Minggu, 19 Maret 2017

STUDY KITAB SYARAH HADIS IMAM AT TIRMIDZI DAN KITABNYA



BAB I
PENDAHULUAN
STUDY KITAB SYARAH HADIS IMAM AT TIRMIDZI DAN KITABNYA

A.      Latar Belakang Masalah
AlHadis merupakan sumber pedoman kedua bagi umat Islam setelah kitab suci alQur’an dan diikuti oleh Ijma’ dan juga Qiyas setelahnya. Sebagai pedoman umat Islam, hadis perlu dikaji lebih dalam, untuk mengetahui keotentikannya dan kebenaran suatu Hadis. Sehingga memerlukan suatu penelitian yang tidak ringkas untuk mengetahui kualitas ke-shahih-an suatu hadis. Tidak dapat dipungkiri, Hadits memiliki peranan yang urgent sebagai sumber terhadap hukum-hukum Islam.
Dapat kita mengerti, Al Quran dapat difahami dan didekati melalui hadits dalam konteks pengalian maksud maknanya, hal ini sehingga menjadikan hadits dapat diposisi sebagai Mubayin, Muqoyyid, Muwaddih al Musykil, Nasikh dan lain-lain bagi al Quran.
Lain halnya dengan al Quran yang sejak awal sudah menjadi perhatian banyak kalangan sahabat, hadits pada masa Rasulullah hidup, hanya diriwayatkan secara lisan tanpa menggunakan tulisan. Sebab, saat itu jika hadits ditulis dihawatirkan redaksi-redaksinya tercampur dengan ayat al Quran. Meskipun demikian, ada beberapa sahabat yang tetap menulis redaksi hadits untuk kepentingan pribadinya bukan rujukan umum. Sebut saja Abdullah ‘Amr bin al ‘Ash.
Setelah Rasulullah wafat, dan banyak para sahabat penghafal hadits yang meninggal, problema tentang hadis ini kian menumpuk, hingga masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dali hal inilah perhatian Umar ibn Abdul Aziz mulai memfokus tertutama terhadap hadits yang belum sepenuhnya ditulis, yangmana hal ini berdasarkan kehawatirannya tentang hadis.. Kehawatiran inilah yang menjadi langkah awal untuk pengkodifikasian hadits. Muhammad bin Syihab al Zuhri bertugas sebagai koordinator pengumpul hadits. Hadits yang terkumpul pada saat itu belum terklasifikasi berdasarkann bab, kwalitas dll namun masih bercampur dalam satu buku kumpulan hadits-hadits Nabi yang disebut al Jawami’.
Seiring tersebarnya Islam, maka perhatian penuh terhadap Hadits mulai tampak. Lahirlah rumusan-rumusan kaidah yang berkaitan dengan hadits seperti penerimaan hadits, kwalisifikasi hadits dll. Rumusan kaidah inilah yang kemudian pada masa Tabi’ Tabi’in dibukukan ke dalam satu disiplin ilmu yang disebut Ilmu hadits. Di samping kitab yang berkaitan dengan Ilmu Hadits, kitab-kitab hadits Nabi juga mulai marak ditulis. Kitab-kitab ini yang kemudian dijadikan kitab induk hadits Nabi.
Ada enam kitab induk hadits yang terkenal, yaitu:
1.      Sohih al Bukhori.
2.      Sohih Muslim.
3.      Sunan Abi Dawud.
4.      Sunan at Tirmidzi.
5.      Sunan an Nasa’i.
6.      Sunan Ibnu Majah
Keenam kitab ini disebut dengan Kutub as Sittah (enam kitab pokok hadits). Selanjutnya, kitab-kitab ini disempurnakan lagi menjadi Kutub at Tis’ah (sembilan kitab pokok hadits) dengan menambahkan: Sunan ad Daruquthni, Sunan ad Daromi, Sunan al Baihaqi. Masing-masing kitab ini memiliki karakteristik dan metode tersendiri dalam pengumpulan hadits.
Salah satu wujud penelitian mukharrij alhadis yang terkenal adalah Imam al-Tirmidzi, hasil karya aktifitas yang perlu kita apresiasi. At-Tirmidzi merupakn, seorang atba’ atba’ altabi’in dan juga seorang ulama besar dalam bidang hadis dan fiqih. Istilah shahih, hasan dan dha’if dalam hal klasifikasi hadis telah dimulai sejak zamannya. Padahal sebelumnya, ulama hadis hanya mengklasifikasikan hadis pada dua kategori saja, yaitu hadis shahih dan hadis dha’if. Pengklasifikasian hadis oleh Imam al-Tirmidzi dengan menggunakan kategori hadis hasan telah membuka wacana baru dalam perbincangan ulama hadis sesudahnya.
Dengan demikian, menarik kiranya jika penyusun mengulas lebih dalam, baik itu yang berkaitan dengan Imam al-Tirmidzi maupun kitab populernya Kitab alJami’ alShahih atau lebih dikenal dengan Sunan al-Tirmidzi.
B.       Rumusan Masalah
  1. Bagaimana biografi Imam al-Tirmidzi dan latar belakang kehidupannya?
  2. Bagaimana sistematika dan metode penghimpunan hadis dalam kitab Sunan alTirmidzi?
3.      Bagaimana pandangan ulama terhadap kitab tersebut?
C. Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengenal lebilh dekat sosok imam at-Tirmidzi.
2.      Untuk mengetahui seluk beluk kitab sunan al-Tirmidzi, baik sisitematika penyusunan, model maupun isi kandungan kitab tersebut.
3.      Untuk mengetahui kualitas kredibelitas kitab sunnan al-Tirmidzi dari pengakuan ulama ulama berbagai masa.









BAB II
PEMBAHASAN

1.      Biografi Imam al-Tirmidzi
Beliau adalah al-Imam al-Hafidz Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn surah al-Tirmidzi. Namun beliau lebih popular dengan nama Abu ‘Isa. Beliau lahir pada tahun dua ratus, di desa “Buj”, wilayah Tirmidz tepi sungai Jihun,[1] kata al-Tirmidzi dibangsakan kepada kota Tirmidz, sebuah kota di tepi selatan sungai Jihun (Amudaria) yang sekarang, Uzbekistan (Ahmad Sutarmadi, 1998: 50), Beliau lebih familiar dengan sebutan Abu Isa, bahkan dalam kitab alJami’ alShahih-nya, ia selalu memakai nama Abu ‘Isa. Terkait sebutan Abu Isa terhadap beliau, sebagian ulama sangat membenci sebutan Abu ‘Isa, mereka menyandarkan argumennya dari hadis Abu Syaibah yang menerangkan bahwa seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu ‘Isa, karena dengan dalih kesamaan nasib yaitu Isa, as tidak mempunyai ayah. Sabda Nabi Muhammad: “Sesungguhnya ‘Isa tidak mempunyai ayah”. Al-Qari menjelaskan lebih detail, bahwa yang dilarang adalah pemberian nama Abu ‘Isa sebagai nama depan atau nama asli, bukan kunyah atau julukan. Dalam hal ini, penyebutan Abu ‘Isa adalah untuk membedakan al-Tirmidzi dengan ulama yang lain. Sebab, ada beberapa ulama besar yang popular dengan nama al-Tirmidzi, yaitu:
  1. Abu Isa al-Tirmidzi, pengarang kitab alJami’ alShahih.
  2. Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang popular dengan sebutan al-Tirmidzi al-Kabir.
Al-Hakim al-Tirmidzi Abu Abdullah Muhammad ‘Ali bin al-Hasan bin Basyar. Ia seorang zuhud, hafidz, mu’azin, pengarang kitab dan popular dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi.[2] (w. 285 H) seorang penulis besar dan sufi.[3]
Dalam sejarah perjalanan pendidikannya, beliau telah mulai menuntut ilmu sejakberusia dini. Untuk itu, beliau melakukan pengembaraan ilmiah ke irak, Hijaz, Khurasan dan lain-lain. Sebab kegigihanya, beliau berhasil bertemu dengan imam-imam dan syekh-syekh hadis, beliau mendengar dan merieayatkan dari merekan. Yang terpopuler antara laian Imam Bukhari yang membawa beliau melakukan takhrij dan penggealian kandungan hadis, Imam Muslim dan Abu Daud. Beliau juga mendengar dari sebagian guru mereka,[4] Di antaranya; Qutaibah bin Sa’id al-Madani (lama belajar al-Tirmidzi diperkirakan lebih dari 35 tahun), Ishaq bin Rahawaih (di Khurasan), Muhammad bin ‘Amru as-Sawwaq al-Balki (di Naysabur), Muhammad Ibn Ghilan (di Merw, w. 39 H).[5] Isma’il bin Musa al-Fazari, Abu Mus’ab al-Zuhri, Bisyri bin Mu’az al-‘Aqadi, al-Hasan bin Ahmad bin Abi Syu’aib, ‘Ali bin Hujr, Hannad, Yusuf bin Isa, Muhammad bin Yahya Khallad bin Aslam, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin Isma’il, dan masih banyak lagi yang lainnya. Adapun di antara muridnya yang masyhur adalah Abu Bakar Ahmad bin Isma’il Ibn Amir al-Samarkandi, Abu Hamid Ahmad Ibn Abdullah Ibn Dawud a-Marwazi al-Tajir, Ahmad Ibn Yusuf al-Nasafi, Ahmad Ibn ‘Ali al-Maqari, al-Husain bin Yunus, Hammad bin Syakir dan lain-lain.[6]
Al-Tirmidzi banyak mencurahkan hidupnya untuk menghimpun dan meneliti hadis. Beliau melakukan perlawatan ke pelbagai penjuru negeri, antara lain: Hijaz, Khurasan, dan lain-lain. Beliau merupakan salah satu imam yang terkenal dengan kedhabitan dan keteguhanya, pengakuan tersebut juga datang dari orang-orang semasanya yang telah meyaksikan kecepatan hafalanya, selaian itu  beliau terkenal sebagai pribadi yang sangat zuhud dan wira’i¸ yang dapat menangis sampai membuat kedua matanya memutih.[7] Hal ini nampaknya membuat beliau mendapatkan status yang tinggi dihadapan ulama-ulama dan Syekh-Syekh semasnya, dibuktikan dengan pernyataan status Imam Bukhari kepda beliau: “Apa yang aku manfaatkan untukmu lebih banyak daripada yang aku manfaatkan untuk diriku sendiri,” Ibn Hibban mengatakan: “Abu Isa termasuk orang yang melakukan penghimpunan, penusunan dan Mudzakarah,  kabar lain mengatakan, bahwa ketika Imam Bukhari meninggal, beliau tidak meninggalkan murid di Khurasan yang semisal dengan Abu Isa dalam keilmuan, hafalan, kewira’ian dan kezuhudannya.[8]
Beliau wafat pada malam Senin tangga 13 Rajab tahun 279 H di kota Tirmidz[9]  dalam keadaan buta. Itulah sebabnya Ahmad Muhammad Syakir menambah dengan sebutan al-Darir, karena al-Tirmidzi mengalami kebutaan di masa tuanya menjelang wafatnya.[10]
Di kalangan kritikus hadis, integritas pribadi dan kapasitas intelektual al-Tirmidzi tidak diragukan lagi. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan mereka sebagai berikut:
  1. Dalam kitab alTsiqat, Ibn Hibban menerangkan bahwa al-Tirmidzi adalah seorang penghimpun dan penyampai hadis, sekaligus pengarang kitab.
  2. Al-Khalili berkata, “al-Tirmidzi adalah seorang tsiqah muttafaqalaih (diakui oleh Bukhari dan Muslim)”.
  3. Al-Idris berpendapat bahwa al-Tirmidzi seorang ulama hadis yang meneruskan jejak ulama sebelumnya dalam bidang ‘Ulum alHadis.
  4. Al-Hakim Abu Ahmad berkata, aku mendengar ‘Imran bin ‘Alan berkata, “Sepeninggal Bukhari tidak ada ulama yang menyamai ilmunya, ke-wara’-annya, dan ke-zuhud-annya di Khurasan, kecuali Abu ‘Isa al-Tirmidzi.
  5. Ibn Fadil menjelaskan, Bahwa al-Tirmidzi adalah pengarang kitab Jami’ dan Tafsirnya, dia juga ulama yang paling berpengetahuan.[11]
Meskipun umumnya ulama kritikus hadis mengakui kredibilitas al-Tirmidzi sebagai ulama hadis, namun Muhammad Ibn Hazm mengatakan bahwa al-Tirmidzi adalah majhul dalam bidang periwayatan hadis. Pernyataan tersebut mengundang reaksi keras dari para ulama, di antaranya:
  1. Al-Hafiz al-Zahabi berpendapat, Ibn Hazm mengkritik al-Tirmidzi disebabkan ia tidak mengetahui dan belum sempat membaca karya al-Tirmidzi. Memang saat itu kitab alJami’ alShahih alTirmidzi belum sempat masuk ke wilayah Andalusia (Spanyol), negeri Ibn Hazm.
  2. Ibn Hajar dengan pernyataan yang cukup pedas, mengkritik pendapat Ibn Hazm dengan mengatakan:
Suatu kebodohan bagi Ibn Hazm yang memberikan penilaian majhul terhadap al-Tirmidzi, padahal al-Tirmidzi diakui ke-hafiz-annya, serta karyanya telah mendapat respon positif di kalangan ulama hadis. Sesungguhnya al-Tirmidzi termasuk ulama yang tsiqat hafiz.
Selain itu komentar atas respon perkataan Ibn Hazm, Ibn Katsir berkata memberikan bantahnya, yang menyatakan bahwa suatu sikap bodoh Ibn Hazm yang memandang rendah Abu ‘Isa al-Tirmidzi. Penilaian tersebut tidak akan pernah merubah posisi al-Tirmidzi, namun sebaliknya akan merendahkan kredibilitas Ibn Hazm sendiri.[12]
Secara garis besarnya, bantahan yang muncul dari para ulama terhadap penilaian Ibn Hazm atas penilainnya terhadap Abu Isa, hal ini membuktikan bahwa para ulama masih tetap mengakui kredibilitas pribadi al-Tirmidzi selaku pakar hadis.
Kesungguhan al-Tirmidzi dalam menggali hadis dan ilmu pengetahuan, tercermin dari karya-karyanya, yaitu:
  1. Kitab alJami’ alShahih, yang kenal juga dengan alJami’ alTirmidzi, atau lebih popular lagi dengan Sunan alTirmidzi. Sebagian ulama, bersikap longgar dengan memberikannsebutan “Al-Jami’ ash-Sahahih” untuk karya tersebut,[13]
  2. Kitab al‘Ilal alShaghir, kitab ini terdapat pada akhir kitab alJami’ alTirmidzi.
  3. Kitab al‘Ilal alMufrad atau al‘Ilal Kabir yang mendapat bahan dari al-Bukhari.
  4. Kitab alTarikh.
  5. Kitab alSyama’il alMuhammadiyyah.
  6. Kitab alZuhud yang merupakan kitab tersendiri, yang tidak sempat diamankan, sehingga tidak dapat ditemukan
  7. Kitab alAsma’ wa alKunya.
  8. Kitab alAsma’ alShahabah.
  9. Kitab alAtsar alMauqufah.[14]
Di antara karya al-Tirmidzi yang paling monumental adalah kitab alJami’ alShahih atau Sunan alTirmidzi, sementara kitab-kitab yang lain, seperti alZuhud, dan alAsma’ wa alKunya kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat umum.
Begitu populernya kitab alJami’ alShahih, maka muncul beberapa kitab syarah yang mensyarahi kitab tersebut. Di antaranya:
  1. Aridat alAhwadi ditulis oleh Abu Bakar ibn al-‘Arabi al-Maliki.
  2. AlMunqih alSyazi fi Syarh alTirmidzi oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad yang terkenal dengan Ibn Sayyid al-Nas al-Syafi’i.
  3. Syarah Ibn Sayyid alNas disempurnakan oleh al-Hafz Zainuddin al-‘Iraqi.
  4. Syarah al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Abu al-Fajar Zainuddin ‘Abd al-Rahman Ibn Syihabuddin Ahmad Ibn Hasan Ibn Rajab al-Baghdadi al-Hanbali.
  5. AlLubab oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani.
  6. Al-‘Urf alSyazi’ ala Jami’ alTimidzi oleh al-Hafiz ‘Umar ibn Ruslan al-Bulqini.
  7. Qat alMughtadi’ala Jami’ alTirmidzi oleh al-Hafiz al-Suyuti.
  8. Ta’liq alTirmidzi dan Syarah alAhwazi oleh Muhammad Tihir.
  9. Syarah Abu Thayyib alSindi.
  10. Syarah Sirajuddin Ahmad alSarkandi.
  11. Syarah Abu alHasan ibnAbd alHadis alSindi.
  12. Bahr alMazi Mukhtashar Shahih alTirmidzi oleh Muhammad Idris ‘Abd al-Ra’uf al-Marbawi al-Azhari.
  13. Tuhfat alAhwazi oleh Abu ‘Ali Muhammad Abd al-Rahman Ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri.
  14. Syarah Sunan alTirmidzi dengan alJami’ alShahih oleh Ahmad Muhammad Syakir.
  15. Al-‘Urf alSyaziala Jami’ alTirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri.[15]
a)             Latar belakang Kitab alJami’ alShahih Ditulis.
Al-Tirmidzi adalah pakar hadis yang masyhur pada abad ke-3 Hijriyyah. Abad ke-3 H adalah puncak kemajuan ulama dalam mengembangkan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan, di antaranya: hadis, fiqih, filsafat, ilmu kalam dan tasawuf.
Dalam kawasan hadis, periode ini merupakan periode “penyempurnaan dan pemilahan”, yaitu penanganan terhadap persoalan-persoalan yang belum sempat terselesaikan pada periode sebelumnya, seperti persoalan aljarh wa alta’dil, persambungan sanad dan kritik matan. Di samping itu, pemisahan hadis Nabi dan fatwa sahabat juga dilakukan ulama pada periode ini.
Upaya penyempurnaan dengan pemilahan ini pada akhirnya memunculkan kitab-kitab hadis dengan corak baru, yaitu kitab shahih yang hanya memuat hadis-hadis shahih yaitu kitab alJami’ alShahih oleh Bukhari (w. 256 H), kitab alJami’ alShahih oleh Muslim (w. 261 H), dan kitab-kitab Sunan yang memuat seluruh hadis kecuali hadis yang sangat dha’if dan munkar, seperti kitab sunan yang disusun oleh Abu Dawud (w. 273 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’I (w. 303 H). Keberadaan kitab-kitab tersebut dimaksudkan untuk menangkal pemalsuan hadis dari golongan para pendusta dan mazhab teolog yang fanatik dalam membela golongannya.
Ulama pada abad itu juga berupaya menata hukum Islam berdasarkan sumber alQur’an dan alHadis, sehingga semua kitab hadis yang lahir pada abad ini berorientasi pada fiqih. Hal ini dapat dicermati dari metode penyusunan kitab-kitab tersebut terdiri atas bab-bab fiqih. Bahkan dengan tegas al-Tirmidzi mengatakan “Tidaklah hadis-hadis yang terdapat dalam kitab ini kecuali yang dipilih (diamalkan) fuqaha’”.
Pernyataan al-Tirmidzi tersebut menunjukkan, bahwa sebagai pakar hadis beliau ingin menjaga keutuhan hadis sebagai dasar syari’at Islam. Ia lebih memilih menggunakan hadis dha’if laisa bihi matruk[16] dari pada hukum qiyas dan ijma’. Itulah sebabnya al-Tirmidzi menciptakan istilah hadis hasan, yang kedudukannya di bawah hadis shahih dan di atas hadis dha’if, namun dapat dipakai sebagai hujjah.[17]
2.  Bagaimana sistematika dan metode penghimpunan hadis dalam kitab Sunan alTirmidzi?
Judul lengkap kitab alJami’ alShahih adalah al-Jami’ alMukhtashar min alSunan ‘an Rasulillah Shallallahu ‘alahi wa Sallam wa Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul wa Ma’ ‘alaihi al-‘Amal.[18] Meski demikian kitab ini lebih popular dengan nama alJami’ alTirmidzi atau Sunan alTirmidzi. Untuk kedua penamaan ini tampaknya tidak dipermasalahkan oleh ulama. Adapun yang menjadi pokok perselisihan adalah ketika kata-kata shahih melekat dengan nama kitab. Al-Hakim (w. 405 H) dan al-Khatib al-Baghdadi (w. 483 H) tidak keberatan menyebut dengan Shahih alTirmidzi atau alJami’ alShahih.
Berbeda dengan Ibn Katsir (w. 774 H) yang menyatakan pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebab di dalam kitab alJami’ alTirmidzi tidak hanya memuat hadis shahih saja, akan tetapi memuat pula hadis-hadis hasan, dha’if dan munkar, meskipun al-Tirmidzi selalu menerangkan kelemahannya, ke-mu’alal-annya dengan ke-munkar-annya.
Dalam meriwayatkan hadis, al-Tirmidzi menggunakan metode yang berbeda dengan ulama-ulama lain. Berikut metode-metode yang ditempuh oleh al-Tirmidzi:
  1. Men-takhrij hadis yang menjadi amalan para fuqaha’.
Dalam kitabnya, al-Tirmidzi tidak meriwayatkan hadis, kecuali hadis yang diamalkan oleh fuqaha’, kecuali dua hadis, yaitu:
أن النبى صلى الله عليه وسلم جمع بين الظهر والعصر بالمدينة والمغرب والعشاء من غير خوف ولا سفر ولا مطر[19]
“Sesungguhnya Rasulullah menjama’ Shalat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’, tanpa adanya sebab takut, dalam perjalanan, dan tidak pula karena hujan”.
إذا شرب الخمر فاجلدوه فإن ماد فى الرابعة فاقتلوه[20]
“Apabila seseorang minum khamar, maka deralah ia, dan jika ia kembali minum khamar pada yang keempat kalinya maka bunuhlah ia”.
Hadis pertama, menerangkan tentang men-jama’ shalat. Mayoritas ulama tidak sepakat untuk meninggalkan hadis ini, dan boleh hukumnya melakukan shalat jama’ di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Demikian pendapat Ibn Sirin serta sebagian ahli fiqih dan ahli hadis.
Hadis kedua, menerangkan bahwa peminum khamar dihukum mati jika mengulangi perbuatannya yang keempat kalinya. Hadis ini menurut al-Tirmidzi dihapus oleh ijma’ ulama. Dengan demikian dapat dipahami maksud al-Tirmidzi mencantumkan hadis tersebut, adalah untuk menerangkan ke-mansukh-an hadis, yaitu telah di-mansukh dengan hadis riwayat al-Zuhri dari Qabisah bin Zawaib dari Nabi, yang menerangkan bahwa peminum khamar tersebut dibawa kepada Rasul. Kemudia Rasul SAW. Memukulnya dan bukan membunuhnya.
2.      Memberi penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis.
Salah satu kelebihan al-Tirmidzi adalah beliau mengetahui benar keadaan hadis yang ia tulis. Hal itu berdasarkan hasil diskusinya dengan para ulama tentang keadaan hadis yang beliau tulis. Dalam kitab alJami’, al-Tirmidzi mengungkapkan:
Dan hal yang telah disebutkan dalam kitab ini mengenai ‘ilal hadis, rawi ataupun sejarah adalah hasil dari apa yang aku takhrij dari kitab-kitab tarikh, dan kebanyakan yang demikian itu adalah hasil diskusi saya dengan Muhammad bin Isma’il (al-Bukhari).
Pada kesempatan lain al-Tirmidzi juga menjelaskan bahwa dirinya dan pendapat yang sama deng dirinya, mempunyai landasar berargumen yang kuat atas dasar kesepakatan pendapat ahli fiqh terhadap materi yang beliau terangkan dalam kitabnya.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa usaha menjelaskan keadaan suatu hadis dimaksudkan olah al-Tirmidzi untuk mengetahui kelemahan hadis bersangkutan. Menurut al-Hafiz Abu Fadhil bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) ada empat syarat yang ditetapkan oleh al-Tirmidzi sebagai standarisasi periwayatan hadis, yaitu:
  1. Hadis-hadis yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim.
  2. Hadis-hadis yang shahih menurut standar keshahihan Abu Awud dan al-Nasa’I, yaitu hadis-hadis yang para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan ketentuan hadis itu bersambung sanadnya dan tidak mursal.
  3. Hadis-hadis yang tidak dipastikan keshahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab kelemahannya.
  4. Hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak. Tentu saja ketidak-shahihannya tidak sampai pada tingkat dha’if matruk.

Kitab alJami’ alShahih ini memuat berbagai permasalahan pokok agama, di antaranya yaitu; alaqa’id (tentang tauhid), alahkam (tentang hukum), alriqaq (tentang budi luhur), adab (tentang etika), altafsir (tentang tafsir al-Qur’an), altarikh wa alsiyar (tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi SAW.), alsyama’il (tabi’t), alfitan (tentang terjadinya fitnah dan malapetaka), dan almanaqib wa almasalib (tentang biografi sahabat dan tabi’in).[21] Oleh sebab itu kitab hadis ini disebut dengan alJami’.
Secara keseluruhan, kitab alJami’ alShahih atau Sunan alTirmidzi ini terdiri dari 5 juz, 2375 bab dan 3956 hadis.
Menurut al-Tirmidzi, isi hadis-hadis dalam alJami’ alShahih, telah diamalkan ulama’ Hijaz, Iraq, Khurasan dan daerah lain -dalam kitab Tarikh-nya, Ibnu Katsir meriwayatkan dari al-Tirmidzi, dia berkata: “Aku telah menyusun kitab Musnad yang shahih ini dan telah aku tunjukkan kepada para ulama Hijaz, Iraq, Khurasan dan mereka menyenanginya. Barangsiapa di rumahnya terdapat kitab ini, maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang bersabda-[22], kecuali dua hadis -yang telah dibahas diawal-. Hadis ini diperselisihkan ulama baik segi sanad maupun dari segi matan, sehingga sebagian ulama ada yang menerima dan ada yang menolak dengan alasan-alasan yang berdasarkan naql maupun akal.
a)      Sistematika Kitab AlJami’ alShahih
Kitab alJami’ alShahih ini disusun berdasarkan urutan bab fiqih, dari bab thaharah seterusnya sampai dengan bab akhlaq, do’a, tafsir, fadha’il dan lain-lain. Dengan kata lain al-Tirmidzi dalam menulis hadis dengan mengklasifikasi sistematikanya dengan model juz, kitab, bab dan sub bab. Kitab ini ditahqiq dan dita’liq oleh tiga ulama kenamaan pada generasi sekarang (modern), yakni Ahmad Muhammad Syakir (sebagai Qadhi Syar’i), Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’ (sebagai penulis dan pengarang terkenal), dan Ibrahim ‘Adwah ‘Aud (sebagai dosen pada Universitas al-Azhar Kairo Mesir).
Secara rinci sistematika kitab alJami’ alShahih akan dijelaskan sebagai berikut:
  • Juz I terdiri dari 2 kitab, tentang Thaharah dan Shalat yang meliputi 184 bab 237 hadis.
  • Juz II terdiri dari kitab Witir, Jumu’ah, Idayn dan Safar, meliputi 260 bab dan 355 hadis.
  • Juz III terdiri dari kitab Zakat, Shiyam, Haji, Janazah, Nikah, Rada’, Thalaq dan Li’an, Buyu’ dan alAhkam, meliputi 516 bab dan 781 hadis.
  • Juz IV terdiri dari kitab Diyat, Hudud, Sa’id, Dzaba’ih, Ahkam dan Sa’id, Dahi, Siyar, Fadhilah Jihad, Libas, Ath’imah, Asyribah, Birr wa Shilah, alThibb, Fara’id, Washaya, Wali dan Hibbah, Fitan, alRa’yu, Syahadah, Zuhud, Qiyamah, Raqa’iq dan Wara’, Jannah dan Jahannam, meliputi 734 bab dan 997 hadis.
  • Juz V terdiri dari 10 pembahasan, tentang Iman, ‘Ilm, Isti’dzan, Adab, alNisa’, Fadha’il alQur’an, Qira’ah, Tafsir alQur’an, Da’awat, Manaqib, yang meliputi 474 bab dan 773 hadis, di tambah tentang pembahasan ‘Ilal.[23]
Adapun kandungan kualitas hadis-hadis yang termuat dalam kitab al-Tirmidzi banyak memuat hadis hasan, hal ini menjadikan kitab tersebut populer dengan kitab hadis hasan itu. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai hadis hasan itu, termasuk guru-guru maupun murid-murid al-Tirmidzi, karena al-Tirmidzi tidak memberi definisi yang pasti, terlebih al-Tirmidzi menggabungkan dengan istilah yang beraneka ragam, seperti: hadis hasan shahih, hasan gharib, dan hasan shahih gharib.
Namun, satu hal yang tetap perlu dicatat, adalah kerja besar al-Tirmidzi dalam mengukir sejarah tentang pembagian hadis menjadi hadis shahih, hasan, dan dha’if, sebelumnya adalah hadis shahih dan dha’if. Imam al-Nawawi dalam kitab Taqrib yang disyaratkan oleh al-Suyuti mengatakan: “Kitab alTirmidzi adalah asal untuk mengetahui hadis hasan, ialah yang memasyhurkannya, meskipun sebagian ulama dan generasi sebelumnya telah membicarakannya secara terpisah”. Senada dengan Imam al-Nawawi, Imam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah juga menjelaskan:
Abu Isa al-Tirmidzi dikenal sebagai orang pertama yang membagi hadis menjadi shahih, hasan dan dha’if, yang tidak diketahui oleh seorang pun tentang pembagian itu sebelumnya. Abu Isa telah menjelaskan yang dimaksud dengan hadis hasan itu ialah hadis yang banyak jalannya, perawinya tidak dicurigai berdusta, dan tidak syaz.
Dilihat dari segi kuantitatif dan kualitatif nilai hadis dari kitab alJami’ alShahih yang berjumlah 3956 buah hadis itu sebagai berikut:[24]
Hadis shahih
158 buah
Hasan shahih
1.454 buah
Shahih gharib
8 buah
Hasan shahih gharib
254 buah
Hasan
705 buah
Hasan gharib
571 buah
Gharib
412 buah
Dha’if
73 buah
Tidak dinilai dengan jelas
344 buah
Nilai dan Derajat Kitab alJami’ alShahih
al-Dahlawy membagi derajat kitab-kitab hadis kepada empat tingkatan:
Pertama, alMuwaththa’, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Kedua, Sunan yang empat (Sunan Abu Dawud, Sunan alNasa’I, Sunan alTirmidzi, Sunan Ibnu Majah), sementara Musnad Ahmad sangat berdekatan kepada tingkat yang kedua ini.
Ketiga, seluruh Musnad selain Musnad Ahmad, yang kandungannya bercampur baur, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dha’if, bahkan ada yang munkar, seperti Musnad Abu Ya’la, Sunan alBaihaqi, kitab-kitab alThahawi dan kitab alThabrani.
Keempat, kitab-kitab yang dimaksudkan oleh penyusunnya mengumpulkan segala rupa hadis, untuk kepentingan mereka yang membantu pendirian dan paham masing-masing, seperti kitab-kitab Ibnu Asakir, alDailami, Ibnu Najjar Abu Nu’aim, dan yang setaraf.[25]
3.             Bagaimana pandangan ulama terhadap kitab tersebut?
Terlepas dari kebesaran dan kontribusi yang telah diberikan oleh al-Tirmidzi melalui kitabnya, tetap muncul pelbagai pandangan kontroversial antara yang memuji dan mengkritik karya tersebut. Di antaranya adalah al-Hafiz al-‘Alim al-Idrisi, yang menyatakan bahwa al-Tirmidzi adalah seorang dari salah satu Imam pemberi tuntunan ilmu hadis terhadap mereka, mengarang alJami’, Tarikh, ‘Ilal, sebagai seorang penulis ‘alim yang meyakinkan, ia seorang contoh dalam hafalan.[26]
Lain halnya dengan al-Hafiz Ibn Asihr (w. 524 H), yang menyatakan bahwa kitab al-Tirmidzi adalah kitab shahih, juga sebaik-baiknya kitab, banyak kegunaannya, baik sistematika penyajiannya dan sedikit sekali hadis-hadis yang terulang. Di dalamnya juga dijelaskan pula hadis-hadis yang menjadi amalan suatu mazhab disertai argumentasinya. Di samping itu al-Timidzi juga menjelaskan kualitas hadis, yaitu shahih, saqim dan gharib. Dalam kitab tersebut juga dikemukakan kelemahan dan keutamaan (alJarh wa alTa’dil) para perawi hadis. Ilmu tersebut sangat berguna untuk mengetahui keadaan perawi hadis yang menetukan apakah dia diterima atau ditolak.
Sementara Abu Isma’il al-Harawi (w. 581 H) berpendapat, bahwa kitab alTirmidzi lebih banyak memberikan faedah dari pada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebab hadis yang termuat dalam kitab alJami’ alShahih alTirmidzi diterangkan kualitasnya, demikian juga dijelaskan sebab-sebab kelemahannya, sehingga orang dapat lebih mudah mengambil faedah kitab itu, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, dan lainnya.
Al-‘Allamah al-Syaikh’ Abd al-‘Aziz berpendapat, bahwa kitab alJami’ alShahih alTirmidzi adalah kitab yang terbaik, sebab sistematika penulisannya baik, yaitu sedikit hadis-hadis yang disebutkan berulang-ulang, diterangkan mengenai mazhabmazhab fuqaha’ serta cara istidlal yang mereka tempuh, dijelaskan kualitas hadisnya, dan disebutkan pula nama-nama perawi, baik gelar maupun kunyahnya.
Seorang orientalis Jerman, Brockelman menyatakan ada sekitar 40 hadis yang tidak diketahui secara pasti apakah hadishadis itu termasuk hadis Abi Isa al-Tirmidzi. Sekumpulan hadis itu dipertanyakan apakah kitab yang berjudul alZuhud atau alAsma’ wa alKunya. Ada dugaan keras bahwa kumpulan hadis itu adalah alFiqh atau alTarikh, tetapi masih diragukan.
Ignaz Goldziher dengan mengutip pendapat al-Zahabi telah memuji kitab al-Jami’ al-Shahih dengan memberikan penjelasan bahwa kitab ini terdapat perubahan penetapan isnad hadis, meskipun tidak menyebabkan penjelasan secara rinci, tetapi hanya garis besarnya. Di samping itu, di dalam kitab alJami’ alShahih ini ada kemudahan dengan memperpendek sanad.
Kendati banyak yang memuji kitab alJami’ alTirmidzi, namun bukan berarti kemudian luput dari kritikan. AlHafiz Ibn alJauzi (w. 751 H) mengemukakan, bahwa dalam kitab alJami’ alShahih li alTirmidzi terdapat 30 hadis maudu’ (palsu), meskipun pada akhirnya pendapat tersebut dibantah oleh Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) dengan mengemukakan, bahwa hadis-hadis yang dinilai palsu tersebut sebenarnya bukan palsu, sebagaimana yang terjadi dalam kitab Shahih Muslim yang telah dinilainya palsu, namun ternyata bukan palsu.
Di kalangan ulama hadis, al-Jauzi memang dikenal terlalu tasahul (mudah) dalam menilai hadis sebagai hadis palsu. Mengacu kepada pendapat al-Suyuti, dan didukung oleh pengakuan mayoritas ulama hadis seperti telah dikemukakan, maka penilaian Ibn al-Jauzi tersebut tidak merendahkan al-Tirmidzi dan kitab alJami’ alShahih-nya.[27] 

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil simpulan: Pertama, al-Tirmidzi adalah seorang pakar hadis yang konsisten dengan keilmuannya, sehingga mayoritas ulama menilai positif kepakaran al-Tirmidzi dalam bidang hadis, kecuali Ibn Hazm. Meski demikian, pandangan Ibn Hazm tidak mengurangi kapasitas intelektual dan kredibilitas al-Tirmidzi selaku ahli hadis. Kedua, kitab alJami’ alShahih atau Sunan alTirmidzi ditulis al-Tirmidzi pada abad ke-3 H, yakni periode “penyempurnaan dan pemilahan”. Kitab alTirmidzi ini memuat seluruh hadis kecuali hadis yang sangat dha’if dan munkar. Satu spesifikasi kitab alTirmidzi ini adalah adanya penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadisnya. Ketiga, melalui kitab alJami’ alShahih ini pula al-Tirmidzi memperkenalkan istilah hadis hasan, yang sebelumnya hanya dikenal istilah hadis shahih dan hadis dha’if. Kriteria ini dengan konsisten diaplikasikan al-Tirmidzi dalam kitabnya tersebut. Keempat, banyak dari para kritikus hadis yang menyambut positif dengan kehadiran kitab alJami’ alShahih dan juga ada yang mengkritiknya juga. Kelima, kitab alJami’ alShahih menjadi salah satu dari Kutub alSittah.

DAFTAR PUSTAKA

Suryadi, Kitab Sunan alTirmidzi dalam “Studi Kitab Hadis”. Yogyakarta: Teras, 2003.
Sutarmadi, Ahmad, alImam alTirmidzi: Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqih. Jakarta: Logos, 1998.
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Shahih, juz V.
al-Maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2010.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhamad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Amir, Fachrur Razi, Peringkat Kitab-kitab Hadis: Analisis Kualitatif dalam “Ulumul Hadis”. Yogyakarta: Teras, 2010.



[1] Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, USHUL AL-HADITS: POKOK-POKOK ILMU HADITS, trj. H. M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, “ Ushul al-Hadis”,  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 288
[2] Suryadi, Kitab Sunan al–Tirmidzi dalam “Studi Kitab Hadis” (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm. 104-105.
[3] Ahmad Sutarmadi, al–Imam al–Tirmidzi: Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqih (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 50
[4] Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Loc. cit.
[5] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm. 59-60.
[6] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm 63.
[7] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 111-114.
[8] Dr. Muhammad. ‘Ajjaj Al-Khathib, Loc. cit.
[9] Ibid.
[10] Suryadi, Kitab Sunan al–Tirmidzi, hlm. 105-106.
[11] Ibid. hlm. 107.
[12] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi…, hlm. 108.
[13] Dr. M. ‘Ajjaj Al-Khathib, Loc. cit.
[14] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi…, hlm. 77-78.

[15] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 109-110.

[16] hadis dha’if yang kelemahannya tidak menghalangi pengamalannya
[17] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 110-111.
[18] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 160.
[19] Al-Tirmidzi, al-Jami’…, juz V, 392.
[20] Al-Tirmidzi, al-Jami’…, juz V, 392.
[21] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm. 57.
[22] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 281. Lihat juga Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 263
[23] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi…, hlm. 119-120.
[24] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm. 164.
[25] Teungku Muhamad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 101. Lihat juga Fachrur Razi Amir, Peringkat Kitab-kitab Hadis: Analisis Kualitatif dalam “Ulumul Hadis” (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 214-215.
[26] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi…, hlm. 78.
[27] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi…, hlm. 121-123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar