Minggu, 19 Maret 2017

Pemikiran politik sunni masa klasik: al-Mawardi dalam konsep “Membangun ketaatan melalui kontrak sosial”



 BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran politik sunni masa klasik: al-Mawardi dalam konsep “Membangun ketaatan melalui kontrak sosial”

A.    Latar belakang
Pemikiran merupakan suatu aktifitas otak dalam menganalisis, menghayati, menelaah sebuah hal yang mana terkadang aktifitas tersebut bertujuan untuk memperoleh suatu solusi alternatif atau juga diperuntukan mencari bahkan membuat ide, gagasan, kreasi baru sebagai suatu yang dapat di pergunakan. Dalam kamus besar bahasa indonesia kata pemikiran di tegaskan sebagai proses, cara, perbuatan memikir. Berbeda lagi ketika kata “Pemikiran”-diperkembangannya sudah tidak menjadi kata, melainkan istilah- di sandingkan dengan istilah yang populer dalam dunia pemerintahan ataupun kekausaan yang berdaulat, yaitu “Politik”, makna penjelasan dari dua istilah tersebut juga akan bermakna tunggal dan tidak terpenggal dalam pengertiaannya.
Seiring perkembangan pengetahuan, dua istilah tersebut semakian menarik perhatian untuk di perbincangkan serta diploklamirkan pada berbagai redaksi pembahasan yang mengikat pembahsan tersebut. Seperti halnya pada kajian ilmiah, baik diskusi maupun seminar dan lain sebagainya. Dalam hal ini, tidak asing lagi di benak kita bahwa istilah tersebut sudah sering di sandingkan dengan pembahasan dunia islam atau dengan kata lugasnya, pemikiran politik islam, yang mana istilah tersebut kemungkinan besar akan sering dijumpai pada pembahasan kali ini sebab istilah tersebut lah yang akan mewarnai dalam pembahasan kali ini.
Pemikiran politik islam, telah berkembang sejak masa dimana Nabi Muhammad mulai berhijjah lalu mukim di Yathrib yang nantinya dikenal dengan nama Madinah, tepatnya saat pengkukuhan piagam madinah, yang mana maksud dari politik islam disini, ialah sebuah aturan baru sekaligus cikal bakal sebuah negara yang berasaskan ajaran islam atau negara islam.[1] Dan dari sebab itulah istilah “pemikiran politik islam” dikait eratkan dengan istilah “negara” yang dapat dibilang sebagai suatu wujud konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara islam dalam aturan ketata negaraan. Lebih sepesifik mengungakap istilah pemikiran politik islam, Nasihun Amin memberiakan penjelasan secara tegas bahwasahnya pemikiran dalam dunia islam pertama kali yang muncul adalah politik,[2] kemungkinan stetemen tersebut dapat membuat tercengang bagi setiap orang yang telah lama mapan akan sebuah pemahaman dogmatis bahwa pemikiran keislaman ataupun ajaran agama islam yang pertama adalah ketauhidan atau teologi, baik pemikiran yang murni dari wahyu ataupun wujud penjelasan sebuah hadis, perlu di sepakati terlebih dahulu bahwa wahyu pun pada dasarnya sebuah pemikiran, yang mana  Nabi peroleh dari Allah, melalui rangkaian transformasi dari kalam ilahiyyah yang berada pada dimesi uluhiyyah ke dimensi makhluk melalui perantara malaikat yang dapat menembus berbagai dimensi tidak terkecuali dimensi makhluk, yang mana sampailah kepada nabi. Dari Nabilah sebuah wahyu dapat dipersepsikan sama dengan pemikirasn, sebab dalam kejadian itu, Nabi sendiri mencoba dengan segala kekuatan pikirannya untuk menerjemahkan wahyu tersebut kedalam bahasa makhluk yaitu bahasa arab dari kalam ilahiyyah yang tidak berhuruf berharokat bahkan bersuara.
Seiring perkembangan zaman, pemahaman serta penempatan istilah tersebut menjadi lebih sempit dalam penggunaannya, yang mana istilah tersebut (baca: pemikiran) lebih menggarah pada ranah dialektika keilmuan secara masif, bahkan dapat dibilang sebagai kepastian yang mutlak dalam ranah dialektika keilmuan pada koridor dimensi makhluk tanpa menyangkut dimensi Uluhiyyah.
Seperti yang telah di singgung diatas, bahwa pemikiran politik islam mulai mendapatkan ruang untuk dapat mengeksisitensikan[3] diri bahwa islam itu ada dan berhak mendapatkan pengakuan defacto maupun dejoure, melalui adanya sebuah perwujudan aturan ketatanegaraan dan keamanan yang konkret. Bermula dari piagam madinah inilah, perkembangan pemikiran politik islam mulai berkembang, yang diprakarsai oleh Nabi muhammad sebagai seorang rasul sekaligus pemimpin suatu negara yang baru didirikan. Kondisi ini semakin berlanjut dari masa ke masa selajutnya serta pergantian kepala negara sebagai penerus tongkat estafet dari generasi awal yaitu Nabi sendiri dan terus berlanjut sampai masa daulah al islamiyah (baca: Bani).
Dalam sebuah masa kepemimpinan dapat dipastikan terdapat pasang surut perselisihan, baik dari segi pengertian positif maupun negatif, hal ini dikarenakan terjadinya perbedaan pendapat, ketidak sepakatan atas kebijakan, strategi maupun peraturan. Seperti halnya yang terjadi pada pengujung pemerintahan Nabi selaku rasul sekaligus kepala negara, yang mana kursi jabatan kepala negara serta imam dalam kegamaan belum mendapatkan tuan sebagai sandaran titel. Meskipun pada masa itu nabi telah wafat, secara umum dapat dikatakan bahwa selesai juga masa kekuasaan Nabi dalam bidang ketata negaraan dan tugas rasul. Akan tetapi, menurut hemat penulis, situasi tersebut (baca: wafat Nabi) tidak menghilangkan kedudukan Nabi sebagai rasul sekaligus kepala negara, dengan batas sampai ditetapkannya seseorang untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Nabi, yang disahkan dengan pembaiatan[4] secara daulat.
Situasi tersebut menurut sebagian pengamat, merupakan situasi sulit dalam penentuan kepemimpinan. Pasalnya pra wafat Nabi, Nabi tidak memberikan wasiat tentang siapa yang akan memimpin agama dan negara sepeninggal Nabi,[5] bahkan tidak ditemukan dalam sejarah tentang cara baku pemilihan penentuan kepemimpinan sepeninggal Nabi.[6] Dari dasar itulah menyebabkan timbulnya konflik perdebatan yang sangat serius dan dari perdebatan ini melahirkan dua pemikiran yang saling berhadapan secara diametral.[7] Satu sisi kelompok yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah menujuk kepada siapapun sebagai pengantinya kecuali meminta Abu Bakar untuk mengantikannya sebagai imam shalat saat kesehatan nabi semakin memburuk, kelompok tersebut akhirnya di sebut Sunni.
Dari situ konsep musyawaroh mufakat sebagai muktamar luar biasa dalam dunia perpolitikan islam mulai terbentuk secara sepontan yang terjadi di saqifah Bani Sa’idah,[8] denga hasil musyawaroh ditetepkanlah Abu Bakar sebagai penerus kepemimpinan. Hal serupapun terjadi pada Umar dengan cara musyawarah mufakat, tetapi kali ini berbeda dengan yang terjadi di masa pengangkatan Abu Bakar, yang mana musyawarah ini lebih tertutup. Tidak berbeda jauh dari pengangkatan Utsaman, sedangkan pada masa pengangatan Ali, cenderuh konsep musyawarah mufakat kian luntur yang disebabkan berbagai faktor. Dari situasi semua itu, sebuah pergolakan seingat dalam dunia politik islam makian kental, dengan di tandai lahirnya berbagai pemikir bahkan golongan, baik sebagai pro pemerintahan maupuan kubu oposisi. Hal ini berlanjut sampai beradab-abad, tidak terkecuali saat menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI, dengan ditandai kekuasaan Bani Abbas[9]. Yang cukup menaraik di abad tersebut adanya konsep sonsep baru dalam politik islam bertata negara, yang diprakasai oleh Abu Hasan al-Mawardi selaku hakim agung sekaligus ulama yang di senangi di percayaai oleh penguasa bani abba.
Banyak pergolakan yang terajadi di masa al-Mawardi hidup serta banyak jua teori dan konsepsi ketata negaraan yang ia usung. Untuk itu penulis akan mencoba mengurai menjalaskan aspek-aspek yang melingkupi dinamika pada masa kehidupan al-Marwardi, Konseptor KHILAFAH ALA SUNNI. Yang akan di bahas.
B. Rumusan
1. Biografi al-Mawardi.
2. Pemikiran politik sunni masa klasik: al Mawardi dalam konsep “Membangun ketaatan melalui kontrak sosial”
BAB II
PEMBAHASAN
C. Uaraian Materi
1. Biografi al-Mawardi
Nama lengakap al-Mawardi adalah Ali ibn Muhammad ibn Habib, nama julukan Abu Hasan al-Mawardi.[10] Atau dengan redaksi Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi[11], ia lahir pada tahun 364 H/975 M di Bashrah, Baghdad dan meninggal pada tahun 450 H/ 1058 M[12] kemungkinan dimakamkan di Bashrah. Ia dibesarkan dalam keluarga arab yang memproduksi serta menproduksi air sari mawar, dan dari sebab itu, nisbat julukan al-Mawardi melekat padanya.[13] Dia seorang pemikir islam yang terkenal, tokoh terkemuka madzhab as syafi’i dan sekaligus pejaban tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah.[14] Pengalaman aktifisnya, adalah menjadi hakim di berbagai tempat secara berpindah-pindah dan pada akhirnya kembali ke Baghdad disertai pemberian kedudukan khalifah Qadir dari penguasa saat itu.
Ia hidup pada masa khalifah al-Qadir Billah (381-422H) dan khalifah al-Qaim Billah (422-467H),[15] pada penghujung abad X sampai pertengahan abad XI M.[16] Pada saat itu situasi perpolitikan duia islam tidak setabil, imbasnya dunia islam terbagi menjadi tiga kubu kerajaan, seperti di Mesir berdiri Dinasti Fatimiyyah, di Spanyol berdiri Dinasti Bani Umayah, dan daerah Timur yang secara umum terdapat Bani Abbasiyah,[17] bila kita telisik kebelakang, akan dapat kita jumpaik bagaimana kehabatan Baghdad zaman lalu yang kaya akan sebuah peradaban islam sekaligus pusat dari peradaban itu sendiri serta poros negara islam, bahkah Munawir mengabarkan bahwa khalifah di Baghdad merupakan otak peradaban dan sekaligus jantuang negara dengan kekuasaan dan wibawa yang menjangkau semua penjuru dunia islam.[18]
Kendati demikian polemeik perpolitikan pada masa al-Mawardi sangat kental terasa dengan adanya perseteruan antara tiga kerajaan islam yang mendominasi perperangan dalam internal islam, polemeik tersebut sering kali menimbulkan hasrat untuk saling menyerah dan menghancurkan.[19] Di sisi lain kedudukan khalifah dalam internal daulah di Baghdad mengalami kelemahan, ditandai dengan adanya unsur perebutan serta pembagian kekuasaan secara perlahan yang dilakukan para panglima-panglima berkebangsaan Turki ataupun Persi terhadap kekuasaan khalifah, sehingga mengakibatkan semakin menurunnya kharisma khalifah selaku kepala negara. Lebih lanjut, keadaan tersebut mengakibatkan hilangnya fungsi khalifah secara masif dalam pemerintahan, hal ini juga di sebabkan oleh faktor wilayah kekuasaan yang semakin meluas, sehingga menjadikan jabatan khalifah hanya sebagai kepala negara yang resmi tetapi dengan kekuasaan formal, sedangkan kekuasaan sebenarnya di peganag dan di kendalikan oleh pelaksana pemerintahan yang mana mereka merupakan para pejabat tinggi dan panglima yang berkebangsaan Turki ataupun Persi, serta penguasa-penguasa wilayah.[20] Meskipun demikian bibit-bibit pemberontakan yang diwujudkan dengan pengulingan kekuasaan khalifah sudah sangat tercium dan akan muncul kepermukaan. Dasar pergerakan ini tentulah tidak semata-mata sebagai unsur perbutan wewenang kekusasan saja, melaiankan lebih dari itu yang mendasarinya.
Menurut hemat penulis, terdapat unsur fanatik kesukuan dalam kedudukan khalifah yang mana memeng kenyataanya jabatan khalifah merupakan waris mewaris secara koheren dalam keluarga kerajaan berkebangsaan Arab, dengan fakta laian bahwa kebanyakan kursi jabatan strategis pemerintahan sudah banyak terduduki oleh bangsa Turki atau persi, hal ini juga menjadi penyebab keberaniaan bagi bansa Turki atau Persi untuk mengambil alih kekuasaan khalifah secara untuh ketangah bangsa mereka sendiri. Selaian itu ada faktor lain yang menimbulkan keruwetah konstan ini, yaitu faktor teologis. Seperti yang diungkapkan oleh Nasihun Amin, bahwa sesungguhnya Baghdad berada di kekuasaan Bani Buwaih (baca: oarang Turki atau Persi) sedangakan Bani Buwaih sendiri merupakan orang Syi’ah fanatik dan radikal, mereka juga menguakan kekuasaan untuk menekan Umamat demi kelancaran apik dalam terselenggaranya kebijakan yang mereka usung.[21]
Dari berbagai faktor yang bertangung jawab atas polemik yang ada, dapat di katakan sebagai alasan dasar sesosok intelektual cendekiawan berkelas; al-Mawardi, ikut serta mewarnai dinamika kekuasan sebagai ahli perpolitikan sekaligus hukum keislaman dengan menggunakan karya-karya gemilangnya berwujud buku dan memang pada kenyataanya al-Mawardi merupakan sosok yang produktif dalam keilmuan.
Sejarah perjalanan keilmuannya sangat memukau, dengan diawalinya memperdalam keilmuan hukum di Bashrah dengan seorang ahli hukum yang bernama Abu al-Qasim Abdul Wahid as-Saimari sebagai guru privatnya. Setelah dirasa cukup dalam memperdalami ilmu hukum, al-Mawardi pinda ke Baghdad untuk melanjutkan study hukum, dan kemungkinan keputusan itu diambil sebagai langkah awal al-Mawardi menekuni dunia hukum dengan melihat secara langsung untuk mengaplikasikan teori-teori keilmuan yang didapatinya pada daerahnya sendiri. Secara singkat sejarah menyebutkan bahwa al-Mawardi merupakan sosok yang cerdah dengan dibuktikannya atas kemampuannya dapat dengan cepat menguasai disiplin keilmuan yang beragam seperti, Hadis, politik, etika, sastra,[22] ilmu bahasa, Tafsir, Fiqh dan ketatanegaraan.[23]
Kecakapannya dalam bidang hukum dibuktikannya melalui kelibatannya secara praktis di lembaga pengadilan di Baghdad,yang jelas sekali bahwa Mawardi sudah mulau mengawali karirnya selaku politikus dalam dunia pemerintahan. Pada 429 H, kredibilitasnya semakin terlihat dengan ditandai terangkatnya menjadi Hakim agung qadhi al-qudhat sampai akhir hayatnya. Tidak sampai di situ, biografi karirnya terukir jelas dalam sejarah yang mana perolehan jabatan sebagai penasehat khalifah dalam bidang keagamaan dan pemerintahan.[24] Kegemilang karirnya, dapat terbilang sebagai barometer kepiawaiannya dalam urusan intelektual dan politik, sehingga menjadikan dirinya sebagai salah satu masterpiece sejarah peradaban islam sekaligus sebagai the finding father konsep-konsep baru dalam dunia keilmuan. Tidak hanya itu, al-Mawardi juga sangat kharismatik di segani di hormati oleh barbagai golongan bahkan lintas teologian. Seperti fakta  bahwa al-mawardi sangat di hormati oleh Bani Buwai selaku kelompok Syi’ah dan oleh Bani Abbas selaku kelompok Sunni, sebab kerap kali al-Mawardi menjadi mediator antara dua kubu tersebut untuk menengahi tatkala dua kubu tersebut besitegang dan mengingakan perundingan, menurut hemat penulis bahwa hal ini disebabkan kemampuan intelektual serta keahliannya bernegosiasi sebagai sosok yang ahli dalam diplomasi.
Seperti yang telah di singgung di atas, bahwa al-Mawardi merupakan pribadi yang produktif. Keproduktifannya di tunjukannya dengan buku-buku berkelas berbobot, seperti salah satunya:
a.       Al-Ahkam al-Sulthaniyyah (hukum-hukum tata negara)
b.      Adab al-Dunya wa al-Din (etika kehidupan dunia dan agama)[25]
c.       Qawanin al-Wuzarah, Siyasah al-Malik( ketentuan-ketentuan kewaziran, politik raja)[26]
Dua dari tiga nama buku tersebut sudah terkenal di masyarakat indonesia sampai sekarang, sedangkan muatan buku-buku tersebut adalah fiqih politik. Di penghujung Rabi’ul awwal tahun 450 H hari selasa, al-Mawardi wafat di usia 86 tahun. Janazahnya dimakamkan si pemakamam Bab Harb dan di shalati oleh Al-Imam al-Khatib al-Baghdadi.[27]

2. Pemikiran politik sunni masa klasik: al Mawardi dalam konsep “Membangun ketaatan melalui kontrak sosial”
Politik dalam pengertian umum merupakan beragam kegiatan dalam suatu sistem yang menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan. Dalam diskursus poltik, perlu kita ketahui bahwa terdapat dua konsep utama yaitu wewenang dan kekuasaan. Dari dua konsep itulah yang dapat memungkinkan bagi seiapapun yang memeganagnya dapat melakukan tindakan secara efisien dan efektif, sehingga apa yang ditargetkan dapat lebih mudah tercapai.[28] Seperti yang sudah di singgung lebih dahulu bahwa situasi politik pada masa al-Mawardi sangat ruwet bahkan lebih parah dari pada masa dimana Farabi hidup, (Munawir Sjadzali: 1990, 58). Menurut hemat penulis, hal ini lah yang melatar belakangai hiroh al-Mawardi untuk semaksimal mungkin untuk tampil kepermukaan sebagai intelektual berkualitas dengan membawa berbagai pembaharuan serta perubahan konsep-konsep dalam berbagai disiplin keilmuan, terutama keilmuan hukum dan tata negara. Dalam hal ini, al-Mawardi menawarkan beberapa konsep baru dalam hukum dan tata negara tentunya dengan dasar agama sebagai penyeimbang.
Kontrak Sosial. Konsep tersebut kedengaran asing bahkan dapat menimbulkan berbagai anggan pertanyaan, jika konsep Kontrak sosial di sandingakn dengan al-Mawardi apa lagi langsung dinyatakan konsep Kontra Sosial al-Mawardi. Pengetahuan ini bukan karena baru di konsepkan, melainkan hanya problem waktu dalam reedukasi tentang konsep tersebut dan untuk diangkat ke permukaan. Kita mengetahui bahwa al-Mawardi bukan hanya seorang ulama (baca: pemuka agama islam) melainkan juga seorang politisi dan hakim, menjadikan al-Mawardi terkenal sebagai seorang yang completeness dalam segala bidang keilmuannya.
Kontra sosial, terjadi setelah pengangkatan imam oleh ahlu halli wal-aqdi dan disertai telah mendapatkan Bai’at dari umat, dari pembai’atan tersebut seketika tersebut imam atau khalifah telah mengikat janji (kontrak) dengan umat, yang mana perjanjian tersebut merupakan komitmen untuk menjalankan kewajibannya dengan tulus dan ikhlas, sedangkan perjanjian tersebut bagi umat merupakan janji setia mematuhi dan mendukung khalifah ataupun imam yang berkuasa.[29] Adapun penjelasan rincinya akan dibahas belakangan.
Masih sama pemikiranya dengan pendahulu-pendahulunya, al-mawardi juga menyakini bahwa manusi merupakan makhluk sosial, kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi jika hanya mengandalkan diri pribadi seorang. Seperti yang kita ketahui bahwa manusia sanggat sulit bahkan tidak mungkin memenuhi segala kebutuhannya hanya dengan usahanya sendiri, dalam arti lain bahwa manusia merupakan makhluk yang lemah. Sebagaimana Plato, Aristoteles dan ibnu Abi Rabi’,[30] al-Mawardi juga sependapat dengan mereka atas penjelasan konsep yang ia usung. Meskipun kesamaan tersebut sangat nampak, tetapi ada suatu pebedaan yang sangat nyata dalam pemikirnya dengan pemikir terdahulunya, yaitu kepribadian agamisnya. Penggaruh keagamisannya menentukan corak pemikirannya dalam menyusun konsep yang terbuktikan dengan adanya unsur-unsur agama dalam penjelasan konsepnya. Al-Mawardi memberikan garis bawah, bahwasahnya manusia diciptakan oleh Allah dengan segala kelemahannya yang bertujuan supaya manusia menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan sang pencipta keadaan dan kuasa akan sebuah kehendak, bukan makhluk yang kuasa dan mampu atas segala hal, maka dari itu Allah telah memeberikan solusi untuk selalu meminta pertolongan kepadanya dalam segala usaha dan urusan, lebih dari itu, esensi yang terkandung merupakan pelajaran bagi manusia agar tidak menjadi pribadi yang akuh ataupun sombong atas jabatan dan kekuasaanya. Bahkan al-Mawardi berpendapat, manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain, dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Berbeda dengan binatang-binatang, mereka dapat hidup tanpa ketergantungan terhadap binatang lainya dan secara mandiri dapat lepas dari bantuan binatang sejenisnya. Sedangkan manusia selalu memerlukan manusia lain dan ketergantungannya satu sama laian merupakan sesuatu yang tetap dan langgeng, (H. Munawir sjadzali: 1990, 60). Nasihun Amin menambahkan bahwa disamping karakter manusia yang lemah  akan kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhanya sendiri, manusia juga memepunyai perbedaan kemampuan individual (bakat, kecenderungan dan kemampuan).[31] Dalam hal ini, al-Mawardi memberikan penjelasan bahwa perbedaan bakat, pembawaan serta kemampuan antra manusia dengan lainnyyalah menjadi pendorong bagi mereka untuk saling membantu, jika saja misalnya manusia tidak ada perbedaan satu dengan lainnya, baik bakat, kecenderungan, pembawaan, serta kemampuan, maka tidak mungkin mereka saling membantu dan bahkan tidak memerlukan bantuan, sebab semua kebutuhnya dapat dicukupi dan dikerjakan oleh dirinya sendiri.[32]
Dari adanya kesadaran perbedaan tersebut, memungkinkan terjadianya hubungan simbiosis mutualisme, bantu membahu gotongroyong dalam persatuan pada garis yang sama “saling membutuhkan” untuk “saling melengkapi”. Kebutuhan untuk melengkapi, membantu serta bekerjasama ini muncul dari tingkatan terkecil sampai tingkatan terbesar, dan dari sektor tersempit sampai sektor terluas. Dari sinilah asas-asas kesamaan yang di kumpulkan menjadi suatu negara, dengan berlandaskan hajat untuk mencukupi kebutuhan mereka bersama.[33] Apapun cara bagaimana untuk saling membantu dan tentang bagaimana mengadakan suati ikatan satu sama lain, Munawir memberikan penjelasan melalui analisanya. Dalam keadan demikian, suatu yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan tersebut, jawabanya adalah otak. Dengan alasan bahwa Allah memberikan kepada manusia otak/pikiran untuk digunakan sebagai penuntun berprilaku tertantu yang tentunya manfaat bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Lebih jauh, nilai yang terkandung dari gagasan tersebut tidak lain merupakan seruan agar manusia dapat menempatkan diri secara proporsi yang balance antara kebahagiaan di dunia dan kesejateraan di akhirat kelak.
Mengingat alasan dasar terbentuknya negara untuk mengatu hubungan kerjasam antar manusia, maka dari itu perlulah penopang dengan pilar-pilar kuat agar dapat terwujudnya tujuan yang diharapkan. Dalam buku sejarah perkemangan pemikiran islam karya Nasihun Amin, di sebutkan pilar-pilar tersebut serta semua yang menyangkut tentang konsep kenegaraan serta konsep kontra sosial al-Mawardi. Yaitu;
1.      Agama yang dianut dan dihayati sebagai kekuatan moral sebagai sisitem kendali dan pengawasan.
2.      Penguasa yang kharismatik, berwibawa dan dapat dijadikan teladan yang diharapkan menjadi intrumen yang efektif untuk tujuan bersama.
3.      Keadilan yang menyeluruh yang tidak membedakan seluruh komponen masyarakat.
4.      Keamanan yang merata yang meliputi seluruh wilayah, sehingga tidak ada rasa was-was dan takut untuk beraktifitas.
5.      Kesuburan tanah yang berkesimbuangan yang menjamin tercukupinya kebutuhan.
6.      Harapan kelangsungan hidup yang memungkinkan manusia untuk tetap kreatif dalam rangka melanjutkan proses regenerasinya.
Pada eman pilar pokok yang di ungkapkan al-Mawardi serta telah dikutip oleh Nasihun Amin dalam bukunya, dapat difahami bahwasahnya, pertama. Agama menjadi sistem pengendali sekaligus pengawas dalam segala aktifitas, yang mana Agama akan bekerja mengatur seluruh jalanya aktifitas dengan disertai kekuatan hukum penimbang keputusan dalam bertindak dan juga sebagai benteng melingkar dalam aktifitas, dengan menonjolkan penyeleksian sebagai barometer fungsi pengawasan. Seperti halnya sila pertama dalam ideologi kebangsaan indonesia “PANCASILA”, rakyat indonesia dituntut melaksanakan segala aktifitasnya dengan merujuk pada dasar aturan ajaran agama masing-masing. Kedua, kekuasaan yang berkharisma berwibawa menjadikan suatu pengikat tanpa syarat secara otomatis tanpa sadar, yang mana sikap “otomatis tanpa sadar” tersebut tercipta ketika timbul suatu rasa penghormatan lebih terhadap seseorang yang telah merasuki pada diri si pemberi penghormatan, melaui tindakan, perbuatan maupun sifat kepribadian yang ditunjukan pada seseorang si pemberi penghormatan. Seperti itu sama halnya yang terjadi di rana sektor kecil dalam dunia pesantren. Santri akan serta merta “sendiko dawuh, dumateng kiyai” tunduk patuh pada guru ngajinya (baca: kiyai) tanpa bantahan, hal ini disebabkan adanya persepsi kemuliaan yang ada pada diri seorang guru ngajinya, baik ilmu maupun prilaku. Fenomena tersebut dapat menjadi sebuah “politik” untuk mengarahkan santri menjadi sosok yang diharpkan seorang guru, hal ini pun terjadi pada tradisi thariqoh –dalam pengertian lembaga- antara murid atau salik dengan mursyidnya.
Ketiga. keadilah yang menyeluruh, menciptakan suatu tatanan kehidupan yang apik juga dinamis yang ditopang dengan hukum-hukum yang berlaku, sehingga dapat membentuk pribadi yang tangungjawab, proposional dan jujur dalam menjalankan tugas serta amanat. Seperti dalam dunia militer, antara antasan dan bawahan mendapatkan posisi yang sama dalam mamatuhi aturan protokol keamanan militer. Keempat. Keamanan yang merata, menjadikan suasana yang nyaman serta kondusif disetiap sendi-sendi kehidupan tanpa adanya kriminalisasi, diskriminasi dan eksploitasi. Seperti halnya di setiap negara yang dapat menerapkan keamanan yang menyeluruhdi barbagai sektor, baik sektor ekonomi, militer, kedaulatan maupun politik.
Kelima. Kesuburan tanah yang bersimabungan, ketentuan itu dapat menciptakan suatu kesejateraan terutama sektor pangan bagi semua rakyat dan dapat berimplemtasi pada ketahanan keamanan secara masif. Karena ketentuan tersebut menyakut asupan gizi, nutrisi serta pangan kepada semua line kehidupan. Keenam. Harapan kelangsungan hidup, dapat menciptakan semangat kebersamaan untuk membangung memenuhi tujuan bersama secara aman, nyaman dan sejatera.
Adapun untuk mengatur suatu negara sangat diperlukan  adanya sistem, yang mana al-Mawardi mengenalkan sistem imamah (kepemimpinan) yang baik. Yang diemban oleh khalifah, al-Rais (pemimpin), al-Mulk (raja), al-Sulthan (penguasa) atau Qaid al-Daulat (kepala negara). Dalam hal ini, al-Mawardi tidak lupa memasukan unsur keagamanan dalm jabatan-jabatan tersebut. Al-Mawardi menyatakan bahwa “Imamah dibentuk untuk mengantikan fungsi kenabian, guna memelihara agama dan mengatur dunia” (Dr. Nasihun Amin: 2015, 33). Stetemnt tersebut dapat menyimpulkan bahwa jabatan Imam merupakan kepemimpinan dalam agama dan sekaligus kepemimpinan politik.
Dalam pandangan al-Mawardi, mekanisme pemilihan pemimpin yang baik harus melibatkan dua lembaga yaitu ahl al-imamah (yang berhak dipilih sebagai pemimpin) dan ahl al-ikhtiyar (yang berhak memilih pemimpin), penentuan dua kubu tersebut juga menggunakan mekanisme kualifikasi sesuai dengan syarat-syarat yang ada. Adapun kualifikasi pemilihan orang-orang yang berhak menjadi ahl al-imamah (pemimpin) sebagai berikut:[34]
1.      Adil dalm pengertian yang luas.
2.      Berilmu agar dapat melakukan ijtihad di dalam mengahadapi berbagai persoalan yang dihadapi.
3.      Sehat pendengaran, pengelihatan dan lisannya, sepaya dapat mampu beruusan langsung dengan taggung jawabnya, buka melalui pihak lain.
4.      Sehat badan, sehingga tidak terhalang untuk melakukan berbagai aktivitas, gerak dan langkah cepat.
5.      Cakap dalam mengatur dan mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum.
6.      Berani dan tegas membeela rakyat dang menghadapi musuh.
7.      Keturunan Quraisy.
Syarat kualifikasi tersebut ada satu poin yang menurut hemat penulis, indentifikasi tidak dapat diketahui selama seorang tersebut memang beluh resmi menjabat sebagai ahl al-imamah, jika memeng demikian dapat diaratikan bahwa hal itu layaknya “uji kelayakan” sebelum resmi di sahkan, yaitu syarat ke enam. Sedangkan syarat ke tujuh, kemungkinan besar al-Mawardi masih mengunakan standar kualifikasi menurut fanatik kesukuan serta adanya unsur untuk mempertahankan jabatan kekuasaannya yang kebetulan syarat kualifikasian tersebut dibuatnya saat al-Mawardi menjabat sebagai petinggi kerajaan, sehingga kemungkinan besar hal itu dilakukan untuk tetap mempertahankan kekuasaan khalifah yang memberikannya suatu otoritas sebagai hakim agung.
Sedangkan syarat kualifikasi bagi ahl al-ikhtiyar (yang berhak memilih pemimpin) sebagai berikut:[35]
1.      Bersikap adil
2.      Mempuyai ilmu, sehingga mampu mengidentifikasi siapa yang berhak dan layak untuk memangku jabatan pemimpin dengan syarat-syaratnya
3.      Memiliki wawasan dan kearifan yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat.
Pada poin ini, al-Mawardi memberikan keterangan tambahan, diperbolehkan bagi seseorang (ahl al-ikhtiyar) yang berada di negara dimana pemilihan imam berlangsung, memilih selain dari penduduk negaranya sendiri dari penduduk negara lain, tetapi lebih utama kualitasnya jika memilih dari dalam negerinya sendiri.[36] Adapun lembaga ini dikenal juga dengan sebutan ahl al-halli wa al-aqdi (lembaka yang berwenang untuk mengurai dan mengikat). Secara teknis, menurut al-Mawardi, pemilihan pemimpin dapat ditempuh dengan dua cara berbeda pertama melalui ahl al-halli wa al-aqdi dan atau melalui mandat penunjukan oleh pemimpin sebelumnya.[37] Dilihat dari mekanisme serta teksnis yang dirancang oleh al-Mawardi, terbilang sebagai langkah yang benar, baik dalam agama yang memeng ia tidak menemukan sumber baik dalam Al-Qur’an maupun hadis terkait mekanisme ataupun teksnis pemilihan tersebut, tapi perlu di catat bukan berarti ketika tidak terdapat dalam teks agama maka keputusan yang di ambil al-Mawardi salah ataupun batal, lebih luas lagi keputusan itu diambil oleh al-Mawardi dari pengkajian peristiwa-peristiwa yang diaktualisasikan sedangkan peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang terjadi dalam islam tentang realitis politik, terutama sepeninggal Nabi.
Teknis pemilihan yang di rangang oleh al-Mawardi, merupakan rujukan dari implementasi para shahabat, pada akhirnya secara tidak sadar bahwa hal itu membentuk suatu pola yang mempunyai farian modelnya, pertama. Sisstem pemilihan umum, seperti yang terjadi pada pengangkatan shahabat Abu Bakar. Kedua, sistem mandat penunjukan secara langsung dari pemimpih sebelumnya, tetapi tidak serta merta mengabaikan suara politik. Seperti yang terjadi pada saat pengangkatan jabatan pemimpin yang  terjadi pada shahabat Umar bin Khatab. Ketiga, sistem pemilihan perwakilan, yang mana pemilihan tersebut dilakukan oleh lembaga perwakilan yang dapat dipercayai dan dengan kredibilitasnya. Lalu di promosikan kepada rakyat untuk disahkan, seperti yang terjadi pada pengangkatan shahabat Utsman bin Affan.
Adapun standarisasi kuantitas orang yang berada dalam ahl al-halli wa al-‘aqdi sehingga dapat sah dalam proses yang dilakukan.[38] Pendapat pertama. Terdiri dari perwakilan dari seluruh wilayah negara. Pendapat kedua. Setidaknya terdiri dari lima orang yang salah satunnya diangkat sebagai pemimpin dalam lembaga tersebut. Landasar ketentuan tersebut diambil dari peristiwa pengangkatan shahabat Abu Bakar sebagai khalifah, yang dipilih oleh lima orang dan juga peristiwa pengangkatan shahabat Umar ibn khatab, yang sebelumnya shabahat Umar lebih dahulu membentuk dewan fromatur yang terdiri dari enam orang berkredibilitas untuk melakukan pemilihan sebagai penganti kepemimpinan dirinya.[39] Ketiga, setidaknya terdiri dari tiga orang. Keempat, paling tidak dilakukan oleh seorang saja dan sah setujui, seperti peristiwa pengangkatan shahabat Ali ibn Abi Thalib yang diangkat oleh shahabat Abbas seorang yang mana ia juga paman shahabat Ali. [40]
Dalam suatu jabatan tentulah menjadi lazim ketika tugas yang menjadi tangung jawabnya ikut mengikat jabatan tersebut, adapun tugas kewajiban yang harus diemban oleh pejabat khususnya kepala negara, mencakup 10 tugas.[41]
1.      Menjaga dasar-dasar agama yang telah disepakati ulama salaf.
2.      Menegakkan keadailan, supaya tidak adak kesewenang-wenangan yang kuat menganiyaya yang lemah dan yang lemah tidak merasa teraniaya.
3.      Menegakkan hukum, supaya agama Allah dan hak-hak umat tetap terjaga.
4.      Menjaga keamanan dan menjaga daerah kekuasaanya dari ganguan musuh danpenjahat, sehingga umat bebas dan aman baik jiwa maupun harta mereka.
5.      Membentuka kekuatan untuk menghadapai musuh-musuh, berjihad pada orang-orang yang menentang islam setelah adanya dakwah, agar mereka mengakui eksisitensi islam.
6.      Menuntut pajak dan sedekah menurut yang telah diwajibkan syara’, nash dan ijtihad.
7.      Mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif.
8.      Mengangkat pejabat-pejabat yang dipercaya dan mengangkat orang-orang yang berkompeten untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang yang dia pegang.
9.      Melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya.
10.  Meneliti jalanya proyek sehingga is dapat melakukan kebijakan politik umat islam dengan baik dan menjaga negara.
Keterangan lebih lanjut, jika jabatan imam telah diserahkan secara resmi kepada seseorang, melalui regulasi yang disetujui disahkan secara legal, maka seluruh umat islam harus mengetahui perpindahan jabatan tersebut dan mengetahui kepada siapa jabatan imam tersebut berpindah, disertai dengan sifat-sifatnya. Akan tetapi, bagi rakyat tidaklah harus mengetahui sosoknya secara langsung dan juga namanya. Aturan tadi hanya berlaku wajib kepada lembaga ahl al-halli wa al-‘aqdi  selaku lembaga yang berwenang menentukan pengangkatan pemimpin tersebut.
setelah pengangkatan imam oleh ahlu halli wal-aqdi dan disertai telah mendapatkan Bai’at dari umat, dari pembai’atan tersebut seketika imam atau khalifah telah mengikat janji (kontrak) dengan umat, yang mana perjanjian tersebut merupakan komitmen untuk menjalankan kewajibannya dengan tulus dan ikhlas, sedangkan perjanjian tersebut bagi umat merupakan janji setia mematuhi dan mendukung khalifah ataupun imam yang berkuasa. Kesepakatan tersebut di kenal dengan Teori Kontrak Sosial. Seperti yang telah disinggung diatas, teori kontrak sosial yang dikenalkan oleh al-Mawardi ini, bukan hal yang baru dalam dunia tatanegara hanya problem waktu. Gagasan teori ini merupakan suatu buah emas yang diciptakan oleh intelektual cendekiawan muslim pada penghujung abad IX M, dengan jelas sejarah menyatakan bahwa teori kontrak sosial inilah lebih dahulu diciptakan dan dipraktekan oleh ilmuan-ilmuan muslim, tidak hanya terorinya konsep dari ide tersebut pun sudah ada terpraktekan dalam ketata negaraan politik islam, jauh berabad-abad setelahnya baru dikemukakan kembali oleh ilmuan barat, tepatnya pada abad ke XVI M, tujuh abad setelah teori tersebut pertama kali diciptakan. Adapun ilmuan-ilmuan tersebut; Perancis, Hubert Languet (1519-1581). Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679). Inggris, John lock (1632-1704) dan Perancis, Jean Jacques Rousseau (1712-1778).[42]
Kontrak sosial ini dibangun atas dasar sukarela secara sadar, merupakan kontrak perejutuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak (al-ikhtiyar dan al-imamah) yang didasarkan kesadaran adanya saling berhubungan secara timbal balik. Sebab itulah imam (kepala negara) disamping berhak untuk ditaati oleh rakyat serta berhak mendapatkan haknya dan juga berhak menuntut loyalitas penuh dari rakyatnya. Disisi lain ia mempunyai tanggung jawab yang wajib dilaksanakan dipenuhi terhadap rakyatnya. Ketaatan rakyat terhadap imamnya bersifat feksibel, akan hilang jika seorang imam sudah tidak terbilang sebagai orang yang baik dengan semua kualifikasi pada dirinya secara otomatis kedudukan imam juga akan ikut hilang. Secara khusus sebab-sebab tersebut adalah;[43]
1.      Khalifah atau imam kehilangan sifat adil, terbelenggu hawa nafsunya dan melakukan kemungkaran.
2.      Khalifah atau imam kehilangan kesehatan mental atau fisik.
3.      Khalifah atau imam menjadi tawanan atau kekuasaanya tajuh ke pihak lain (musuh) sehingga mengakibatkan kemerdekaan kedaulatan ikut hilang.
 Dalam konsep kontrak sosial sangat jelas bagaimana al-mawardi mencoba menentukan ciri khas suatu sistem ketatanegaraan dengam membentuk suatu tatanan sosial yang kental akan nuansa religiusnya dengan cara membentuk pribadi pribadi yang ta’at terhadap hukum Allah, ajaran Rasul dan tata aturan knstitusi seorang pemimpin negara. Tercermin dalam konsep kontara sosial yang dijalankan, yang mana kontrak tersebut mempunya konsekuwensi pengikat selama tidak adanya hal yang meruntuhkan kontrak tersebut.
Sedangankan kontrak tersebut berkaitan dengan asas dasar syarat seorang pemimpin yang lolos dari kualifikasi pemilihan. Seperti yang telah disebut diatas, konsekuwensi pengikat tersebut merupakan janji setia dalam kesepakatan rakyat dengan imam yang terjadi ketika imam telah sah terbaiat menjadi seorang imam yang telah melalui berbagai uji kelayakan kualitas secara ketat. Tidak sampai disitu, kontrak sosial ini bermuatan sebuah kebijakan dari imam dalam satu dasar rasa sukarela dalam pengabdian yang mana ras tersebut juga merupakan salah satu asas dasar pendirian suatu negara. Dari bentuk terori inilah  al-mawardi tampak mendambakan suatu negara yang apik dalam tatanan kenegaraan dengan kekhususan religus sebagai warna suatu megara islam dengan segala perpolitikan serba islam.
Berdeba dengan farabi yang cenderung dalam setiap konsep terori gagasanya serba sempurna sehingga tidak dapat dilakukan oleh manusi, sedangkan al-Mawardi lebih mendepankan aspek fitrah kemausiaan dalam hubungan sosial yang kerap saliang timbal balik, sedang dengan syarat kualifikasi yang cenderung islami lunak dan tentunya tidak meninggalkan penilaian dengan melihat sisi keumuman dalam manusi. Sehingga hasil dari konsekuwensi tersebutpun bernuansa agamis dan dinamis.
Meskipun kualitas  gagasan konsep serta teori kontra sosial al-Mawardi sangatlah apik menarik perhatian, perlu diketahui, bahwasanya kebanyakan sebuah konsep teori hanya dapat di lakukan penerapanaya pada masanya. Tidak tercekuali konsep kenegaraan serta kontrak sosial al-mawardi, sebab dasar sebuah konsep diproduksi tidak lain sebagai respon terhadap persoalan yang melingkupi pada masanya serta pengaruh peristiwa tersebut juga dapat mempengaruhi situasi pada masanya. Berdeda dengan konsep ketata negaraan al-Mawardi yang menggunakan konsep imamah, konsep kontra sosial ini kemungkianan besar masih dapat dijalankan tanpa menyentuh alur suatu teknis mekanisme pemiliahan suatu kepala negara yang di gagas oleh al-Mawardi, sebab konsep tersebut hanya membutuhkan beberapa poin pokok sebagai cara main untuk dilaksanakan dan kebanyakan tampak diterapkan di zaman sekarang, adapun poinnya.
1.      Ikatan janji kedua belah pihak.
2.      Aturan pelaksanan.
3.      Kesadaran sukarela dalam melaksnakan janji dan aturan yang telah disepakati bersama.
Sedangakan konsep ketana negaraan yang ia istilahkan IMAMAH, menurut hemat penulis konsep tersebut sudang usang dan tidak dapat di terapkan dimasa sekarang, sebab tidak ada lagi sebuah wilayah kekuasaan suatu kerajaan islam yang terpusat secara monarki, sedangkan itu umat muslim sudah terpisah ke barbagai belahan dunia yang mana daerah (Negara) yang mereka tempati bukanlah negara islam dengan segala aturan politik islamnya. Lebih jauh, hal ini berdasarkan aturan yang saling bertolak belaka, sebab suatu negara mempunya aturan konstitusi serja kebijakan politinya sendri, sehingga tidak dapat suatu negara dalam satu atap kekuasaan , meskipun di negara negara tersebut dihuni oleh orang-orang islam, seperti contoh di indonesia dengan segala kuantitas muslim dan corak kultur khas islam nusantara. Keadaan seperti demikianlah menjadi benteng yang menghalangi untuk pembentukan negara imamah. Perlu ditegaskan kembali bahwa setiap negara mempunyai kebijakan politik luar negeri masing-masing yang tidak mudah dinego apalagi dihancurkan. Hal ini menjadikan anggapan bagi diri penulis, bahwa konsep imamah atau khilafah didapat diterima, bukan dalam arti alasan konsep khilafah ala al-Mawardi tidak sah ataupun menyalahi ajaran agama, melaikan hanya problem zaman yang berbeda dengan dulu dan perkembangan aturan ketat negaraan yang semakin kompleks.


[1] H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press, 1990), h. 9.
[2]Dr. Nasihun Amin, M.Ag., Sejarah Perkembangan Pemikiran islam, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 26.
[3] Ibid, h. 37, baca juga Abu hasan al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Mesir: Pertcetakan Mushtafa al-Baqi al-halbi wa auladati, 1973), h. 37-40.
[4]Bai’at merupakan bahasa arab yang berarti penepukan tangan ke tangan seseorang sebagai pengukuhan (ijab) penjualan. Biasanya dilakukan dengan cara menjulurkan tangan kanan ke depan dengan tapak tangan menghadap ke atas dan pembaiat menepuk dan menjabatnya dengan posisi tetap pada posisi demikian. Saling membaiat dilakukan dengan saliang menepuk tangan (tashafaqu) atau saling menjual (tabaya’u). Berasal dari kaja jual (ba’a, yabi’u, bai’, bai’ah). Dalam islam baiat artinya menepuk tangan sebagai tanda kewajiban penjualan, sebagai tanda membuat kontra jual beli atau sebagai tanda ketaatan akan kesepakatan yang telah diputuskan antara keduanya. Seseorang membaiat seseorang, artinya ia berjanji kepada seseorang. Baca O. Hashem, Saqifah awal perselisihan, (Yogyakarta: RausyanFikr, 2010), h.1-2.
[5] Ibid, h. 26. 
[6] H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 1990), h. 21.
[7] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, Loc. Cit.
[8] Ibid, h. 27.
[9]H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, op. Cit. 58.
[10]Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, op. Cit, h. 30.
[11]Abu hasan al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Mesir: Pertcetakan Mushtafa al-Baqi al-halbi wa auladati, 1973), Cover.
[12]Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[13] Ibid.
[14]H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit.
[15]Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[16]H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit
[17]  Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[18] H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit
[19] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[20] H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit
[21] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.

[22] Ibid
[23] H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h. 59.
[24] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, op. Cit. h.31
[25] ibid
[26] H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc.cit.
[27] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, Loc. Cit.
[28] Ibid, h. 26
[29] Ibid, h. 38.
[30] H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h. 60.
[31] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, op. Cit. h.32.
[32] H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, loc. Cit.
[33] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[34] Ibid, h. 34.
[35] Ibid, h. 35
[36] Abu hasan al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Mesir: Pertcetakan Mushtafa al-Baqi al-halbi wa auladati, 1973), h. 6.
[37] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit.
[38] Ibid, h.36.
[39] H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h. 25 dan 64.
[40] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, loc. Cit. dan H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, op. Cit. h. 64.
[41] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, op. Cit. h. 37.
[42] Ibid, h. 38. Juga H. Munawir Sjadzali, M.Ag., Islam dan Tata Negara, h. 67.
[43] Dr. Nasihun Amin, sejarah perkembangan, op. Cit. h. 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar