BAB I
PENDAHULUAN
STUDY KITAB SYARAH HADIS IMAM AT TIRMIDZI DAN KITABNYA
A.
Latar Belakang Masalah
Al–Hadis
merupakan sumber pedoman kedua bagi umat Islam setelah kitab suci al–Qur’an dan diikuti oleh Ijma’ dan juga Qiyas setelahnya. Sebagai pedoman umat Islam, hadis perlu
dikaji lebih dalam, untuk mengetahui keotentikannya
dan kebenaran suatu Hadis. Sehingga memerlukan suatu penelitian yang
tidak ringkas untuk mengetahui kualitas ke-shahih-an suatu hadis. Tidak dapat dipungkiri, Hadits memiliki
peranan yang urgent sebagai sumber terhadap hukum-hukum Islam.
Dapat kita mengerti, Al Quran dapat difahami dan didekati melalui hadits
dalam konteks pengalian maksud maknanya, hal ini sehingga menjadikan hadits dapat
diposisi sebagai Mubayin, Muqoyyid, Muwaddih al Musykil, Nasikh dan
lain-lain bagi al Quran.
Lain halnya dengan al Quran yang sejak awal
sudah menjadi perhatian banyak kalangan sahabat, hadits pada masa Rasulullah hidup, hanya
diriwayatkan secara lisan tanpa menggunakan tulisan. Sebab, saat itu jika
hadits ditulis dihawatirkan redaksi-redaksinya tercampur dengan ayat al Quran.
Meskipun demikian, ada beberapa sahabat yang tetap menulis redaksi hadits untuk
kepentingan pribadinya bukan rujukan umum. Sebut saja Abdullah ‘Amr bin al
‘Ash.
Setelah Rasulullah wafat,
dan banyak para sahabat penghafal hadits yang meninggal, problema tentang hadis ini kian menumpuk, hingga masa Khalifah Umar
bin Abdul Aziz, dali hal inilah perhatian Umar ibn Abdul Aziz mulai
memfokus tertutama terhadap hadits yang belum sepenuhnya ditulis, yangmana hal ini berdasarkan kehawatirannya tentang hadis.. Kehawatiran
inilah yang menjadi langkah awal untuk pengkodifikasian hadits. Muhammad bin
Syihab al Zuhri bertugas sebagai koordinator pengumpul hadits. Hadits yang
terkumpul pada saat itu belum terklasifikasi berdasarkann bab, kwalitas dll
namun masih bercampur dalam satu buku kumpulan hadits-hadits Nabi yang disebut al
Jawami’.
Seiring tersebarnya Islam, maka perhatian penuh
terhadap Hadits mulai tampak. Lahirlah rumusan-rumusan kaidah yang berkaitan
dengan hadits seperti penerimaan hadits, kwalisifikasi hadits dll. Rumusan
kaidah inilah yang kemudian pada masa Tabi’ Tabi’in dibukukan ke dalam satu
disiplin ilmu yang disebut Ilmu hadits. Di samping kitab yang berkaitan dengan
Ilmu Hadits, kitab-kitab hadits Nabi juga mulai marak ditulis. Kitab-kitab ini
yang kemudian dijadikan kitab induk hadits Nabi.
Ada enam kitab induk hadits yang terkenal,
yaitu:
1.
Sohih al Bukhori.
2.
Sohih Muslim.
3.
Sunan Abi Dawud.
4.
Sunan at Tirmidzi.
5.
Sunan an Nasa’i.
6.
Sunan Ibnu Majah
Keenam kitab ini disebut dengan Kutub as
Sittah (enam kitab pokok hadits). Selanjutnya, kitab-kitab ini
disempurnakan lagi menjadi Kutub at Tis’ah (sembilan kitab pokok hadits)
dengan menambahkan: Sunan ad Daruquthni, Sunan ad Daromi, Sunan al Baihaqi. Masing-masing kitab ini memiliki karakteristik
dan metode tersendiri dalam pengumpulan hadits.
Salah satu wujud penelitian mukharrij al–hadis
yang terkenal adalah Imam al-Tirmidzi, hasil karya aktifitas
yang perlu kita apresiasi. At-Tirmidzi merupakn, seorang atba’
atba’ al–tabi’in dan juga seorang ulama besar dalam bidang
hadis dan fiqih. Istilah shahih, hasan dan dha’if dalam
hal klasifikasi hadis telah dimulai sejak zamannya. Padahal sebelumnya, ulama
hadis hanya mengklasifikasikan hadis pada dua kategori saja, yaitu hadis shahih
dan hadis dha’if. Pengklasifikasian hadis oleh Imam al-Tirmidzi dengan
menggunakan kategori hadis hasan telah membuka wacana baru dalam
perbincangan ulama hadis sesudahnya.
Dengan
demikian, menarik kiranya jika penyusun mengulas lebih dalam, baik itu yang
berkaitan dengan Imam al-Tirmidzi maupun kitab populernya Kitab al–Jami’
al–Shahih atau lebih dikenal dengan Sunan al-Tirmidzi.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana biografi Imam al-Tirmidzi dan latar belakang kehidupannya?
- Bagaimana sistematika dan metode penghimpunan hadis dalam kitab Sunan al–Tirmidzi?
3.
Bagaimana pandangan ulama
terhadap kitab tersebut?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengenal lebilh
dekat sosok imam at-Tirmidzi.
2.
Untuk mengetahui seluk
beluk kitab sunan al-Tirmidzi, baik sisitematika penyusunan, model
maupun isi kandungan kitab tersebut.
3.
Untuk mengetahui kualitas
kredibelitas kitab sunnan al-Tirmidzi dari pengakuan ulama ulama
berbagai masa.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Imam
al-Tirmidzi
Beliau adalah al-Imam al-Hafidz Abu Isa Muhammad
ibn Isa ibn surah al-Tirmidzi. Namun beliau lebih
popular dengan nama Abu ‘Isa. Beliau lahir pada tahun dua ratus, di desa “Buj”,
wilayah Tirmidz tepi sungai Jihun,[1]
kata al-Tirmidzi dibangsakan kepada kota Tirmidz, sebuah kota di tepi selatan
sungai Jihun (Amudaria) yang sekarang, Uzbekistan (Ahmad Sutarmadi, 1998: 50), Beliau
lebih familiar dengan sebutan Abu Isa, bahkan dalam kitab al–Jami’
al–Shahih-nya, ia selalu memakai nama Abu ‘Isa. Terkait sebutan
Abu Isa terhadap beliau, sebagian ulama sangat membenci sebutan Abu ‘Isa,
mereka menyandarkan argumennya dari hadis Abu Syaibah yang menerangkan bahwa
seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu ‘Isa, karena dengan dalih
kesamaan nasib yaitu Isa, as tidak mempunyai ayah. Sabda Nabi Muhammad:
“Sesungguhnya ‘Isa tidak mempunyai ayah”. Al-Qari menjelaskan lebih detail,
bahwa yang dilarang adalah pemberian nama Abu ‘Isa sebagai nama depan atau nama
asli, bukan kunyah atau julukan. Dalam hal ini,
penyebutan Abu ‘Isa adalah untuk membedakan al-Tirmidzi dengan ulama yang lain.
Sebab, ada beberapa ulama besar yang popular dengan nama al-Tirmidzi, yaitu:
- Abu Isa al-Tirmidzi, pengarang kitab al–Jami’ al–Shahih.
- Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang popular dengan sebutan al-Tirmidzi al-Kabir.
Al-Hakim
al-Tirmidzi Abu Abdullah Muhammad ‘Ali bin al-Hasan bin Basyar. Ia seorang zuhud,
hafidz, mu’azin, pengarang kitab dan popular dengan sebutan
al-Hakim al-Tirmidzi.[2] (w. 285 H)
seorang penulis besar dan sufi.[3]
Dalam sejarah perjalanan pendidikannya, beliau telah mulai menuntut ilmu
sejakberusia dini. Untuk itu, beliau melakukan pengembaraan ilmiah ke irak,
Hijaz, Khurasan dan lain-lain. Sebab kegigihanya, beliau berhasil bertemu
dengan imam-imam dan syekh-syekh hadis, beliau mendengar dan merieayatkan dari
merekan. Yang terpopuler antara laian Imam Bukhari yang membawa beliau
melakukan takhrij dan penggealian kandungan hadis, Imam Muslim dan Abu Daud.
Beliau juga mendengar dari sebagian guru mereka,[4]
Di antaranya; Qutaibah bin Sa’id al-Madani (lama belajar al-Tirmidzi
diperkirakan lebih dari 35 tahun), Ishaq bin Rahawaih (di Khurasan), Muhammad
bin ‘Amru as-Sawwaq al-Balki (di Naysabur), Muhammad Ibn Ghilan (di Merw, w. 39
H).[5]
Isma’il bin Musa al-Fazari, Abu Mus’ab al-Zuhri, Bisyri bin Mu’az al-‘Aqadi,
al-Hasan bin Ahmad bin Abi Syu’aib, ‘Ali bin Hujr, Hannad, Yusuf bin Isa,
Muhammad bin Yahya Khallad bin Aslam, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin Isma’il,
dan masih banyak lagi yang lainnya. Adapun di antara muridnya yang masyhur
adalah Abu Bakar Ahmad bin Isma’il Ibn Amir al-Samarkandi, Abu Hamid Ahmad Ibn
Abdullah Ibn Dawud a-Marwazi al-Tajir, Ahmad Ibn Yusuf al-Nasafi, Ahmad Ibn
‘Ali al-Maqari, al-Husain bin Yunus, Hammad bin Syakir dan lain-lain.[6]
Al-Tirmidzi
banyak mencurahkan hidupnya untuk menghimpun dan meneliti hadis. Beliau
melakukan perlawatan ke pelbagai penjuru negeri, antara lain: Hijaz, Khurasan,
dan lain-lain. Beliau merupakan salah satu imam yang terkenal dengan
kedhabitan dan keteguhanya, pengakuan tersebut juga datang dari orang-orang
semasanya yang telah meyaksikan kecepatan hafalanya, selaian itu beliau terkenal sebagai pribadi yang sangat zuhud
dan wira’i¸ yang dapat menangis sampai membuat kedua matanya
memutih.[7]
Hal ini nampaknya membuat beliau mendapatkan status yang tinggi dihadapan
ulama-ulama dan Syekh-Syekh semasnya, dibuktikan dengan pernyataan status Imam
Bukhari kepda beliau: “Apa yang aku manfaatkan untukmu lebih banyak daripada
yang aku manfaatkan untuk diriku sendiri,” Ibn Hibban mengatakan: “Abu Isa
termasuk orang yang melakukan penghimpunan, penusunan dan Mudzakarah, kabar lain mengatakan, bahwa ketika Imam
Bukhari meninggal, beliau tidak meninggalkan murid di Khurasan yang semisal
dengan Abu Isa dalam keilmuan, hafalan, kewira’ian dan kezuhudannya.[8]
Beliau wafat pada malam Senin tangga 13 Rajab tahun
279 H di kota Tirmidz[9] dalam keadaan buta. Itulah sebabnya Ahmad
Muhammad Syakir menambah dengan sebutan al-Darir, karena al-Tirmidzi mengalami
kebutaan di masa tuanya menjelang wafatnya.[10]
Di kalangan
kritikus hadis, integritas pribadi dan kapasitas intelektual al-Tirmidzi tidak
diragukan lagi. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan mereka sebagai
berikut:
- Dalam kitab al–Tsiqat, Ibn Hibban menerangkan bahwa al-Tirmidzi adalah seorang penghimpun dan penyampai hadis, sekaligus pengarang kitab.
- Al-Khalili berkata, “al-Tirmidzi adalah seorang tsiqah muttafaq ‘alaih (diakui oleh Bukhari dan Muslim)”.
- Al-Idris berpendapat bahwa al-Tirmidzi seorang ulama hadis yang meneruskan jejak ulama sebelumnya dalam bidang ‘Ulum al–Hadis.
- Al-Hakim Abu Ahmad berkata, aku mendengar ‘Imran bin ‘Alan berkata, “Sepeninggal Bukhari tidak ada ulama yang menyamai ilmunya, ke-wara’-annya, dan ke-zuhud-annya di Khurasan, kecuali Abu ‘Isa al-Tirmidzi.
- Ibn Fadil menjelaskan, Bahwa al-Tirmidzi adalah pengarang kitab Jami’ dan Tafsirnya, dia juga ulama yang paling berpengetahuan.[11]
Meskipun
umumnya ulama kritikus hadis mengakui kredibilitas al-Tirmidzi sebagai ulama
hadis, namun Muhammad Ibn Hazm mengatakan bahwa al-Tirmidzi adalah majhul
dalam bidang periwayatan hadis. Pernyataan tersebut mengundang reaksi keras
dari para ulama, di antaranya:
- Al-Hafiz al-Zahabi berpendapat, Ibn Hazm mengkritik al-Tirmidzi disebabkan ia tidak mengetahui dan belum sempat membaca karya al-Tirmidzi. Memang saat itu kitab al–Jami’ al–Shahih al–Tirmidzi belum sempat masuk ke wilayah Andalusia (Spanyol), negeri Ibn Hazm.
- Ibn Hajar dengan pernyataan yang cukup pedas, mengkritik pendapat Ibn Hazm dengan mengatakan:
Suatu kebodohan
bagi Ibn Hazm yang memberikan penilaian majhul terhadap al-Tirmidzi, padahal
al-Tirmidzi diakui ke-hafiz-annya, serta karyanya telah mendapat respon
positif di kalangan ulama hadis. Sesungguhnya al-Tirmidzi termasuk ulama yang tsiqat
hafiz.
Selain itu komentar atas respon perkataan Ibn Hazm, Ibn Katsir
berkata memberikan bantahnya, yang menyatakan bahwa suatu sikap
bodoh Ibn Hazm yang memandang rendah Abu ‘Isa al-Tirmidzi. Penilaian tersebut
tidak akan pernah merubah posisi al-Tirmidzi, namun sebaliknya akan merendahkan
kredibilitas Ibn Hazm sendiri.[12]
Secara garis besarnya, bantahan yang muncul dari para ulama terhadap
penilaian Ibn Hazm atas penilainnya terhadap Abu Isa, hal ini membuktikan bahwa
para ulama masih tetap mengakui kredibilitas pribadi al-Tirmidzi selaku pakar
hadis.
Kesungguhan
al-Tirmidzi dalam menggali hadis dan ilmu pengetahuan, tercermin dari
karya-karyanya, yaitu:
- Kitab al–Jami’ al–Shahih, yang kenal juga dengan al–Jami’ al–Tirmidzi, atau lebih popular lagi dengan Sunan al–Tirmidzi. Sebagian ulama, bersikap longgar dengan memberikannsebutan “Al-Jami’ ash-Sahahih” untuk karya tersebut,[13]
- Kitab al–‘Ilal al–Shaghir, kitab ini terdapat pada akhir kitab al–Jami’ al–Tirmidzi.
- Kitab al–‘Ilal al–Mufrad atau al–‘Ilal Kabir yang mendapat bahan dari al-Bukhari.
- Kitab al–Tarikh.
- Kitab al–Syama’il al–Muhammadiyyah.
- Kitab al–Zuhud yang merupakan kitab tersendiri, yang tidak sempat diamankan, sehingga tidak dapat ditemukan
- Kitab al–Asma’ wa al–Kunya.
- Kitab al–Asma’ al–Shahabah.
- Kitab al–Atsar al–Mauqufah.[14]
Di antara karya
al-Tirmidzi yang paling monumental adalah kitab al–Jami’ al–Shahih
atau Sunan al–Tirmidzi, sementara kitab-kitab yang lain,
seperti al–Zuhud, dan al–Asma’ wa al–Kunya
kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat umum.
Begitu
populernya kitab al–Jami’ al–Shahih, maka muncul
beberapa kitab syarah yang mensyarahi kitab tersebut. Di antaranya:
- Aridat al–Ahwadi ditulis oleh Abu Bakar ibn al-‘Arabi al-Maliki.
- Al–Munqih al–Syazi fi Syarh al–Tirmidzi oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad yang terkenal dengan Ibn Sayyid al-Nas al-Syafi’i.
- Syarah Ibn Sayyid al–Nas disempurnakan oleh al-Hafz Zainuddin al-‘Iraqi.
- Syarah al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Abu al-Fajar Zainuddin ‘Abd al-Rahman Ibn Syihabuddin Ahmad Ibn Hasan Ibn Rajab al-Baghdadi al-Hanbali.
- Al–Lubab oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani.
- Al-‘Urf al–Syazi’ ala Jami’ al–Timidzi oleh al-Hafiz ‘Umar ibn Ruslan al-Bulqini.
- Qat al–Mughtadi’ ‘ala Jami’ al–Tirmidzi oleh al-Hafiz al-Suyuti.
- Ta’liq al–Tirmidzi dan Syarah al–Ahwazi oleh Muhammad Tihir.
- Syarah Abu Thayyib al–Sindi.
- Syarah Sirajuddin Ahmad al–Sarkandi.
- Syarah Abu al–Hasan ibn ‘Abd al–Hadis al–Sindi.
- Bahr al–Mazi Mukhtashar Shahih al–Tirmidzi oleh Muhammad Idris ‘Abd al-Ra’uf al-Marbawi al-Azhari.
- Tuhfat al–Ahwazi oleh Abu ‘Ali Muhammad Abd al-Rahman Ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri.
- Syarah Sunan al–Tirmidzi dengan al–Jami’ al–Shahih oleh Ahmad Muhammad Syakir.
- Al-‘Urf al–Syazi ‘ala Jami’ al–Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri.[15]
a)
Latar belakang Kitab al–Jami’ al–Shahih
Ditulis.
Al-Tirmidzi
adalah pakar hadis yang masyhur pada abad
ke-3 Hijriyyah. Abad ke-3 H adalah puncak kemajuan ulama dalam mengembangkan
pelbagai disiplin ilmu pengetahuan, di antaranya: hadis, fiqih, filsafat, ilmu
kalam dan tasawuf.
Dalam kawasan
hadis, periode ini merupakan periode “penyempurnaan dan pemilahan”, yaitu
penanganan terhadap persoalan-persoalan yang belum sempat terselesaikan pada
periode sebelumnya, seperti persoalan al–jarh wa al–ta’dil,
persambungan sanad dan kritik matan. Di samping itu, pemisahan
hadis Nabi dan fatwa sahabat juga dilakukan ulama pada periode ini.
Upaya
penyempurnaan dengan pemilahan ini pada akhirnya memunculkan kitab-kitab hadis
dengan corak baru, yaitu kitab shahih yang hanya memuat hadis-hadis shahih
yaitu kitab al–Jami’ al–Shahih oleh Bukhari (w. 256
H), kitab al–Jami’ al–Shahih oleh Muslim (w. 261
H), dan kitab-kitab Sunan yang memuat seluruh hadis kecuali hadis yang
sangat dha’if dan munkar, seperti kitab sunan yang disusun
oleh Abu Dawud (w. 273 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’I (w. 303 H).
Keberadaan kitab-kitab tersebut dimaksudkan untuk menangkal pemalsuan hadis
dari golongan para pendusta dan mazhab teolog yang fanatik dalam membela
golongannya.
Ulama pada abad
itu juga berupaya menata hukum Islam berdasarkan sumber al–Qur’an
dan al–Hadis, sehingga semua kitab hadis yang lahir pada abad ini
berorientasi pada fiqih. Hal ini dapat dicermati dari metode penyusunan
kitab-kitab tersebut terdiri atas bab-bab fiqih. Bahkan dengan tegas
al-Tirmidzi mengatakan “Tidaklah hadis-hadis yang terdapat dalam kitab ini
kecuali yang dipilih (diamalkan) fuqaha’”.
Pernyataan
al-Tirmidzi tersebut menunjukkan, bahwa sebagai pakar hadis beliau ingin menjaga keutuhan hadis sebagai dasar
syari’at Islam. Ia lebih memilih menggunakan hadis dha’if laisa bihi
matruk[16]
dari pada hukum qiyas dan ijma’. Itulah sebabnya al-Tirmidzi
menciptakan istilah hadis hasan, yang kedudukannya di bawah hadis shahih
dan di atas hadis dha’if, namun dapat dipakai sebagai hujjah.[17]
2. Bagaimana
sistematika dan metode penghimpunan
hadis dalam kitab Sunan al–Tirmidzi?
Judul lengkap
kitab al–Jami’ al–Shahih adalah al-Jami’ al–Mukhtashar
min al–Sunan ‘an Rasulillah Shallallahu ‘alahi
wa Sallam wa Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul wa Ma’ ‘alaihi al-‘Amal.[18]
Meski demikian kitab ini lebih popular dengan nama al–Jami’ al–Tirmidzi
atau Sunan al–Tirmidzi. Untuk kedua penamaan ini tampaknya
tidak dipermasalahkan oleh ulama. Adapun yang menjadi pokok perselisihan adalah
ketika kata-kata shahih melekat dengan nama kitab. Al-Hakim (w. 405 H)
dan al-Khatib al-Baghdadi (w. 483 H) tidak keberatan menyebut dengan Shahih
al–Tirmidzi atau al–Jami’ al–Shahih.
Berbeda dengan
Ibn Katsir (w. 774 H) yang menyatakan pemberian nama itu tidak tepat dan
terlalu gegabah, sebab di dalam kitab al–Jami’ al–Tirmidzi
tidak hanya memuat hadis shahih saja, akan tetapi memuat pula
hadis-hadis hasan, dha’if dan munkar, meskipun al-Tirmidzi
selalu menerangkan kelemahannya, ke-mu’alal-annya dengan ke-munkar-annya.
Dalam
meriwayatkan hadis, al-Tirmidzi menggunakan metode yang berbeda dengan
ulama-ulama lain. Berikut metode-metode yang ditempuh oleh al-Tirmidzi:
- Men-takhrij hadis yang menjadi amalan para fuqaha’.
Dalam kitabnya,
al-Tirmidzi tidak meriwayatkan hadis, kecuali hadis yang diamalkan oleh fuqaha’,
kecuali dua hadis, yaitu:
أن النبى صلى الله عليه وسلم جمع بين الظهر
والعصر بالمدينة والمغرب والعشاء من غير خوف ولا سفر ولا مطر[19]
“Sesungguhnya
Rasulullah menjama’ Shalat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’, tanpa
adanya sebab takut, dalam perjalanan, dan tidak pula karena hujan”.
إذا شرب الخمر فاجلدوه فإن ماد فى الرابعة
فاقتلوه[20]
“Apabila
seseorang minum khamar, maka deralah ia, dan jika ia kembali minum khamar pada
yang keempat kalinya maka bunuhlah ia”.
Hadis pertama,
menerangkan tentang men-jama’ shalat. Mayoritas ulama tidak
sepakat untuk meninggalkan hadis ini, dan boleh
hukumnya melakukan shalat jama’ di rumah selama tidak dijadikan
kebiasaan. Demikian pendapat Ibn Sirin serta sebagian ahli fiqih dan ahli
hadis.
Hadis kedua,
menerangkan bahwa peminum khamar dihukum mati jika mengulangi perbuatannya yang keempat
kalinya. Hadis ini menurut al-Tirmidzi dihapus oleh ijma’ ulama. Dengan
demikian dapat dipahami maksud al-Tirmidzi mencantumkan hadis tersebut, adalah
untuk menerangkan ke-mansukh-an hadis, yaitu telah di-mansukh
dengan hadis riwayat al-Zuhri dari Qabisah bin Zawaib dari Nabi, yang
menerangkan bahwa peminum khamar tersebut dibawa kepada Rasul. Kemudia
Rasul SAW. Memukulnya dan bukan membunuhnya.
2.
Memberi
penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis.
Salah satu kelebihan
al-Tirmidzi adalah beliau mengetahui
benar keadaan hadis yang ia tulis. Hal itu berdasarkan hasil diskusinya dengan
para ulama tentang keadaan hadis yang beliau tulis. Dalam
kitab al–Jami’, al-Tirmidzi mengungkapkan:
Dan hal yang telah disebutkan dalam kitab ini mengenai
‘ilal hadis, rawi ataupun sejarah adalah hasil dari apa yang aku takhrij
dari kitab-kitab tarikh, dan kebanyakan yang demikian itu adalah hasil
diskusi saya dengan Muhammad bin Isma’il (al-Bukhari).
Pada kesempatan
lain al-Tirmidzi juga menjelaskan bahwa dirinya
dan pendapat yang sama deng dirinya, mempunyai landasar berargumen yang kuat
atas dasar kesepakatan pendapat ahli fiqh terhadap materi yang beliau terangkan
dalam kitabnya.
Dengan demikian
dapat dipahami, bahwa usaha menjelaskan keadaan suatu hadis dimaksudkan olah
al-Tirmidzi untuk mengetahui kelemahan hadis bersangkutan. Menurut al-Hafiz Abu
Fadhil bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) ada empat syarat yang ditetapkan oleh
al-Tirmidzi sebagai standarisasi periwayatan hadis, yaitu:
- Hadis-hadis yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim.
- Hadis-hadis yang shahih menurut standar keshahihan Abu Awud dan al-Nasa’I, yaitu hadis-hadis yang para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan ketentuan hadis itu bersambung sanadnya dan tidak mursal.
- Hadis-hadis yang tidak dipastikan keshahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab kelemahannya.
- Hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak. Tentu saja ketidak-shahihannya tidak sampai pada tingkat dha’if matruk.
Kitab al–Jami’ al–Shahih ini memuat berbagai
permasalahan pokok agama, di antaranya yaitu; al–aqa’id (tentang
tauhid), al–ahkam (tentang hukum), al–riqaq
(tentang budi luhur), adab (tentang etika), al–tafsir
(tentang tafsir al-Qur’an), al–tarikh wa al–siyar
(tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi SAW.), al–syama’il
(tabi’t), al–fitan (tentang terjadinya fitnah dan malapetaka),
dan al–manaqib wa al–masalib (tentang
biografi sahabat dan tabi’in).[21] Oleh sebab itu kitab hadis ini disebut dengan al–Jami’.
Secara
keseluruhan, kitab al–Jami’ al–Shahih atau Sunan
al–Tirmidzi ini terdiri dari 5 juz, 2375 bab dan 3956 hadis.
Menurut
al-Tirmidzi, isi hadis-hadis dalam al–Jami’ al–Shahih,
telah diamalkan ulama’ Hijaz, Iraq, Khurasan dan daerah lain -dalam kitab Tarikh-nya, Ibnu Katsir
meriwayatkan dari al-Tirmidzi, dia berkata: “Aku telah menyusun kitab Musnad
yang shahih ini dan telah aku tunjukkan kepada para ulama Hijaz, Iraq,
Khurasan dan mereka menyenanginya. Barangsiapa di rumahnya terdapat kitab ini,
maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang bersabda-[22], kecuali dua
hadis -yang telah dibahas diawal-. Hadis ini diperselisihkan ulama baik segi sanad
maupun dari segi matan, sehingga sebagian ulama ada yang menerima dan
ada yang menolak dengan alasan-alasan yang berdasarkan naql maupun akal.
a)
Sistematika
Kitab Al–Jami’ al–Shahih
Kitab al–Jami’
al–Shahih ini disusun berdasarkan urutan bab fiqih, dari
bab thaharah seterusnya sampai dengan bab akhlaq, do’a, tafsir,
fadha’il dan lain-lain. Dengan kata lain al-Tirmidzi dalam menulis hadis
dengan mengklasifikasi sistematikanya dengan model juz, kitab, bab dan sub bab.
Kitab ini ditahqiq dan dita’liq oleh tiga ulama kenamaan pada
generasi sekarang (modern), yakni Ahmad Muhammad Syakir (sebagai Qadhi Syar’i),
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’ (sebagai penulis dan pengarang terkenal), dan
Ibrahim ‘Adwah ‘Aud (sebagai dosen pada Universitas al-Azhar Kairo Mesir).
Secara rinci
sistematika kitab al–Jami’ al–Shahih akan
dijelaskan sebagai berikut:
- Juz I terdiri dari 2 kitab, tentang Thaharah dan Shalat yang meliputi 184 bab 237 hadis.
- Juz II terdiri dari kitab Witir, Jumu’ah, Idayn dan Safar, meliputi 260 bab dan 355 hadis.
- Juz III terdiri dari kitab Zakat, Shiyam, Haji, Janazah, Nikah, Rada’, Thalaq dan Li’an, Buyu’ dan al–Ahkam, meliputi 516 bab dan 781 hadis.
- Juz IV terdiri dari kitab Diyat, Hudud, Sa’id, Dzaba’ih, Ahkam dan Sa’id, Dahi, Siyar, Fadhilah Jihad, Libas, Ath’imah, Asyribah, Birr wa Shilah, al–Thibb, Fara’id, Washaya, Wali dan Hibbah, Fitan, al–Ra’yu, Syahadah, Zuhud, Qiyamah, Raqa’iq dan Wara’, Jannah dan Jahannam, meliputi 734 bab dan 997 hadis.
- Juz V terdiri dari 10 pembahasan, tentang Iman, ‘Ilm, Isti’dzan, Adab, al–Nisa’, Fadha’il al–Qur’an, Qira’ah, Tafsir al–Qur’an, Da’awat, Manaqib, yang meliputi 474 bab dan 773 hadis, di tambah tentang pembahasan ‘Ilal.[23]
Adapun kandungan kualitas hadis-hadis yang termuat dalam kitab
al-Tirmidzi banyak memuat hadis hasan, hal ini menjadikan kitab tersebut
populer dengan kitab hadis hasan itu. Namun para ulama berbeda pendapat
mengenai hadis hasan itu, termasuk guru-guru maupun murid-murid
al-Tirmidzi, karena al-Tirmidzi tidak memberi definisi yang pasti, terlebih
al-Tirmidzi menggabungkan dengan istilah yang beraneka ragam, seperti: hadis
hasan shahih, hasan gharib, dan hasan shahih
gharib.
Namun, satu hal
yang tetap perlu dicatat, adalah kerja besar al-Tirmidzi dalam mengukir sejarah
tentang pembagian hadis menjadi hadis shahih, hasan, dan dha’if,
sebelumnya adalah hadis shahih dan dha’if. Imam al-Nawawi dalam
kitab Taqrib yang disyaratkan oleh al-Suyuti mengatakan: “Kitab al–Tirmidzi
adalah asal untuk mengetahui hadis hasan, ialah yang memasyhurkannya,
meskipun sebagian ulama dan generasi sebelumnya telah membicarakannya secara
terpisah”. Senada dengan Imam al-Nawawi, Imam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah juga
menjelaskan:
Abu Isa al-Tirmidzi dikenal sebagai orang pertama yang membagi hadis
menjadi shahih, hasan dan dha’if, yang tidak diketahui
oleh seorang pun tentang pembagian itu sebelumnya. Abu Isa telah
menjelaskan yang dimaksud dengan hadis hasan itu ialah hadis yang banyak
jalannya, perawinya tidak dicurigai berdusta, dan tidak syaz.
Dilihat dari
segi kuantitatif dan kualitatif nilai hadis dari kitab al–Jami’ al–Shahih
yang berjumlah 3956 buah hadis itu sebagai berikut:[24]
Hadis shahih
|
158 buah
|
Hasan shahih
|
1.454 buah
|
Shahih gharib
|
8 buah
|
Hasan shahih
gharib
|
254 buah
|
Hasan
|
705 buah
|
Hasan gharib
|
571 buah
|
Gharib
|
412 buah
|
Dha’if
|
73 buah
|
Tidak dinilai
dengan jelas
|
344 buah
|
Nilai dan
Derajat Kitab al–Jami’ al–Shahih
al-Dahlawy
membagi derajat kitab-kitab hadis kepada empat tingkatan:
Pertama, al–Muwaththa’,
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Kedua, Sunan
yang empat (Sunan Abu Dawud, Sunan al–Nasa’I,
Sunan al–Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah),
sementara Musnad Ahmad sangat berdekatan kepada tingkat yang
kedua ini.
Ketiga, seluruh
Musnad selain Musnad Ahmad, yang kandungannya bercampur baur, ada
yang shahih, ada yang hasan, ada yang dha’if, bahkan ada
yang munkar, seperti Musnad Abu Ya’la, Sunan
al–Baihaqi, kitab-kitab al–Thahawi dan kitab
al–Thabrani.
Keempat,
kitab-kitab yang dimaksudkan oleh penyusunnya mengumpulkan segala rupa hadis,
untuk kepentingan mereka yang membantu pendirian dan paham masing-masing,
seperti kitab-kitab Ibnu Asakir, al–Dailami, Ibnu
Najjar Abu Nu’aim, dan yang setaraf.[25]
3.
Bagaimana
pandangan ulama terhadap kitab tersebut?
Terlepas dari
kebesaran dan kontribusi yang telah diberikan oleh al-Tirmidzi melalui
kitabnya, tetap muncul pelbagai pandangan kontroversial antara yang memuji dan
mengkritik karya tersebut. Di antaranya adalah al-Hafiz al-‘Alim al-Idrisi,
yang menyatakan bahwa al-Tirmidzi adalah seorang dari salah satu Imam pemberi tuntunan ilmu
hadis terhadap mereka, mengarang al–Jami’, Tarikh,
‘Ilal, sebagai seorang penulis ‘alim yang meyakinkan, ia seorang
contoh dalam hafalan.[26]
Lain halnya
dengan al-Hafiz Ibn Asihr (w. 524 H), yang menyatakan bahwa kitab al-Tirmidzi
adalah kitab shahih, juga sebaik-baiknya kitab, banyak kegunaannya, baik
sistematika penyajiannya dan sedikit sekali hadis-hadis yang terulang. Di
dalamnya juga dijelaskan pula hadis-hadis yang menjadi amalan suatu mazhab
disertai argumentasinya. Di samping itu al-Timidzi juga menjelaskan kualitas
hadis, yaitu shahih, saqim dan gharib. Dalam kitab
tersebut juga dikemukakan kelemahan dan keutamaan (al–Jarh wa
al–Ta’dil) para perawi hadis. Ilmu tersebut sangat berguna untuk
mengetahui keadaan perawi hadis yang menetukan apakah dia diterima atau
ditolak.
Sementara Abu
Isma’il al-Harawi (w. 581 H) berpendapat, bahwa kitab al–Tirmidzi
lebih banyak memberikan faedah dari pada kitab Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim, sebab hadis yang termuat dalam kitab al–Jami’
al–Shahih al–Tirmidzi diterangkan kualitasnya,
demikian juga dijelaskan sebab-sebab kelemahannya, sehingga orang dapat lebih
mudah mengambil faedah kitab itu, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin,
dan lainnya.
Al-‘Allamah
al-Syaikh’ Abd al-‘Aziz berpendapat, bahwa kitab al–Jami’ al–Shahih
al–Tirmidzi adalah kitab yang terbaik, sebab sistematika
penulisannya baik, yaitu sedikit hadis-hadis yang disebutkan berulang-ulang,
diterangkan mengenai mazhab–mazhab fuqaha’ serta cara istidlal
yang mereka tempuh, dijelaskan kualitas hadisnya, dan disebutkan pula
nama-nama perawi, baik gelar maupun kunyahnya.
Seorang
orientalis Jerman, Brockelman menyatakan ada sekitar 40 hadis yang tidak
diketahui secara pasti apakah hadis–hadis itu termasuk hadis
Abi Isa al-Tirmidzi. Sekumpulan hadis itu dipertanyakan apakah kitab yang
berjudul al–Zuhud atau al–Asma’ wa al–Kunya.
Ada dugaan keras bahwa kumpulan hadis itu adalah al–Fiqh atau al–Tarikh,
tetapi masih diragukan.
Ignaz Goldziher
dengan mengutip pendapat al-Zahabi telah memuji kitab al-Jami’ al-Shahih
dengan memberikan penjelasan bahwa kitab ini terdapat perubahan penetapan isnad
hadis, meskipun tidak menyebabkan penjelasan secara rinci, tetapi hanya garis
besarnya. Di samping itu, di dalam kitab al–Jami’ al–Shahih
ini ada kemudahan dengan memperpendek sanad.
Kendati banyak
yang memuji kitab al–Jami’ al–Tirmidzi, namun bukan
berarti kemudian luput dari kritikan. Al–Hafiz Ibn al–Jauzi
(w. 751 H) mengemukakan, bahwa dalam kitab al–Jami’ al–Shahih
li al–Tirmidzi terdapat 30 hadis maudu’ (palsu), meskipun
pada akhirnya pendapat tersebut dibantah oleh Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H)
dengan mengemukakan, bahwa hadis-hadis yang dinilai palsu tersebut sebenarnya
bukan palsu, sebagaimana yang terjadi dalam kitab Shahih Muslim
yang telah dinilainya palsu, namun ternyata bukan palsu.
Di kalangan ulama
hadis, al-Jauzi memang dikenal terlalu tasahul (mudah) dalam
menilai hadis sebagai hadis palsu. Mengacu kepada pendapat al-Suyuti, dan
didukung oleh pengakuan mayoritas ulama hadis seperti telah dikemukakan, maka
penilaian Ibn al-Jauzi tersebut tidak merendahkan al-Tirmidzi dan kitab al–Jami’
al–Shahih-nya.[27]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di
atas dapat diambil simpulan: Pertama, al-Tirmidzi adalah seorang pakar
hadis yang konsisten dengan keilmuannya, sehingga mayoritas ulama menilai
positif kepakaran al-Tirmidzi dalam bidang hadis, kecuali Ibn Hazm. Meski
demikian, pandangan Ibn Hazm tidak mengurangi kapasitas intelektual dan kredibilitas
al-Tirmidzi selaku ahli hadis. Kedua, kitab al–Jami’ al–Shahih
atau Sunan al–Tirmidzi ditulis al-Tirmidzi pada abad ke-3
H, yakni periode “penyempurnaan dan pemilahan”. Kitab al–Tirmidzi
ini memuat seluruh hadis kecuali hadis yang sangat dha’if dan munkar.
Satu spesifikasi kitab al–Tirmidzi ini adalah adanya penjelasan
tentang kualitas dan keadaan hadisnya. Ketiga, melalui kitab al–Jami’
al–Shahih ini pula al-Tirmidzi memperkenalkan istilah hadis hasan,
yang sebelumnya hanya dikenal istilah hadis shahih dan hadis dha’if.
Kriteria ini dengan konsisten diaplikasikan al-Tirmidzi dalam kitabnya
tersebut. Keempat, banyak dari para kritikus hadis yang menyambut
positif dengan kehadiran kitab al–Jami’ al–Shahih
dan juga ada yang mengkritiknya juga. Kelima, kitab al–Jami’
al–Shahih menjadi salah satu dari Kutub al–Sittah.
DAFTAR PUSTAKA
Suryadi, Kitab
Sunan al–Tirmidzi dalam “Studi Kitab Hadis”. Yogyakarta:
Teras, 2003.
Sutarmadi,
Ahmad, al–Imam al–Tirmidzi: Peranannya dalam
Pengembangan Hadits dan Fiqih. Jakarta: Logos,
1998.
Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Al-Tirmidzi, al-Jami’
al-Shahih, juz V.
al-Maliki,
Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009.
Khon, Abdul
Majid, Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2010.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhamad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009.
Amir, Fachrur
Razi, Peringkat Kitab-kitab Hadis: Analisis Kualitatif dalam “Ulumul
Hadis”. Yogyakarta: Teras, 2010.
[1] Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, USHUL AL-HADITS: POKOK-POKOK ILMU
HADITS, trj. H. M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, “ Ushul al-Hadis”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h.
288
[2] Suryadi,
Kitab Sunan al–Tirmidzi dalam “Studi Kitab Hadis” (Yogyakarta: Teras, 2003),
hlm. 104-105.
[3] Ahmad
Sutarmadi, al–Imam al–Tirmidzi: Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqih
(Jakarta: Logos, 1998), hlm. 50
[5] Ahmad
Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm. 59-60.
[6] Ahmad
Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm 63.
[7] Suryadi,
Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 111-114.
[10] Suryadi,
Kitab Sunan al–Tirmidzi, hlm. 105-106.
[18] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan
Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), hlm. 160.
[22] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,
terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 281. Lihat juga
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 263
[25] Teungku Muhamad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 101.
Lihat juga Fachrur Razi Amir, Peringkat Kitab-kitab Hadis: Analisis
Kualitatif dalam “Ulumul Hadis” (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 214-215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar