Minggu, 19 Maret 2017

2. Perkembangan inteaktual islam pada masa Disintegrasi: Disintegrasi dan penyebabnya



BAB I PENDAHULUAN
Perkembangan inteaktual islam pada masa Disintegrasi: Disintegrasi dan penyebabnya
A.    Latar belakang
Kemajuan peradaban sebuah negara tidaklah lepas dari unsur pergolakan politik, pasalnya pengaruh kebijakan-kebijakan politik dan intrik politik mempunyai andil besar dalam penataan dan pengaturan suatu negara yang berkuasa. Tidak hanya dalam lingkup sosial-budaya, melainkan sosial-agama pun termasuk dalam pengamatan dan perhatian suatu sistem politik yang berkuasa pada masanya.
Fenomena politik yang berkembang dan berkuasa disuatu negara atau golongan, menjadikan pengaruh pula bagi generasi selanjutnya. Seperti bekas yang ditimbulkan dari persaingan dunia perpolitikan yang terjadi pada masa Bani Abbasiyyah, seperti timbulnya pemberontakan yang didasari kekurang puasan rakyat yang dipimpin oleh penguasa tesebut, dari sisi negatifnya. Dari sisi positif juga sangat tampak, yaitu adanya kemajuan serta kesejateraan, tetapi lebih dominan terjadi pada masa kholifah Harun Ar-Rasyid yang sebagai khalifah kelima.
Maka dari itu pengetahuan tentang sejarah sangat diperlukan untuk mengetahui jejak peradaban dan situasi yang berkembang pada masa itu, untuk pendidikan dan penelitian bagi kelanjutan generasi kedepan.
Sehubungan disusunnya makalah ini, guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang kami terima dari dosen pembina mata kuliah tersebut, yang bertemakan Disintegrasi dalam islam dan kondisi keadaan intelektual islam.
B.     Rumusan masalah
1.    Disintegrasi dan penyebabnya
2.    Perkembangan inteaktual islam pada masa Disintegrasi
BAB II PEMBAHASAN
1.      Disintegrasi dan penyebabnya
Dalam suatu sistem kekuasaan tidak menutup kemungkinan terjadinya pasang surut sebuah kejayaan. Hal ini juga dialami oleh pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah, tercatat dalam sejarah, pada masa kemerosotan di Bani Abbasiyah menjadikan latar belakang sebab timbulnya perpecahan.
Para sejarahwan mencatat kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi hanya pada masa periode pertama, sedangkan periode-periode selanjutnya terbilang sebagai periode kemunduran. Latar belakang adanya kemunduran tersebut yang berujung adanya gerakan-gerakan pemberontakan, disebabkan adanya gejolak politik perebutan kekuasaan yang terdapat di interen keluarga maupun pejabat dinasti Abbasiyah  dan faktor perekonomian dan lain-lain. Dari kehidupan yang kaya dengan harta, menjadikan para hartawan dan pejabat serta anak-anak pejabat cenderung bergaya hidup mewah, lantaran terlanjur terlena akan kejayaan yang didapat*[1].
Dengan bertambah banyaknya problem yang dihadapi penguasa dinasti Abbasiyah dari generasi ke generasi selanjutnya, menimbulkan puncak sekaligus awal kemerosotan dinasti ini adalah adanya pergerakan dari pasukan khusus Turki yang bertujuan untuk mengambil alih pemerintahan tersebut, pasukan tersebut semula merupakan pasukan yang direkrut oleh khalifah al-Mu'tashim (833-842M)**[2]. Meskipun kejadian tersebut terbilang sebagai awal dari keruntuhan dinasti Abbasiyah, sebetulnya sejak pertama berdirinya dinasti Abbasiyah sudah mengalami goncangan-goncangan dari barbagai lawan politik yang menganggu kesetabilan pemerintahan, karena kegigihan dan kecermatan dari penguasa Abbasiyah, semua rintangan dapat diselesaikan.
Rupanya misi dari khalifah al-Mu'tashim merekrut pasukan khusus dari Turki, tidak hanya ditempatkan sebagai pasukan saja, melainkan terdapat misi lain yaitu untuk mengulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa dengan mengunakan kekuatan dari personil pasukan khusus tersebut. Latar belakang dari tindakan al-Mu'tashim memilih pasukan yang diusung dari Turki, karena persaingan bangsa Arab dengan Bangsa Persia pada masa al-Mamun (813-833) dan sebelumnya, apalagi konflik tersebut juga bermuara dari persaingan perorang dalam rana politik perebutan kekuasaan antara al-Ma'mun dan al-Amin (Abu Musa Muhammad al-Amin 809-813M) yang menyeret simpatisan mereka untuk ikut andil dalam pertarungan politik diantara mereka, yang mana Bangsa Arab merupakan pendukung dari al-Amin dan Bangsa Persia sebagai pendukung al-Ma'mun*[3].
Meskipun pada saat itu situasi perpolitikan sangat genting, tetapi al-Mu'tashim selaku khalifah yang berkuasa setelah al-Ma'mun dan khalifah al-Watsiq (Abu Ja'far Harun al-Watsiq 842-847M) sebagai kholifah setelah al-Mu'tashim, dapat mengendalikan mereka*[4].
Dilihat dari sudut pandang penyebab kemunduran perpolitikan dinasti Abbasiyah dari pemimpinnya, berawal pada khalifah Abu Fadl Ja'far al-mutawakkil (847-861M), yang terkenal dengan sebutan al-Mutawakkil. Pada masa ini terbilang dunia politik Abbasiyah tidak mempunyai tangan untuk berkuasa, ditambah dengan faktor lemahnya diri seorang penguasa sehinga menyebabkan keberhasilan para pemberontak (bangsa turki-red) dapat merebut kekuasaan dari tangan al-Mutawakkil dan pada masa itu pula kekuasaan penuh berada ditangan orang-orang Turki. Setelah Al-Mutawakkil wafat, pemegang kekuasaan dan kebijakan berada ditangan mereka serta pengangkatan jabatan kekhalifahan juga berada ditangan mereka, meskipun jabatan khalifah masih dipegang bani Abbas tetapi dalam kekuasaan politik milik orang-orang Turki*[5]. layaknya seperti orang yang tidak bebas sebab tekanan, begitu juga dari khalifah yang telah diangkat oleh perwira-perwira yang berbangsa Turki juga berusaha membebaskan dari cengkraman para perwira, tetapi usaha mereka selalu kandas. Tercatat dari dua belas khalifah pada periode kedua ini, yang mengalami kematian secara wajar hanya empat khalifah, sedangkan selebihnya mati dibunuh dan diturunkan secara paksa dari tahta mereka*[6].
Setelah kekuasaan dan kekuatan dari bangsa Turki yang berkuasa di dinasti Abbasiyah lemah dengan sendirinya, timbulnya disintegrasi dengan ditandainya banyak bermunculan tokoh-tokoh yang kuat dari berbagai daerah, kemudian mereka memilih memerdekakan diri dari kekuasaan pusat. Badri Yatim (1993:63) menerangkan, masa disintegrasi sudah bermula sejak awal masa kekuasan dinasti Umayyah hingga akhir kekuasaanya, tetapi berbeda pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah. Pasalnya perbedaan tersebut sangat mencolok, bila dilihat dari lingkup wilayah kekuasaan yang diduduki oleh kedua dinasti tersebut. Pada masa kekuasaan dinasti Umayyaah, wilayah kekuasaannya stabil dan sejajar tanpa ada pengurangan, berbeda pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah yang cenderung berkurang setiap pergantian khalifah, seperti contoh tidak pernah ada pengakuan dari Spanyol dan seluruh Afrika Utara atas kekuasaan dinasti Abbasiyah kecuali Mesir yang juga bersifat sementara dan lebih dominan bersifat nominal atau bisa dibilang kekuasaan upeti. Dapat di simpulkan bahwasanya, pemerintah dinasti Abbasiyah akan merasa cukup atas pengakuan kekuasaan yang diwujudkan adanya implementasi penyetoran upeti dari daerah-daerah tertentu yang dikuasai.
Alasan adanya penerapan penyerahan upeti, dikarenakan kemungkinan besar dari khalifah-khalifah yang berkuasa, tidak cukup kuat dan mampu untuk menundukan wilayah-wilayah tersebut, serta dilatar belakangi oleh kurang pengamatan dari khalifah-khalifah terhadap sistem politik yang telah berjalan, melainkan hanya menitik-beratkan terhadap pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi. Hal ini menyebabkan wilayah-wilayah yang berada di pingiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah, adanya pergerakan itu melalui berbagai cara yang pertama, dari asal mulanya terdapat pimpinan lokal yang kuat dan mempunyai pengaruh yang besar di daerah daerah tersebut, sehingga timbullah gerakan untuk memberontak seperti yang terjadi di Spanyol berdirinya daulat Umayyah yang didirikan oleh Abdurrahman1, seseorang yang tidak diusir dan tidak dibunuh oleh Abul Abbas as-Shaffah khalifah pertama dan pendiri dinasti Abbasiyah (749-754M) pada saat as-Shaffah berpindah ke Ambar2 dan daulat Idrisiyah (172-375H/788-985M) di Maroko. Sedangkan yang kedua, disebabkan bertambah kuatnya kedudukan orang-orang yang asal mulanya diangkat menjadi gubernur oleh khalifah, sehingga mereka memberontak, seperti daulat Aghlabiyah (184-289H/800-900M) di Tunisia dan daulat Thahiriyyah (205-259H/820-872M) di Khurasan. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (2009:64).
1Amir Abdurrahman Ad-Dakhil (138H-315H) khalifah pertama sekaligus pendiri daulat Umayyah di Spanyol, ia juga masih keturunan dari Bani Umayyah, pada masa inilah tanah Eropa mengalami kejayaan yang penuh dengan kekayaan pengetahuan dan intelektual. Bukti ini adalah bukti pengaruh Islam yang sangat besar terhadap tanah Eropa, yang meliputi di bidang Filsafat, Seni, Sains, Fiqh, Musik dll. (Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 2009). 2Ambar adalah suatu daerah yang berada disebelah barat sungai Eufrat yang dekat dengan Baghdad.
Menurut penelitian yang dilakukan W. Montgomery Watt (Kejayaan Islam: kajian kritis dari Tokoh Orientalis, 1990), kemunduran dinasti Abbasiyah terlihat sejak awal abad kesembilan dan fenomena ini berbarengan dengan adanya partai-partai oposisi dari berbagai propinsi yang mempunyai kekuatan militer yang sangat kuat, sehingga menjadikan mereka mampu mendirikan kekuasaan independen. Seperti yang telah dijelaskan di atas, alasan adanya pemisahaan diri di berbagai daerah dan propinsi dari penguasa Baghdad, dikarenakan kurang stabilnya dunia perpolitikan dan juga melemahnya sistem pertahanan militer, sehingga memaksa penguasa Abbasiyah membuat sistem yang baru, dengan mengangkat dan memperkerjakan orang-orang yang profesional ke dalam bidang pertahanan, seperti halnya pasukan khusus yang direkrut dari orang-orang Turki, yang pada akhirnya nanti akan menjadi boomerang yang ampuh bagi penguasa Abbasiyah, berupa pemberontakan dari orang-orang Turki.
Adanya pergerakan yang dilakukan oleh orang-orang Turki, disinyalir penyebab sebagai inspirator pergerakan-pergerakan politik yang cenderung anarkis di berbagai daerah. Dalam masalah tersebut merambah ke persoalan agama yang diwujudkan dengan kefanatikan terhadap suatu faham dan didokumenkan kedalam karya-karya ilmiah dan kesusasteraan oleh para simpatisan faham tertentu guna menandingi bahkan bermaksud untuk saling menjatuhkan satu sama lain, adapun latar belakang perbedaan faham keagamaan yaitu antara faham Syi'ah dan Sunni*[7].
Dalam pengamatan Badri Yatim yang diperoleh dari buku aslinya yaitu History of Islamic Civilization pengarang Jurji Zaidan. ia membagi beberapa daerah yang memisahkan diri dari penguasa Baghdad disertai dengan mendirikan dinasti-dinasti, yaitu
1.      Dari bangsa Persia:
a.       Thahiriyyah di Khurasan, (205-259H/820-872M).
b.      Shafariyah di Fars
c.       Samaniyah di Transoxania
d.      Sajiyyah di Azerbaijan
e.       Buwaihiyyah yang akirnya juga menguasai Baghdad
2.      Dari bangsa Turki
a.       Thuluniyah di Mesir
b.      Ikhsyidiyah di Turkistan
c.       Ghaznawiyah di Afghanistan
d.      Seljuk dan cabang-cabangnya
1.      Seljuk besar atau Seljuk Agung, pernah mengusai dan memerintah di Baghdad selama 93 tahun
2.      Seljuk Kirman di Kirman
3.      Seljuk Syria atau Syam di Syria
4.      Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan
5.      Seljuk Rum atau Seljuk Asia kecl di Asia kecil
3.      Dari bangsa Kurdi
a.       Al- Barzuqani
b.      Abu Ali
c.       Ayubiyah
4.      Dari bangsa Arab
a.       Idrisiyah di Maroko
b.      Aghlabiyyah di Tunisia
c.       Dulafiyah di Kurdistan
d.      Alawiyah di Tabarisan
e.       Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil
f.       Muzyadiyyah di Hillah
g.      Ukailiyyah di Maushil
h.      Mirdasiyah di Aleppo
5.      Dari latar belakang pendeklarasian dirinya sendiri
a.       Umayyah di Spanyol
b.      Fatimiyah di Mesir, pencetus dan pendiri Universitas Al-Azhar
Terdapat beberapa faktor penting yang melatar belakangi periode kemunduran Bani Abbas, yang pertama terkait permasalahan komunikasi. Tidak bisa dipungkiri, adanya kekuasaan terhadap wilayah yang luas, pasti membutuhkan sarana komunikasi yang memadai, agar suatu hubungan dapat berjalan dengan lancar dan baik. Hal itu berbeda dengan keadaan yang dialami bani Abbas, persoalan komunikasi menjadikan hambatan dalam pemantauan serta hubungan terhadap daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dibawah Kekuasaan Bani Abbas. Ditambah persoalan yang timbul dari para penguasa Bani Abbas berupa sifat yang saling tidak percaya diantara para penguasa Bani Abbas dan juga adanya suatu sistem pemerintahan yang sangat lemah. Kedua, adanya sutau kelemahan dalam bidang kemiliteran, membuat Bani Abbas memaksa merubah sistem tatanan bidang-bidang tertentu dengan memperkerjakan para tenaga profesional ke bidang militer, sehingga membuat dirinya sendiri selaku khalifah ketergantungan yang lebih terhadap mereka. Yang ketiga, situasi perpolitikan yang tidak stabil pastinya mempunyai dampak yang negatif terhadap sistem-sistem yang lain, tidak terkecuali terhadap perekonomian, situasi tersebut juga terjadi di pemerintahan Bani Abbas, karena dengan adanya suatu yang tidak stabil terhadap keamanan pemerintah, sehingga memaksa pemerintah Bani Abbas mengunakan para personil militer bayaran untuk menstabilisasi keadaan yang mereka dan tentunya biaya untuk membayar meraka tak sedikit, sebab tidak stabilnya situasi perpolitikan menjadikan pemerintah Bani Abbas tidak bisa memaksa untuk membayar upeti dari daerah-daerah yang dikuasai*[8].
     Tercatat dalam sejarah, penyebab peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal yang serupa juga yang terjadi  di pemerintah-pemerintah islam sebelumnya, tetapi berbeda dengan yang terjadi pada saat Bani Abbas berkuasa. Selepas wafatnya Nabi Muhammad s.a.w, terdapat perbedaan yang drastis terhadap dunia perpolitikan islam dengan ditandainya perbedaan proses suksesi kepemimpinan politik yang berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Dapat dibenarkan, bahwasanya sebelum Nabi Muhammad s.a.w wafat, beliau tidak menentukan suatu cara pergantian pemimpin dan tidak juga mengutarakan kejelasan pemimpin yang akan mengantikan beliau selepas wafatnya beliau. Perihal ini nampaknya dilakukan beliau, lantaran masyarakat Arab terdidik oleh suatu sistem kerakyatan dalam jiwa mereka dan terimbangi dengan adanya ajaran Demokrasi dalam islam, sekaligus sebagai pelajaran tentang demokrasi yang ada dalam ajaran islam. Hal ini yang melatar belakangi pengalihan dan pergantian pimpinan dalam Islam diserahkan kepada kaum muslimin, selepas wafatnya Beliau.
Dalam perkembangan selanjutnya, perpolitikan Islam sering mengalami perbedaan sudut pandang antara golongan satu sama yang lain. Akan tetapi kejadian tersebut dapat diselesaikan dengan aman dan damai lantaran kondisi pemahaman keagamaan mereka sangat baik dan karena semangat musyawarah serta ukhuwah, mereka junjung tinggi. Meskipun demikian terkadang juga perbedaan tersebut menimbulkan konflik sampai pertumpahan darah. Demikian terjadi lantaran terdapat opnum-opnum yang memiliki ambisi berkuasa di dalam jiwa mereka.
Sejarah menyebutkan, bahwasanya pertumpahan darah pertama dalam rana politik perebutan kekuasaan, terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada awal pemerintahan Ali, ia pertama-tama menghadapi pemberontakan dari Thalhah, Zubair dan Aisyah, pemberontakan tersebut dipicu lantaran Ali tidak menghukum para pembunuh Utsman sehingga meraka menuntut pembelaan terhadap darah Utsman yang ditumpahkan secara dzalim. Dibalik alasan itu, penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali, dipropaganda oleh Abdullah bin zubair[9]. Guna melancarkan misinya dan tujuanya menguasai dan menduduki kursi jabatan kekhalifahan, Zubair memanfaatkan orang-orang terdekatnya seperti bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, untuk memberontak terhadap Ali dan dengan harapan Ali dapat mati terbunuh dalam pemberontakan tersebut, sehingga misi dan tujuan Zubair dapat diperolehnya*[10]. 
Pemberontakan-pemberontakan pun terus terjadi, yang berimbas sampai ke dinasti Umayyah di Damaskus, seperti pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin Al-Mukhtar, Abdulallah Bin Zubair dan terakhir pemberontakan dari bani Abbas yang pertama kalinya mengunakan nama Bani Hasyin dalam gerakannya. Dalam pemberontakkan Bani Hasyim akhirnya memuai hasil, dan akhirnya mendirikan pemerintahan baru yang diberi nama Khalifah Abbasiyah atau bani Abbas. Seperti halnya pemeberontakan yang ada pada masa dinasti Umaiyah, pada Dinasti Abbasiyah pun mengalaminya sejak awal berdirinya. Meskipun demikian jabatan Khalifah ditangan dinasti Abbas pada periode ke dua berhasil di rebut, seperti yang telah diutarakan di atas, para pemberontak tidak merebut jabatan khalifah, pasalnya jabatan Khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang tidak bisa diganggu gugat, sedangkan jabatan kekuasaan dapat dipegang dan dirikan di berbagai daerah, pusat ataupun yang lain dengan mendirikan dinasti-dinasti kecil yang jauh dari pusat pemerintahan.
Pada periode ketiga daulat Abbasiyah beralih dikuasai oleh Bani Buwaih, kehadiran Bani Buwai sehingga mejadi daulat bermula dari tiga putra Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan yang tingal di daerah Dailam, putra-putra tersebut yaitu Ali yang nantinya diangakat sebagai gubernur al-Karaj oleh Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy yang merupakan panglima perang dari dirinay, Ali, pengangkatan tersebut sebab perestasinya yang sangat baik. Hasan yang nantinya diangkat oleh khalifah bani Abbas menjadi kepala pemerintahan di bagian utara Isfahan dan Ray dengan anugrah gelar rukn al dualah. Dan putra ketiganya yaitu Ahmad yang nantinya diangkat menjadi amir al-umara oleh khaliafah dan diberi gelar Mu'izz al-daulah, sedangkan Ali sendiri mendapat gelar imad al-daulah*[11].  
Perjalanan ketiga putra Abu Syuja' berawal ketika mereka masuk kejajaran militer, yang dibawah komando jendral Makan ibn Kali di Dailami, karena dirasa gaji yang didapat di jajaran militer cukup mendatangkan Rezki. Awal ekspansi yang dilakukan ketiga saudara tersebut berawal setelah Ali memegang jabatan gubernur di al-Karaj, mereka mulai sedikt demi sedikt dapat menaklukakan derah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahannya. Sampailah sepeninggal Mardawij, Ali menambah Ekspansinya untuk menaklukakan Ray, Isfahan dan daerah-daerah Jabail, usahanya pun memulai hasil, suatu daerah itu berhasil di kuasanya. Setelah usahanya berhasil untuk mendapatkan legalisasi dari khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah dan sejumlah uang yang ia inginkan dengan alasan untuk pembedaharaan, ia pun mulai memperluas ekspansinya ke irak, Ahwaz dan Wasith yang pada akhirnya keinginan menguasai Baghdad semakin kuat, ketamabahan jalan yang lancar untuk merebut kekuasaan di baghdad dengan adanya permintaan bantuan dari para pimpinan militer pasca berkecamuknaya kisruh politik akibat perebutan jabatan amir al-umara di Baghdad, kepada adik Ali yaitu Ahmad, yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan tersebut disangupi oleh Ahmad ibn Buwaih, pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal 11 Jumadil Ula 334H/945M.
Pada waktu itulah awal yang menguntungkan bagi Bani Buwaih untuk mendapatkan kekuasaan penuh yang direbut dari tangan khalifah Abbasiyah dan para perwira Turki, saat itu pula khalifah hanya tinggal nama saja. Mereka tunduk dibawah penguasaan dan pemerintahaan Bani Buwaih, karena semua pelaksanaan pemerintahan berada ditangan Bani Buwaih. Situasi itu diperparah dari sebelumnya pasalnya perbedaan akidah diantara meraka, yang mana Bani Buwaih merupakan penganut aliran Syi'ah dan Bani Abbas beraliran Sunni. Sejauh pemerintahan Bani Buwaih, banyak terjadi kerusuhan antara Sunni dan Syi'ah. Setelah Baghdad dikuasai penuh oleh Bani Buwaih, mereka memindahkan markas kekuasaanya dari Syiraz ke Baghdad, meskipun demikian kendali politik tetap berada di Syiraz, daerah yang dikuasai oleh Ali kakak dari Hasan dan Ahmad, bani Buwaih pun membagung gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah.
Diawal pemeritahan Bani Buawaih, seperti layaknya pemerintahan sebelum sebelumnya, mereka mulai membangun peradaban dan memperbaiki sistem-sistem yang kurang baik, menerut merer. Adapun pada saat pemerintahaan awal, mereka mencurahkan perhatian mereka terhadap ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, usahanya pun berhasil dengan ditandai munculnya ilmuan-ilmuan beasar seperti Al-Farabi (w. 905M), Ibnu Sina (980-1037M), Al-Farghani, Abd al-Rahman al-Shufi (w, 986M), Ibn Maskawaih (w. 1030M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057M) dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Dari sisi pembangunan yang alain, adalah pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa Rumah sakit dan sejumlah bangunan laiannya, kemajuan tersebut diimbangi dengan majunnya  perkembangan disektor perekonomian. Pertaniaan, perdagangan dan indrustri terutama permadanai*[12].
Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan politik Bani Buwaih setelah generasi pertama dari tiga bersaudara itu, politik kekuassan bani Buwaih tidak bertahan lama. Setelah generasi pertama, kekuasaaan yang ada hanya digunakan sebagi ajang perebutan dari anak-anak mereka[13]. Dan lama dtangnya lah binasti Seljuk yang pada akhirnya dari Dinasti Seljuklah kehormatan khalifah dikembalikan keposisi semula terutama mengembalikan faham sunni seperti sediakala yang sebelumnya telah dirampas oleh kaum Syi'ah.
Samsum Munir Amin menyebutkan dalam bukunya yang mengutip dari karya Badri Yatim, ia mngklasifikasi kemunduran daulah bani Abbasiyah menjadi lima bagian; persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, perang salib dan serangan bangsa Mongol*[14].
2.      Perkembangan inteaktual islam pada masa Disintegrasi
Perkembangan intelektual Islam pada masa Disinterasi kurun waktu 1000-1250 M, mengalami pasang surut seiring dengan pergantian kekuasaan dan perebutan tahta Khalifah. Sejak kemajuan bani Abbasiyah tampak dari berbagai aspek bidang sampai pascamasa disintegrasi, pemerintah Abbasiyah lebih mementingkan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, ketimbang persoalaan politik. Bila dilihat dari keperhatiannya Bani Abbas dlam ilmu pengetahuan dan kesusuasteraan, memeng sangat gemilang dengan ditandianya kemunculan berbagai ilmuan dalam segala bidang, tetapi disitu latar belakang kemunduran bagi dinasti ini. Pada masa Disintegrasi yang dimulai sejak melemahnya kekuasaaan bangsa Turki terhadap bani Abbas, sehingga munculnya kemerdekaan yang diserukan dari daerah-daerah atas kekuasaanya sendiri, keadaan intelektual islam cenderung terabaikan karena para politisi lebih mementingkan kekuasaan yang ingin capai.
Setelah lama perseteruhan dan saling berebut kekuasaan antara bani Abbas dan bansa Turki, tibalah masa kekuasaan bani Buwaih, setelah hancurnya pemerintahan bangsa Turki. periode penguasaan Baghdad yang berada di tanggan Bani Buwaihiyyah (320-447H/932-1055M), Ilmu pengetahuan dan Kesusasteraan di kemangkan lagi, terbukti munculnya berbagai ilmuan yang terkenl sampai sekarang seperti Al-Farabi (w. 905M), Ibnu Sina (980-1037M), Al-Farghani, Abd al-Rahman al-Shufi (w, 986M), Ibn Maskawaih (w. 1030M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057M) dan mengadakakn berbagai pembinaan serta pembangaunan infrastruktur laiannya seperti pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa Rumah sakit dan sejumlah bangunan laiannya, terutama dalam bidang terologi islam, dimasa ini ajaran dan alirah Syi'ah berkembang lantaran Bani buwaih penguasa Baghdad menganut aliran Syi'ah. Masa kekemajuan dibawah kekuasaan bani Buwaih hanya sampai ujung pemerintahan yang dipimpin Ahmad selaku anak paling sulung dari Abu Syuja' Buwaih. Selepas wafat mereka, kemajuan dalam intelektual islam mengalami kemunduran untuk kesekian kalinya, disebabkan anak-anak dari keturunan mereka bertiga hanya menjadikan pemerintahan daulat Buwaihiyyah sebagai ajang perebutan kekuasaan. Keadaan seperti itu berlangsung sampai datangnya daulat Seljuk, pada pemerintahan Dulat Seljuk intelaktual islam mulai berkembang kembali, tepatnya pada masa pemimpinan Alp Arselan (455-465H/1063-1072M) dan intelektual islam mulai mengalami kemajuaan pada zaman Sultan Maliksyah (465-485H/1072-1092M) yang dibantu oleh perdana mentrinya yang bernama Nizham al-Mulk. dari perdana mentri itu gagasan untuk memprakarsai berdirinya Universitas Nizmaniyyah (1065M) serta cabang-cabang yang tersebar hampir di setiap kota yang berada di Irak dan Khurasan dan Madrasah Hanafiyyah di Baghdad, menurut Philip K. Hitti, Universitas Nizmaniyyah inilah yang nantinya menjadi acuhan model bagi berbagai perguruan tinggi. Kemajuan intelektual islam, terbukti banyak bermuncul ilmuan-ilmuan yang sangat terkenal seperti az'-Zamakhsyari dalam bidang Tafsir, Bahasa dan Teologi; al-Qusyairy dalam bidang Tafsir; Abu Hamid al-Ghazaliy dalam bidang Teologi dan Tasawuf; Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang Sastra.dalam bidang yang lain seperti pembangunan fisik pun banyak dilakuakan, seperti pembangunan masjid, jembatan, irigrasi dan jalan raya, perkembangan dalam bentuk fisik lebih dikenal sebagai jasa dari Maliksyah, yang berlangsung lama meskipun kemunduruan perpolitikkan terjadi*[15].
BAB III PENUTUP
  1. Ringkasan
Masa disintegrasi berawal dari masa khalifah al-Mutawakil, Khalifah kesepuluh dualat Abbasiyyah dan mengalami puncaknya, setelah Kekuasaan bangsa Turki yang menduduki serta menjajah Bani Abbasiyah mulai sedikit demi sedikit mengalami kemunduran dengan sendirinya.
Dalam perkembangan dan kemajuan Intelektual islam beragam serta cenderung maju-mundur seiring bergantinya penguasa, secara umun perkembangan dan kemajuan intelektual islam saat masa disintegrasi terjadi pada masa tiga bersaudara dari Bani Buwaihiyyah dan pada masa Alp Arselan (455-456H/1063-1072M) dan masa Sultan Maliksyah (465-485H/1072-1092M) penguasa dari dinasti Seljuk Agung. Dari masa merekalah ilmuan muslim dari berbagai bidang bermunculan bahkan dari sebagain Ilmuan-ilmuan islam banyak dikenal oleh bangsa barat dan non-muslim dan juga ditempatkan sebagai guru suatu ilmu pengetahuan.



B.       DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Sejarah PERADABAN Islam, Jakarta: AMZAH, 2009.
Hitti, Philip k., HISTORY OF THE ARABS, Jakarta: serambi Ilmu Semesta, 2010.
Syalabi, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987.
Watt, W. Montgomery, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
Yatim, Badri, SEJARAH PERADABAN ISLAM: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993.


[1]Badri Yatim, SEJARAH PERADABAN ISLAM, (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada,1993), hal. 61.  
[2] Badri Yatim . Op. Cit. hal. 62.
[3] Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota kembang,1989), hal. 120-121.
[4] Badri Yatim . Op. Cit. hal. 62.
[5] Badri Yatim, loc. Cit.
[6] Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Dawlah al-Islamiyah, (Beirut: al-Maktab al-Tijari, Tanpa Tahun), hlm 362.
[7] Malikhah, RESUME SEJARAH PERADABAN ISLAM, (Skripsi:PAI Tarbiyah IAIAN Walisongo Semarang, 2011), hlm.

[8] W. Montgomery watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hlm.165-166.
[9] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), jil. I, hlm. 289.
[10]Badri Yatim, SEJARAH PERADABAN ISLAM, op. Cit. hal. 68.
[11] Badri Yatim, op. Cit. hlm. 70.
[12] Philip k. Hitti,
[13] Badri Yatim. Op. Cit. hlm. 72.
[14] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaan Islam, (Jakarta:  AMZAH, 2009), hlm. 155.
[15] Bandri Yatim. Op. Cit. hlm. 71-76.SS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar