BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran politik sunni masa klasik:
al-Mawardi dalam konsep “Membangun ketaatan melalui kontrak sosial”
A.
Latar
belakang
Pemikiran merupakan suatu aktifitas otak dalam menganalisis,
menghayati, menelaah sebuah hal yang mana terkadang aktifitas tersebut
bertujuan untuk memperoleh suatu solusi alternatif atau juga diperuntukan
mencari bahkan membuat ide, gagasan, kreasi baru sebagai suatu yang dapat di
pergunakan. Dalam kamus besar bahasa indonesia kata pemikiran di tegaskan
sebagai proses, cara, perbuatan memikir. Berbeda lagi ketika kata
“Pemikiran”-diperkembangannya sudah tidak menjadi kata, melainkan istilah- di
sandingkan dengan istilah yang populer dalam dunia pemerintahan ataupun
kekausaan yang berdaulat, yaitu “Politik”, makna penjelasan dari dua istilah
tersebut juga akan bermakna tunggal dan tidak terpenggal dalam pengertiaannya.
Seiring perkembangan pengetahuan, dua istilah tersebut semakian
menarik perhatian untuk di perbincangkan serta diploklamirkan pada berbagai
redaksi pembahasan yang mengikat pembahsan tersebut. Seperti halnya pada kajian
ilmiah, baik diskusi maupun seminar dan lain sebagainya. Dalam hal ini, tidak
asing lagi di benak kita bahwa istilah tersebut sudah sering di sandingkan
dengan pembahasan dunia islam atau dengan kata lugasnya, pemikiran politik
islam, yang mana istilah tersebut kemungkinan besar akan sering dijumpai pada
pembahasan kali ini sebab istilah tersebut lah yang akan mewarnai dalam
pembahasan kali ini.
Pemikiran politik islam, telah berkembang sejak masa dimana Nabi
Muhammad mulai berhijjah lalu mukim di Yathrib yang nantinya dikenal
dengan nama Madinah, tepatnya saat pengkukuhan piagam madinah, yang mana maksud
dari politik islam disini, ialah sebuah aturan baru sekaligus cikal bakal
sebuah negara yang berasaskan ajaran islam atau negara islam.[1]
Dan dari sebab itulah istilah “pemikiran politik islam” dikait eratkan dengan
istilah “negara” yang dapat dibilang sebagai suatu wujud konstitusi atau
undang-undang dasar bagi negara islam dalam aturan ketata negaraan. Lebih
sepesifik mengungakap istilah pemikiran politik islam, Nasihun Amin memberiakan
penjelasan secara tegas bahwasahnya pemikiran dalam dunia islam pertama kali
yang muncul adalah politik,[2]
kemungkinan stetemen tersebut dapat membuat tercengang bagi setiap orang yang
telah lama mapan akan sebuah pemahaman dogmatis bahwa pemikiran keislaman
ataupun ajaran agama islam yang pertama adalah ketauhidan atau teologi, baik
pemikiran yang murni dari wahyu ataupun wujud penjelasan sebuah hadis, perlu di
sepakati terlebih dahulu bahwa wahyu pun pada dasarnya sebuah pemikiran, yang
mana Nabi peroleh dari Allah, melalui
rangkaian transformasi dari kalam ilahiyyah yang berada pada dimesi uluhiyyah
ke dimensi makhluk melalui perantara malaikat yang dapat menembus berbagai
dimensi tidak terkecuali dimensi makhluk, yang mana sampailah kepada nabi. Dari
Nabilah sebuah wahyu dapat dipersepsikan sama dengan pemikirasn, sebab dalam kejadian
itu, Nabi sendiri mencoba dengan segala kekuatan pikirannya untuk menerjemahkan
wahyu tersebut kedalam bahasa makhluk yaitu bahasa arab dari kalam ilahiyyah
yang tidak berhuruf berharokat bahkan bersuara.
Seiring perkembangan zaman, pemahaman serta penempatan istilah tersebut
menjadi lebih sempit dalam penggunaannya, yang mana istilah tersebut (baca:
pemikiran) lebih menggarah pada ranah dialektika keilmuan secara masif, bahkan
dapat dibilang sebagai kepastian yang mutlak dalam ranah dialektika keilmuan
pada koridor dimensi makhluk tanpa menyangkut dimensi Uluhiyyah.
Seperti yang telah di singgung diatas, bahwa pemikiran politik
islam mulai mendapatkan ruang untuk dapat mengeksisitensikan[3]
diri bahwa islam itu ada dan berhak mendapatkan pengakuan defacto maupun
dejoure, melalui adanya sebuah perwujudan aturan ketatanegaraan dan
keamanan yang konkret. Bermula dari piagam madinah inilah, perkembangan
pemikiran politik islam mulai berkembang, yang diprakarsai oleh Nabi muhammad
sebagai seorang rasul sekaligus pemimpin suatu negara yang baru didirikan.
Kondisi ini semakin berlanjut dari masa ke masa selajutnya serta pergantian
kepala negara sebagai penerus tongkat estafet dari generasi awal yaitu Nabi
sendiri dan terus berlanjut sampai masa daulah al islamiyah (baca: Bani).
Dalam sebuah masa kepemimpinan dapat dipastikan terdapat pasang
surut perselisihan, baik dari segi pengertian positif maupun negatif, hal ini
dikarenakan terjadinya perbedaan pendapat, ketidak sepakatan atas kebijakan,
strategi maupun peraturan. Seperti halnya yang terjadi pada pengujung
pemerintahan Nabi selaku rasul sekaligus kepala negara, yang mana kursi jabatan
kepala negara serta imam dalam kegamaan belum mendapatkan tuan sebagai sandaran
titel. Meskipun pada masa itu nabi telah wafat, secara umum dapat dikatakan
bahwa selesai juga masa kekuasaan Nabi dalam bidang ketata negaraan dan tugas
rasul. Akan tetapi, menurut hemat penulis, situasi tersebut (baca: wafat Nabi)
tidak menghilangkan kedudukan Nabi sebagai rasul sekaligus kepala negara,
dengan batas sampai ditetapkannya seseorang untuk meneruskan tongkat estafet
kepemimpinan Nabi, yang disahkan dengan pembaiatan[4]
secara daulat.
Situasi tersebut menurut sebagian pengamat, merupakan situasi sulit
dalam penentuan kepemimpinan. Pasalnya pra wafat Nabi, Nabi tidak memberikan
wasiat tentang siapa yang akan memimpin agama dan negara sepeninggal Nabi,[5]
bahkan tidak ditemukan dalam sejarah tentang cara baku pemilihan penentuan
kepemimpinan sepeninggal Nabi.[6]
Dari dasar itulah menyebabkan timbulnya konflik perdebatan yang sangat serius
dan dari perdebatan ini melahirkan dua pemikiran yang saling berhadapan secara
diametral.[7] Satu
sisi kelompok yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah menujuk kepada siapapun
sebagai pengantinya kecuali meminta Abu Bakar untuk mengantikannya sebagai imam
shalat saat kesehatan nabi semakin memburuk, kelompok tersebut akhirnya di
sebut Sunni.
Dari situ konsep musyawaroh mufakat sebagai muktamar luar biasa
dalam dunia perpolitikan islam mulai terbentuk secara sepontan yang terjadi di saqifah
Bani Sa’idah,[8]
denga hasil musyawaroh ditetepkanlah Abu Bakar sebagai penerus
kepemimpinan. Hal serupapun terjadi pada Umar dengan cara musyawarah mufakat,
tetapi kali ini berbeda dengan yang terjadi di masa pengangkatan Abu Bakar,
yang mana musyawarah ini lebih tertutup. Tidak berbeda jauh dari pengangkatan
Utsaman, sedangkan pada masa pengangatan Ali, cenderuh konsep musyawarah
mufakat kian luntur yang disebabkan berbagai faktor. Dari situasi semua itu,
sebuah pergolakan seingat dalam dunia politik islam makian kental, dengan di
tandai lahirnya berbagai pemikir bahkan golongan, baik sebagai pro pemerintahan
maupuan kubu oposisi. Hal ini berlanjut sampai beradab-abad, tidak terkecuali
saat menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI, dengan ditandai
kekuasaan Bani Abbas[9].
Yang cukup menaraik di abad tersebut adanya konsep sonsep baru dalam politik
islam bertata negara, yang diprakasai oleh Abu Hasan al-Mawardi selaku hakim
agung sekaligus ulama yang di senangi di percayaai oleh penguasa bani abba.
Banyak pergolakan yang terajadi di masa al-Mawardi hidup serta
banyak jua teori dan konsepsi ketata negaraan yang ia usung. Untuk itu penulis
akan mencoba mengurai menjalaskan aspek-aspek yang melingkupi dinamika pada
masa kehidupan al-Marwardi, Konseptor KHILAFAH ALA SUNNI. Yang akan di
bahas.
B. Rumusan
1. Biografi al-Mawardi.
2. Pemikiran politik sunni masa klasik: al Mawardi dalam konsep
“Membangun ketaatan melalui kontrak sosial”
BAB II
PEMBAHASAN
C. Uaraian Materi
1. Biografi al-Mawardi
Nama lengakap al-Mawardi adalah Ali ibn Muhammad ibn Habib, nama
julukan Abu Hasan al-Mawardi.[10]
Atau dengan redaksi Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn habib al-Bashri
al-Baghdadi al-Mawardi[11],
ia lahir pada tahun 364 H/975 M di Bashrah, Baghdad dan meninggal pada tahun
450 H/ 1058 M[12]
kemungkinan dimakamkan di Bashrah. Ia dibesarkan dalam keluarga arab yang
memproduksi serta menproduksi air sari mawar, dan dari sebab itu, nisbat
julukan al-Mawardi melekat padanya.[13]
Dia seorang pemikir islam yang terkenal, tokoh terkemuka madzhab as syafi’i dan
sekaligus pejaban tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah.[14]
Pengalaman aktifisnya, adalah menjadi hakim di berbagai tempat secara
berpindah-pindah dan pada akhirnya kembali ke Baghdad disertai pemberian
kedudukan khalifah Qadir dari penguasa saat itu.
Ia hidup pada masa khalifah al-Qadir Billah (381-422H) dan khalifah
al-Qaim Billah (422-467H),[15]
pada penghujung abad X sampai pertengahan abad XI M.[16]
Pada saat itu situasi perpolitikan duia islam tidak setabil, imbasnya dunia
islam terbagi menjadi tiga kubu kerajaan, seperti di Mesir berdiri Dinasti
Fatimiyyah, di Spanyol berdiri Dinasti Bani Umayah, dan daerah Timur yang
secara umum terdapat Bani Abbasiyah,[17]
bila kita telisik kebelakang, akan dapat kita jumpaik bagaimana kehabatan
Baghdad zaman lalu yang kaya akan sebuah peradaban islam sekaligus pusat dari
peradaban itu sendiri serta poros negara islam, bahkah Munawir mengabarkan
bahwa khalifah di Baghdad merupakan otak peradaban dan sekaligus jantuang
negara dengan kekuasaan dan wibawa yang menjangkau semua penjuru dunia islam.[18]
Kendati demikian polemeik perpolitikan pada masa al-Mawardi sangat
kental terasa dengan adanya perseteruan antara tiga kerajaan islam yang
mendominasi perperangan dalam internal islam, polemeik tersebut sering kali
menimbulkan hasrat untuk saling menyerah dan menghancurkan.[19]
Di sisi lain kedudukan khalifah dalam internal daulah di Baghdad mengalami
kelemahan, ditandai dengan adanya unsur perebutan serta pembagian kekuasaan
secara perlahan yang dilakukan para panglima-panglima berkebangsaan Turki
ataupun Persi terhadap kekuasaan khalifah, sehingga mengakibatkan semakin
menurunnya kharisma khalifah selaku kepala negara. Lebih lanjut, keadaan
tersebut mengakibatkan hilangnya fungsi khalifah secara masif dalam
pemerintahan, hal ini juga di sebabkan oleh faktor wilayah kekuasaan yang
semakin meluas, sehingga menjadikan jabatan khalifah hanya sebagai kepala
negara yang resmi tetapi dengan kekuasaan formal, sedangkan kekuasaan
sebenarnya di peganag dan di kendalikan oleh pelaksana pemerintahan yang mana
mereka merupakan para pejabat tinggi dan panglima yang berkebangsaan Turki
ataupun Persi, serta penguasa-penguasa wilayah.[20]
Meskipun demikian bibit-bibit pemberontakan yang diwujudkan dengan pengulingan
kekuasaan khalifah sudah sangat tercium dan akan muncul kepermukaan. Dasar
pergerakan ini tentulah tidak semata-mata sebagai unsur perbutan wewenang
kekusasan saja, melaiankan lebih dari itu yang mendasarinya.
Menurut hemat penulis, terdapat unsur fanatik kesukuan dalam
kedudukan khalifah yang mana memeng kenyataanya jabatan khalifah merupakan
waris mewaris secara koheren dalam keluarga kerajaan berkebangsaan Arab, dengan
fakta laian bahwa kebanyakan kursi jabatan strategis pemerintahan sudah banyak
terduduki oleh bangsa Turki atau persi, hal ini juga menjadi penyebab
keberaniaan bagi bansa Turki atau Persi untuk mengambil alih kekuasaan khalifah
secara untuh ketangah bangsa mereka sendiri. Selaian itu ada faktor lain yang
menimbulkan keruwetah konstan ini, yaitu faktor teologis. Seperti yang
diungkapkan oleh Nasihun Amin, bahwa sesungguhnya Baghdad berada di kekuasaan
Bani Buwaih (baca: oarang Turki atau Persi) sedangakan Bani Buwaih sendiri
merupakan orang Syi’ah fanatik dan radikal, mereka juga menguakan kekuasaan
untuk menekan Umamat demi kelancaran apik dalam terselenggaranya kebijakan yang
mereka usung.[21]
Dari berbagai faktor yang bertangung jawab atas polemik yang ada, dapat
di katakan sebagai alasan dasar sesosok intelektual cendekiawan berkelas;
al-Mawardi, ikut serta mewarnai dinamika kekuasan sebagai ahli perpolitikan
sekaligus hukum keislaman dengan menggunakan karya-karya gemilangnya berwujud
buku dan memang pada kenyataanya al-Mawardi merupakan sosok yang produktif
dalam keilmuan.
Sejarah perjalanan keilmuannya sangat memukau, dengan diawalinya
memperdalam keilmuan hukum di Bashrah dengan seorang ahli hukum yang bernama
Abu al-Qasim Abdul Wahid as-Saimari sebagai guru privatnya. Setelah dirasa
cukup dalam memperdalami ilmu hukum, al-Mawardi pinda ke Baghdad untuk
melanjutkan study hukum, dan kemungkinan keputusan itu diambil sebagai langkah
awal al-Mawardi menekuni dunia hukum dengan melihat secara langsung untuk
mengaplikasikan teori-teori keilmuan yang didapatinya pada daerahnya sendiri.
Secara singkat sejarah menyebutkan bahwa al-Mawardi merupakan sosok yang cerdah
dengan dibuktikannya atas kemampuannya dapat dengan cepat menguasai disiplin
keilmuan yang beragam seperti, Hadis, politik, etika, sastra,[22]
ilmu bahasa, Tafsir, Fiqh dan ketatanegaraan.[23]
Kecakapannya dalam bidang hukum dibuktikannya melalui kelibatannya
secara praktis di lembaga pengadilan di Baghdad,yang jelas sekali bahwa Mawardi
sudah mulau mengawali karirnya selaku politikus dalam dunia pemerintahan. Pada
429 H, kredibilitasnya semakin terlihat dengan ditandai terangkatnya menjadi
Hakim agung qadhi al-qudhat sampai akhir hayatnya. Tidak sampai di situ,
biografi karirnya terukir jelas dalam sejarah yang mana perolehan jabatan
sebagai penasehat khalifah dalam bidang keagamaan dan pemerintahan.[24]
Kegemilang karirnya, dapat terbilang sebagai barometer kepiawaiannya dalam
urusan intelektual dan politik, sehingga menjadikan dirinya sebagai salah satu masterpiece
sejarah peradaban islam sekaligus sebagai the finding father
konsep-konsep baru dalam dunia keilmuan. Tidak hanya itu, al-Mawardi juga
sangat kharismatik di segani di hormati oleh barbagai golongan bahkan lintas
teologian. Seperti fakta bahwa
al-mawardi sangat di hormati oleh Bani Buwai selaku kelompok Syi’ah dan oleh
Bani Abbas selaku kelompok Sunni, sebab kerap kali al-Mawardi menjadi mediator
antara dua kubu tersebut untuk menengahi tatkala dua kubu tersebut besitegang
dan mengingakan perundingan, menurut hemat penulis bahwa hal ini disebabkan
kemampuan intelektual serta keahliannya bernegosiasi sebagai sosok yang ahli
dalam diplomasi.
Seperti yang telah di singgung di atas, bahwa al-Mawardi merupakan
pribadi yang produktif. Keproduktifannya di tunjukannya dengan buku-buku
berkelas berbobot, seperti salah satunya:
a.
Al-Ahkam
al-Sulthaniyyah (hukum-hukum
tata negara)
Dua dari tiga nama buku tersebut sudah terkenal di masyarakat
indonesia sampai sekarang, sedangkan muatan buku-buku tersebut adalah fiqih
politik. Di penghujung Rabi’ul awwal tahun 450 H hari selasa, al-Mawardi wafat
di usia 86 tahun. Janazahnya dimakamkan si pemakamam Bab Harb dan di shalati
oleh Al-Imam al-Khatib al-Baghdadi.[27]
2. Pemikiran
politik sunni masa klasik: al Mawardi dalam konsep “Membangun ketaatan melalui
kontrak sosial”
Politik dalam pengertian umum merupakan beragam kegiatan dalam
suatu sistem yang menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan. Dalam
diskursus poltik, perlu kita ketahui bahwa terdapat dua konsep utama yaitu
wewenang dan kekuasaan. Dari dua konsep itulah yang dapat memungkinkan bagi
seiapapun yang memeganagnya dapat melakukan tindakan secara efisien dan
efektif, sehingga apa yang ditargetkan dapat lebih mudah tercapai.[28]
Seperti yang sudah di singgung lebih dahulu bahwa situasi politik pada masa
al-Mawardi sangat ruwet bahkan lebih parah dari pada masa dimana Farabi hidup,
(Munawir Sjadzali: 1990, 58). Menurut hemat penulis, hal ini lah yang melatar
belakangai hiroh al-Mawardi untuk semaksimal mungkin untuk tampil
kepermukaan sebagai intelektual berkualitas dengan membawa berbagai pembaharuan
serta perubahan konsep-konsep dalam berbagai disiplin keilmuan, terutama
keilmuan hukum dan tata negara. Dalam hal ini, al-Mawardi menawarkan beberapa
konsep baru dalam hukum dan tata negara tentunya dengan dasar agama sebagai
penyeimbang.
Kontrak Sosial. Konsep tersebut kedengaran asing bahkan dapat
menimbulkan berbagai anggan pertanyaan, jika konsep Kontrak sosial di
sandingakn dengan al-Mawardi apa lagi langsung dinyatakan konsep Kontra Sosial
al-Mawardi. Pengetahuan ini bukan karena baru di konsepkan, melainkan hanya
problem waktu dalam reedukasi tentang konsep tersebut dan untuk diangkat ke
permukaan. Kita mengetahui bahwa al-Mawardi bukan hanya seorang ulama (baca:
pemuka agama islam) melainkan juga seorang politisi dan hakim, menjadikan
al-Mawardi terkenal sebagai seorang yang completeness dalam segala
bidang keilmuannya.
Kontra sosial, terjadi setelah pengangkatan imam oleh ahlu halli
wal-aqdi dan disertai telah mendapatkan Bai’at dari umat, dari
pembai’atan tersebut seketika tersebut imam atau khalifah telah mengikat janji
(kontrak) dengan umat, yang mana perjanjian tersebut merupakan komitmen untuk
menjalankan kewajibannya dengan tulus dan ikhlas, sedangkan perjanjian tersebut
bagi umat merupakan janji setia mematuhi dan mendukung khalifah ataupun imam
yang berkuasa.[29]
Adapun penjelasan rincinya akan dibahas belakangan.
Masih sama pemikiranya dengan pendahulu-pendahulunya, al-mawardi
juga menyakini bahwa manusi merupakan makhluk sosial, kebutuhan yang tidak
dapat dipenuhi jika hanya mengandalkan diri pribadi seorang. Seperti yang kita
ketahui bahwa manusia sanggat sulit bahkan tidak mungkin memenuhi segala
kebutuhannya hanya dengan usahanya sendiri, dalam arti lain bahwa manusia
merupakan makhluk yang lemah. Sebagaimana Plato, Aristoteles dan ibnu Abi Rabi’,[30]
al-Mawardi juga sependapat dengan mereka atas penjelasan konsep yang ia usung. Meskipun
kesamaan tersebut sangat nampak, tetapi ada suatu pebedaan yang sangat nyata
dalam pemikirnya dengan pemikir terdahulunya, yaitu kepribadian agamisnya. Penggaruh
keagamisannya menentukan corak pemikirannya dalam menyusun konsep yang
terbuktikan dengan adanya unsur-unsur agama dalam penjelasan konsepnya.
Al-Mawardi memberikan garis bawah, bahwasahnya manusia diciptakan oleh Allah
dengan segala kelemahannya yang bertujuan supaya manusia menyadari bahwa
dirinya adalah makhluk yang diciptakan sang pencipta keadaan dan kuasa akan
sebuah kehendak, bukan makhluk yang kuasa dan mampu atas segala hal, maka dari
itu Allah telah memeberikan solusi untuk selalu meminta pertolongan kepadanya
dalam segala usaha dan urusan, lebih dari itu, esensi yang terkandung merupakan
pelajaran bagi manusia agar tidak menjadi pribadi yang akuh ataupun sombong
atas jabatan dan kekuasaanya. Bahkan al-Mawardi berpendapat, manusia adalah makhluk
yang paling memerlukan bantuan pihak lain, dibandingkan dengan makhluk-makhluk
lainnya. Berbeda dengan binatang-binatang, mereka dapat hidup tanpa
ketergantungan terhadap binatang lainya dan secara mandiri dapat lepas dari
bantuan binatang sejenisnya. Sedangkan manusia selalu memerlukan manusia lain
dan ketergantungannya satu sama laian merupakan sesuatu yang tetap dan
langgeng, (H. Munawir sjadzali: 1990, 60). Nasihun Amin menambahkan bahwa
disamping karakter manusia yang lemah
akan kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhanya sendiri, manusia juga
memepunyai perbedaan kemampuan individual (bakat, kecenderungan dan kemampuan).[31] Dalam
hal ini, al-Mawardi memberikan penjelasan bahwa perbedaan bakat, pembawaan
serta kemampuan antra manusia dengan lainnyyalah menjadi pendorong bagi mereka
untuk saling membantu, jika saja misalnya manusia tidak ada perbedaan satu
dengan lainnya, baik bakat, kecenderungan, pembawaan, serta kemampuan, maka
tidak mungkin mereka saling membantu dan bahkan tidak memerlukan bantuan, sebab
semua kebutuhnya dapat dicukupi dan dikerjakan oleh dirinya sendiri.[32]
Dari adanya kesadaran perbedaan tersebut, memungkinkan terjadianya
hubungan simbiosis mutualisme, bantu membahu gotongroyong dalam persatuan pada
garis yang sama “saling membutuhkan” untuk “saling melengkapi”. Kebutuhan untuk
melengkapi, membantu serta bekerjasama ini muncul dari tingkatan terkecil
sampai tingkatan terbesar, dan dari sektor tersempit sampai sektor terluas.
Dari sinilah asas-asas kesamaan yang di kumpulkan menjadi suatu negara, dengan
berlandaskan hajat untuk mencukupi kebutuhan mereka bersama.[33]
Apapun cara bagaimana untuk saling membantu dan tentang bagaimana mengadakan
suati ikatan satu sama lain, Munawir memberikan penjelasan melalui analisanya.
Dalam keadan demikian, suatu yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan
tersebut, jawabanya adalah otak. Dengan alasan bahwa Allah memberikan kepada
manusia otak/pikiran untuk digunakan sebagai penuntun berprilaku tertantu yang
tentunya manfaat bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Lebih jauh, nilai yang
terkandung dari gagasan tersebut tidak lain merupakan seruan agar manusia dapat
menempatkan diri secara proporsi yang balance antara kebahagiaan di
dunia dan kesejateraan di akhirat kelak.
Mengingat alasan dasar terbentuknya negara untuk mengatu hubungan
kerjasam antar manusia, maka dari itu perlulah penopang dengan pilar-pilar kuat
agar dapat terwujudnya tujuan yang diharapkan. Dalam buku sejarah perkemangan
pemikiran islam karya Nasihun Amin, di sebutkan pilar-pilar tersebut serta
semua yang menyangkut tentang konsep kenegaraan serta konsep kontra sosial
al-Mawardi. Yaitu;
1.
Agama
yang dianut dan dihayati sebagai kekuatan moral sebagai sisitem kendali dan
pengawasan.
2.
Penguasa
yang kharismatik, berwibawa dan dapat dijadikan teladan yang diharapkan menjadi
intrumen yang efektif untuk tujuan bersama.
3.
Keadilan
yang menyeluruh yang tidak membedakan seluruh komponen masyarakat.
4.
Keamanan
yang merata yang meliputi seluruh wilayah, sehingga tidak ada rasa was-was dan
takut untuk beraktifitas.
5.
Kesuburan
tanah yang berkesimbuangan yang menjamin tercukupinya kebutuhan.
6.
Harapan
kelangsungan hidup yang memungkinkan manusia untuk tetap kreatif dalam rangka
melanjutkan proses regenerasinya.
Pada eman pilar pokok yang di ungkapkan al-Mawardi serta telah
dikutip oleh Nasihun Amin dalam bukunya, dapat difahami bahwasahnya, pertama.
Agama menjadi sistem pengendali sekaligus pengawas dalam segala aktifitas, yang
mana Agama akan bekerja mengatur seluruh jalanya aktifitas dengan disertai kekuatan
hukum penimbang keputusan dalam bertindak dan juga sebagai benteng melingkar
dalam aktifitas, dengan menonjolkan penyeleksian sebagai barometer fungsi
pengawasan. Seperti halnya sila pertama dalam ideologi kebangsaan indonesia
“PANCASILA”, rakyat indonesia dituntut melaksanakan segala aktifitasnya dengan
merujuk pada dasar aturan ajaran agama masing-masing. Kedua, kekuasaan yang
berkharisma berwibawa menjadikan suatu pengikat tanpa syarat secara otomatis
tanpa sadar, yang mana sikap “otomatis tanpa sadar” tersebut tercipta ketika timbul
suatu rasa penghormatan lebih terhadap seseorang yang telah merasuki pada diri
si pemberi penghormatan, melaui tindakan, perbuatan maupun sifat kepribadian
yang ditunjukan pada seseorang si pemberi penghormatan. Seperti itu sama halnya
yang terjadi di rana sektor kecil dalam dunia pesantren. Santri akan serta
merta “sendiko dawuh, dumateng kiyai” tunduk patuh pada guru ngajinya
(baca: kiyai) tanpa bantahan, hal ini disebabkan adanya persepsi kemuliaan yang
ada pada diri seorang guru ngajinya, baik ilmu maupun prilaku. Fenomena
tersebut dapat menjadi sebuah “politik” untuk mengarahkan santri menjadi sosok
yang diharpkan seorang guru, hal ini pun terjadi pada tradisi thariqoh –dalam
pengertian lembaga- antara murid atau salik dengan mursyidnya.
Ketiga. keadilah yang menyeluruh, menciptakan suatu tatanan
kehidupan yang apik juga dinamis yang ditopang dengan hukum-hukum yang berlaku,
sehingga dapat membentuk pribadi yang tangungjawab, proposional dan jujur dalam
menjalankan tugas serta amanat. Seperti dalam dunia militer, antara antasan dan
bawahan mendapatkan posisi yang sama dalam mamatuhi aturan protokol keamanan
militer. Keempat. Keamanan yang merata, menjadikan suasana yang nyaman serta
kondusif disetiap sendi-sendi kehidupan tanpa adanya kriminalisasi,
diskriminasi dan eksploitasi. Seperti halnya di setiap negara yang dapat
menerapkan keamanan yang menyeluruhdi barbagai sektor, baik sektor ekonomi,
militer, kedaulatan maupun politik.
Kelima. Kesuburan tanah yang bersimabungan, ketentuan itu dapat
menciptakan suatu kesejateraan terutama sektor pangan bagi semua rakyat dan
dapat berimplemtasi pada ketahanan keamanan secara masif. Karena ketentuan
tersebut menyakut asupan gizi, nutrisi serta pangan kepada semua line
kehidupan. Keenam. Harapan kelangsungan hidup, dapat menciptakan semangat
kebersamaan untuk membangung memenuhi tujuan bersama secara aman, nyaman dan
sejatera.
Adapun untuk mengatur suatu negara sangat diperlukan adanya sistem, yang mana al-Mawardi
mengenalkan sistem imamah (kepemimpinan) yang baik. Yang diemban oleh khalifah,
al-Rais (pemimpin), al-Mulk (raja), al-Sulthan (penguasa) atau
Qaid al-Daulat (kepala negara). Dalam hal ini, al-Mawardi tidak lupa
memasukan unsur keagamanan dalm jabatan-jabatan tersebut. Al-Mawardi menyatakan
bahwa “Imamah dibentuk untuk mengantikan fungsi kenabian, guna memelihara agama
dan mengatur dunia” (Dr. Nasihun Amin: 2015, 33). Stetemnt tersebut dapat
menyimpulkan bahwa jabatan Imam merupakan kepemimpinan dalam agama dan
sekaligus kepemimpinan politik.
Dalam pandangan al-Mawardi, mekanisme pemilihan pemimpin yang baik
harus melibatkan dua lembaga yaitu ahl al-imamah (yang berhak dipilih
sebagai pemimpin) dan ahl al-ikhtiyar (yang berhak memilih pemimpin),
penentuan dua kubu tersebut juga menggunakan mekanisme kualifikasi sesuai
dengan syarat-syarat yang ada. Adapun kualifikasi pemilihan orang-orang yang
berhak menjadi ahl al-imamah (pemimpin) sebagai berikut:[34]
1.
Adil
dalm pengertian yang luas.
2.
Berilmu
agar dapat melakukan ijtihad di dalam mengahadapi berbagai persoalan yang
dihadapi.
3.
Sehat
pendengaran, pengelihatan dan lisannya, sepaya dapat mampu beruusan langsung
dengan taggung jawabnya, buka melalui pihak lain.
4.
Sehat
badan, sehingga tidak terhalang untuk melakukan berbagai aktivitas, gerak dan
langkah cepat.
5.
Cakap
dalam mengatur dan mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum.
6.
Berani
dan tegas membeela rakyat dang menghadapi musuh.
7.
Keturunan
Quraisy.
Syarat kualifikasi tersebut ada satu poin yang menurut hemat
penulis, indentifikasi tidak dapat diketahui selama seorang tersebut memang
beluh resmi menjabat sebagai ahl al-imamah, jika memeng demikian dapat
diaratikan bahwa hal itu layaknya “uji kelayakan” sebelum resmi di sahkan,
yaitu syarat ke enam. Sedangkan syarat ke tujuh, kemungkinan besar al-Mawardi
masih mengunakan standar kualifikasi menurut fanatik kesukuan serta adanya
unsur untuk mempertahankan jabatan kekuasaannya yang kebetulan syarat
kualifikasian tersebut dibuatnya saat al-Mawardi menjabat sebagai petinggi
kerajaan, sehingga kemungkinan besar hal itu dilakukan untuk tetap
mempertahankan kekuasaan khalifah yang memberikannya suatu otoritas sebagai
hakim agung.
Sedangkan syarat kualifikasi bagi ahl al-ikhtiyar (yang
berhak memilih pemimpin) sebagai berikut:[35]
1.
Bersikap
adil
2.
Mempuyai
ilmu, sehingga mampu mengidentifikasi siapa yang berhak dan layak untuk
memangku jabatan pemimpin dengan syarat-syaratnya
3.
Memiliki
wawasan dan kearifan yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling mampu dan
pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat.
Pada poin ini, al-Mawardi memberikan keterangan tambahan,
diperbolehkan bagi seseorang (ahl al-ikhtiyar) yang berada di negara
dimana pemilihan imam berlangsung, memilih selain dari penduduk negaranya
sendiri dari penduduk negara lain, tetapi lebih utama kualitasnya jika memilih
dari dalam negerinya sendiri.[36]
Adapun lembaga ini dikenal juga dengan sebutan ahl al-halli wa al-aqdi
(lembaka yang berwenang untuk mengurai dan mengikat). Secara teknis, menurut
al-Mawardi, pemilihan pemimpin dapat ditempuh dengan dua cara berbeda pertama
melalui ahl al-halli wa al-aqdi dan atau melalui mandat penunjukan oleh
pemimpin sebelumnya.[37]
Dilihat dari mekanisme serta teksnis yang dirancang oleh al-Mawardi, terbilang
sebagai langkah yang benar, baik dalam agama yang memeng ia tidak menemukan
sumber baik dalam Al-Qur’an maupun hadis terkait mekanisme ataupun teksnis
pemilihan tersebut, tapi perlu di catat bukan berarti ketika tidak terdapat
dalam teks agama maka keputusan yang di ambil al-Mawardi salah ataupun batal,
lebih luas lagi keputusan itu diambil oleh al-Mawardi dari pengkajian
peristiwa-peristiwa yang diaktualisasikan sedangkan peristiwa tersebut
merupakan peristiwa yang terjadi dalam islam tentang realitis politik, terutama
sepeninggal Nabi.
Teknis pemilihan yang di rangang oleh al-Mawardi, merupakan rujukan
dari implementasi para shahabat, pada akhirnya secara tidak sadar bahwa hal itu
membentuk suatu pola yang mempunyai farian modelnya, pertama. Sisstem pemilihan
umum, seperti yang terjadi pada pengangkatan shahabat Abu Bakar. Kedua, sistem
mandat penunjukan secara langsung dari pemimpih sebelumnya, tetapi tidak serta
merta mengabaikan suara politik. Seperti yang terjadi pada saat pengangkatan
jabatan pemimpin yang terjadi pada shahabat
Umar bin Khatab. Ketiga, sistem pemilihan perwakilan, yang mana pemilihan
tersebut dilakukan oleh lembaga perwakilan yang dapat dipercayai dan dengan
kredibilitasnya. Lalu di promosikan kepada rakyat untuk disahkan, seperti yang
terjadi pada pengangkatan shahabat Utsman bin Affan.
Adapun standarisasi kuantitas orang yang berada dalam ahl
al-halli wa al-‘aqdi sehingga dapat sah dalam proses yang dilakukan.[38]
Pendapat pertama. Terdiri dari perwakilan dari seluruh wilayah negara. Pendapat
kedua. Setidaknya terdiri dari lima orang yang salah satunnya diangkat sebagai
pemimpin dalam lembaga tersebut. Landasar ketentuan tersebut diambil dari
peristiwa pengangkatan shahabat Abu Bakar sebagai khalifah, yang dipilih oleh
lima orang dan juga peristiwa pengangkatan shahabat Umar ibn khatab, yang
sebelumnya shabahat Umar lebih dahulu membentuk dewan fromatur yang terdiri
dari enam orang berkredibilitas untuk melakukan pemilihan sebagai penganti
kepemimpinan dirinya.[39]
Ketiga, setidaknya terdiri dari tiga orang. Keempat, paling tidak dilakukan
oleh seorang saja dan sah setujui, seperti peristiwa pengangkatan shahabat Ali
ibn Abi Thalib yang diangkat oleh shahabat Abbas seorang yang mana ia juga
paman shahabat Ali. [40]
Dalam suatu jabatan tentulah menjadi lazim ketika tugas yang menjadi
tangung jawabnya ikut mengikat jabatan tersebut, adapun tugas kewajiban yang
harus diemban oleh pejabat khususnya kepala negara, mencakup 10 tugas.[41]
1.
Menjaga
dasar-dasar agama yang telah disepakati ulama salaf.
2.
Menegakkan
keadailan, supaya tidak adak kesewenang-wenangan yang kuat menganiyaya yang
lemah dan yang lemah tidak merasa teraniaya.
3.
Menegakkan
hukum, supaya agama Allah dan hak-hak umat tetap terjaga.
4.
Menjaga
keamanan dan menjaga daerah kekuasaanya dari ganguan musuh danpenjahat,
sehingga umat bebas dan aman baik jiwa maupun harta mereka.
5.
Membentuka
kekuatan untuk menghadapai musuh-musuh, berjihad pada orang-orang yang
menentang islam setelah adanya dakwah, agar mereka mengakui eksisitensi islam.
6.
Menuntut
pajak dan sedekah menurut yang telah diwajibkan syara’, nash dan ijtihad.
7.
Mengatur
penggunaan harta baitul mal secara efektif.
8.
Mengangkat
pejabat-pejabat yang dipercaya dan mengangkat orang-orang yang berkompeten
untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang yang dia pegang.
9.
Melakukan
sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya.
10.
Meneliti
jalanya proyek sehingga is dapat melakukan kebijakan politik umat islam dengan
baik dan menjaga negara.
Keterangan lebih lanjut, jika jabatan imam telah diserahkan secara
resmi kepada seseorang, melalui regulasi yang disetujui disahkan secara legal,
maka seluruh umat islam harus mengetahui perpindahan jabatan tersebut dan
mengetahui kepada siapa jabatan imam tersebut berpindah, disertai dengan
sifat-sifatnya. Akan tetapi, bagi rakyat tidaklah harus mengetahui sosoknya
secara langsung dan juga namanya. Aturan tadi hanya berlaku wajib kepada
lembaga ahl al-halli wa al-‘aqdi selaku lembaga yang berwenang menentukan
pengangkatan pemimpin tersebut.
setelah pengangkatan imam oleh ahlu halli wal-aqdi dan
disertai telah mendapatkan Bai’at dari umat, dari pembai’atan tersebut
seketika imam atau khalifah telah mengikat janji (kontrak) dengan umat, yang
mana perjanjian tersebut merupakan komitmen untuk menjalankan kewajibannya
dengan tulus dan ikhlas, sedangkan perjanjian tersebut bagi umat merupakan
janji setia mematuhi dan mendukung khalifah ataupun imam yang berkuasa.
Kesepakatan tersebut di kenal dengan Teori Kontrak Sosial. Seperti yang telah
disinggung diatas, teori kontrak sosial yang dikenalkan oleh al-Mawardi ini,
bukan hal yang baru dalam dunia tatanegara hanya problem waktu. Gagasan teori
ini merupakan suatu buah emas yang diciptakan oleh intelektual cendekiawan
muslim pada penghujung abad IX M, dengan jelas sejarah menyatakan bahwa teori
kontrak sosial inilah lebih dahulu diciptakan dan dipraktekan oleh
ilmuan-ilmuan muslim, tidak hanya terorinya konsep dari ide tersebut pun sudah
ada terpraktekan dalam ketata negaraan politik islam, jauh berabad-abad
setelahnya baru dikemukakan kembali oleh ilmuan barat, tepatnya pada abad ke
XVI M, tujuh abad setelah teori tersebut pertama kali diciptakan. Adapun
ilmuan-ilmuan tersebut; Perancis, Hubert Languet (1519-1581). Inggris, Thomas
Hobbes (1588-1679). Inggris, John lock (1632-1704) dan Perancis, Jean Jacques
Rousseau (1712-1778).[42]
Kontrak sosial ini dibangun atas dasar sukarela secara sadar,
merupakan kontrak perejutuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah
pihak (al-ikhtiyar dan al-imamah) yang didasarkan kesadaran
adanya saling berhubungan secara timbal balik. Sebab itulah imam (kepala
negara) disamping berhak untuk ditaati oleh rakyat serta berhak mendapatkan
haknya dan juga berhak menuntut loyalitas penuh dari rakyatnya. Disisi lain ia
mempunyai tanggung jawab yang wajib dilaksanakan dipenuhi terhadap rakyatnya.
Ketaatan rakyat terhadap imamnya bersifat feksibel, akan hilang jika seorang
imam sudah tidak terbilang sebagai orang yang baik dengan semua kualifikasi
pada dirinya secara otomatis kedudukan imam juga akan ikut hilang. Secara
khusus sebab-sebab tersebut adalah;[43]
1.
Khalifah
atau imam kehilangan sifat adil, terbelenggu hawa nafsunya dan melakukan
kemungkaran.
2.
Khalifah
atau imam kehilangan kesehatan mental atau fisik.
3.
Khalifah
atau imam menjadi tawanan atau kekuasaanya tajuh ke pihak lain (musuh) sehingga
mengakibatkan kemerdekaan kedaulatan ikut hilang.
Dalam konsep kontrak sosial
sangat jelas bagaimana al-mawardi mencoba menentukan ciri khas suatu sistem
ketatanegaraan dengam membentuk suatu tatanan sosial yang kental akan nuansa
religiusnya dengan cara membentuk pribadi pribadi yang ta’at terhadap hukum
Allah, ajaran Rasul dan tata aturan knstitusi seorang pemimpin negara.
Tercermin dalam konsep kontara sosial yang dijalankan, yang mana kontrak
tersebut mempunya konsekuwensi pengikat selama tidak adanya hal yang
meruntuhkan kontrak tersebut.
Sedangankan kontrak tersebut berkaitan dengan asas dasar syarat
seorang pemimpin yang lolos dari kualifikasi pemilihan. Seperti yang telah
disebut diatas, konsekuwensi pengikat tersebut merupakan janji setia dalam
kesepakatan rakyat dengan imam yang terjadi ketika imam telah sah terbaiat
menjadi seorang imam yang telah melalui berbagai uji kelayakan kualitas secara
ketat. Tidak sampai disitu, kontrak sosial ini bermuatan sebuah kebijakan dari
imam dalam satu dasar rasa sukarela dalam pengabdian yang mana ras tersebut
juga merupakan salah satu asas dasar pendirian suatu negara. Dari bentuk terori
inilah al-mawardi tampak mendambakan
suatu negara yang apik dalam tatanan kenegaraan dengan kekhususan religus
sebagai warna suatu megara islam dengan segala perpolitikan serba islam.
Berdeba dengan farabi yang cenderung dalam setiap konsep terori
gagasanya serba sempurna sehingga tidak dapat dilakukan oleh manusi, sedangkan
al-Mawardi lebih mendepankan aspek fitrah kemausiaan dalam hubungan sosial yang
kerap saliang timbal balik, sedang dengan syarat kualifikasi yang cenderung
islami lunak dan tentunya tidak meninggalkan penilaian dengan melihat sisi
keumuman dalam manusi. Sehingga hasil dari konsekuwensi tersebutpun bernuansa
agamis dan dinamis.
Meskipun kualitas gagasan
konsep serta teori kontra sosial al-Mawardi sangatlah apik menarik perhatian,
perlu diketahui, bahwasanya kebanyakan sebuah konsep teori hanya dapat di
lakukan penerapanaya pada masanya. Tidak tercekuali konsep kenegaraan serta
kontrak sosial al-mawardi, sebab dasar sebuah konsep diproduksi tidak lain
sebagai respon terhadap persoalan yang melingkupi pada masanya serta pengaruh
peristiwa tersebut juga dapat mempengaruhi situasi pada masanya. Berdeda dengan
konsep ketata negaraan al-Mawardi yang menggunakan konsep imamah, konsep kontra
sosial ini kemungkianan besar masih dapat dijalankan tanpa menyentuh alur suatu
teknis mekanisme pemiliahan suatu kepala negara yang di gagas oleh al-Mawardi,
sebab konsep tersebut hanya membutuhkan beberapa poin pokok sebagai cara main
untuk dilaksanakan dan kebanyakan tampak diterapkan di zaman sekarang, adapun
poinnya.
1.
Ikatan
janji kedua belah pihak.
2.
Aturan
pelaksanan.
3.
Kesadaran
sukarela dalam melaksnakan janji dan aturan yang telah disepakati bersama.
Sedangakan konsep ketana negaraan yang ia istilahkan IMAMAH, menurut
hemat penulis konsep tersebut sudang usang dan tidak dapat di terapkan dimasa
sekarang, sebab tidak ada lagi sebuah wilayah kekuasaan suatu kerajaan islam
yang terpusat secara monarki, sedangkan itu umat muslim sudah terpisah ke
barbagai belahan dunia yang mana daerah (Negara) yang mereka tempati bukanlah
negara islam dengan segala aturan politik islamnya. Lebih jauh, hal ini
berdasarkan aturan yang saling bertolak belaka, sebab suatu negara mempunya
aturan konstitusi serja kebijakan politinya sendri, sehingga tidak dapat suatu
negara dalam satu atap kekuasaan , meskipun di negara negara tersebut dihuni
oleh orang-orang islam, seperti contoh di indonesia dengan segala kuantitas
muslim dan corak kultur khas islam nusantara. Keadaan seperti demikianlah
menjadi benteng yang menghalangi untuk pembentukan negara imamah. Perlu
ditegaskan kembali bahwa setiap negara mempunyai kebijakan politik luar negeri
masing-masing yang tidak mudah dinego apalagi dihancurkan. Hal ini menjadikan
anggapan bagi diri penulis, bahwa konsep imamah atau khilafah didapat diterima,
bukan dalam arti alasan konsep khilafah ala al-Mawardi tidak sah ataupun
menyalahi ajaran agama, melaikan hanya problem zaman yang berbeda dengan dulu
dan perkembangan aturan ketat negaraan yang semakin kompleks.
[1] H. Munawir Sjadzali,
M.A., Islam dan Tata Negara, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press, 1990), h. 9.
[2]Dr. Nasihun
Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran islam, (Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya, 2015), h. 26.
[3] Ibid, h. 37,
baca juga Abu hasan al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Mesir:
Pertcetakan Mushtafa al-Baqi al-halbi wa auladati, 1973), h. 37-40.
[4]Bai’at merupakan
bahasa arab yang berarti penepukan tangan ke tangan seseorang sebagai
pengukuhan (ijab) penjualan. Biasanya dilakukan dengan cara menjulurkan tangan
kanan ke depan dengan tapak tangan menghadap ke atas dan pembaiat menepuk dan
menjabatnya dengan posisi tetap pada posisi demikian. Saling membaiat dilakukan
dengan saliang menepuk tangan (tashafaqu) atau saling menjual (tabaya’u).
Berasal dari kaja jual (ba’a, yabi’u, bai’, bai’ah). Dalam islam baiat
artinya menepuk tangan sebagai tanda kewajiban penjualan, sebagai tanda membuat
kontra jual beli atau sebagai tanda ketaatan akan kesepakatan yang telah
diputuskan antara keduanya. Seseorang membaiat seseorang, artinya ia berjanji
kepada seseorang. Baca O. Hashem, Saqifah awal perselisihan, (Yogyakarta:
RausyanFikr, 2010), h.1-2.
[5] Ibid, h. 26.
[6] H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 1990), h.
21.
[7] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, Loc. Cit.
[8] Ibid, h. 27.
[9]H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, op. Cit. 58.
[10]Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, op. Cit, h. 30.
[11]Abu hasan al
Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Mesir: Pertcetakan Mushtafa al-Baqi
al-halbi wa auladati, 1973), Cover.
[12]Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[13] Ibid.
[14]H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit.
[15]Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[16]H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit
[17] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, loc.
Cit.
[18] H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit
[19] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[20] H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit
[21] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[22] Ibid
[23] H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h. 59.
[24] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, op. Cit. h.31
[25] ibid
[26] H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc.cit.
[27] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, Loc. Cit.
[28] Ibid, h. 26
[29] Ibid, h. 38.
[30] H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h. 60.
[31] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, op. Cit. h.32.
[32] H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit.
[33] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[34] Ibid, h. 34.
[35] Ibid, h. 35
[36] Abu hasan al
Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Mesir: Pertcetakan Mushtafa al-Baqi
al-halbi wa auladati, 1973), h. 6.
[37] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[38] Ibid, h.36.
[39] H. Munawir
Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h. 25 dan 64.
[40] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit. dan H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan
Tata Negara, op. Cit. h. 64.
[41] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, op. Cit. h. 37.
[42] Ibid, h. 38.
Juga H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, h. 67.
[43] Dr. Nasihun
Amin, sejarah perkembangan, op. Cit. h. 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar