada tulisan Riwayah Abi al-Fath al-Jubba'i 'an Syaikhih al-Susi 'an al-Nahrazwani 'an Abi al- Sa'adah al-Maidani 'an al –Marzubani 'an al-Khalil bin Ahmad.[21]
Bismi' llahi 'r - rahmani 'r - rahimi.
Al-hamdu li 'llahi, Sayyidi 'l - alamina,
'r - razzaqi 'r - rahimi,
Mallaki yaumi 'd - dini,
Inna laka na' budu was inna laka nasta' I nu.
Arshidna sabi la 'l - mustaqi mi,
Sabi la 'lladhi na mananta 'alaihim,
Siwa 'l - maghdubi 'alaihim, wa ghaira'd - dallina.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ سَيِّدِ الْعَالَمِيْنَ
اَلرَّزَّاقِ الرَّحِيْمِ
مَلَكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
إِنَّ لَكَ نَعْبُدُ وَ إِنَّ لَكَ نَسْتَعِيْنُ
أَرْشِدْنَا سَبِيْلَ الْمُسْتَقِيْمِ
سَبِيْلَ الَّذِيْنَ مَنَنْتَ عَلَيْهِمْ
سِوَي الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ. وَ غَيْرَالضَّالِّيْنَ
Untuk menganalisis kepalsuan al-Fatihah, Jeffrey lebih jauh lagi menganalis setiap term yang digunakan dalam surat ini. Agar lebih jelas, penulis akan mengutip analisis Jeffrey sebagai berikut.[22]
Sayyid dan Rabb adalah sinonim. Term sayyid digunakan dalam al-Qur’an surat 12: 25 untuk Yusuf sebagai raja Mesir saat itu, juga untuk Yahya dalam al-Qur’an. Dari ayat-ayat ini, ternyata penggunaan sayyid hanya bagi para nabi, namun ternyata dalam al-Fatihah malah digunakan untuk Allah.
Al-Razzaq adalah salah satu nama dari Allah, seperti dalam al-Qur’an surat 51: 58.
Malak adalah salah satu bacaan orang-orang Kufa di antara tujuh macam bacaan, yaitu bacaan al-Kisa’i, al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, jilid 1, halaman 78, dan Abu Hayyan, jilid 1, halaman 20. Namun kedua bacaan, baik malaka atau malaki adalah bacaan yang sama-sama disetujui. Lebih lanjut, Jeffrey menyatakan bahwa term ini lebih tepat dari pada term malik atau malik. Dua bacaan pertama sebenarnya lebih baik dan lebih mengena zauq-nya, namun yang dipakai dalam “textus receptus” (bacaan yang diterima) adalah jenis bacaan kedua.
Inna laka. Term hiyyaka, wiyyaka, ayyaka, iyaka dan iyyaka adalah jenis bacaan yang diterima. Kelihatannya semua term ini adalah bentuk usaha untuk menginterpretasikan huruf-huruf konsonan, huruf-huruf yang tanpa titik, yang terdapat dalam setiap bagian kata, sebagaimana terdapat dalam naskah asli (original codex). Hiyyaka atau hayyaka adalah bacaan Abu al-Sawwar al-Ganawi dan Abu al-Mutawakkil. Sedangkan wiyyaka atau wayyaka adalah bacaan Abu Raja’.
Arsyidna. Artinya memilki kemiripan dengan Ihdina seperti terdapat dalam ‘textus receptus’, sekaligus juga merupakan bacaan Ibn Mas’ud dalam naskahnya. Kata perintah semacam ini tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun derivasi kata ini memang sering digunakan. Oleh sebab itu, menurut Jeffrey menggunakan kata tidak langsung, seperti dikutip dalam varian bacaan Syi’ah sebelumnya mungkin lebih layak.
Term sabil sebenarnya lebih diterima daripada term sirat seperti dalam “textus receptus”. Term ini juga, paling sering digunakan dalam al-Qur’an. Namun perlu diingat bahwa kedua term ini adalah diadopsi dari bahasa Aramaik. Adapun kalimat sirat al-mustaqim adalah bentuk idafah, dimana al-Mustaqim dianggap sebagai ungkapan untuk Allah. Varian bacaan ini digunakan oleh Ubay, Ja’far Sadiq dan ‘Abd Allah bin ‘Umar. Dengan demikian bentuk idafah merupakan bacaan yang paling baik dan benar. Bacaan ini lebih diperioritaskan, walaupun kata Mustaqim bukan salah satu dari al-Asma’ al-Husna yang sembilan puluh sembilan. Tapi anehnya yang ada dalam kedua varian al-Fatihah di atas malah menggunakan sabil al-mustaqim.
Mananta dan an’amta adalah contoh term yang sinonim dan tidak memiliki efek makna yang signifikan. Bentuk kata na’ama lebih banyak dan lebih sering digunakan dalam al-Qur’an dari pada manana seperti dalam varian al-Fatihah kedua. Selain itu, al-Qur’an juga sering menggunakan term manna yang memilki makna sinonim.
Siwa dan gair adalah sinonim, tapi siwa tidak banyak digunakan dalam al-Qur’an. Term gair juga dibaca la oleh ‘Umar. ‘Ali, Ibn al-Zubair. ‘Ikrimah, dan al-Aswad sebagai naskah awal al-Qur’an, dan juga diikuti oleh Ja’far Sadiq dan Zaid bin ‘Ali. Dengan demikian, bacaan la lebih dapat dipertanggung jawabkan dan lebih punya otoritas untuk dibaca.
Dengan demikian, dari kedua varian di atas, maupun al-Fatihah yang ada sekarang, tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dalam varian tersebut, terdapat usaha untuk membangun gramatikal bahasa dengan tujuan memperindahkan dan memperjelas bacaan. Selain itu, Jeffrey juga menyatakan tidak ada tendensi tertentu dalam kedua varian di atas, serta bebas dari unsur doktrin yang signifikan. Namun varian al-Fatihah di atas hanya berupa do’a yang diriwayatkan secara oral, kemudian pada akhirnya dimasukkan di awal al-Qur’an.
Kesimpulan
yang diambil oleh Jeffrey bahwa al-Fatihah bukan bagian dari al-Qur’an
seharusnya mengutip dan membandingkannya pada naskah asli yang disebutnya
dengan ‘textus receptus’, karena dari awal, Jeffrey sering sekali
menyebut dan berkata bahwa mushaf ‘Usmani yang sekarang sudah tidak lagi murni.
Hal ini juga ia tekankan bahwa ketika mengkritik teks al-Qur’an dia merujuk
pada ‘textus receptus’ yang
dia anggap paling benar, namun ketika menyatakan al-Fatihah bukan bagian dari
al-Qur’an, yang terjadi hanya merujuk pada kitab yang dipegang oleh orang
Syi’ah, yang menurut penulis bukan merupakan naskah atau kumpulan al-Qur’an,
melainkan hanya karya tulis yang didahului oleh bacaan yang mirip dengan
al-Fatihah.
Selanjutnya,
tanggapan Jeffrey atas varian al-Qur’an yang kedua juga tidak bisa
dipertanggung jawabkan. Yang pertama, ia beralasan bahwa buku tersebut hilang.
Sehingga menurut penulis, hal ini akan menjadi dasar dia untuk membangun alasan
selanjutnya, yaitu tidak sempat mengetahui nama pengarangnya. Namun, kalaupun
keberadaan kitab tersebut ada, anehnya, Jeffrey terlalu cepat meyakininya,
padahal dari awal ia sudah mengatakan bahwa kitab tersebut adalah buku kecil
fiqih. Aneh sekali kalau untuk mengklaim sebuah tulisan yang keaslian atau
kepalsuan al-Fatihah hanya melalui buku kecil.
Adapun mengenai
perbedaan lafal yang ada dalam kedua varian al-Fatihah yang tertulis dalam
kedua buku yang dimiliki oleh Jeffrey, dan kemudian Jeffrey melakukan komparasi
dengan bacaan-bacaan yang sahih dan diterima serta melakukan perbandingan
selanjutnya dengan al-Qur’an mushaf ‘Usmani. Malah meyakinkan penulis,
bahwa apa yang ada dalam kedua buku tersebut hanyalah bentuk do’a yang dibubuhi
oleh penulis ketika itu, bukan bentuk bacaan al-Fatihah.
Secara logika
juga, al-Fatihah yang sudah ada sekarang tidak mungkin masih manipulasi dengan
kesalahan dan kepalsuan. Apalagi al-Fatihah sudah dilafalkan minimal 17 kali
dalam sehari ketika solat. Jadi tidak mungkin hal sepenting surat al-Fatihah
begitu mudah bagi ‘Usman untuk mencantumkannya dalam al-Qur’an jika memang
bukan bagian dari al-Qur’an. Selain itu, Jeffrey mungkin tidak tahu kalau
‘Usman ketika membukukan al-Qur’an juga tidak sendirian, namun dilakukan oleh
beberapa sahabat pilihan ketika itu. Dan bahkan dari berbagai kalangan suku
pada saat itu.
2. Surat-surat Mistik Dalam al-Qur’an
Mengenai
pembahaan ini, Jeffrey menamainya dengan The
Mystic Letters Of The Koran. Yanag
dimaksud oleh Jeffrey dengan surat-surat mistik adalah huruf-huruf al-Muqatta’ah dalam al-Qur’an. Seperti alfi lam
ra’, alif lam mim, alif lam mim ra’, alif lam mim sad, ha’ mim, ha’ mim ‘ain
sin qaf, sad, tha sin, tha sin mim, tha ha, qaf, kaf ha ya 'ain sad, nun, ya
sin.
Arthur Jeffrey
sebenarnya hanya bersifat mendeskripsikan dalam menjelaskan artikel ini, karena
ia tidak memilki pendapat yang signifikan dalam artikel ini, namun ia hanya
mengutip beberapa pendapat mufassir muslim dan non muslim. Secara tidak
langsung penulis memahami, bahwa Jeffrey ingin mengatakan bahwa jenis-jenis
surat di atas adalah mistik karena memang pada hakikatnya tidak memilki makna.
Sehingga Rasul sendiri yang menjadi wasilah dan penyampai risalah sekalipun
tidak mampu menerangkannya.[23]
Asumsi yang
dibangun oleh Jeffrey dalam argumen ini salah satunya adalah karena kebanyakan
sarjana Muslim ketika bertemu dengan surat ini, selalu berkata ‘Hanya Allah
yang tahu’. Ternyata hal ini sebenarnya telah berlanjut sejak zaman Rasul.
Sehingga ketika ada ilmuan dan mufassir Muslim yang mencoba menafsirkannya,
maka ada dua kubu yang saling bertentangan. Yaitu, yang meyakini bahwa surat
tersebut bisa ditafsirkan, dan yang meyakini bahwa surat tersebut tidak bisa
ditafsirkan.
Di antara ulama
muslim yang mencoba menafsirkannya adalah al-Suyuti yang menyatakan bahwa “Qaf”
adalah pegunungan yang mengelilingi bumi atau lautan yang merupakan singgasana
Tuhan. Sedangkan alif lam mim ra’ adalah numerik simbol, yaitu angka 271.
Contoh lainnya yang ada dalam al-Suyuti,
yang dalam karyanya al-Itqan, berdasar pada Ibn ‘Abbas Kaf Ha Ya’ ’ain Sad
mengindikasikan tanda-tanda Allah, Karim, Hadi, HakYm, ‘Alim, Sadiq. Alif Lam
Mim Sad adalah Ana al-Lah
al-rahManu al-Samad.
Secara praktis,
seluruh metode interpretasi muslim bersikeras bahwa surat-surat di atas adalah
bagian dari originalitas al-Qur’an yang telah diwahyukan pada Muhammad, yang
secara umum berdasar pada klaim bahwa kata-kata itu adalah sebagai tanda.[24]
Sementara
menurut Jeffrey yang paling benar adalah, usaha yang dilakukan oleh Noldeke
dalam karyanya yang berjudul Geschichte
des Qorans (1860). Dalam hal
ini, baik Noldeke dan Arthur meyatakan bahwa huruf al-Muqatta’ah dalam al-Qur’an tersebut adalah,
karena kebingungan Zaid bin Sabit ketika diperintahkan untuk menulis dan atau
menyalin kembali al-Qur’an pada saat itu. Kebingungan Zaid yang disebabkan oleh
banyaknya sumber bacaan dan manuskrip saat itu, akhirnya memaksa Zaid bin Sabit
untuk memberikan inisial bagi setiap sumber bacaan dan manuskrip. Sehingga Alif
Lam Mim Ra’ adalah inisial al-Mugira, Ta Ha adalah inisial Talhah dan
sebagainya. Namun pada artikel selanjutnya Noldeke menyatakan bahwa itu semua
adalah kesepakatan Nabi beserta para sahabat ketika itu.[25]
Selain pendapat
Noldeke, Jeffrey juga mengutip pendapat O.
Loth yang menyatakan bahwa surat-surat yang di awali dengan huruf al-muqatta’ah merupakan pengaruh
dari Yahudi, karena seluruh surat ini diturunkan di Madinah.[26]
Hartwig
Hirschfeld dalam tulisannya New
Researches into the Composition and Exegesis of the Koran, ia menegaskan bahwa gagasan
surat-surat itu kembali ke Muhamad secara pribadi. Singkatnya bahwa surat-surat
tersebut erat kaitannya dengan hubungan Nabi dengan para sahabat-sahabatnya
yang berperan dalam penulisan risalahnya. Oleh sebab itu, menurut Hartwig
Hirschfeld mengatakan bahwa setiap surat yang diawali dengan AL adalah
berasal dari huruf alif dan lam yang biasa disandarkan pada kata
Arab. Dengan demikian makna surat-surat tersebut adalah sebagai berikut: Mim
adalah Al-Mugirah, Sad
adalah hafSah, Ra’ adalah Al-zubeiR, Kaf adalah abu baKr, Ha’ adalah abu Hurairah, Nun adalah ‘utsman,
Ta adalah Talhah, Sin adalah Sa’ad bin abi waqqas, Ha adalah Huzaifah, ‘Ain
adalah ‘Umar atau 'Ali, atau ibn 'Abbas, atau 'A’isyah, dan Qaf adalah Qasim bin rabi'ah.[27]
Demikian
beberapa deskriptif yang dilakukan oleh Jeffrey terhadap pemikiran mufassir dan
beberapa tokoh orientalis terhadap huruf
al-Muqatta’ah dalam
al-Qur’an. Singkatnya, penulis menangkap bahwa tujuan Jeffrey menunjukkan
pemikiran tersebut, untuk menunjukkan ternyata al-Qur’an yang dianggap suci
memiliki hal-hal yang bersifat mitos. Terbukti dengan adanya ayat-ayat yang
Rasul sendiri tidak tahu apa artinya. Atau sebenarnya ada kesengajaan dari Nabi
membuat ayat tersebut dengan istilah amipulasi data secara kesepakatan antara
Nabi dengan para sahabat.
Mengenai
pembahasan ini, penulis melihat, sebenarnya Jeffrey belum memiliki pendapat
yang jelas secara pribadi. Namun demikian, beberapa pendapat yang dikutip oleh
Jeffrey akan penulis tanggapi secara ringkas.
Jika benar apa
yang dikatakan oleh Noldeke, dan Hartwig
Hirschfeld bahwa surat-surat tersebut adalah inisial atau kesepakatan Rasul
dengan para sahabat. Bagaimana dengan sahabat-sahabat lain, karena bagi
penulis, sahabat yang berperan penting dalam kehidupan Rasul ternyata tidak
tercover dalam surat-surat tersebut. Misalnya saja, Zaid bin Sabit yang
bertindak sebagai penulis wahyu, Zaid bin Harisah yang rela menyediakan
badannya untuk dilempari penduduk Tha’if ketika memasuki daerah mereka. Hamzah
bin ‘Abd al-Mutallib yang melindungi Nabi ketika Rasul menerima siksaan di
Makkah.
Jika O. Loth
berkata bahwa surat-surat tersebut dipengaruhi oleh Yahudi, karena diturunkan
di Madinah. Ternyata Ta ha, Ya sin, Sad, Qaf merupakan surat makkiyah bukan madaniyah, dengan sendirinya argumen ini sudah
terbantahkan dan tidak bisa dipertahankan.[28]
BAB II
KESIMPULAN
A.
Ringkasan
Jeffrey adalah orienatalis yang
produktif dan getol dalam studi Islam, khususnya mengenai sejarah al-Qur’an dan
teksnya. Jika dilihat dari beberapa karyanya mengenai Islam, Jeffrey termasuk
orang yang mencoba mengkritik Islam secara ilmiah, namun sepertinya keilmiahannya
tersebut lebih condong pada keinginan untuk mencari-cari dan atau mencoba
membangun membuat kelemahan dalam teks al-Qur’an yang disucikan oleh umat
muslim.
Di balik itu
semua, Jeffrey adalah orang yang menyebabkan beberapa ulama Islam menjadi
termotifasi untuk menandingi penelitiannya terhadap keotentikan al-Qur’an.
Salah satunya adalah MM. al-A’Zami.
Selain itu,
Jeffrey juga sebenarnya tidak hanya mengkritik al-Qur’an, namun juga ia dengan
cermat mengkritisi beberapa kitab suga agama lainnya. Oleh sebab itu,
menurutnya al-Qur’an sebagai agama termuda juga tidak menutup kemungkinan untuk
dikritisi, baik dari segi sejarah maupun teksnya sendiri. Oleh sebab itu, dalam
hal ini, Jeffrey juga sangat berperan untuk memberikan dan
menginformasikan data tambahan mengenai al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur Jeffrey. Islam: Muhammad and His Religion.
New York. The Liberal Art Press. 1958.
___________ “Progress in the Study of the Quran Text”, The Moslem World, volume 25. 1935.
___________ “Textual History of the Qur'an”.
Dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/thq.htm
___________ “A
Variant Text of the Fatiha”. http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm
___________ “ The Mystic Letters Of The Koran”. dalamhttp://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/mystic_letters.htm
___________
“The Qur'an as Scripture”, dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/Scripture/part1.htm.
Eric. F.
Bishop. “Arthur Jeffrey-A Tribute”, The
Muslim World, Volume 50 1960.
Frederick C.
Grant. “Arthur Jeffrey-A Tribute”, The
Muslim World, Volume 50 1960.
John S. Badeau.
“Arthur Jeffery-A Tribute”. The Muslim World, Volume 50 .1960
Kha>lid ‘Abd
al-Rah}ma>n al-‘Akk. S{afwah al-Baya>n li Ma’a>n al-Qur’a>n
al-Kari>m. Da>r al-Basya>’ir. 1994.
Ma>zin bin
S{ala>h} Mat}baqa>ni, al-Istisyra>q, tth, ttp
MM. Al’A’zami.
Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi. Terj. Sohirin Solihin, dkk.
Jakarta. Gema Insani. 2005.
[1]. Ma’zin bin Sa’lah Matbaqani, profesor di bidang
orientalis di Universitas al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah membagi
tujuan orientalis yaitu: tujaun agama, tujuan ilmiyah, tujuan ekonomi dan
perdagangan, tujuan politik atau penjajahan, serta tujuan peradaban. Lihat dalam Ma’zin bin Sa’lah Matbaqani,
al-Istisyraq, (tth: tt), hlm. 6-9.
[2]. Selengkapnya bisa dilihat dalamArthur
Jeffrey, “The Quest of the Historical Muhammad.” Dalam The Muslim World, vol.
16: 1926, hlm. 327-482. Dalam artikel ini, Arthur Jeffrey menjelaskan secara
panjang lebar mengenai pandangan para koleganya, orientalis mengenai pribadi
Nabi. Seluruhnya menjatuhkan martabat Nabi Muhammad saw,. Para orientalis
tersebut berkata bahwa Nabi adalah seorang bos perampok, pengidap penyakit
epilepsi. Namun demikian, mereka tetap mengakui bahwa Nabi adalah orang hebat
yang bisa mempengaruhi pengikutnya, sehingga dalam jangka waktu yang relatif
singkat (kurang lebih 23 tahun), mampu menciptakan peradaban baru. Selain itu,
Jeffrey juga membandingkan penelitian sarjana Barat yang menurutnya lebih
berbobot dibandingkan penelitian sarjana Muslim yang lebih banyak bertitik
tekan pada al-Qur’an dan Hadis.
[3]. Arthur Jeffrey, Islam: Muhammad and His Religion.
(New York: The Liberal Art Press, 1958), hlm. 37.
[6]. Dr. Jeffrey mulai berkarir di India sejak
Perang duni pertama. Sambil mengajar, Jeffrey juga belajar linguistik dan
filologi, sehingga ia tertarik mengenai bahasa Timur yang menjadi keahliannya
hingga ia mampu memberi kontribusi mengenai studi Islam. John S. Badeau. Arthur Jeffery.... hlm. 230.
[11]. Eric. F. Bishop. Arthur Jeffrey...,
hlm. 233.
[12]. Frederick C. Grant, Arthur Jeffrey-A Tribute,
dalam The Muslim World, (1960),
vol. 50, hlm. 247.
[14] Arthur Jeffery, Progress in the Study of the Quran
Text, dalam The Moslem World, vol. 25 (1935).
[15] Arthur Jeffery. “The Textual History of the
Qur'an”. Dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/thq.htm. Pembahasan ini adalah bagian dari karya Arthur Jeffery, The Qur'an as Scripture, (New
York: 1952).
[16] Arthur Jeffery. “The Textual History of...”,
dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/thq.htm diakses tanggal 20 Februari 2011.
[18] MM. al-’A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an dari
Wahyu Sampai Kompilasi. Terj.
Sohirin Solihin, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 172. Lihat juga dalam
Syamsudin Arif. “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”, dalam Jurnal Al-Insan.
Volume 1. 2005, hlm. 11.
[19] Lihat dalam Arthur Jeffrey, “A Variant Text of
the Fatiha”. Dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm. Artikel ini juga diterbitkan dalam The Muslim
World, Volume 29 (1939), hlm. 158-162.
[20]. Arthur Jeffrey. “A Variant Text of the Fatiha”.
Dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm.
[21] Arthur Jeffrey. “A Variant Text ...,” dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm.
[22] Analisis Arthur Jeffrey ini bisa dilihat dalam
Arthur Jeffrey. “A Variant Text of the Fatiha”.http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm. atau juga dalam The Muslim World, Volume 29
(1939), hlm. 158-162.
[23] Arthur Jeffrey. “The Mystic Letters Of The
Koran”, Lihat dalamhttp://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/mystic_letters.htm. Atau bisa dilihat juga dalam The Muslim World, volume 13, tahun
1924, hlm. 247-260.
[28] Lihat dalam Kha>ld ‘Abd al-Rah}ma>n
al-‘Akk. S{afwah al-Baya>n
li Ma’a>n al-Qur’a>n al-Kari>m. (Makkah: Da>r al-Basya>’ir,
1994).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar