Minggu, 19 Maret 2017

TAFSIR KONTEMPORER: Kecenderungan Muhammad Ali ash-Shobuni dalam Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam



BAB I PENDAHULUAN
TAFSIR KONTEMPORER: Kecenderungan Muhammad Ali ash-Shobuni dalam Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam
  1. Latar belakang
Segala puji bagi Allah yang senantiasa memberikan kucuran nikmat yang tidak terhitung jumlahnya, baik nikmat jasmani maupun ruhani. Tidak terlupakan, sholawat serta salah tetap tercurahkan untuk cahaya dada kita rosulullah Muhammad sholallahu alaihi wasalaam, serta keluarga beliau, istri-istri beliau dan anak keturunan beliau. Semoga kebaikan tercurahkan selalu kepada beliau. amin
Al-Qur'an merupakan kitab yang sangat monumental, indah dalam bahasanya, menakjubkan makna yang terkandung di dalamnya dan istimewa di setiap kalimatnya bahkan hurufnya. Sepanjang kajian al-Qur'an yang semakin maju dalam keberagaman metode dan juga sistematisnya, para orang-orang pilihan mencoba memunculkan sesosok Teks Tuhan yang suci untuk menjadikan al-Qur'an sebagai acuan serta landasan dalam keseharian seluruh manusia, dalam wujud tafsir al-Qur'an yang beragam agar nantinya memudahkan bagi manusia memahami 
Sehubungan dengan adanya tugas yang kami terima dari bapak guru berupa pengkajian salah satu tokoh mufasir modern yaitu Muhammad Ali Ash Shobuni , kami akan mencoba untuk memaparkan dalam makalah kami.
  1. Rumusan masalah
1.      Biografi Muhammad Ali ash-Shobuni dan Contoh Karya-Karyanya
2.      Kecenderungan Muhammad Ali ash-Shobuni dalam Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam
BAB II PEMBAHASAN
1.      Biografi Muhammad Ali ash-Shobuni dan Contoh Karya-Karyanya
Nama lengkap Muhammad Ali bin Jamil Ash Shobuni lahir pada tahun 1347 H-1928 M di daerah Haleb 'Amm Suriyah[1], Beliau dibesarkan dan dididik di lingkungan yang agamis berfaham Sunni Asy'ariyah. Sa'at masa kecilnya terkenal dengan bakat dan kecerdasanya. Selain itu, ia dikenal juga sebagai seorang hafidz al-Qur'an. Pantas bila Ia banyak disukai oleh para ulama di tempat dimana Ia menuntut ilmu atas kemampuan yang dimilikinya.
Jenjang pendidikan non formalnya dimulai dari lingkungan keluarganya sendiri di bawah asuhan Ayah handanya, selain itu Ia aktif menuntut ilmu di masjid-masjid yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Sedangkan pendidikan formalnya, dimulai dari bangku sekolah dasar. Selepas dari pedidikan di sekolah dasar, imam Ash-Shobuni, begitulah ia dikenal, ia melanjutkan pendidikanya di madrasah milik pemerintah, yang terkenal dengan nama madrasah At-Tijariyyah di Aleppo, disana Ia hanya mengenyam pendidikan selama setahun. Selepas dari sana Ia melanjutkan pendidikanya di madrasah menengah atas yang khusus mengkaji Syar'iyah di Khasrawiyya[2], Aleppo dan lulus pada tahun 1949 M. Disana Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lainya pada akhir dari masa pendidikan Ali Ash-Shobuni di Suriyah. Setelah selesai dari sana Ia mendapatkan beasiswa dari Departemen Wakaf Suriah untuk melanjutkan pendidikanya di Universitas Al- Azhar, hingga selesai strata satu (S1) dari Fakultas Syariah pada tahun 1952 M - 1371H. Dua tahun berikutnya, di universitas yang sama, ia memperoleh gelar magister pada konsentrasi peradilan Syariah (Qudha asy-Syariyyah)[3].
Setelah selesai dari Mesir, Imam Ash-Shobuni kembali ke kampung halamannya. Disana ia mulai mengawali aktifitasnya dengan mengajar di berbagai madrasah menengah atas yang berada di Aleppo selama delapan tahun dari tahun1955 M-1962 M, yang pada akhirnya ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Universitas Umm al-Qura Fakultas Syariah dan Universitas King Abdul Aziz Fakultas Ilmu Pendidikan Islam[4], sebagai guru Tafsir dan Ulumul Qur'an. Kedua Universitas ini berada di Kota Makkah sekaligus tempat dimana ia sekarang bertempat tinggal.
Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua perguruan tinggi  tersebut selama 28 tahun. Karena prestasi akademik dan kemampuannya dalam menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm al-Qura, ash-Shabuni pernah menyandang jabatan ketua Fakultas Syariah. Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam. Hingga kini, ia tercatat sebagai guru besar Ilmu Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz
Selain sebagai tenaga pengajar di kedua Universitas tersebut, Ali Ash-Shobuni kerap mengisi kuliyah umum bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar Masjidil Haram, begitu juga di salah satu masjid yang berada di kota Jedah, Ali Shobuni menggelar kuliyah tafsir di masjid tersebut. Selain itu, tidak jarang di setiap pengajian yang Ia gelar direkam kedalam kaset[4]. Bahkan, tidak sedikit dari hasil rekaman tersebut yang kemudian ditayangkan dalam program khusus di televisi. Proses rekaman yang berisi kuliah-kuliah umum Syekh ash-Shabuni ini berhasil diselesaikan pada tahun 1998, aktifitsnya itu berlangsung selama delapan tahun.
Salah satu gurunya adalah Ayahandanya, Jamil Ash-Shabuni. Ia juga berguru pada ulama terkemuka di Aleppo, dengan adanya kredibilitas yang disandang ayah handanya, menjadikan ia sebagai pribadi yang mapan dan mumpuni dalam bidang ilmu agama, pasalnya semasa hidup ayahandanya ia dididik secara langsung di bawah bimbingan ayahnya. Pemberian ilmu dari ayahnya meliputi ilmu bahasa Arab, ilmu waris, dan ilmu-ilmu agama lainya. Selain Ayah, ada juga beberapa orang yang berperan aktif sebagai gurunya sehingga menjadikan ia sebagai pribadi yang mumpuni dalam berbagai ilmu, seperti Syekh Muhammad Najib Sirajuddin, Syekh Ahmad al-Shama, Syekh Muhammad Said al-Idlibi, Syekh Muhammad Raghib al-Tabbakh, dan Syekh Muhammad Najib Khayatah[5].[5]
Disamping sibuk mengajar, ash-Shabuni juga aktif dalam organisasi Liga Muslim Dunia. Ketika aktif di Liga Muslim Dunia, ia menjabat sebagai penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai al-Qur’an dan sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun. Setelah itu, ia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian.
Menurut penilaian Syeikh Abdullah Khayyat, khatib [6] Masjidil Haram dan penasehat kementrian pengajaran Arab Saudi, Ali Ash- Shabuni adalah seorang ulama yang memiliki banyak pengetahuan, salah satu cirinya adalah aktivitasnya yang mencolok dalam bidang ilmu dan pengetahuan, Ia banyak menggunakan kesempatan berlomba dengan waktu untuk menelurkan karya ilmiahnya yang bermanfaat dengan member konteks pencerahan, yang merupakan buah penelaahan, pembahasan dan penelitian yang cukup lama.
Tidak cukup hanya itu, ia juga dikenal sebagai pakar ilmu al-Qur’an, Bahasa Arab, Fiqh, dan Sastra Arab. Abdul Qodir Muhammad Shalih dalam “Al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-A’shri al-hadits” menyebutnya sebagai akademisi yang ilmiah dan banyak memiliki karya-karya yang terkenal. Adapun contoh karya-karya beliau yang sampai sekarang sampai pada kita, yaitu;
a.      Shofwah al-Tafasir yang terbagi menjadi tiga jilid
b.      Mukhtashoru Tafsir Ibnu Katsir yang terbagi menjadi tiga jilid
c.       Rawai'ual-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam terbagi menjadi dua jilid
d.      Al Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Pengantar Studi Al Qur’an).
e.       Al-Nubuwah wa al-Anbiya’ (Para Nabi dalam Al Qur’an)
f.        Al-Mawaritsu fi asy-Syariati al-Islamiyah Ala Dha'i al-kitab Wa as-Sunah
g.      Mukhtashoru Tafsir ath-Thobari
h.      Tanwiru al-Adzhan Min Tafsiru Rukhu al-Bayan
i.        Qabasun min Nur al-Qur’an (Cahaya Al Qur’an)[6]
2. Kecendrungan Muhammad Ali ash-Shobuni dalam Rawai'u al-Bayan fi Tafasir Ayat al-Ahkam
          Ash-Shobuni membagi karyanya ini menjadi dua bagian, kitab ini hanya khusus memuat ayat-ayat yang mengandung hukum. Dalam karyanya ini Ali ash-Shobuni mengunakan dua metode ilmiah dengan mengkolaborasikan sistematikanya, antara sistematika lama yang dilihat dari segi keapikanya dengan sistematika baru yang dilihat dari segi kemudahannya. Dalam menerangkang tafsiran suatu ayat, Ali ash-Shobuni menggunakan sitematika yang dipandang sangat apik dan tersusun secara rapi, seperti yang telah dituturkan oleh Ali ash-Shobuni (Muhammad Ali ash-Shobuni, Rawai'u al-Bayan fi Tafasir Ayat al-Ahkam terj MU'AMMAL HAMIDY, IMRON A. MANAN (Surabaya: pt bina lmu, 1992), jil 2 hlm xvii)
Pertama, menguraikan secara lafzhi (lafal) dengan berpegangan pada pandangan ahli-ahli Tafsir dan ahli-ahli bahasa. Kedua, arti global bagi ayat-ayat yang  mulia tersebut dengan bentuk cetusan (tanpa sumber pengambilan - pen.). Ketiga, Sababun nuzul, jika ayat yang mulia tersebut memang ada sababul nuzulnya. Keempat, segi kaitan (hubungan) di antara ayat-ayat yang terdahulu dan ayat-ayat yang berikutnya. Kelima, pembahasan dari segi bacaan-bacaan yang mutawatir. Keenam, pembahasan dari segi I'rab (Nahwu dan Shorof) dengan cara ringkas. Ketujuh, tafsir yang meliputi segi-segi rahasia-rahasianya, fa'idah-fa'idahnya dan segi ilmu Balaghoh dan kelembutan-kelembutan ilmiahnya. Kedelapan, hukum-hukum syar'i (yang dikandung) dan dalil-dalil fuqoha' serta Tarjih di antara dalil-dalil mereka. Kesembilan, kesimpulan dengan cara ringkas. Kesepuluh, penutup pembahasan dengan menampilkan segi "Hikmatut tasyri" bagi ayat-ayat tersebut.
          Sebagai salah satu ulama modern sekaligus peneliti,  sangatlah pantas apabila semua karya-karya sangat berbobot yang tersusun urut secara sistematis, lantaran kepiawaiannya dalam mengolah data secara mendalam serta ketajaman analisanya. Adapun sandaran yang digunakan Ali ash-Shobuni dalam tafsirnya ini, ia bersandar pada ahli-ahli tafsir terdahulu yang berfaham sunni seperti ath-Thobari, Ibnu jauzy, al-Qurthubi, ar-Roziy dan Ibnu Katsir. Sedangkan dalam kitab-kitab tafsir ayat-ayat hukum, Ali ash-Shobuni bersandar seperti kepada al-Jashosh, Ibnu al-Arobiy, al-kiyaharrosi, asy-Syafi'i. Sedangkan tentang kitab-kitab Fiqhiyyah, Ali ash-Shobuni bersandar diseputar ahli sunnah (Sunni) dan kitab-kitab untuk perbandingan seperti kitab fiqih, ash-Shobuni bersandar kepada empat madzhab, dan juga pada tafsir-tafsir yang berfaham Syi'ah seperti yang terkandung dalam Majma'u al-Bayan pengarang Abu Ali al-fadlil bin al-hasan ath-Thobarsi.
          Kecenderungan dalam tafsir ini berwarnakan fiqih, hal ini sangatlah jelas lantaran pembahasan dalam tafsiran ini membahas seputar hukum-hukum yang bersumber dari ayat-ayat hukum. Sedangkan dalam corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah bi al-M'atsur, karena banyaknya keterangan sebagai penguat dan penjelas yang di cantumkan dalam tafsir ini, berupa hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur'an sekaligus penjelasan dari hadis-hadis dan ayat-ayat itu. Dalam metode penyusunan tafsir ini, Ali ash-Shobuni memakai penyusunan secara tematik (Maudlu'i).
          Bila diteliti dengan memandang madzhab yang dipegang Ali ash-Shobuni, kita akan dapat mengidentifikasi bahwa Ali ash-Shobuni cenderung menjelaskan isi penafsiranya dengan kaca mata berfahamkan Sunni. Lantaran adanya latar belakang yang mempengaruhi dalam penafsiranya, sehingga menjadikan pemakaian pendapat dari para ahli-ahli hadis, tafsir, bahasa, fiqih yang paling unggul dan sefaham dengannya, tidak dapat terelakkan lagi.
            Dalam contoh yang akan kami uraikan, perhal bab tentang hukum tentang perkawinan nabi s.a.w seperti yang tercantum dalam kitab karya Ali ash-Shobuni, atau dalam pemahaman kami bab ini mengungkap tentang hukum poligami secara umum, dengan mengambil hukum pelajaran dari perkawinan nabi Muhammad s.a.w. Pembahsan yang diuraikan oleh Ali ash-Shobuni dalam kitab Rowai'u al-Bayan tafsiru Ayati al-Ahkam, diawali dengan menjelaskan lafal-lafal yang dianggap perlu diterangakan.dalam hal ini Ali ash-Shobuni mengambil empat belas lafal yang dijadikan objek pembahasan dalam surat al-Ahzab ayat 49-52.
            Ia menjelaskan lafal-lafal tersebut, menurut kami sangatlah detail dan rinci, pasalnya ia menerangkan lafal-lafal tersebut di mulai dari penjelasan akar kata, penjelasan kebasahaan, penjelasan dari para penafsir baik yang terdahulu dan yang baru, menyertakan hadis-hadis sebagai penguatan analisanya dan sebagai penjelas serta fakta yang di buktikan, dan tentunya tidak ketingalan adanya penjelasan hukum yang terkandung dalam kandungan lafal-lafal tersebut, ketika diterapakan dan ketika dalam penjelasan suatu lafat terdapat pertentangan, ia pun memaparkan maslah tersebut. Adapun maacam macam lafal yang ia terangkan yaitu:
أحللنا ، أجورهنّ ، ملكت يمينك  ، أفاءالله ، هاجرن معك ، يستنكحها ، خالصة ، مافرضنا عليهم ، حرج ، ترجي ، وتؤوي ، تقرّ أعينهنّ ، عليما حليما.
            Adapun rujukan yang biasa di gunakan Ali ash-Shobuni dalam permasalahan literatur bahasa ataupun Lafal, ia merujuk kepada lisanul Arob dan kamus al-muhith[7], sedangkan tentang penafsiran ia lebih banyak mengambil dari penafsir-penafsir baik hanya sebagai tawaran pemahaman ataupun sebagai sajian untk memahamkan dan juga sebagai pembanding atas sebuah permasalahan. Adapun penafsir-penafsir tersebut diantaranya, tafsir Ibnu katsir, Abi as-Saud, tafsir Ibnu al-Jauziy, tafsir Ahkamul Qur'an Ibnu Arobiydan lain-lain sebagainya.
            Dalam contoh yang di terangkan oleh Ali ash-Shobuni cukuplah banyak dan panjang, maka kami hanya akan mengambil dari beberapa contoh yang telah di jelaskan oleh Ali ash-Shobuni dalam karyanya.
            أحللنا      "Ahlalna" dalam surat al-Ahzab ayat 49, di utarakan olehnya bertmakna  membolehkan dan menghalalkan, lebih lanjutnya ia mengutarakan bahwasahnya lafal tersebut dinisbatkan kepada Allah s.w.t untuk menunjukan bahwasnya yang berhak menghalalkan dan mengahramkan serta membuat hukum hanya Allah s.w.t. sedangkan Nabi s.a.w hanya penyampai dari apa-apa yang disamapaikan oleh Allh s.w.t kepada beliau[8].
            Ali ash-Shabuni dalam karyanya mengutip ketenagn dari lisanul Arab bahwa lafal (al-Hillu) الحلّ (al-Halaalu)    الحلال (al-haliilu)  الحليل lawan dari lafal الحرام (al-haromu).
            Setelah menjelaskan makna secara global tentang keterangan-keterangan yang sudah kita bahas. Dalm siatematis karya Ali ash-Shabuni pengungkapan asbabul nuzul suatu ayat di letakan setelah menjelaskan maksud serta permasalahan sebuah lafal yang ada di suatu ayat. Sedangkan asbabul nuzul dari surat al-Ahzab ayat 49-52 yang dijadikan objek penafsiran merupakan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaiban dari riwayat Razin[9]. Disebutkan sebelumnya telah turun ayat 28 surat al-Ahzab, yang menerangkan pemberian pilihan terhadap istri-istri tetap bersama nabi ataukah tidak lagi ingin menjadi istri Nabi s.a.w (dicerai-red), sehingga meraka berkata: "Ya Nabiyyullah! Jadikanlah kami hak milikmu dan engkau boleh berbuat apa saja yang engkau kehendaki, namun tetaplah kami dalam perlindunganmu". Lalu turunlah ayat 49 tersebut[10].
            Pengambilan hukum oleh Ali ash-Shobuni, ketika  pembahasan seghot (bentuk-red) akad nikah berlandaskan cakupan hadis-hadis sebagai penguat sekaligus penjelas dan menyantum pendapat-pendapat dari para ulama yang terdahulu yang lebih unggul baik dari kalangan Fuqoha (ahli fiqih) ataupun mufasir (ahli tefsir).
            Seperti contoh kandungan hukum lafal ijarah (sewa) dan hibah (menyerahkan diri) dalam penguna akad nikah. Dalam hal ini Ia menjelaskan bahwasanya tidak ada perdepatan dikalangan ahli fiqih mengenai ke-sah-annya pengunaan kalimat yang tegas dalam akad nikah seperti lafal Nikah, zawaj dan lain sebagainya dengan syarat lafal-lafal tersebut dimaksudkan untuk berjanji. Ali ash-shabuni juga menyertakan contoh pengunaan salah satu lafal-lafal tersebut, yang diambinnya dari salah satu ayat yang berbunyi:
فانكحوهنّ بإذنِ أهلهنّ
"Maka kawinilah mereka itu dengan seijin keluarganya." (Qs. An-Nisa': 24)
Sedangankan dalil hadis yang digunakan Ali ash-Shabuni yaitu
حدثنا قال حدثنا الحميد بن سليما عن إبن عجلان عن إبن وثيمة النصري عن أبي هريرة قال رسول الله عليه و سلم إذاأتاكم من تَرْضَون دينه وخلقه فزوِّجوه ، إلا تفعلوا تكن فتنةٌ في الأرض و فساد عريض[11] (رواه الترمذي).
"Apabila ada orang (jejaka/laki-laki) yang datang kepadamu (untuk melamar anak gadismu) sedangkan kamu menyetujui keagamaaannya dan aakhlaknya, maka kawinkanlah (anakmu) itu dengananya. Kalau kamu tidak mau mengerjakannya, maka (dikuatirkan) anakmu itu akan menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang nerata. (HR Tirmidzi)[12].
            Selain dalil hadis sebagai penguat serta penjelas permasalahan yang dibahas, Ali ash-Shabuni menyertakan pendapat dari pandangan ulama ahli fiqih. Dalam hal ini permasalahan yang disoroti Ali ash-Shabuni merupakan lafal-lafal yang tidak boleh dipergunakan untuk akad nikah yang telah disepakati oleh Jumhur ulama, seperti lafalالإِبَاحَةُ Membolehkan, الإِحْلاَ menghalalkan,  الإعارةmeminjamkan,الرهن  menggadaikan  التمتع , bersenang-senang, الإجارة menyewakan. 
            Dalam kitabnya, Ali ash-Shabuni juga menyertakan perbedaan dalam hukum pengunaan lafal-lafal tadi, dengan menyertakan pendapat dari Abu al-Hasan al-Karkhi, menyatakan diperbolehkannya mengunakan lafal ijaroh الإجارة dalam akad nikah dengan landasan dalil Nash Qur'an[13].
اللاّتي أتيت أجورهنّ
"Perempuan-perempuan yang telah kamu beri mahar."          
            Abu al-hasan berpendapat bahwasanya Allah s.w.t telah mengunakan lafal "ujur" (upah) untuk makna mahar, sedangkan suatu upah terjadi sesudah akad nikah. Karena itu sah hukumnya mengunakan lafal tersebut dalam nikah[14].
            Setelah selesainya dalam pembahsan lafal serta hukum yang terkandung didalamnya, Ali ash-Shabuni menerangkan tentang hikmah-hikmah yang terkandung dalam pernikahan Nabi s.a.w, dalam pandangan Ali ash-Shabuni hikmah-hikmah tersebut di bedakan menjadi empat macam; 1. Dari segi pendidikan, 2. Dari segi Hukum, 3. Dari segi sosial dan 4. Dari segi politik.
            Dari segi pendidikan, Ali ash-Shabuni membaca bahwa perempauan termasuk struktur bagian masyarakat yang juga terkena aturan atau hukum agama. Dengan adanya perkawinan tersebut memudahkan bagi Nabi s.a.w untuk menerangkan hukum yang meliputi kaum wanita, pasalnya banyak dari perempuan yang malu bertanya kepada Nabi s.a.w tantang masalah kewanitaan, seperti haidl, nifas, jenabat, urusan-urusan rumah tangga dan lain-lain, di sisi lain Nabi s.a.w sebagai sosok yang pemalu, maka dari adanya perkawinan Nabi s.a.w dapat membatu agar tersalurkan dan tersampaikanya syari'at hukum agama secara baik dan  tapat.
            Dari segi Hukum,  perkawinan Nabi s.a.w bertujuan untuk meluruskan serta menerapkan sebuah hukum dan sebagai pembongkar tradisi jahiliyah yang telah berjalan lama yaitu tentang pengadopsian anak yang bukan dari sulbinya tetapi di akui sebagai anak kandungnya sendiri dengan menganti nama ayah nasab bagi anak adopsi tersebut dengan nama ayah yang mengadopsinya. Adanya hikmah ini terjadi lantaran suatu kisah Pengadopsian Nabi s.a.w terhadap Zaid, yang semula nisbat nasab ayah di sandarkan kepada Nabi s.a.w dengan menyebut Ziad bin Muhammad, hingga akhirnya turun ayat yang melarang menisbatkan nama ayahnya terhadap ayah adopsinya. Sekaligus hikmah yang tertanam sebagai pembongkar bahwasanya dalam tradisi jahiliyah, merupakan aib apabila menikahi bekas istri dari anak adopsinya, sedangkan Nabi s.a.w melakukan perkawinan dengan Zainab yang sebagai mantan istri Zaid, sedangkan atas perintah dari Allah s.w.t.
Dari segi sosial, Ali ash-Shabuni menerangkan hikmah perkawinan-perkawinan Nabi s.a.w, yang dipandang untuk menjalin kekeluargaan yang lebih erat dan hangat, serta dapat menjadikan kesatuan yang utuh dalam diri muslimin sehingga mendapatkan keamanan, kebesaran dan kehormatan di setiap da'wah Nabi s.a.w, seperti perkawinan Nabi s.a.w dengan Aisyah putri dari Abu bakar  as-Sidiq dan Hafsah putri dari Umar al-Faruq dan dengan putri-putri dari kabilah-kabilah yang lain.
Dari segi Politik, Ali ash-Shabuni menerangkan bahwa perkwinan Nabi saw dengan sebagian perempuan dari berbagai kabilah dan kalangan, bertujuan sebagai motif untuk melunakkan hati manusia serta mempersatukan beberapa kabilah. Ash-shabuni juga memberikan contoh yang berhikmah masuknya semua kalangan Bani Mushthaliq sebab perkawinan Nabi saw dengan Juairiyah binti Harits anak dari penghulu Bani Mushthaliq yang asal mulanya sebagai tawanan perang. Di ceritakan  bahwa Bani Mushthaliq yang menjadi tawanan perang mencapai 100 kepala keluarga[15].

Dan setalah menjelaskan dari hikmah-hikmah yang terkandung dalam perkawinan nabi, Ali ash-Shabuni menyertakan biografi singkat dari kesebelas istri-istri Nabi s.a.w serta menjelaskan dasar histroris atas perkawinan-perkawinan Nabi s.a.w itu.

BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan
Muhammad Ali ash-Shabuni termasuk peneliti yang kritis atas waca modernt yang berkembang pesat saat ini, serta respon yang ditanggapinya dalam menyikapi kaum-kaum yang selalu memerangi islam dari pengkritikan dan penghinaan terhadap islam baik secara keseluruhan ataupun sebagian. Ia tampil di permukaaan sebagai pejuang islam dalam lingkup akademisi yang kritis.  
  1. Refrensi
1.      Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir.
2.      Irham Shidiq, ”M. Ali Al-Shabuni”, http://t4f5.wordpress.com/2011/09/08/m-ali-al-shabuni/jumat 12 September 2014.
3.      Muhammad Ali iyaziy, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum,........: Mua'ssasatu ath-Thoba'atu wa an-Nasyaru wa Zarotu ats-Tsaqoti wa al-Irsyadu al-Islami.
4.      Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai'u al-Bayan Tafsiru Ayati al-Ahkam fi al-Qur'an, Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah. 2001.
5.      Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabunia, Surabaya: pt bina ilmu. 1992.
6.      Sulaiman bin Ahmad bin Ayub/Abu al-Qasim Ath-Thabrani, Al-Mu'jam al-Ausath, Kairo: Darul Haramain. 1415h


                                                                                                     


1.          Muhammad Ali iyaziy, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum,........: Mua'ssasatu ath-Thoba'atu wa an-Nasyaru wa Zarotu ats-Tsaqoti wa al-Irsyadu al-Islami, 1212 H, h.470 .
2.          Irham Shidiq, ”M. Ali Al-Shabuni”, http://t4f5.wordpress.com/2011/09/08/m-ali-al-shabuni/jumat 12 September 2014

3.          ibid



4.          As-Sayid Muhammad Ali iyaziy. Op. cit. h.470
5.          Irham Shidiq, ”M. Ali Al-Shabuni”. Op. Cit.
6.          Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir, hal 134.
7.          As-Sayid Muhammad Ali iyaziy. Op. cit. H.471.
[7] Muhammad bin yaqub al-Fairuzi Abadi, Al-Qomus al-Muhith, (Bairut: AR-RESALAH PUBLISHERS.2005)
[8] Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabunia, (Surabaya: pt bina ilmu. 1992), jil. 2, h. 401.                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
[9] Zada al-Masir juz.06, h. 407
[10]  Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabunia, (Surabaya: pt bina ilmu. 1992), jil. 2, h. 401.
[11]  Sulaiman bin Ahmad bin Ayub/Abu al-Qasim Ath-Thabrani, Al-Mu'jam al-Ausath, (Kairo: Darul Haramain. 1415h), jil.1, h.141. 
[12]  Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan. op. cit, h .404
[13] Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai'u al-Bayan Tafsiru Ayati al-Ahkam fi al-Qur'an, (Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah. 2001), jil. 2, h.251  
[14] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar