BAB I PENDAHULUAN
Perkembangan inteaktual islam pada masa Disintegrasi: Disintegrasi dan penyebabnya
A. Latar
belakang
Kemajuan peradaban sebuah negara
tidaklah lepas dari unsur pergolakan politik, pasalnya pengaruh
kebijakan-kebijakan politik dan intrik politik mempunyai andil besar dalam
penataan dan pengaturan suatu negara yang berkuasa. Tidak hanya dalam lingkup
sosial-budaya, melainkan sosial-agama pun termasuk dalam pengamatan dan
perhatian suatu sistem politik yang berkuasa pada masanya.
Fenomena politik yang berkembang
dan berkuasa disuatu negara atau golongan, menjadikan pengaruh pula bagi
generasi selanjutnya. Seperti bekas yang ditimbulkan dari persaingan dunia
perpolitikan yang terjadi pada masa Bani Abbasiyyah, seperti timbulnya
pemberontakan yang didasari kekurang puasan rakyat yang dipimpin oleh penguasa
tesebut, dari sisi negatifnya. Dari sisi positif juga sangat tampak, yaitu
adanya kemajuan serta kesejateraan, tetapi lebih dominan terjadi pada masa
kholifah Harun Ar-Rasyid yang sebagai khalifah kelima.
Maka dari itu pengetahuan tentang
sejarah sangat diperlukan untuk mengetahui jejak peradaban dan situasi yang
berkembang pada masa itu, untuk pendidikan dan penelitian bagi kelanjutan generasi
kedepan.
Sehubungan disusunnya makalah ini,
guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang kami terima dari
dosen pembina mata kuliah tersebut, yang bertemakan Disintegrasi dalam islam
dan kondisi keadaan intelektual islam.
B. Rumusan
masalah
1. Disintegrasi
dan penyebabnya
2. Perkembangan
inteaktual islam pada masa Disintegrasi
BAB II PEMBAHASAN
1. Disintegrasi
dan penyebabnya
Dalam suatu sistem kekuasaan tidak
menutup kemungkinan terjadinya pasang surut sebuah kejayaan. Hal ini juga
dialami oleh pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah, tercatat dalam sejarah, pada
masa kemerosotan di Bani Abbasiyah menjadikan latar belakang sebab timbulnya
perpecahan.
Para sejarahwan mencatat kejayaan
dinasti Abbasiyah terjadi hanya pada masa periode pertama, sedangkan
periode-periode selanjutnya terbilang sebagai periode kemunduran. Latar
belakang adanya kemunduran tersebut yang berujung adanya gerakan-gerakan
pemberontakan, disebabkan adanya gejolak politik perebutan kekuasaan yang
terdapat di interen keluarga maupun pejabat dinasti Abbasiyah dan faktor perekonomian dan lain-lain. Dari
kehidupan yang kaya dengan harta, menjadikan para hartawan dan pejabat serta
anak-anak pejabat cenderung bergaya hidup mewah, lantaran terlanjur terlena
akan kejayaan yang didapat*[1].
Dengan bertambah banyaknya problem
yang dihadapi penguasa dinasti Abbasiyah dari generasi ke generasi selanjutnya,
menimbulkan puncak sekaligus awal kemerosotan dinasti ini adalah adanya
pergerakan dari pasukan khusus Turki yang bertujuan untuk mengambil alih
pemerintahan tersebut, pasukan tersebut semula merupakan pasukan yang direkrut
oleh khalifah al-Mu'tashim (833-842M)**[2].
Meskipun kejadian tersebut terbilang sebagai awal dari keruntuhan dinasti
Abbasiyah, sebetulnya sejak pertama berdirinya dinasti Abbasiyah sudah
mengalami goncangan-goncangan dari barbagai lawan politik yang menganggu
kesetabilan pemerintahan, karena kegigihan dan kecermatan dari penguasa
Abbasiyah, semua rintangan dapat diselesaikan.
Rupanya misi dari khalifah
al-Mu'tashim merekrut pasukan khusus dari Turki, tidak hanya ditempatkan
sebagai pasukan saja, melainkan terdapat misi lain yaitu untuk mengulingkan
pemerintahan yang sedang berkuasa dengan mengunakan kekuatan dari personil
pasukan khusus tersebut. Latar belakang dari tindakan al-Mu'tashim memilih
pasukan yang diusung dari Turki, karena persaingan bangsa Arab dengan Bangsa
Persia pada masa al-Mamun (813-833) dan sebelumnya, apalagi konflik tersebut
juga bermuara dari persaingan perorang dalam rana politik perebutan kekuasaan
antara al-Ma'mun dan al-Amin (Abu Musa Muhammad al-Amin 809-813M) yang menyeret
simpatisan mereka untuk ikut andil dalam pertarungan politik diantara mereka,
yang mana Bangsa Arab merupakan pendukung dari al-Amin dan Bangsa Persia
sebagai pendukung al-Ma'mun*[3].
Meskipun pada saat itu situasi perpolitikan
sangat genting, tetapi al-Mu'tashim selaku khalifah yang berkuasa setelah
al-Ma'mun dan khalifah al-Watsiq (Abu Ja'far Harun al-Watsiq 842-847M) sebagai
kholifah setelah al-Mu'tashim, dapat mengendalikan mereka*[4].
Dilihat dari sudut pandang penyebab
kemunduran perpolitikan dinasti Abbasiyah dari pemimpinnya, berawal pada khalifah
Abu Fadl Ja'far al-mutawakkil (847-861M), yang terkenal dengan sebutan
al-Mutawakkil. Pada masa ini terbilang dunia politik Abbasiyah tidak mempunyai
tangan untuk berkuasa, ditambah dengan faktor lemahnya diri seorang penguasa sehinga
menyebabkan keberhasilan para pemberontak (bangsa turki-red) dapat merebut kekuasaan
dari tangan al-Mutawakkil dan pada masa itu pula kekuasaan penuh berada
ditangan orang-orang Turki. Setelah Al-Mutawakkil wafat, pemegang kekuasaan dan
kebijakan berada ditangan mereka serta pengangkatan jabatan kekhalifahan juga
berada ditangan mereka, meskipun jabatan khalifah masih dipegang bani Abbas tetapi
dalam kekuasaan politik milik orang-orang Turki*[5].
layaknya seperti orang yang tidak bebas sebab tekanan, begitu juga dari
khalifah yang telah diangkat oleh perwira-perwira yang berbangsa Turki juga
berusaha membebaskan dari cengkraman para perwira, tetapi usaha mereka selalu
kandas. Tercatat dari dua belas khalifah pada periode kedua ini, yang mengalami
kematian secara wajar hanya empat khalifah, sedangkan selebihnya mati dibunuh
dan diturunkan secara paksa dari tahta mereka*[6].
Setelah kekuasaan dan kekuatan dari
bangsa Turki yang berkuasa di dinasti Abbasiyah lemah dengan sendirinya, timbulnya
disintegrasi dengan ditandainya banyak bermunculan tokoh-tokoh yang kuat dari
berbagai daerah, kemudian mereka memilih memerdekakan diri dari kekuasaan
pusat. Badri Yatim (1993:63) menerangkan, masa disintegrasi sudah bermula sejak
awal masa kekuasan dinasti Umayyah hingga akhir kekuasaanya, tetapi berbeda
pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah. Pasalnya perbedaan tersebut sangat
mencolok, bila dilihat dari lingkup wilayah kekuasaan yang diduduki oleh kedua
dinasti tersebut. Pada masa kekuasaan dinasti Umayyaah, wilayah kekuasaannya
stabil dan sejajar tanpa ada pengurangan, berbeda pada masa kekuasaan dinasti
Abbasiyah yang cenderung berkurang setiap pergantian khalifah, seperti contoh
tidak pernah ada pengakuan dari Spanyol dan seluruh Afrika Utara atas kekuasaan
dinasti Abbasiyah kecuali Mesir yang juga bersifat sementara dan lebih dominan
bersifat nominal atau bisa dibilang kekuasaan upeti. Dapat di simpulkan
bahwasanya, pemerintah dinasti Abbasiyah akan merasa cukup atas pengakuan
kekuasaan yang diwujudkan adanya implementasi penyetoran upeti dari
daerah-daerah tertentu yang dikuasai.
Alasan adanya penerapan penyerahan
upeti, dikarenakan kemungkinan besar dari khalifah-khalifah yang berkuasa,
tidak cukup kuat dan mampu untuk menundukan wilayah-wilayah tersebut, serta dilatar
belakangi oleh kurang pengamatan dari khalifah-khalifah terhadap sistem politik
yang telah berjalan, melainkan hanya menitik-beratkan terhadap pembinaan
peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi. Hal ini menyebabkan
wilayah-wilayah yang berada di pingiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbasiyah, adanya pergerakan itu melalui berbagai cara yang pertama, dari
asal mulanya terdapat pimpinan lokal yang kuat dan mempunyai pengaruh yang
besar di daerah daerah tersebut, sehingga timbullah gerakan untuk memberontak
seperti yang terjadi di Spanyol berdirinya daulat Umayyah yang didirikan oleh
Abdurrahman1, seseorang yang tidak diusir dan tidak dibunuh
oleh Abul Abbas as-Shaffah khalifah pertama dan pendiri dinasti Abbasiyah
(749-754M) pada saat as-Shaffah berpindah ke Ambar2 dan daulat
Idrisiyah (172-375H/788-985M) di Maroko. Sedangkan yang kedua, disebabkan bertambah
kuatnya kedudukan orang-orang yang asal mulanya diangkat menjadi gubernur oleh
khalifah, sehingga mereka memberontak, seperti daulat Aghlabiyah
(184-289H/800-900M) di Tunisia dan daulat Thahiriyyah (205-259H/820-872M) di
Khurasan. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (2009:64).
1Amir Abdurrahman Ad-Dakhil (138H-315H) khalifah pertama sekaligus
pendiri daulat Umayyah di Spanyol, ia juga masih keturunan dari Bani Umayyah, pada
masa inilah tanah Eropa mengalami kejayaan yang penuh dengan kekayaan
pengetahuan dan intelektual. Bukti ini adalah bukti pengaruh Islam yang sangat
besar terhadap tanah Eropa, yang meliputi di bidang Filsafat, Seni, Sains,
Fiqh, Musik dll. (Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 2009). 2Ambar adalah suatu daerah yang berada
disebelah barat sungai Eufrat yang dekat dengan Baghdad.
Menurut penelitian yang dilakukan
W. Montgomery Watt (Kejayaan Islam: kajian kritis dari Tokoh Orientalis, 1990),
kemunduran dinasti Abbasiyah terlihat sejak awal abad kesembilan dan fenomena
ini berbarengan dengan adanya partai-partai oposisi dari berbagai propinsi yang
mempunyai kekuatan militer yang sangat kuat, sehingga menjadikan mereka mampu
mendirikan kekuasaan independen. Seperti yang telah dijelaskan di atas, alasan
adanya pemisahaan diri di berbagai daerah dan propinsi dari penguasa Baghdad,
dikarenakan kurang stabilnya dunia perpolitikan dan juga melemahnya sistem
pertahanan militer, sehingga memaksa penguasa Abbasiyah membuat sistem yang
baru, dengan mengangkat dan memperkerjakan orang-orang yang profesional ke
dalam bidang pertahanan, seperti halnya pasukan khusus yang direkrut dari
orang-orang Turki, yang pada akhirnya nanti akan menjadi boomerang yang ampuh bagi
penguasa Abbasiyah, berupa pemberontakan dari orang-orang Turki.
Adanya pergerakan yang dilakukan
oleh orang-orang Turki, disinyalir penyebab sebagai inspirator
pergerakan-pergerakan politik yang cenderung anarkis di berbagai daerah. Dalam
masalah tersebut merambah ke persoalan agama yang diwujudkan dengan kefanatikan
terhadap suatu faham dan didokumenkan kedalam karya-karya ilmiah dan
kesusasteraan oleh para simpatisan faham tertentu guna menandingi bahkan
bermaksud untuk saling menjatuhkan satu sama lain, adapun latar belakang
perbedaan faham keagamaan yaitu antara faham Syi'ah dan Sunni*[7].
Dalam pengamatan Badri Yatim yang
diperoleh dari buku aslinya yaitu History of Islamic Civilization pengarang
Jurji Zaidan. ia membagi beberapa daerah yang memisahkan diri dari penguasa
Baghdad disertai dengan mendirikan dinasti-dinasti, yaitu
1. Dari
bangsa Persia:
a. Thahiriyyah
di Khurasan, (205-259H/820-872M).
b. Shafariyah
di Fars
c. Samaniyah
di Transoxania
d. Sajiyyah
di Azerbaijan
e. Buwaihiyyah
yang akirnya juga menguasai Baghdad
2. Dari
bangsa Turki
a. Thuluniyah
di Mesir
b. Ikhsyidiyah
di Turkistan
c. Ghaznawiyah
di Afghanistan
d. Seljuk
dan cabang-cabangnya
1. Seljuk
besar atau Seljuk Agung, pernah mengusai dan memerintah di Baghdad selama 93
tahun
2. Seljuk
Kirman di Kirman
3. Seljuk
Syria atau Syam di Syria
4. Seljuk
Irak di Irak dan Kurdistan
5. Seljuk
Rum atau Seljuk Asia kecl di Asia kecil
3. Dari
bangsa Kurdi
a. Al-
Barzuqani
b. Abu
Ali
c. Ayubiyah
4. Dari
bangsa Arab
a. Idrisiyah
di Maroko
b. Aghlabiyyah
di Tunisia
c. Dulafiyah
di Kurdistan
d. Alawiyah
di Tabarisan
e. Hamdaniyah
di Aleppo dan Maushil
f. Muzyadiyyah
di Hillah
g. Ukailiyyah
di Maushil
h. Mirdasiyah
di Aleppo
5. Dari
latar belakang pendeklarasian dirinya sendiri
a. Umayyah
di Spanyol
b. Fatimiyah
di Mesir, pencetus dan pendiri Universitas Al-Azhar
Terdapat beberapa faktor penting
yang melatar belakangi periode kemunduran Bani Abbas, yang pertama terkait
permasalahan komunikasi. Tidak bisa dipungkiri, adanya kekuasaan terhadap
wilayah yang luas, pasti membutuhkan sarana komunikasi yang memadai, agar suatu
hubungan dapat berjalan dengan lancar dan baik. Hal itu berbeda dengan keadaan
yang dialami bani Abbas, persoalan komunikasi menjadikan hambatan dalam
pemantauan serta hubungan terhadap daerah-daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dibawah Kekuasaan Bani Abbas. Ditambah persoalan yang timbul dari
para penguasa Bani Abbas berupa sifat yang saling tidak percaya diantara para
penguasa Bani Abbas dan juga adanya suatu sistem pemerintahan yang sangat
lemah. Kedua, adanya sutau kelemahan dalam bidang kemiliteran, membuat Bani
Abbas memaksa merubah sistem tatanan bidang-bidang tertentu dengan
memperkerjakan para tenaga profesional ke bidang militer, sehingga membuat
dirinya sendiri selaku khalifah ketergantungan yang lebih terhadap mereka. Yang
ketiga, situasi perpolitikan yang tidak stabil pastinya mempunyai dampak yang
negatif terhadap sistem-sistem yang lain, tidak terkecuali terhadap
perekonomian, situasi tersebut juga terjadi di pemerintahan Bani Abbas, karena
dengan adanya suatu yang tidak stabil terhadap keamanan pemerintah, sehingga
memaksa pemerintah Bani Abbas mengunakan para personil militer bayaran untuk
menstabilisasi keadaan yang mereka dan tentunya biaya untuk membayar meraka tak
sedikit, sebab tidak stabilnya situasi perpolitikan menjadikan pemerintah Bani
Abbas tidak bisa memaksa untuk membayar upeti dari daerah-daerah yang dikuasai*[8].
Tercatat dalam sejarah, penyebab peran
politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
Hal yang serupa juga yang terjadi di pemerintah-pemerintah
islam sebelumnya, tetapi berbeda dengan yang terjadi pada saat Bani Abbas
berkuasa. Selepas wafatnya Nabi Muhammad s.a.w, terdapat perbedaan yang drastis
terhadap dunia perpolitikan islam dengan ditandainya perbedaan proses suksesi
kepemimpinan politik yang berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Dapat
dibenarkan, bahwasanya sebelum Nabi Muhammad s.a.w wafat, beliau tidak
menentukan suatu cara pergantian pemimpin dan tidak juga mengutarakan kejelasan
pemimpin yang akan mengantikan beliau selepas wafatnya beliau. Perihal ini
nampaknya dilakukan beliau, lantaran masyarakat Arab terdidik oleh suatu sistem
kerakyatan dalam jiwa mereka dan terimbangi dengan adanya ajaran Demokrasi
dalam islam, sekaligus sebagai pelajaran tentang demokrasi yang ada dalam
ajaran islam. Hal ini yang melatar belakangi pengalihan dan pergantian pimpinan
dalam Islam diserahkan kepada kaum muslimin, selepas wafatnya Beliau.
Dalam perkembangan selanjutnya,
perpolitikan Islam sering mengalami perbedaan sudut pandang antara golongan
satu sama yang lain. Akan tetapi kejadian tersebut dapat diselesaikan dengan
aman dan damai lantaran kondisi pemahaman keagamaan mereka sangat baik dan
karena semangat musyawarah serta ukhuwah, mereka junjung tinggi. Meskipun
demikian terkadang juga perbedaan tersebut menimbulkan konflik sampai
pertumpahan darah. Demikian terjadi lantaran terdapat opnum-opnum yang memiliki
ambisi berkuasa di dalam jiwa mereka.
Sejarah menyebutkan, bahwasanya
pertumpahan darah pertama dalam rana politik perebutan kekuasaan, terjadi pada
masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada awal pemerintahan Ali, ia pertama-tama
menghadapi pemberontakan dari Thalhah, Zubair dan Aisyah, pemberontakan
tersebut dipicu lantaran Ali tidak menghukum para pembunuh Utsman sehingga
meraka menuntut pembelaan terhadap darah Utsman yang ditumpahkan secara dzalim.
Dibalik alasan itu, penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali,
dipropaganda oleh Abdullah bin zubair[9].
Guna melancarkan misinya dan tujuanya menguasai dan menduduki kursi jabatan
kekhalifahan, Zubair memanfaatkan orang-orang terdekatnya seperti bibi dan ibu
asuhnya, Aisyah, untuk memberontak terhadap Ali dan dengan harapan Ali dapat
mati terbunuh dalam pemberontakan tersebut, sehingga misi dan tujuan Zubair
dapat diperolehnya*[10].
Pemberontakan-pemberontakan pun
terus terjadi, yang berimbas sampai ke dinasti Umayyah di Damaskus, seperti
pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin Al-Mukhtar, Abdulallah Bin
Zubair dan terakhir pemberontakan dari bani Abbas yang pertama kalinya
mengunakan nama Bani Hasyin dalam gerakannya. Dalam pemberontakkan Bani Hasyim
akhirnya memuai hasil, dan akhirnya mendirikan pemerintahan baru yang diberi
nama Khalifah Abbasiyah atau bani Abbas. Seperti halnya pemeberontakan yang ada
pada masa dinasti Umaiyah, pada Dinasti Abbasiyah pun mengalaminya sejak awal
berdirinya. Meskipun demikian jabatan Khalifah ditangan dinasti Abbas pada
periode ke dua berhasil di rebut, seperti yang telah diutarakan di atas, para
pemberontak tidak merebut jabatan khalifah, pasalnya jabatan Khalifah sudah
dianggap sebagai jabatan keagamaan yang tidak bisa diganggu gugat, sedangkan
jabatan kekuasaan dapat dipegang dan dirikan di berbagai daerah, pusat ataupun
yang lain dengan mendirikan dinasti-dinasti kecil yang jauh dari pusat
pemerintahan.
Pada periode ketiga daulat
Abbasiyah beralih dikuasai oleh Bani Buwaih, kehadiran Bani Buwai sehingga
mejadi daulat bermula dari tiga putra Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan yang
tingal di daerah Dailam, putra-putra tersebut yaitu Ali yang nantinya diangakat
sebagai gubernur al-Karaj oleh Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy yang merupakan
panglima perang dari dirinay, Ali, pengangkatan tersebut sebab perestasinya
yang sangat baik. Hasan yang nantinya diangkat oleh khalifah bani Abbas menjadi
kepala pemerintahan di bagian utara Isfahan dan Ray dengan anugrah gelar rukn
al dualah. Dan putra ketiganya yaitu Ahmad yang nantinya diangkat menjadi amir
al-umara oleh khaliafah dan diberi gelar Mu'izz al-daulah, sedangkan
Ali sendiri mendapat gelar imad al-daulah*[11].
Perjalanan ketiga putra Abu Syuja'
berawal ketika mereka masuk kejajaran militer, yang dibawah komando jendral
Makan ibn Kali di Dailami, karena dirasa gaji yang didapat di jajaran militer
cukup mendatangkan Rezki. Awal ekspansi yang dilakukan ketiga saudara tersebut
berawal setelah Ali memegang jabatan gubernur di al-Karaj, mereka mulai sedikt
demi sedikt dapat menaklukakan derah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz
sebagai pusat pemerintahannya. Sampailah sepeninggal Mardawij, Ali menambah
Ekspansinya untuk menaklukakan Ray, Isfahan dan daerah-daerah Jabail, usahanya
pun memulai hasil, suatu daerah itu berhasil di kuasanya. Setelah usahanya
berhasil untuk mendapatkan legalisasi dari khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah
dan sejumlah uang yang ia inginkan dengan alasan untuk pembedaharaan, ia pun
mulai memperluas ekspansinya ke irak, Ahwaz dan Wasith yang pada akhirnya
keinginan menguasai Baghdad semakin kuat, ketamabahan jalan yang lancar untuk
merebut kekuasaan di baghdad dengan adanya permintaan bantuan dari para
pimpinan militer pasca berkecamuknaya kisruh politik akibat perebutan jabatan amir
al-umara di Baghdad, kepada adik Ali yaitu Ahmad, yang berkedudukan di
Ahwaz. Permintaan tersebut disangupi oleh Ahmad ibn Buwaih, pasukannya tiba di
Baghdad pada tanggal 11 Jumadil Ula 334H/945M.
Pada waktu itulah awal yang
menguntungkan bagi Bani Buwaih untuk mendapatkan kekuasaan penuh yang direbut
dari tangan khalifah Abbasiyah dan para perwira Turki, saat itu pula khalifah hanya
tinggal nama saja. Mereka tunduk dibawah penguasaan dan pemerintahaan Bani
Buwaih, karena semua pelaksanaan pemerintahan berada ditangan Bani Buwaih.
Situasi itu diperparah dari sebelumnya pasalnya perbedaan akidah diantara
meraka, yang mana Bani Buwaih merupakan penganut aliran Syi'ah dan Bani Abbas
beraliran Sunni. Sejauh pemerintahan Bani Buwaih, banyak terjadi kerusuhan
antara Sunni dan Syi'ah. Setelah Baghdad dikuasai penuh oleh Bani Buwaih,
mereka memindahkan markas kekuasaanya dari Syiraz ke Baghdad, meskipun demikian
kendali politik tetap berada di Syiraz, daerah yang dikuasai oleh Ali kakak
dari Hasan dan Ahmad, bani Buwaih pun membagung gedung tersendiri di tengah
kota dengan nama Dar al-Mamlakah.
Diawal pemeritahan Bani Buawaih,
seperti layaknya pemerintahan sebelum sebelumnya, mereka mulai membangun peradaban
dan memperbaiki sistem-sistem yang kurang baik, menerut merer. Adapun pada saat
pemerintahaan awal, mereka mencurahkan perhatian mereka terhadap ilmu
pengetahuan dan kesusasteraan, usahanya pun berhasil dengan ditandai munculnya
ilmuan-ilmuan beasar seperti Al-Farabi (w. 905M), Ibnu Sina (980-1037M),
Al-Farghani, Abd al-Rahman al-Shufi (w, 986M), Ibn Maskawaih (w. 1030M), Abu
al-'Ala al-Ma'arri (973-1057M) dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Dari sisi
pembangunan yang alain, adalah pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa
Rumah sakit dan sejumlah bangunan laiannya, kemajuan tersebut diimbangi dengan
majunnya perkembangan disektor
perekonomian. Pertaniaan, perdagangan dan indrustri terutama permadanai*[12].
Dalam perkembangan selanjutnya,
kekuatan politik Bani Buwaih setelah generasi pertama dari tiga bersaudara itu,
politik kekuassan bani Buwaih tidak bertahan lama. Setelah generasi pertama, kekuasaaan
yang ada hanya digunakan sebagi ajang perebutan dari anak-anak mereka[13].
Dan lama dtangnya lah binasti Seljuk yang pada akhirnya dari Dinasti Seljuklah
kehormatan khalifah dikembalikan keposisi semula terutama mengembalikan faham
sunni seperti sediakala yang sebelumnya telah dirampas oleh kaum Syi'ah.
Samsum
Munir Amin menyebutkan dalam bukunya yang mengutip dari karya Badri Yatim, ia
mngklasifikasi kemunduran daulah bani Abbasiyah menjadi lima bagian; persaingan
antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, perang salib dan serangan
bangsa Mongol*[14].
2. Perkembangan
inteaktual islam pada masa Disintegrasi
Perkembangan intelektual Islam pada
masa Disinterasi kurun waktu 1000-1250 M, mengalami pasang surut seiring dengan
pergantian kekuasaan dan perebutan tahta Khalifah. Sejak kemajuan bani
Abbasiyah tampak dari berbagai aspek bidang sampai pascamasa disintegrasi,
pemerintah Abbasiyah lebih mementingkan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan,
ketimbang persoalaan politik. Bila dilihat dari keperhatiannya Bani Abbas dlam
ilmu pengetahuan dan kesusuasteraan, memeng sangat gemilang dengan ditandianya
kemunculan berbagai ilmuan dalam segala bidang, tetapi disitu latar belakang
kemunduran bagi dinasti ini. Pada masa Disintegrasi yang dimulai sejak
melemahnya kekuasaaan bangsa Turki terhadap bani Abbas, sehingga munculnya
kemerdekaan yang diserukan dari daerah-daerah atas kekuasaanya sendiri, keadaan
intelektual islam cenderung terabaikan karena para politisi lebih mementingkan
kekuasaan yang ingin capai.
Setelah lama perseteruhan dan
saling berebut kekuasaan antara bani Abbas dan bansa Turki, tibalah masa
kekuasaan bani Buwaih, setelah hancurnya pemerintahan bangsa Turki. periode
penguasaan Baghdad yang berada di tanggan Bani Buwaihiyyah (320-447H/932-1055M),
Ilmu pengetahuan dan Kesusasteraan di kemangkan lagi, terbukti munculnya
berbagai ilmuan yang terkenl sampai sekarang seperti Al-Farabi (w. 905M), Ibnu
Sina (980-1037M), Al-Farghani, Abd al-Rahman al-Shufi (w, 986M), Ibn Maskawaih
(w. 1030M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057M) dan mengadakakn berbagai
pembinaan serta pembangaunan infrastruktur laiannya seperti pembangunan
kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa Rumah sakit dan sejumlah bangunan laiannya,
terutama dalam bidang terologi islam, dimasa ini ajaran dan alirah Syi'ah
berkembang lantaran Bani buwaih penguasa Baghdad menganut aliran Syi'ah. Masa
kekemajuan dibawah kekuasaan bani Buwaih hanya sampai ujung pemerintahan yang
dipimpin Ahmad selaku anak paling sulung dari Abu Syuja' Buwaih. Selepas wafat
mereka, kemajuan dalam intelektual islam mengalami kemunduran untuk kesekian
kalinya, disebabkan anak-anak dari keturunan mereka bertiga hanya menjadikan
pemerintahan daulat Buwaihiyyah sebagai ajang perebutan kekuasaan. Keadaan
seperti itu berlangsung sampai datangnya daulat Seljuk, pada pemerintahan Dulat
Seljuk intelaktual islam mulai berkembang kembali, tepatnya pada masa
pemimpinan Alp Arselan (455-465H/1063-1072M) dan intelektual islam mulai
mengalami kemajuaan pada zaman Sultan Maliksyah (465-485H/1072-1092M) yang
dibantu oleh perdana mentrinya yang bernama Nizham al-Mulk. dari perdana mentri
itu gagasan untuk memprakarsai berdirinya Universitas Nizmaniyyah (1065M) serta
cabang-cabang yang tersebar hampir di setiap kota yang berada di Irak dan
Khurasan dan Madrasah Hanafiyyah di Baghdad, menurut Philip K. Hitti,
Universitas Nizmaniyyah inilah yang nantinya menjadi acuhan model bagi berbagai
perguruan tinggi. Kemajuan intelektual islam, terbukti banyak bermuncul
ilmuan-ilmuan yang sangat terkenal seperti az'-Zamakhsyari dalam bidang Tafsir,
Bahasa dan Teologi; al-Qusyairy dalam bidang Tafsir; Abu Hamid al-Ghazaliy
dalam bidang Teologi dan Tasawuf; Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam
dalam bidang Sastra.dalam bidang yang lain seperti pembangunan fisik pun banyak
dilakuakan, seperti pembangunan masjid, jembatan, irigrasi dan jalan raya, perkembangan
dalam bentuk fisik lebih dikenal sebagai jasa dari Maliksyah, yang berlangsung
lama meskipun kemunduruan perpolitikkan terjadi*[15].
BAB III PENUTUP
- Ringkasan
Masa disintegrasi berawal dari masa
khalifah al-Mutawakil, Khalifah kesepuluh dualat Abbasiyyah dan mengalami
puncaknya, setelah Kekuasaan bangsa Turki yang menduduki serta menjajah Bani
Abbasiyah mulai sedikit demi sedikit mengalami kemunduran dengan sendirinya.
Dalam perkembangan dan kemajuan
Intelektual islam beragam serta cenderung maju-mundur seiring bergantinya
penguasa, secara umun perkembangan dan kemajuan intelektual islam saat masa
disintegrasi terjadi pada masa tiga bersaudara dari Bani Buwaihiyyah dan pada
masa Alp Arselan (455-456H/1063-1072M) dan masa Sultan Maliksyah (465-485H/1072-1092M)
penguasa dari dinasti Seljuk Agung. Dari masa merekalah ilmuan muslim dari
berbagai bidang bermunculan bahkan dari sebagain Ilmuan-ilmuan islam banyak
dikenal oleh bangsa barat dan non-muslim dan juga ditempatkan sebagai guru
suatu ilmu pengetahuan.
B. DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Samsul
Munir, Sejarah PERADABAN Islam, Jakarta: AMZAH, 2009.
Hitti, Philip
k., HISTORY OF THE ARABS, Jakarta: serambi Ilmu Semesta, 2010.
Syalabi, A, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987.
Watt, W.
Montgomery, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
Yatim, Badri, SEJARAH
PERADABAN ISLAM: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1993.
[3] Hasan
Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota
kembang,1989), hal. 120-121.
[6] Bojena
Gajane Stryzewska, Tarikh al-Dawlah al-Islamiyah, (Beirut: al-Maktab
al-Tijari, Tanpa Tahun), hlm 362.
[7] Malikhah,
RESUME SEJARAH PERADABAN ISLAM, (Skripsi:PAI Tarbiyah IAIAN Walisongo Semarang, 2011),
hlm.
[8] W.
Montgomery watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990), hlm.165-166.
[10]Badri Yatim, SEJARAH
PERADABAN ISLAM, op. Cit. hal. 68.
[15]
Bandri Yatim. Op. Cit. hlm. 71-76.SS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar