Bab 1
Pendahuluan
USHUL FIQH: Pengertian dan mekanisme pembagian waris
A.
Latar Belakang
Waris
adalah salah satu ajaran islam yang penting, dimana mengatur bagaimana
mekanisme pembagian harta atau bisa kita katakan dengan tata cara pengalihan
harta dan kekayaan dari seseorang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya.
Dalam beberapa ayat Alquran menerangkan tentang pembagian yang pasti (furudh
muqadarrah) dalam pembagian waris.
Allah telah menurunkan ketentuan dan mewajibkan untuk membagi sesuai
dengan ketentuan tersebut. Dan bagi
mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mematuhi hukum, padahal ia sadar
dan mengetahui hukum yang Allah tentukan,
maka akan diberi siksaan api
neraka yang menghinakan.
Pembagian
waris adalah masalah klasik yang melahirkan berbagai pandangan dan kajian.
Dalam kehidupan, kebanyakan permasalahan menjadi semacam bom waktu bagi
keharmonisan hubungan keluarga dan memunculkan perselisihan dalam internal. Dan
hal yang menyebabkan itu adalah keserakahan dan ketamakan dalam diri manusia,
disamping dari faktor ketidaktahuan ahli waris mengenai hukum pembagian waris.
Rasullah dalam hadisnya menjelaskan bahwa ilmu yang pertama hilang oleh Allah
adalah ilmu faraidh.
Sebagaimana
hadis nabi: “pelajarilah ilmu faraidh,dan ajarkanlah ia, karena ia merupakan
separuh bagian dari ilmu. Ia akan terlupakan. Ia juga yang pertama akan dicabut dari umatku.” (HR. Ibnu
Majjah)
B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengertian
waris, mekanisme pembagian harta waris, harta yang akan dibagi, berapa nilai
masing-masing yang akan mendapatkan waris secara rinci dan komprehensif serta mengaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat.
C. Rumusan Masalah
1. Pengertian dan mekanisme pembagian waris
2. Harta yang akan dibagi dalam waris
3. Nilai yang akan diterima oleh ahli waris
Bab 2
Pembahasan
Pada
kesempatan kali ini, penulis lebih dulu akan membahas bagaimana pengertian
waris dalam segi bahasa dan istilah.
1. Definisi
a. Pengertian mirats
Secara bahasa : Al-miirats
(الميراث) dalam
bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (وَرِثَ
- يَرِثُ – إِرْثًا- وَمِيْرَاثًا). Dan maknanya menurut bahasa ialah:
انْتِقَال
الشَّيْءِ مِنْ قَوْمٍ إِلَى قَوْمٍ آخَرِينَ
Berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',
atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang
dikenal para ulama ialah :
Berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Selain itu kita juga mengenal istilah ilmu faraidh, memiliki
arti yang hampir sama dengan istilah waris. Para ulama mendefinisikannya
sebagai :
عِلْمٌ بِأُصُولٍ مِنْ فِقْهٍ وَحِسَابٍ
تُعَرِّفُ حَقَّ كُلٍّ فِي التَّرِكَةِ
Ilmu tentang dasar-dasar fiqih dan perhitungan, yang
dengannya dapat diketahui hak-hak tiap orang dalam pembagian harta peninggalan.
Dari definisi di atas bisa kita dapat beberapa batasan,
antara lain :
a. Pindahnya Kepemilikan
Pembagian waris memastikan
kepemilikan atas suatu harta tertentu. Pembagian waris tidak menetapkan siapa
yang memegang, mengelola atau menempati suatu harta. Bisa saja harta itu
dimiliki oleh seorang ahli waris, tetapi dalam prakteknya dipinjamkan atau
dikelola oleh orang lain. Kalau harta itu berbentuk rumah misalnya, ahli waris
yang mendapat rumah itu tidak harus tinggal di dalamnya. Bisa saja orang lain
yang menempatinya, asalkan dengan seizin si empunya.
Maka yang ditetapkan dalam ilmu
waris adalah siapa yang berhak untuk menjadi pemilik atas suatu harta dari para
ahli waris.
b. Dari Orang Meninggal
Orang yang sudah meninggal secara
otomatis kehilangan hak kepemilikan atas harta. Kalau ada orang yang memiliki
harta lalu meninggal, maka secara otomatis harta itu kehilangan pemilik.
Secara hukum Islam, harta itu
harus ada pemiliknya. Karena tidak mungkin suatu harta dibiarkan terbengkalai
tanpa ada pemiliknya. Dan di dalam hukum Islam, pemilik dari harta yang pemilik
aslinya telah meninggal dunia tidak lain adalah para ahli warisnya.
c. Kepada Ahli Waris yang Hidup
Ahli
waris adalah orang yang pada saat almarhum wafat, dirinya masih hidup. Bila
ahli waris itu sudah meninggal terlebih dahulu, maka dia sudah bukan lagi
menjadi ahli waris. Dan orang yang sudah meninggal dunia, tentu tidak menjadi
pihak yang menerima warisan. Namun perlu ditegaskan bahwa dalam hal ini batasan
meninggalnya adalah ketika orang yang menjadi pewarisnya meninggal.
Sehingga
bila ada seorang ahli waris yang belum sempat menerima harta warisan dari
almarhum pewarisnya, lantaran pembagian warisan itu terlambat, maka dia tetap
mendapatkan jatah warisan, meski terlanjur meninggal. Hartanya diberikan kepada
orang-orang yang menjadi ahli warisnya, untuk kemudian dibagi waris lagi dengan
benar.
d. Harta yang Halal dan Legal
Harta yang
boleh dibagi waris hanyalah harta yang halal secara syar'i dan legal secara
hukum. Halal secara syar’i maksudnya secara ketentuan dari Allah, harta itu
memang merupakan hak almarhum secara sah. Sedangkan secara legal maksudnya agar
tidak ada keragu-raguan tentang status legalitas kepemilikan atas harta itu.[1]
b.
Pengertian ilmu waris
Sedangkan ilmu
mawaris didefinisikan oleh para ulama sebagai :[2]
عِلْمٌ
بِأُصُولٍ مِنْ فِقْهٍ وَحِسَابٍ تُعَرِّفُ حَقَّ كُلٍّ فِي التَّرِكَةِ
Ilmu tentang dasar-dasar fiqih dan hitungan
yang dengan ilmu itu kita dapat mengetahui hak-hak setiap ahli waris dalam
pembagian waris.
c.
Dalil Pensyariatan
Sebagaimana yang termaktub dalam QS. An-Nisa'
: 11_12
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ
نِسَاء
فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ(11)
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِّنْهُمَا
السُّدُسُ
مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ
الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ
إِخْوَةٌ
فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ
نَفْعاً
فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا(12)
d.
Mekanisme Pembagian Waris
Dalam
permasalahan waris, kita membahas beberapa prinsip dasar diantaranya adalah
hal-hal yang terkait dengan rukun-rukun dalam ketentuan waris, dimana tanpa
adanya rukun-rukun itu, maka sebagian pembagian harta tidak masuk kategori
mawaris.
Kita
membahas syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah pembagian waris. Dan
akan membahas dengan hal-hal apa saja yang dapat menghalangi seorang ahli waris
dari menerima harta warisan.
a. Rukun Waris
1.
Pewaris
Istilah pewaris adalah terjemahan dari kata dalam bahasa
Arab, yaitu muwarrits (المُوَرِّث).
Pewaris adalah orang
yang memiliki harta dan
hartanya itu akan dibagi, karena
pewaris itu meninggal dunia. Padahal dia punya harta dan harta harus ada
pemiliknya yang sah.
Bila dalam sebuah pembagian warisan, tidak ada muwarrits-nya, maka
pembagian harta itu jelas bukan pembagian waris.[3]
2.
Harta
Rukun mawaris selanjutnya adalah harta yang akan dibagi waris. Adanya harta yang
akan dibagi waris ini menjadi rukun dalam sebuah pembagian waris. Bila muwarrits
tidak memiliki harta dalam
bentuk apa pun yang memiliki nilai nominal, tentu tidak perlu dilakukan pembagian
warisan.
Tetapi tidak semua
harta yang dianggap milik pewaris bisa dibagi sebagai harta warisan. Ada
beberapa syarat, antara lain harta itu memang harta yang sah dan legal milik
pewaris. Dan harta itu harus murni secara penuh miliknya, bukan harta yang masih tercampur dengan harta
milik orang lain.
Dan sebelum harta itu
dibagi ada hal yang perlu diperhatikan yaitu harus dikeluarkan terlebih dahulu segala kewajiban
almarhum seperti hutang, atau mungkin pernah menjanjikan orang akan memberi harta bila dirinya
telah meninggal.
Termasuk yang harus dikeluarkan terlebih dahulu adalah biaya
penyelenggaraan untuk memandikan jenazah, mengkafani, menshalatkan dan
menguburkan, diambil dari harta milik pewaris.
3. Ahli Waris
Diantara rukun pembagian
waris adalah ahli waris. Mereka yang berhak
untuk mendapatkan harta warisan disebut dengan ahli waris. Dan istilahnya dalam
bahasa Arab adalah al-warits (الوَارِث).
Tidak semua orang yang dekat dengan almarhum termasuk di
dalam jajaran para ahli waris. Sebaliknya, orang yang tidak pernah bertemu
dengan pewaris, namun dia masuk ke dalam daftar ahli waris, justru akan
mendapatkan harta warisan.
Para ahli waris adalah orang-orang yang punya posisi
tertentu secara nasab atau hubungan keluarga dengan almarhum. Namun bukan
berarti semua anggota famili berarti otomatis menjadi ahli waris.
Dan belum tentu semua ahli waris mendapat
harta waris, karena nanti akan ada proses hijab, dimana kedudukan seorang ahli
waris dengan pewarisnya terhalangi oleh adanya ahli waris lain yang lebih
dekat.
b.
Syarat
Syarat
dalam pembagian waris adalah syarat yang harus terpenuhi sebelum pembagian
waris dilakukan. Dalam pembagian harta waris, harus ada tiga syarat utama[4],
diantaranya:
1. Wafatnya pewaris
Tidak
ada pembagian warisan jika pewaris masih dalam keadaan hidup dan sehat. Tetapi ketika calon muwarist ingin membagi harta hal tersebut bisa
dilakukan, dan tidak menggunakan ketentuan waris.
2. Ahli waris masih hidup
Dia
atau mereka, ahli waris masih hidup ketika pewaris menghembuskan nafas
terakhirnya, terhitung sejak kematian pewaris. Ketika pewaris meninggal harta
peninggalannya bisa dibagi sesuai dengan ketentuan yang ada.
3. Tidak ada mawani’
Mawani’ adalah
sesuatu yang mencegah seseorang yang sebenarnya termasuk dalam daftar
ahli waris. Tetapi karena ada mawani’, hak ahli waris menjadi hilang.
c. Mawani’
Bentuk
jamak dari kata maa-ni’ (المانع)
yang bermakna sesuatu yang mencegah atau menghalangi[5].
Seorang yang sebenarnya termasuk di dalam daftar ahli waris, bisa kehilangan
hak untuk mendapat harta warisan, yaitu apabila pada dirinya terdapat mawani'.
Hal-hal yang menggugurkan hak ahli waris. Diantaranya adalah :
1. Beda Agama
Seorang muslim tidak dapat
mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Dan mereka
yang seharusnya termasuk ahli waris, namun dia tidak beragama Islam, tidak
berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah
ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ
الكَافِرُ المُسْلِمَ
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam
mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin
Hanbal.
Namun sebagian ulama yang
bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal radhiayllahuanhu mengatakan
bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan
kepada orang kafir[6].
Alasan mereka adalah :
الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى
عَلَيْهِ
Islam itu unggul dan
tidak ada yang mengunggulinya
2. Membunuh
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, maka gugur
hak untuk mendapatkan warisan dari pewaris. Ahli waris tidak berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
عَنْ عَمْرُو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ جَدِّّهِ : لاَيَرِثُ القَاتِلُ شَيْئاً
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta
orang yang dibunuhnya. (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i)
عَنْ عُمَرَ : لَيْسَ لِقَاتِلٍ
مِيْرَاثٌ
Dari Umar radhiyallahuanhu : Seorang pembunuh tidak
mendapatkan warisan.(HR. Malik, Syafi'i dan Ahmad)
Ada perbedaan di
kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan.
Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris
adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang
direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya
tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu
dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para
saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai
penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya
diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong
sebagai penggugur hak waris.
Seseorang yang termasuk di dalam daftar ahli waris bila berstatus sebagai
budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya.
Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik
tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar
(budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab
(budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan
persyaratan yang disepakati kedua belah pihak).[7]
d.
Muwaris
Dalam pandangan
syariat tidak semua orang menjadi pewaris,
hanya beberapa oarang yang bisa menjadi muwaris secara
sah diantara syaratnya yaitu:
·
Islam
·
Sudah meninggal
·
Mememiliki harta
e.
Harta Warisan
Diantara
rukun waris adalah adanya harta warisan, mengapa kita berpikir serius tentang
perbedaan hukum waris kalau pewaris tidak memiliki harta. Maka harta warisan
memilki kriteria yang harus dipenuhi
dalam pembagian, yaitu
1. Kehalalan dan Legalitas
Berbicara masalah harta, tentu status hukum memilki kajian yang seksama, karena harta yang di dapat dari jalan yang tidak dibenarkan, tentu hal tersebut bukan menjadi bagian yang bisa dimikili.
2. Dimiliki oleh almarhum sejak masih hidup
Adapun harta yang baru datang setelah
kematian, dimana harta tadi bukan milik almarhum, statusnya tidak menjadi harta
yang diwariskan, seperti uang
santunan, uang pensiunan.
3. Tidak tercampur
dengan harta milik orang lain
Ketika seseorang meninggal dunia, dalam harta yang ada di
tangannya bisa jadi masih terdapat
hak orang lain. Almarhum mungkin tidak
mengambilnya secara haram. Barangkali almarhum bersepakat dengan orang lain
untuk memiliki harta itu secara bersama, seperti sering kita
lihat masih bercampurnya harta suami istri.
Jika masih ada hak
orang lain di dalam harta itu, maka harus dipisahkan dan dikeluarkan. Hak orang lain tidak bisa dibagi
waris.
Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia,
tidak bisa langsung dibagi waris, kecuali setelah dikeluarkan terlebih dahulu
beberapa hal, yaitu:
·
Biaya pengurusan jenazah
meliputi Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang
dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya.,
·
Hutang,
seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli
warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu
·
Wasiat, ahli
waris berkewajiban untuk melakukan seluruh wasiat pewaris, selama tidak
melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalan. Hal ini jika memang
wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada
protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya[8]
f.
Hijab, Aul dan Radd
Hijab
secara bentuk isim fa'il untuk kata hajaba adalah hajib dan
bentuk isim maf'ul ialah mahjub. Maka kata al-hajib menurut
istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub
berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan.[9]
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama
faraidh adalah :
مَنْعُ
مَنْ قَامَ بِهِ سَبَبُ الإْرْثِ مِنَ الإْرْثِ بِالْكُلِّيَّةِ أَوْ مِنْ أَوْفَرِ حَظَّيْهِ
Hal-hal yang menggugurkan hak ahli waris untuk menerima
waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja.
Hijab
adalah peristiwa dimana seorang yang sebenarnya termasuk di dalam daftar ahli
waris, namun karena posisinya terhalang oleh keberadaan ahli waris yang lain,
maka dia menjadi tidak berhak lagi untuk menerima harta warisan.
Aul
Secara bahasa kata ’aul (عول)
itu adalah al-irtifa’ (الارتفاع)
yang maknanya naik ke atas. Dan ’aul juga berarti az-ziyadah (الزيادة)
yang artinya bertambah. Sedangkan secara istilah khususnya dalam ilmu faraidh,
istilah aul itu didefinisikan sebagai :
زِيَادَةُ سِهَامِ الْفُرُوضِ عَنْ
أَصْل الْمَسْأَلَةِ بِزِيَادَةِ كُسُورِهَا عَنِ الْوَاحِدِ
Naik
atau bertambah disini maksudnya bertambahnya faktor pembagi atau jumlah bagian
fardh sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris[10]. Hal ini dikarenakan banyaknya harta yang
diambil oleh ahli waris yang berstatus ashhabul furudh, sehingga kalau
dijumlahkan totalnya melebihi nilai satu. Sehingga di antara ashhabul furudh
ada yang belum menerima bagian yang semestinya.
Oleh
karena itu, dalam keadaan seperti ini kita harus menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris
dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya
bagian mereka menjadi berkurang.
Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah
bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan sedikitnya ashhabul
furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai nilai 1, sehingga
disana ada harta warisan yang masih tersisa, sementara tidak ada seorangpun ashabah
disana yang berhak menerima sisa harta waris[11].
Maka
dalam keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau mengurangi pembaginya
sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada,
meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah.
Bab 3
Penutup
A.
Kesimpulan
Bahwa
dalam kajian waris, islam sudah mengatur dengan jelas dan terperinci tentang bagaimana mekanisme pengelolaan harta waris, dan inti
dari waris Berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau
apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Seorang
muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun
agamanya. Maka seorang anak tunggal
dan menjadi satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan
sendiri bila dia tidak beragama Islam. Dan siapapun yang seharusnya termasuk
ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak mendapatkan
harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah SAW dalam
sabdanya:
لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ
الكَافِرُ المُسْلِمَ
Tidaklah berhak seorang
muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan
Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang bersandar pada pendapat sahabat Mu'adz bin Jabal berkata bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang
kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah :
الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى
عَلَيْهِ
Islam itu unggul dan tidak
ada yang mengunggulinya
B. Referensi
1. Ahmad Sarwat, Fiqih Seri Kehidupan:Mawaris (Jakarta, Rumah Fiqih Publishing, 2012) Cet. 1
2. Tengku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Fiqih Muwaris, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2001)
3. Muhammad Ali Ashabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, terj.
M. Samhuji Yahya, (Bandung, Cv Diponegoro, 1998)
4. Muchammad Ali Ash Shabuni,
Ilmu Hukum Waris menurut Ajaran Islam, (Surabaya, Mutiara Ilmu,
1442)
[1] Ahmad
Sarwat, Fiqih Seri Kehidupan:Mawaris (Jakarta, Rumah Fiqih Publishing, 2012) cet. 1, hal
89-90.
[2]
Hasyiyatu Ibnu Abidin, jilid 5 hal. 499
[3] Lihat Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Muwaris, (Semarang,
Pustaka Rizki Putra, 2001) hal. 29
[4] Lihat Muhammad Ali Ashabuni, Hukum Waris dalam
Syariat Islam, terj. M. Samhuji Yahya, (Bandung, Cv Diponegoro,
1998) hal.48
[5] Opcit. Hal 37. Lihat Muhammad Ali Ashabuni, Hukum
Waris dalam Syariat Islam, terj. M. Samhuji Yahya, (Bandung, Cv
Diponegoro, 1998) hal. 50.
[6] Ahmad
Sarwat, Fiqih Seri Kehidupan:
Mawaris. Hal 120
[7] Ibid,
hal. 121
[8] Lihat Muhammad Ali Ashabuni, Hukum Waris dalam
Syariat Islam, terj. M. Samhuji Yahya, (Bandung, Cv Diponegoro,
1998) hal. 41
[9] Lihat Dr. Muchammad Ali Ash Shabuni, Ilmu Hukum Waris menurut Ajaran Islam, (Surabaya,
Mutiara Ilmu, 1442) hal.70
[11] Ibid,
hal. 292
Tidak ada komentar:
Posting Komentar