BAB I PENDAHULUAN
TAFSIR KONTEMPORER: Kecenderungan Muhammad Ali ash-Shobuni dalam Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam
- Latar belakang
Segala puji bagi Allah
yang senantiasa memberikan kucuran
nikmat yang tidak terhitung jumlahnya, baik nikmat jasmani maupun ruhani. Tidak
terlupakan, sholawat serta salah tetap tercurahkan untuk cahaya dada kita
rosulullah Muhammad sholallahu alaihi wasalaam, serta keluarga beliau,
istri-istri beliau dan anak keturunan beliau. Semoga kebaikan tercurahkan
selalu kepada beliau. amin
Al-Qur'an merupakan
kitab yang sangat monumental, indah dalam bahasanya, menakjubkan makna yang
terkandung di dalamnya dan istimewa di setiap kalimatnya bahkan hurufnya.
Sepanjang kajian al-Qur'an yang semakin maju dalam keberagaman metode dan juga sistematisnya,
para orang-orang pilihan mencoba memunculkan sesosok Teks Tuhan yang suci untuk
menjadikan al-Qur'an sebagai acuan serta landasan dalam keseharian seluruh
manusia, dalam wujud tafsir al-Qur'an yang beragam agar nantinya memudahkan
bagi manusia memahami
Sehubungan dengan
adanya tugas yang kami terima dari bapak guru berupa pengkajian salah satu tokoh
mufasir modern yaitu Muhammad Ali Ash Shobuni , kami akan mencoba untuk
memaparkan dalam makalah kami.
- Rumusan masalah
1.
Biografi Muhammad
Ali ash-Shobuni dan Contoh Karya-Karyanya
2.
Kecenderungan Muhammad Ali ash-Shobuni
dalam Rawa’i al-Bayan
fi Tafsir Ayat al-Ahkam
BAB II PEMBAHASAN
1.
Biografi
Muhammad Ali ash-Shobuni
dan
Contoh Karya-Karyanya
Nama lengkap Muhammad
Ali bin Jamil Ash Shobuni lahir pada tahun 1347 H-1928 M di daerah Haleb 'Amm
Suriyah[1],
Beliau dibesarkan dan dididik di lingkungan yang agamis berfaham Sunni
Asy'ariyah. Sa'at masa
kecilnya terkenal dengan bakat dan kecerdasanya. Selain itu, ia dikenal juga
sebagai seorang hafidz al-Qur'an. Pantas bila Ia banyak disukai oleh para ulama
di tempat dimana Ia menuntut ilmu atas kemampuan yang dimilikinya.
Jenjang pendidikan non formalnya dimulai dari
lingkungan keluarganya sendiri di bawah asuhan Ayah handanya, selain itu Ia
aktif menuntut ilmu di masjid-masjid yang berada di sekitar tempat tinggalnya.
Sedangkan pendidikan formalnya, dimulai dari bangku sekolah dasar. Selepas dari
pedidikan di sekolah dasar, imam Ash-Shobuni, begitulah ia dikenal, ia melanjutkan
pendidikanya di madrasah milik pemerintah, yang terkenal dengan nama madrasah At-Tijariyyah
di Aleppo, disana Ia hanya mengenyam pendidikan selama setahun. Selepas dari
sana Ia melanjutkan pendidikanya di madrasah menengah atas yang khusus mengkaji
Syar'iyah di Khasrawiyya[2],
Aleppo dan lulus pada tahun 1949 M. Disana Ia mempelajari berbagai disiplin
ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lainya pada akhir dari masa pendidikan Ali
Ash-Shobuni di Suriyah. Setelah selesai dari sana Ia mendapatkan beasiswa dari
Departemen Wakaf Suriah untuk melanjutkan pendidikanya di Universitas Al-
Azhar, hingga selesai strata satu (S1) dari Fakultas Syariah pada tahun 1952 M -
1371H. Dua tahun berikutnya, di universitas yang sama, ia memperoleh gelar
magister pada konsentrasi peradilan Syariah (Qudha asy-Syariyyah)[3].
Setelah selesai dari Mesir, Imam Ash-Shobuni kembali
ke kampung halamannya. Disana ia mulai mengawali aktifitasnya dengan mengajar
di berbagai madrasah menengah atas yang berada di Aleppo selama delapan tahun
dari tahun1955 M-1962 M, yang pada akhirnya ia mendapatkan tawaran untuk
mengajar di Universitas Umm al-Qura Fakultas Syariah dan Universitas King Abdul
Aziz Fakultas Ilmu Pendidikan Islam[4],
sebagai guru Tafsir dan Ulumul Qur'an. Kedua Universitas ini berada di Kota
Makkah sekaligus tempat dimana ia sekarang bertempat tinggal.
Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di
dua perguruan tinggi tersebut selama 28
tahun. Karena prestasi akademik dan kemampuannya dalam menulis, saat menjadi
dosen di Universitas Umm al-Qura, ash-Shabuni pernah menyandang jabatan ketua
Fakultas Syariah. Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik dan
Pelestarian Warisan Islam. Hingga kini, ia tercatat sebagai guru besar Ilmu
Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz
Selain sebagai tenaga pengajar di kedua Universitas
tersebut, Ali Ash-Shobuni kerap mengisi kuliyah umum bagi masyarakat yang
bertempat tinggal di sekitar Masjidil Haram, begitu juga di salah satu masjid
yang berada di kota Jedah, Ali Shobuni menggelar kuliyah tafsir di masjid
tersebut. Selain itu, tidak jarang di setiap pengajian yang Ia gelar direkam
kedalam kaset[4]. Bahkan, tidak sedikit dari hasil rekaman tersebut yang
kemudian ditayangkan dalam program khusus di televisi. Proses rekaman yang
berisi kuliah-kuliah umum Syekh ash-Shabuni ini berhasil diselesaikan pada
tahun 1998, aktifitsnya itu berlangsung selama delapan tahun.
Salah satu gurunya adalah Ayahandanya, Jamil
Ash-Shabuni. Ia juga berguru pada ulama terkemuka di Aleppo, dengan adanya
kredibilitas yang disandang ayah handanya, menjadikan ia sebagai pribadi yang
mapan dan mumpuni dalam bidang ilmu agama, pasalnya semasa hidup ayahandanya ia
dididik secara langsung di bawah bimbingan ayahnya. Pemberian ilmu dari ayahnya
meliputi ilmu bahasa Arab, ilmu waris, dan ilmu-ilmu agama lainya.
Selain Ayah, ada juga beberapa orang yang berperan aktif sebagai gurunya
sehingga menjadikan ia sebagai pribadi yang mumpuni dalam berbagai ilmu,
seperti Syekh Muhammad Najib Sirajuddin, Syekh Ahmad al-Shama, Syekh Muhammad
Said al-Idlibi, Syekh Muhammad Raghib al-Tabbakh, dan Syekh Muhammad Najib
Khayatah[5].[5]
Disamping sibuk mengajar, ash-Shabuni juga aktif dalam
organisasi Liga Muslim Dunia. Ketika aktif di Liga Muslim Dunia, ia menjabat
sebagai penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai al-Qur’an dan sunnah.
Ia bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun. Setelah itu, ia
mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian.
Menurut penilaian Syeikh Abdullah Khayyat, khatib [6]
Masjidil Haram dan penasehat kementrian pengajaran Arab Saudi, Ali Ash- Shabuni
adalah seorang ulama yang memiliki banyak pengetahuan, salah satu cirinya
adalah aktivitasnya yang mencolok dalam bidang ilmu dan pengetahuan, Ia banyak
menggunakan kesempatan berlomba dengan waktu untuk menelurkan karya ilmiahnya
yang bermanfaat dengan member konteks pencerahan, yang merupakan buah
penelaahan, pembahasan dan penelitian yang cukup lama.
Tidak cukup hanya itu, ia juga dikenal sebagai pakar
ilmu al-Qur’an, Bahasa Arab, Fiqh, dan Sastra Arab. Abdul Qodir Muhammad Shalih
dalam “Al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-A’shri al-hadits” menyebutnya
sebagai akademisi yang ilmiah dan banyak memiliki karya-karya yang terkenal.
Adapun contoh karya-karya beliau yang sampai sekarang sampai pada kita, yaitu;
a.
Shofwah al-Tafasir yang terbagi menjadi tiga jilid
b.
Mukhtashoru Tafsir Ibnu Katsir yang terbagi menjadi tiga jilid
c.
Rawai'ual-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam terbagi menjadi dua jilid
d. Al Tibyan fi
‘Ulum Al-Qur’an (Pengantar
Studi Al Qur’an).
e. Al-Nubuwah wa al-Anbiya’
(Para Nabi
dalam Al Qur’an)
f.
Al-Mawaritsu fi asy-Syariati al-Islamiyah Ala Dha'i al-kitab
Wa as-Sunah
g.
Mukhtashoru Tafsir ath-Thobari
h.
Tanwiru al-Adzhan Min Tafsiru Rukhu al-Bayan
i.
Qabasun min Nur al-Qur’an (Cahaya Al Qur’an)[6]
2. Kecendrungan
Muhammad Ali ash-Shobuni dalam Rawai'u al-Bayan fi Tafasir Ayat al-Ahkam
Ash-Shobuni
membagi karyanya ini menjadi dua bagian, kitab ini hanya khusus memuat ayat-ayat
yang mengandung hukum. Dalam karyanya ini Ali ash-Shobuni mengunakan dua metode
ilmiah dengan mengkolaborasikan sistematikanya, antara sistematika lama yang dilihat
dari segi keapikanya dengan sistematika baru yang dilihat dari segi
kemudahannya. Dalam menerangkang tafsiran suatu ayat, Ali ash-Shobuni menggunakan
sitematika yang dipandang sangat apik dan tersusun secara rapi, seperti yang
telah dituturkan oleh Ali ash-Shobuni (Muhammad Ali ash-Shobuni, Rawai'u
al-Bayan fi Tafasir Ayat al-Ahkam terj MU'AMMAL HAMIDY, IMRON A. MANAN
(Surabaya: pt bina lmu, 1992), jil 2 hlm xvii)
Pertama,
menguraikan secara lafzhi (lafal) dengan berpegangan pada pandangan
ahli-ahli Tafsir dan ahli-ahli bahasa. Kedua, arti global bagi ayat-ayat
yang mulia tersebut dengan bentuk cetusan
(tanpa sumber pengambilan - pen.). Ketiga, Sababun nuzul, jika ayat yang mulia
tersebut memang ada sababul nuzulnya. Keempat, segi kaitan (hubungan) di antara
ayat-ayat yang terdahulu dan ayat-ayat yang berikutnya. Kelima, pembahasan dari
segi bacaan-bacaan yang mutawatir. Keenam, pembahasan dari segi I'rab (Nahwu
dan Shorof) dengan cara ringkas. Ketujuh, tafsir yang meliputi segi-segi rahasia-rahasianya,
fa'idah-fa'idahnya dan segi ilmu Balaghoh dan kelembutan-kelembutan ilmiahnya.
Kedelapan, hukum-hukum syar'i (yang dikandung) dan dalil-dalil fuqoha' serta
Tarjih di antara dalil-dalil mereka. Kesembilan, kesimpulan dengan cara
ringkas. Kesepuluh, penutup pembahasan dengan menampilkan segi "Hikmatut
tasyri" bagi ayat-ayat tersebut.
Sebagai
salah satu ulama modern sekaligus peneliti,
sangatlah pantas apabila semua karya-karya sangat berbobot yang tersusun
urut secara sistematis, lantaran kepiawaiannya dalam mengolah data secara
mendalam serta ketajaman analisanya. Adapun sandaran yang digunakan Ali
ash-Shobuni dalam tafsirnya ini, ia bersandar pada ahli-ahli tafsir terdahulu
yang berfaham sunni seperti ath-Thobari, Ibnu jauzy, al-Qurthubi, ar-Roziy dan
Ibnu Katsir. Sedangkan dalam kitab-kitab tafsir ayat-ayat hukum, Ali
ash-Shobuni bersandar seperti kepada al-Jashosh, Ibnu al-Arobiy,
al-kiyaharrosi, asy-Syafi'i. Sedangkan tentang kitab-kitab Fiqhiyyah, Ali
ash-Shobuni bersandar diseputar ahli sunnah (Sunni) dan kitab-kitab untuk
perbandingan seperti kitab fiqih, ash-Shobuni bersandar kepada empat madzhab, dan
juga pada tafsir-tafsir yang berfaham Syi'ah seperti yang terkandung dalam Majma'u
al-Bayan pengarang Abu Ali al-fadlil bin al-hasan ath-Thobarsi.
Kecenderungan
dalam tafsir ini berwarnakan fiqih, hal ini sangatlah jelas lantaran pembahasan
dalam tafsiran ini membahas seputar hukum-hukum yang bersumber dari ayat-ayat
hukum. Sedangkan dalam corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah bi
al-M'atsur, karena banyaknya keterangan sebagai penguat dan penjelas yang
di cantumkan dalam tafsir ini, berupa hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur'an
sekaligus penjelasan dari hadis-hadis dan ayat-ayat itu. Dalam metode
penyusunan tafsir ini, Ali ash-Shobuni memakai penyusunan secara tematik (Maudlu'i).
Bila diteliti dengan memandang madzhab yang
dipegang Ali ash-Shobuni, kita akan dapat mengidentifikasi bahwa Ali
ash-Shobuni cenderung menjelaskan isi penafsiranya dengan kaca mata berfahamkan
Sunni. Lantaran adanya latar belakang yang mempengaruhi dalam penafsiranya,
sehingga menjadikan pemakaian pendapat dari para ahli-ahli hadis, tafsir,
bahasa, fiqih yang paling unggul dan sefaham dengannya, tidak dapat terelakkan
lagi.
Dalam contoh yang akan kami uraikan,
perhal bab tentang hukum tentang perkawinan nabi s.a.w seperti yang tercantum
dalam kitab karya Ali ash-Shobuni, atau dalam pemahaman kami bab ini mengungkap
tentang hukum poligami secara umum, dengan mengambil hukum pelajaran dari
perkawinan nabi Muhammad s.a.w. Pembahsan yang diuraikan oleh Ali ash-Shobuni
dalam kitab Rowai'u al-Bayan tafsiru Ayati al-Ahkam, diawali dengan menjelaskan
lafal-lafal yang dianggap perlu diterangakan.dalam hal ini Ali ash-Shobuni
mengambil empat belas lafal yang dijadikan objek pembahasan dalam surat
al-Ahzab ayat 49-52.
Ia menjelaskan lafal-lafal tersebut,
menurut kami sangatlah detail dan rinci, pasalnya ia menerangkan lafal-lafal
tersebut di mulai dari penjelasan akar kata, penjelasan kebasahaan, penjelasan
dari para penafsir baik yang terdahulu dan yang baru, menyertakan hadis-hadis
sebagai penguatan analisanya dan sebagai penjelas serta fakta yang di buktikan,
dan tentunya tidak ketingalan adanya penjelasan hukum yang terkandung dalam
kandungan lafal-lafal tersebut, ketika diterapakan dan ketika dalam penjelasan
suatu lafat terdapat pertentangan, ia pun memaparkan maslah tersebut. Adapun
maacam macam lafal yang ia terangkan yaitu:
أحللنا ، أجورهنّ ، ملكت يمينك ، أفاءالله ، هاجرن معك ، يستنكحها
، خالصة ، مافرضنا عليهم ، حرج ، ترجي ، وتؤوي ، تقرّ أعينهنّ ، عليما حليما.
Adapun
rujukan yang biasa di gunakan Ali ash-Shobuni dalam permasalahan literatur
bahasa ataupun Lafal, ia merujuk kepada lisanul Arob dan kamus al-muhith[7], sedangkan tentang
penafsiran ia lebih banyak mengambil dari penafsir-penafsir baik hanya sebagai
tawaran pemahaman ataupun sebagai sajian untk memahamkan dan juga sebagai
pembanding atas sebuah permasalahan. Adapun penafsir-penafsir tersebut
diantaranya, tafsir Ibnu katsir, Abi as-Saud, tafsir Ibnu al-Jauziy, tafsir
Ahkamul Qur'an Ibnu Arobiydan lain-lain sebagainya.
Dalam contoh yang di terangkan oleh
Ali ash-Shobuni cukuplah banyak dan panjang, maka kami hanya akan mengambil
dari beberapa contoh yang telah di jelaskan oleh Ali ash-Shobuni dalam
karyanya.
أحللنا
"Ahlalna" dalam surat al-Ahzab ayat 49, di utarakan olehnya
bertmakna membolehkan dan menghalalkan,
lebih lanjutnya ia mengutarakan bahwasahnya lafal tersebut dinisbatkan kepada
Allah s.w.t untuk menunjukan bahwasnya yang berhak menghalalkan dan mengahramkan
serta membuat hukum hanya Allah s.w.t. sedangkan Nabi s.a.w hanya penyampai
dari apa-apa yang disamapaikan oleh Allh s.w.t kepada beliau[8].
Ali ash-Shabuni dalam karyanya
mengutip ketenagn dari lisanul Arab bahwa lafal (al-Hillu) الحلّ (al-Halaalu) الحلال (al-haliilu) الحليل lawan dari
lafal الحرام (al-haromu).
Setelah menjelaskan makna secara
global tentang keterangan-keterangan yang sudah kita bahas. Dalm siatematis
karya Ali ash-Shabuni pengungkapan asbabul nuzul suatu ayat di letakan setelah
menjelaskan maksud serta permasalahan sebuah lafal yang ada di suatu ayat.
Sedangkan asbabul nuzul dari surat al-Ahzab ayat 49-52 yang dijadikan objek
penafsiran merupakan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaiban dari riwayat
Razin[9].
Disebutkan sebelumnya telah turun ayat 28 surat al-Ahzab, yang menerangkan
pemberian pilihan terhadap istri-istri tetap bersama nabi ataukah tidak lagi
ingin menjadi istri Nabi s.a.w (dicerai-red), sehingga meraka berkata: "Ya
Nabiyyullah! Jadikanlah kami hak milikmu dan engkau boleh berbuat apa saja yang
engkau kehendaki, namun tetaplah kami dalam perlindunganmu". Lalu turunlah
ayat 49 tersebut[10].
Pengambilan hukum oleh Ali
ash-Shobuni, ketika pembahasan seghot
(bentuk-red) akad nikah berlandaskan cakupan hadis-hadis sebagai penguat
sekaligus penjelas dan menyantum pendapat-pendapat dari para ulama yang
terdahulu yang lebih unggul baik dari kalangan Fuqoha (ahli fiqih)
ataupun mufasir (ahli tefsir).
Seperti contoh kandungan hukum lafal
ijarah (sewa) dan hibah (menyerahkan diri) dalam penguna akad
nikah. Dalam hal ini Ia menjelaskan bahwasanya tidak ada perdepatan dikalangan
ahli fiqih mengenai ke-sah-annya pengunaan kalimat yang tegas dalam akad nikah
seperti lafal Nikah, zawaj dan lain sebagainya dengan syarat lafal-lafal
tersebut dimaksudkan untuk berjanji. Ali ash-shabuni juga menyertakan contoh
pengunaan salah satu lafal-lafal tersebut, yang diambinnya dari salah satu ayat
yang berbunyi:
فانكحوهنّ بإذنِ أهلهنّ
"Maka
kawinilah mereka itu dengan seijin keluarganya." (Qs. An-Nisa': 24)
Sedangankan dalil hadis yang digunakan Ali
ash-Shabuni yaitu
حدثنا قال حدثنا الحميد بن سليما عن إبن عجلان عن إبن وثيمة النصري عن أبي هريرة
قال رسول الله عليه و سلم إذاأتاكم من تَرْضَون دينه وخلقه فزوِّجوه ، إلا تفعلوا تكن
فتنةٌ في الأرض و فساد عريض[11]
(رواه الترمذي).
"Apabila
ada orang (jejaka/laki-laki) yang datang kepadamu (untuk melamar anak gadismu)
sedangkan kamu menyetujui keagamaaannya dan aakhlaknya, maka kawinkanlah
(anakmu) itu dengananya. Kalau kamu tidak mau mengerjakannya, maka
(dikuatirkan) anakmu itu akan menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang nerata.
(HR Tirmidzi)[12].
Selain dalil hadis sebagai penguat
serta penjelas permasalahan yang dibahas, Ali ash-Shabuni menyertakan pendapat
dari pandangan ulama ahli fiqih. Dalam hal ini permasalahan yang disoroti Ali
ash-Shabuni merupakan lafal-lafal yang tidak boleh dipergunakan untuk akad
nikah yang telah disepakati oleh Jumhur ulama, seperti lafalالإِبَاحَةُ Membolehkan, الإِحْلاَ menghalalkan, الإعارةmeminjamkan,الرهن menggadaikan التمتع , bersenang-senang, الإجارة
menyewakan.
Dalam kitabnya, Ali ash-Shabuni juga menyertakan
perbedaan dalam hukum pengunaan lafal-lafal tadi, dengan menyertakan pendapat
dari Abu al-Hasan al-Karkhi, menyatakan diperbolehkannya mengunakan lafal
ijaroh الإجارة dalam akad nikah dengan landasan dalil
Nash Qur'an[13].
اللاّتي أتيت أجورهنّ
"Perempuan-perempuan
yang telah kamu beri mahar."
Abu al-hasan berpendapat bahwasanya Allah s.w.t telah
mengunakan lafal "ujur" (upah) untuk makna mahar, sedangkan suatu
upah terjadi sesudah akad nikah. Karena itu sah hukumnya mengunakan lafal
tersebut dalam nikah[14].
Setelah selesainya dalam pembahsan
lafal serta hukum yang terkandung didalamnya, Ali ash-Shabuni menerangkan
tentang hikmah-hikmah yang terkandung dalam pernikahan Nabi s.a.w, dalam pandangan
Ali ash-Shabuni hikmah-hikmah tersebut di bedakan menjadi empat macam; 1. Dari
segi pendidikan, 2. Dari segi Hukum, 3. Dari segi sosial dan 4. Dari segi
politik.
Dari
segi pendidikan, Ali ash-Shabuni membaca bahwa perempauan termasuk struktur
bagian masyarakat yang juga terkena aturan atau hukum agama. Dengan adanya
perkawinan tersebut memudahkan bagi Nabi s.a.w untuk menerangkan hukum yang
meliputi kaum wanita, pasalnya banyak dari perempuan yang malu bertanya kepada
Nabi s.a.w tantang masalah kewanitaan, seperti haidl, nifas, jenabat,
urusan-urusan rumah tangga dan lain-lain, di sisi lain Nabi s.a.w sebagai sosok
yang pemalu, maka dari adanya perkawinan Nabi s.a.w dapat membatu agar
tersalurkan dan tersampaikanya syari'at hukum agama secara baik dan tapat.
Dari segi Hukum, perkawinan Nabi s.a.w bertujuan untuk
meluruskan serta menerapkan sebuah hukum dan sebagai pembongkar tradisi
jahiliyah yang telah berjalan lama yaitu tentang pengadopsian anak yang bukan
dari sulbinya tetapi di akui sebagai anak kandungnya sendiri dengan menganti
nama ayah nasab bagi anak adopsi tersebut dengan nama ayah yang mengadopsinya.
Adanya hikmah ini terjadi lantaran suatu kisah Pengadopsian Nabi s.a.w terhadap
Zaid, yang semula nisbat nasab ayah di sandarkan kepada Nabi s.a.w dengan
menyebut Ziad bin Muhammad, hingga akhirnya turun ayat yang melarang
menisbatkan nama ayahnya terhadap ayah adopsinya. Sekaligus hikmah yang
tertanam sebagai pembongkar bahwasanya dalam tradisi jahiliyah, merupakan aib
apabila menikahi bekas istri dari anak adopsinya, sedangkan Nabi s.a.w
melakukan perkawinan dengan Zainab yang sebagai mantan istri Zaid, sedangkan
atas perintah dari Allah s.w.t.
Dari segi sosial, Ali ash-Shabuni
menerangkan hikmah perkawinan-perkawinan Nabi s.a.w, yang dipandang untuk
menjalin kekeluargaan yang lebih erat dan hangat, serta dapat menjadikan
kesatuan yang utuh dalam diri muslimin sehingga mendapatkan keamanan, kebesaran
dan kehormatan di setiap da'wah Nabi s.a.w, seperti perkawinan Nabi s.a.w
dengan Aisyah putri dari Abu bakar as-Sidiq
dan Hafsah putri dari Umar al-Faruq dan dengan putri-putri dari kabilah-kabilah
yang lain.
Dari segi Politik, Ali ash-Shabuni
menerangkan bahwa perkwinan Nabi saw dengan sebagian perempuan dari berbagai
kabilah dan kalangan, bertujuan sebagai motif untuk melunakkan hati manusia
serta mempersatukan beberapa kabilah. Ash-shabuni juga memberikan contoh yang
berhikmah masuknya semua kalangan Bani Mushthaliq sebab perkawinan Nabi saw
dengan Juairiyah binti Harits anak dari penghulu Bani Mushthaliq yang asal
mulanya sebagai tawanan perang. Di ceritakan
bahwa Bani Mushthaliq yang menjadi tawanan perang mencapai 100 kepala keluarga[15].
Dan setalah menjelaskan dari
hikmah-hikmah yang terkandung dalam perkawinan nabi, Ali ash-Shabuni
menyertakan biografi singkat dari kesebelas istri-istri Nabi s.a.w serta
menjelaskan dasar histroris atas perkawinan-perkawinan Nabi s.a.w itu.
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
Muhammad Ali
ash-Shabuni termasuk peneliti yang kritis atas waca modernt yang berkembang
pesat saat ini, serta respon yang ditanggapinya dalam menyikapi kaum-kaum yang
selalu memerangi islam dari pengkritikan dan penghinaan terhadap islam baik
secara keseluruhan ataupun sebagian. Ia tampil di permukaaan sebagai pejuang
islam dalam lingkup akademisi yang kritis.
- Refrensi
1.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir.
2.
Irham Shidiq, ”M. Ali
Al-Shabuni”, http://t4f5.wordpress.com/2011/09/08/m-ali-al-shabuni/jumat
12 September 2014.
3.
Muhammad Ali iyaziy,
Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum,........: Mua'ssasatu
ath-Thoba'atu wa an-Nasyaru wa Zarotu ats-Tsaqoti wa al-Irsyadu al-Islami.
4.
Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai'u
al-Bayan Tafsiru Ayati al-Ahkam fi al-Qur'an, Jakarta: Darul Kutub
Al-Islamiyah. 2001.
5.
Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabunia,
Surabaya: pt bina ilmu. 1992.
6.
Sulaiman bin Ahmad bin Ayub/Abu
al-Qasim Ath-Thabrani, Al-Mu'jam al-Ausath, Kairo: Darul Haramain. 1415h
1.
Muhammad Ali iyaziy, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum,........:
Mua'ssasatu ath-Thoba'atu wa an-Nasyaru wa Zarotu ats-Tsaqoti wa al-Irsyadu
al-Islami, 1212 H, h.470 .
2.
Irham Shidiq, ”M. Ali Al-Shabuni”, http://t4f5.wordpress.com/2011/09/08/m-ali-al-shabuni/jumat 12 September 2014
3.
ibid
5.
Irham Shidiq, ”M. Ali Al-Shabuni”. Op. Cit.
6.
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir, hal 134.
[8] Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabunia,
(Surabaya: pt bina ilmu. 1992), jil. 2, h. 401.
[10] Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Tafsir Ayat
Ahkam Ash-Shabunia, (Surabaya: pt bina ilmu. 1992), jil. 2, h. 401.
[11] Sulaiman bin
Ahmad bin Ayub/Abu al-Qasim Ath-Thabrani, Al-Mu'jam al-Ausath, (Kairo:
Darul Haramain. 1415h), jil.1, h.141.
[13] Muhammad Ali
ash-Shabuni, Rawai'u al-Bayan Tafsiru Ayati al-Ahkam fi al-Qur'an, (Jakarta:
Darul Kutub Al-Islamiyah. 2001), jil. 2, h.251
Tidak ada komentar:
Posting Komentar