Minggu, 19 Maret 2017

USHUL FIQH: Pengertian dan mekanisme pembagian waris



Bab 1
Pendahuluan
USHUL FIQH: Pengertian dan mekanisme pembagian waris
 
A.    Latar Belakang
            Waris adalah salah satu ajaran islam yang penting, dimana mengatur bagaimana mekanisme pembagian harta atau bisa kita katakan dengan tata cara pengalihan harta dan kekayaan dari seseorang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Dalam beberapa ayat Alquran menerangkan tentang pembagian yang pasti (furudh muqadarrah) dalam pembagian waris.  Allah telah menurunkan ketentuan dan mewajibkan untuk membagi sesuai dengan ketentuan tersebut.  Dan bagi mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mematuhi hukum, padahal ia sadar dan mengetahui hukum yang Allah tentukan,  maka akan diberi siksaan  api neraka yang menghinakan.
            Pembagian waris adalah masalah klasik yang melahirkan berbagai pandangan dan kajian. Dalam kehidupan, kebanyakan permasalahan menjadi semacam bom waktu bagi keharmonisan hubungan keluarga dan memunculkan perselisihan dalam internal. Dan hal yang menyebabkan itu adalah keserakahan dan ketamakan dalam diri manusia, disamping dari faktor ketidaktahuan ahli waris mengenai hukum pembagian waris. Rasullah dalam hadisnya menjelaskan bahwa ilmu yang pertama hilang oleh Allah adalah ilmu faraidh.
            Sebagaimana hadis nabi: “pelajarilah ilmu faraidh,dan ajarkanlah ia, karena ia merupakan separuh bagian dari ilmu. Ia akan terlupakan. Ia juga yang pertama  akan dicabut dari umatku.” (HR. Ibnu Majjah)
B.     Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengertian waris, mekanisme pembagian harta waris, harta yang akan dibagi, berapa nilai masing-masing yang akan mendapatkan waris secara rinci dan komprehensif  serta mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
C.    Rumusan Masalah

1.      Pengertian dan mekanisme pembagian waris
2.      Harta yang akan dibagi dalam waris
3.      Nilai yang akan diterima oleh ahli waris

             


Bab 2
Pembahasan
            Pada kesempatan kali ini, penulis lebih dulu akan membahas bagaimana pengertian waris dalam segi bahasa dan istilah.
1.      Definisi
a.      Pengertian mirats
Secara bahasa : Al-miirats (الميراث) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (وَرِثَ - يَرِثُ – إِرْثًا- وَمِيْرَاثًا). Dan maknanya menurut bahasa ialah:
انْتِقَال الشَّيْءِ مِنْ قَوْمٍ إِلَى قَوْمٍ آخَرِينَ
Berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah :
Berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Selain itu kita juga mengenal istilah ilmu faraidh, memiliki arti yang hampir sama dengan istilah waris. Para ulama mendefinisikannya sebagai : 
عِلْمٌ بِأُصُولٍ مِنْ فِقْهٍ وَحِسَابٍ تُعَرِّفُ حَقَّ كُلٍّ فِي التَّرِكَةِ
Ilmu tentang dasar-dasar fiqih dan perhitungan, yang dengannya dapat diketahui hak-hak tiap orang dalam pembagian harta peninggalan.
Dari definisi di atas bisa kita dapat beberapa batasan, antara lain :
a. Pindahnya Kepemilikan
Pembagian waris memastikan kepemilikan atas suatu harta tertentu. Pembagian waris tidak menetapkan siapa yang memegang, mengelola atau menempati suatu harta. Bisa saja harta itu dimiliki oleh seorang ahli waris, tetapi dalam prakteknya dipinjamkan atau dikelola oleh orang lain. Kalau harta itu berbentuk rumah misalnya, ahli waris yang mendapat rumah itu tidak harus tinggal di dalamnya. Bisa saja orang lain yang menempatinya, asalkan dengan seizin si empunya.
Maka yang ditetapkan dalam ilmu waris adalah siapa yang berhak untuk menjadi pemilik atas suatu harta dari para ahli waris.
b. Dari Orang Meninggal
Orang yang sudah meninggal secara otomatis kehilangan hak kepemilikan atas harta. Kalau ada orang yang memiliki harta lalu meninggal, maka secara otomatis harta itu kehilangan pemilik.
Secara hukum Islam, harta itu harus ada pemiliknya. Karena tidak mungkin suatu harta dibiarkan terbengkalai tanpa ada pemiliknya. Dan di dalam hukum Islam, pemilik dari harta yang pemilik aslinya telah meninggal dunia tidak lain adalah para ahli warisnya.
c. Kepada Ahli Waris yang Hidup
            Ahli waris adalah orang yang pada saat almarhum wafat, dirinya masih hidup. Bila ahli waris itu sudah meninggal terlebih dahulu, maka dia sudah bukan lagi menjadi ahli waris. Dan orang yang sudah meninggal dunia, tentu tidak menjadi pihak yang menerima warisan. Namun perlu ditegaskan bahwa dalam hal ini batasan meninggalnya adalah ketika orang yang menjadi pewarisnya meninggal.
            Sehingga bila ada seorang ahli waris yang belum sempat menerima harta warisan dari almarhum pewarisnya, lantaran pembagian warisan itu terlambat, maka dia tetap mendapatkan jatah warisan, meski terlanjur meninggal. Hartanya diberikan kepada orang-orang yang menjadi ahli warisnya, untuk kemudian dibagi waris lagi dengan benar.  
d. Harta yang Halal dan Legal
            Harta yang boleh dibagi waris hanyalah harta yang halal secara syar'i dan legal secara hukum. Halal secara syar’i maksudnya secara ketentuan dari Allah, harta itu memang merupakan hak almarhum secara sah. Sedangkan secara legal maksudnya agar tidak ada keragu-raguan tentang status legalitas kepemilikan atas harta itu.[1]
b.      Pengertian ilmu waris
Sedangkan ilmu mawaris didefinisikan oleh para ulama sebagai :[2]
عِلْمٌ بِأُصُولٍ مِنْ فِقْهٍ وَحِسَابٍ تُعَرِّفُ حَقَّ كُلٍّ فِي التَّرِكَةِ
Ilmu tentang dasar-dasar fiqih dan hitungan yang dengan ilmu itu kita dapat mengetahui hak-hak setiap ahli waris dalam pembagian waris.
c.       Dalil Pensyariatan
Sebagaimana yang termaktub dalam QS. An-Nisa' : 11_12
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ(11)
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا(12)
d.      Mekanisme Pembagian Waris
            Dalam permasalahan waris, kita membahas beberapa prinsip dasar diantaranya adalah hal-hal yang terkait dengan rukun-rukun dalam ketentuan waris, dimana tanpa adanya rukun-rukun itu, maka sebagian pembagian harta tidak masuk kategori mawaris.
            Kita membahas syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah pembagian waris. Dan akan membahas dengan hal-hal apa saja yang dapat menghalangi seorang ahli waris dari menerima harta warisan.
a.       Rukun Waris
1.      Pewaris
Istilah pewaris adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Arab, yaitu muwarrits (المُوَرِّث).
Pewaris adalah orang yang memiliki harta dan hartanya itu akan dibagi, karena pewaris itu meninggal dunia. Padahal dia punya harta dan harta harus ada pemiliknya yang sah.
Bila dalam sebuah pembagian warisan, tidak ada muwarrits-nya, maka pembagian harta itu jelas bukan pembagian waris.[3]
2.      Harta
Rukun mawaris selanjutnya adalah harta yang akan dibagi waris. Adanya harta yang akan dibagi waris ini menjadi rukun dalam sebuah pembagian waris. Bila muwarrits tidak memiliki harta dalam bentuk apa pun yang memiliki nilai nominal, tentu tidak perlu dilakukan pembagian warisan.
Tetapi tidak semua harta yang dianggap milik pewaris bisa dibagi sebagai harta warisan. Ada beberapa syarat, antara lain harta itu memang harta yang sah dan legal milik pewaris. Dan harta itu harus murni secara penuh miliknya, bukan harta yang masih tercampur dengan harta milik orang lain.
Dan sebelum harta itu dibagi ada hal yang perlu diperhatikan yaitu harus dikeluarkan terlebih dahulu segala kewajiban almarhum seperti hutang, atau mungkin pernah menjanjikan orang akan memberi harta bila dirinya telah  meninggal.
Termasuk yang harus dikeluarkan terlebih dahulu adalah biaya penyelenggaraan untuk memandikan jenazah, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan, diambil dari harta milik pewaris.


3.      Ahli Waris

Diantara rukun pembagian waris adalah ahli waris. Mereka yang berhak untuk mendapatkan harta warisan disebut dengan ahli waris. Dan istilahnya dalam bahasa Arab adalah al-warits (الوَارِث).
Tidak semua orang yang dekat dengan almarhum termasuk di dalam jajaran para ahli waris. Sebaliknya, orang yang tidak pernah bertemu dengan pewaris, namun dia masuk ke dalam daftar ahli waris, justru akan mendapatkan harta warisan.
Para ahli waris adalah orang-orang yang punya posisi tertentu secara nasab atau hubungan keluarga dengan almarhum. Namun bukan berarti semua anggota famili berarti otomatis menjadi ahli waris.
Dan belum tentu semua ahli waris mendapat harta waris, karena nanti akan ada proses hijab, dimana kedudukan seorang ahli waris dengan pewarisnya terhalangi oleh adanya ahli waris lain yang lebih dekat.
b.      Syarat
            Syarat dalam pembagian waris adalah syarat yang harus terpenuhi sebelum pembagian waris dilakukan. Dalam pembagian harta waris, harus ada tiga syarat utama[4], diantaranya:
1.      Wafatnya pewaris
            Tidak ada pembagian warisan jika pewaris masih dalam keadaan hidup dan sehat.  Tetapi ketika calon muwarist  ingin membagi harta hal tersebut bisa dilakukan, dan tidak menggunakan ketentuan waris.
2.      Ahli waris masih hidup
            Dia atau mereka, ahli waris masih hidup ketika pewaris menghembuskan nafas terakhirnya, terhitung sejak kematian pewaris. Ketika pewaris meninggal harta peninggalannya bisa dibagi sesuai dengan ketentuan yang ada.
3.      Tidak ada mawani’
            Mawani’  adalah  sesuatu yang mencegah seseorang yang sebenarnya termasuk dalam daftar ahli waris. Tetapi karena ada mawani’, hak ahli waris menjadi hilang.
c.       Mawani’
            Bentuk jamak dari kata maa-ni’ (المانع) yang bermakna sesuatu yang mencegah atau menghalangi[5]. Seorang yang sebenarnya termasuk di dalam daftar ahli waris, bisa kehilangan hak untuk mendapat harta warisan, yaitu apabila pada dirinya terdapat mawani'. Hal-hal yang menggugurkan hak ahli waris. Diantaranya adalah :
1.      Beda Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Dan mereka yang seharusnya termasuk ahli waris, namun dia tidak beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal radhiayllahuanhu mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir[6]. Alasan mereka adalah :
الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ
Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya
2.      Membunuh
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, maka gugur hak untuk mendapatkan warisan dari pewaris. Ahli waris tidak berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
عَنْ عَمْرُو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّّهِ : لاَيَرِثُ القَاتِلُ شَيْئاً
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i)
عَنْ عُمَرَ : لَيْسَ لِقَاتِلٍ مِيْرَاثٌ
Dari Umar radhiyallahuanhu : Seorang pembunuh tidak mendapatkan warisan.(HR. Malik, Syafi'i dan Ahmad)
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan.
Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Seseorang yang termasuk di dalam daftar ahli waris bila berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya.
Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak).[7]
d.      Muwaris
Dalam pandangan syariat tidak semua orang menjadi pewaris, hanya  beberapa oarang yang bisa menjadi muwaris secara sah diantara syaratnya yaitu:
·         Islam
·         Sudah meninggal
·         Mememiliki harta

e.       Harta Warisan
            Diantara rukun waris adalah adanya harta warisan, mengapa kita berpikir serius tentang perbedaan hukum waris kalau pewaris tidak memiliki harta. Maka harta warisan memilki kriteria yang harus dipenuhi dalam pembagian, yaitu
1.      Kehalalan dan Legalitas

Berbicara masalah harta, tentu status hukum memilki kajian yang seksama, karena harta yang di dapat  dari jalan yang tidak dibenarkan, tentu hal tersebut bukan menjadi bagian yang bisa dimikili.

2.      Dimiliki oleh almarhum sejak masih hidup

Adapun harta yang baru datang setelah kematian, dimana harta tadi bukan milik almarhum, statusnya tidak menjadi harta yang diwariskan, seperti uang santunan, uang pensiunan.
3.      Tidak tercampur dengan harta milik orang lain
Ketika seseorang meninggal dunia, dalam harta yang ada di tangannya bisa jadi masih terdapat hak orang lain.  Almarhum mungkin tidak mengambilnya secara haram. Barangkali almarhum bersepakat dengan orang lain untuk memiliki harta itu secara bersama, seperti sering kita lihat masih bercampurnya harta suami istri.
Jika masih ada hak orang lain di dalam harta itu, maka harus dipisahkan dan dikeluarkan. Hak orang lain tidak bisa dibagi waris.
Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, tidak bisa langsung dibagi waris, kecuali setelah dikeluarkan terlebih dahulu beberapa hal, yaitu:
·         Biaya pengurusan jenazah meliputi Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya.,
·         Hutang, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu
·         Wasiat, ahli waris berkewajiban untuk melakukan seluruh wasiat pewaris, selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalan. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya[8]
f.       Hijab, Aul dan Radd
            Hijab secara bentuk isim fa'il untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul ialah mahjub. Maka kata al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan.[9]
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraidh adalah :
مَنْعُ مَنْ قَامَ بِهِ سَبَبُ الإْرْثِ مِنَ الإْرْثِ بِالْكُلِّيَّةِ  أَوْ مِنْ أَوْفَرِ حَظَّيْهِ
Hal-hal yang menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja. 
            Hijab adalah peristiwa dimana seorang yang sebenarnya termasuk di dalam daftar ahli waris, namun karena posisinya terhalang oleh keberadaan ahli waris yang lain, maka dia menjadi tidak berhak lagi untuk menerima harta warisan.
            Aul Secara bahasa kata ’aul (عول) itu adalah al-irtifa’ (الارتفاع) yang maknanya naik ke atas. Dan ’aul juga berarti az-ziyadah (الزيادة) yang artinya bertambah. Sedangkan secara istilah khususnya dalam ilmu faraidh, istilah aul itu didefinisikan sebagai :
زِيَادَةُ سِهَامِ الْفُرُوضِ عَنْ أَصْل الْمَسْأَلَةِ بِزِيَادَةِ كُسُورِهَا عَنِ الْوَاحِدِ
            Naik atau bertambah disini maksudnya bertambahnya faktor pembagi atau jumlah bagian fardh sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris[10].  Hal ini dikarenakan banyaknya harta yang diambil oleh ahli waris yang berstatus ashhabul furudh, sehingga kalau dijumlahkan totalnya melebihi nilai satu. Sehingga di antara ashhabul furudh ada yang belum menerima bagian yang semestinya.
            Oleh karena itu, dalam keadaan seperti ini kita harus  menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi berkurang.
            Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris.  Hal ini disebabkan sedikitnya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa, sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima sisa harta waris[11].
            Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah.



Bab 3
Penutup
A.    Kesimpulan
            Bahwa dalam kajian waris, islam sudah mengatur dengan jelas dan terperinci tentang bagaimana mekanisme pengelolaan harta waris, dan inti dari waris Berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
            Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam. Dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang bersandar pada pendapat sahabat Mu'adz bin Jabal berkata bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah :
الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ
Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya

B.     Referensi
1.      Ahmad Sarwat, Fiqih Seri Kehidupan:Mawaris (Jakarta,  Rumah Fiqih Publishing, 2012) Cet. 1
2.      Tengku Muhammad Hasbi  Ash Shiddieqy, Fiqih Muwaris, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2001)
3.      Muhammad Ali Ashabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, terj. M. Samhuji Yahya, (Bandung, Cv Diponegoro, 1998)
4.      Muchammad Ali Ash Shabuni,  Ilmu Hukum Waris menurut Ajaran Islam, (Surabaya, Mutiara Ilmu, 1442)


[1] Ahmad Sarwat, Fiqih Seri Kehidupan:Mawaris (Jakarta,  Rumah Fiqih Publishing, 2012) cet. 1, hal 89-90.
[2] Hasyiyatu Ibnu Abidin, jilid 5 hal. 499
[3] Lihat Tengku Muhammad Hasbi  Ash Shiddieqy, Fiqih Muwaris, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2001) hal. 29
[4] Lihat Muhammad Ali Ashabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, terj. M. Samhuji Yahya, (Bandung, Cv Diponegoro, 1998) hal.48
[5] Opcit. Hal 37. Lihat Muhammad Ali Ashabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, terj. M. Samhuji Yahya, (Bandung, Cv Diponegoro, 1998) hal. 50.
[6] Ahmad Sarwat,  Fiqih Seri Kehidupan: Mawaris. Hal 120
[7] Ibid, hal. 121
[8] Lihat Muhammad Ali Ashabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, terj. M. Samhuji Yahya, (Bandung, Cv Diponegoro, 1998) hal. 41
[9] Lihat Dr. Muchammad Ali Ash Shabuni,  Ilmu Hukum Waris menurut Ajaran Islam, (Surabaya, Mutiara Ilmu, 1442) hal.70
[10] Ahamd Sarwat, Fiqih Muwaris, hal. 282………………………………………..,
[11] Ibid, hal. 292

Tidak ada komentar:

Posting Komentar