Minggu, 19 Maret 2017

SPI: Pengaplikasian politik Sulakhul (toleransi universal) Merangkul Sesama-Mughol india.



BAB I
PENDAHULUAN
SPI: Pengaplikasian politik Sulakhul (toleransi universal) Merangkul Sesama-Mughol india.

  1. LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan sejarah peradaban islam, nuansa dunia perpolitikan yang bercorakan ke-Araban sangat dominan sebagai pewarna dari sejarah perluasaan ajaran agama islam di berbagai belahan dunia dan pemerintahan kerajaan islam yang menguasai didaerah tersebut. Seperti yang telah di ketahui, unsur politik merupakan metode yang paling bertanggung jawab dari perkembangan ataupun kemunduraan suatu penguasaan, yang mana politik disubjektifitaskan sebagai kendaraan untuk pemberian warna di setiap sendi sendi kehidupan yang secara tidak langsung didalangi oleh penguasaan atas sesuatu hal yang mereka inginkan.
Ditenggah-tengah sebuah pergolatan dunia politik, tidak meninggalkan sebuah problem yang diletabelakangi persaingan politik. Seperti halnya yang terjadi di berbagai kerjaan-kerajaan islam yang pernah ada, dalam persaingan tersebut banyak mengunakan cara-cata yang di tempuh untuk memenangkan atau memepartahankan politik kekuasaan yang mereka miliki, baik dari pihak simpatisan maupun dari pihak oposisi.
Dalam dunia politik tentunya mempunyai ciri khas tersendiri yang menjadi penanda di setiap masa perpolitiknan, seperti halnya politik yang digunakan oleh kerajaan Mughol tepatnya pada masa sultan Akhbar (1556-1605M) putra sultan Humayun (1530-1556M) yang terkenal dengan istilah sulakhul (toleransi universal)[1]. Pada masa itu, dengan poitik tersebut Akhbar dapat menguasasi sebagian besar dataran india, meskipun pada saat itu Muslim termasuk komunitas yang minoritas dari mayoritas orang-orang Hindu.
Ciri khas yang di tampakan dari biasan politik yang mereka pakai menjadikan masa kejayaannya sebagai pemberian perhiasaan yang tak ternilai bagi dirinya sendiri dan para simpatisannya. Sehingga dalam sejarah pun nama-nama mereka harum sebagai pembaharu dunia politik yang telah berjalan sejak yunani kuno sampai sekarang, terutam sebagai buah bibir di kalangan Muslim pada khususunya.
Seperti yang telah disinggung di atas, politik tolerasi universal merupakan salah wajah baru yang dikenalkan oleh Sultan Akhbar didunia perpolitikan dalam kerajaan islam sebagai langkang gerak yang pasti untuk menapai suatu tujuan yang diincarnya. Dalm kesempatan ini penulis akan mencoba memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan politik yang digunkan oleh Sultan Akhbar dimasa pemerintahannya.
  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Histori dan Perkembangan kerajaan Mughol di India.
2.      Pengaplikasian politik Sulakhul (toleransi universal) Merangkul Sesama.
  1. MANFAAT PENELITIAN
Sebuah penelitian pastinya mempunyai tujuan yang ingin didapat dari pernlitian tersebut, bahkan suatu manfaat yang dapat menjadi sumbangsi bagi perkembangan khazanah keilmuan yang ada. Dalam kesempatan kali ini, penulis bermaksud untuk membahas masalah tersebut guna mengetahui aspek-aspek dan pola-pola yang diterapkan sebelum dan selama berjalananya politik toleransi universitas dalam dunia perpolitikan khususnya yang terjadi di masa Sultan Akhbar, yang nantinya sebagai wajah untuk bercermin sebagai refleksi politik penyebaran ataupun acuhan dalam penyebaran agama islam, yang cenderung di wilayah-wilayah dengan komunitas muslim yang minoritas tetapi dapat menguasai tatanan yang ada, baik makna secara kontakstual maupun an-kontekstual.
Pasalnya diera sekarang politik toleran ataupun yang sudah menjadi watak tolera pun, semakin lama semakin terkikis, yang nantinya berdampak pada tatanan sosial masyarakat akan rusak dan tadak harmonis, sehingga perpeahan akan mudah timbul.
BABII
PEMBAHASAAN
1.      Histori dan Perkembangan kerajaan Mughol di India.
Kerajaan Mughol merupakan salah satu kerajaan islam yang besar setelah dinasti Utsmani di Turki dan Safawi di Persia, kurun waktu 150-1800M, yang berada di India dengan ibu kotanya Delhi. Diketahui kerajaan Mughal bukanlah satu satunya dan yang pertama berdiri sebagai kerajaan islam, terbukti dalam sejarah diungkapkan, kerajaan Mughal berdiri setelah beberapa lama usaha dari kerajaan-kerajaan islam yang berada diluar aanak benua Hindia tidak membuahkan hasil; berawal dari perjuangan Muhammad ibn Qosim seorang komandan militer pada masa khalifah Al-Walid dari bani Umayyah di Damaskus.
Setelah selesai perjuangan dari Muhammad ibn Qosim, diteruskan dengan adanya kerajaan kerajaan baru seperti Ghaznawi (977-1186M), Khalji (1296-1316M), Tughlaq (1320-1412M), Sayyid (1414-1451M) dan kerajaan Lodhi (1452-1526M)[2].  Kerajaan Ghaznawi (977-1186M) dipimpin Sultan Mahmud pada saat berdirinya kerajaan tersebut, termasuk di fase Disintegrasi, sehingga tatik jarang dari kerajaan tersebut mengalami perlawanan. Setelah seratus enampuluh enam tahun kerajaaan tersebut menduduki india genap pada tahun 1020M, kerajaan tersebut menguasai dan menaklukan hampir keseluruhan kerjaan Hindu yang berda di wilayah tersebut[3]. Setelah selesainya kekuasaan kerajaan Ghaznawi, berdirilah kerajaan-kerajaan kecil seperti Mamluk (1206-1290M).
 Kerajaan Mughol merupakan kerajaan islam yang terakhir dari kekuatan kerajaan islam yang sebagai senjata untuk menyebar luaskan ajaran agama islam di tanah Hindia, sedangkan pendiri sekaligus Sultan pertama dari kerajaan Mughal adalah Zahiruddin Babur (1482-1530M), ia merupakan saah satu cucu Timur Lenk dan anak dari penguasa Ferghana yang bernama Umar Mirza. Babur merupakan putra mahkota yang telah diberi warisan oleh ayahnya berupa daerah  kekuasaan yaitu Ferghana, pembarian dari ayahnya  tersebut pada saat Babur masih berusia 11 tahun[4].
Dalam dirinya mengalir darah seperti pengahulu-pendahulunya yang ambisi atas kekuasaan wilayah yang dimilikinya, sehingga wajar apabila pada saat ia masih terhitung muda, bercita-cita menguasai Samarkand kota yang terpenting dari salah satu kota-kota yang berada di Asia tenggara, yang meupakan pusat dan salahsatu perdagangan dan keilmuan. Setelah sekian lama memperbutkan Samarkand, akhirnya cicirnya untuk menguasai Samarkand terwujud setelah beberapa kali selalu gagal, memenanganya diperoleh setelah mendapatkan bantuan militer dari Raja Ismail 1 salah satu Raja dari Safawi, kemengan tersebut terwujud pada tahun 1494M. Nampaknya tidak cukup puas atas kemengan dari perolehan daerah Samarkand sebagai derah kekuasaanya, Babur melanjutkan misinya utuk menguasi daerah-daerah lainya, seperti kesuksesanya menguasai Kabul ibu kota Afghanistan[5] di tahun 1501M.
Ekspansi yang ia lakukan demi memenuhi keinginananya, sampai berhasil memasuki wilayah tanah Hindustan, usahnya sedikit lebih ringan untuk mendatakan kekuasaan di indian karena pada saat itu, penguasa dinasti Lodhi yang menjadi penguasa india sedang mengalami krisis politik, daerah yang pertama Babur kuasai adalah daerah Punjabi dengan ibu kotanya Lahore[6] pada tahun 1525M, setelah Babur mengusai secara penuh, ia mulai masuk ke kota Delhi dengan membawa pasuaknya dan pada 21 April 1526M Babur berhasil menduduki daerah tersebut pada waktu itulah kali pertama kerajaan Mughal didirikan dan sekaligus sebagai pusat pemerintahan.
Jumlah keseluruhan sultan Mughal 29 orang, mulai dari Babur sampai denga Sirajudin Bahadur Syah II, meskipun banyaknya sultan yang pernah berada di tahta kesultanan, namun hanya beberapa yang terkenal seperti sultan Zahiruddin Babur (1526-1530M), Humayun(1530-1556M), Akhbar (1556-1606M), Jehagir (1605-1628M), Syah Jihan (1628-1658M) dan Auranzeb (1658-1707M)[7].
Seperti hal yang biasa berjalan dalam perbutan kekuasaan, seperti adanya kekalahan dan dengan kekalahan itu mereka bangkit untuk balas dendam untuk merebut hak-hak mereka yang telah dirampas sebagai harta rampasan perang yng berada dikekuasaan penjajah mereka. Hal ini tidak ada perbedaan yang terjadi di masa Mughol resmi menjadi kerajaan islam yang telah mengalahkan lawan-lawanya dengan Ekspansinya. Merekan yang merasa telah direbut hak-haknya oleh Babur, diam-dian menyusun rancana untuk membalas atas kekalahan mereka terhadap Babur; psepeti yang terjadi india sendiri, para kerajaan-kerajaan yang berada diIindia bersatu untuk melawan pemerintahan Mughal dan juga di Afghanistan yang rupanya masih ada sisa para simptisan keluarga dinasti Lodhi, mereka membuat kerajaan baru sebagai kubu opsisi dari pemerintahan Mughal, dengan mengangkat Mahmud Lodhi adik kandung Ibrahim Lodhi sebagai Sultan, dari senjata itulah mereka resmi menjadi sebuah kerajaan kecil sebagai oposisi untuk mengulingkan kekuasaan Mughal, tatapi sayangnya usaha mereka semua tapat dipukul mundur, dari kerajaan hindu telah kalah dan Mahmud Lodhi kelah tengan meregang nyawa pada saat pertempuran melawan tentara Babur di daerah yang dekat Gorga pada tahun 1529M[8].  
Setahun setelah Babur menilkmati kemenangnya, ia wafat pada tahun 1530M. Setelah sepeningal Babur, pewaris tahta kesultanan jatuh kepada Humayun yang merupakan putra sulung dari Babur. Pada masa kekuasaaan Humayun, kondisi perpolitikan tidak cukup aman pasalnya selama sembilan tahun Humayun berkuasa dari 1530-1539M, tidak ada satu pun situasi yang aman, terlebih tangtangan yang peling berat adalah pemberontakan dari penguasa Gujarat Bahadur Syah yang delah memisahkan diri dari Delhi pada masa kemenang ekspansi yang di lakuakan Babur ayah dari Humayun. Setelah pertempuran yang cukup sengait akhairnya pasukan Bahadur dapat dipukul mundur kekalahan tersebut di tandai dengan melarikan diri seorang Raja Gujarat dan sekaligus kemenagan Humayun atas pertempuran dengan Bahadur, tanah Gujarat pun secara lengsung menjadi daerah kekuasaannya. Setelah kemengan dari pertarunagannya dengan Bahadur Syah, Humayun mendapat perlawanaan Sher Khan pada 1540M di Kanauj, dalam pertempurannya dengan Sher Kan, Humayun mengalami kekalahan dan melerikan diri ke Kandahar, pelariannya berlanjut ke tanah Persi, kurang lebihnya 15 tahun Humayun melarikan diri dan di sertai dengan penyusunan pasukan untuk melawan Sher Khan shah di Delhi. Usahanya merantau dan menyusun peasukan cukup menghasilkan buah yang matang, dengan memenagkan pertempuran dengan Sher Khan shah dan merebut Delhe kembali dari tangan Sher Khan tepatnya pada tahun 1555M Humayun kembali ke India untuk menjadi sultan Mughal untuk kesekian kalianya.
Selang setahun dari perolehannya menjadi sultan yang ke dua kalianya, Humayun meiningal dinia pada tahun 1556H, sepeningal Humayun tahta pewarisan kesultanan jatuh kepada putranya Akbar, yang pada saat itu Akbar masih berusia 14 tahun, sehingga tongkat pemeritahan di percayakan kepada Bairam Khan sebagai pengatur pemerintahan, Bairam Khan merupakan seorang yang penganut golongan Syi’i. Setelah Akbar cukup matang dalm berfikir dan tumbuh dewasa sebagai pemuda yang tangguh, roda pemerintahan pun di kembalikan ke tangan Akbar. Di masa ini lah kejayaan Mughal nampak jelas.
 Pada masa  awal priode pertamanya, ia dihadapkan kepada beberapa pemberontakan yang meliputi; di Punja oleh Khan Syah dan sisa-sisa pengikutnya, di Agra oleh Hemu sebagai pemimpin dari kaum Hindu di situ, Hamu berhasilmerebt kota tersebut dan juga Delhi, di wilayah barat lahir gerakan pemberontakan yang di pimpin oleh saudaranya sendiri tetapi tidakn seibu yaitu; Mirza Muhammad Hakim[9]. Dari berbagai pemerontakan yang terjadi di daerah-daerah kekuasaan Mughal dengan tujuanya melepaskan diri dari kekuasaan Mughal. Namun usaha meraka tidak membauahkan hasil lantaran kepiyaweannya Sultan Akbar, dalam menyatukan daerah2 kekuasaanya sangat cerdik. Adapun strategi-strategi yang di pakai oleh Akbar yaitu.[10]
  1. Menyingkirkan Bairam Khan karena di anggap terlalu memaksan paham Syi’ah.
  2. Melancarkan serangan kepada pera pengausa yang menyatakan merdeka, dalam arti lepas dari kerajaan Mughal.
  3. Memperkuat militer dan mewajibkan pejabat sipil untuk mengikuti latihan militer.
  4. Membuat dan menerapkan kebijakan sulahul (toleransi universal).
Dari strategi yang keempatlah itulah Ahbar sebab mendatkan banyak pendukung dan di segani baik dari orang muslim sendiri ataupun orag hindu. Dari sinilah penulis akan mencoba menguraikan poin rumusan yang ke dua, tengan toleransi universal yang di gunakan starategi politik Sultan Akbar.
2.      Pengaplikasian Strategi Politik sulakhul (toleransi universal) mernagkul sesama.
Seperti yang telah diketahui, bahwasanya strategi politik sulakhul atau politik toleransi universal, hanya terkenal hanya di pemerintahan Sultan Akbar dinasti Mughal, dan ia termasuk sultan yang paling kontroversi. Perwujudan yang paling berbeda dari wajah perpolitikan di dunia islam, seperti yang telah di jalankan oleh Sultan Akbar, tentunya akan lebih seyogianya cara tersebut dapat ditiru oleh generasi sekarang, terutama para pemuda yang sedang menyandang predikat kepemimpinan, apalagi golonagan yang dipimpinya, berbasiskan dari berbagai unsur yang ada di dalam masayrakat baik dari etnis, ras maupun agama, hal ini dimaksudkan sebagai cerminan untuk menitih ajaran agama yang benar secara fitrohnya, yaitu kemajemukan atau tatanah kehidupan yang plural, seperti yang tertuang dalam surat an-Nahl:93.
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
 Hidup penuh damai, toleran dan saling berdampingan tanpa memandang perbedaan baik secara etnis, budaya dan agama merupakan impian ideal setiap manusia. Tidaklah mungkin kita mampu meningkatkan kualitas hidup kita tanpa adanya ruang kehidupan yang toleran dan damai tadi. Karena tidak ada setting sosial di mana pun di dunia ini yang benar-benar monolitik atau homogen secara penuh, di manapun kita berada pasti kemajemukan atau pluralitas merupakan kenyataan dan keniscayaan di sana. Pendek kata, tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang benar-benar tunggal[11].
Karena tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang benar-benar monolitik tetapi selalu terkandung aspek-aspek hidup yang majemuk baik secara etnis, budaya, maupun agama, konflik dalam pengertiannya yang luas niscaya menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Diperlukan manajemen konflik agar tidak menjadi konflik kekerasan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan bersama. Konflik etnis di berbagai tempat, global, regional, dan nasional masih saja terjadi, dan Indonesia sebagai negara multi etnis, agama, dan budaya mengalami hal serupa. Semua itu terjadi akibat dari ketidak- mampuan mengelola perbedaan atau melakukan manajemen konflik dalam masyarakat majemuk. Sebab secara sosiologis, konflik memang merupakan hal yang “lumrah” terjadi dan diyakini sebagai bagian dari kehidupan manusia[12]. Namun jika konflik bahkan yang sifatnya violence (kekerasan) dilakukan oleh mereka yang mengaku taat beragama, karena memang tidak pernah melewat- kan ritual keagamaan masing-masing secara formal, hal itu tentu dianggap sebagai sebuah kasus atau bahkan fenomena yang menyedihkan; bagaimana mungkin nilai-nilai mulia dari tujuan setiap peribadatan tidak sejalan secara empirik dengan orang-orang yang menjalankannya. Dalam hal kehidupan beragama, perbedaan tidak jarang menyulut beberapa konflik bahkan peperangan antar umat beragama yang paling bru- tal dalam sejarah manusia. Seringkali perbedaan-perbedaan kecil dalam hal ajaran agama melepaskan kuda-kuda perang dan membenarkan pembantaian manusia secara masal, yang ironisnya atas nama Tuhan dan panggilan suci agama[13]. Semacam “teologi perang”[14] pun dibangun untuk merespon perbedaan ini dan ironinya diyakini secara imani sebagai pemahaman kitab suci secara tekstual dan parsial untuk mengklaim Tuhan dan kebenaran “hanya ada” di pihak sendiri, dan juga untuk melegitimasi tindakan kekerasan dan perang atas nama Tuhan. Megatrend abad 21 sebagai abad “kebangkitan agama” pun menjadi “jauh panggang dari api”. Perkembangan yang terjadi dewasa ini adalah masih banyaknya para kaum beragama masih saling memandang dalam sorot mata bermusuhan, teror, perang; ketika ketika agama membawa petaka dan sengsara, ketika banyak peperangan yang justru dikobarkan oleh “api jahat” agama, pada saat banyak jiwa manusia melayang justru untuk memuliakan Tuhan, dan manakala Tuhan diagungkan dan dibela mati-matian dengan darah suci banyak manusia. Semua itu merupakan pengalaman beragama yang sungguh menyedihkan dan bertolak belakang dengan misi dasar setiap agama  untuk membangun kehidupan manusia yang damai, toleran dan harmonis.
Dalam kehidupan yang majemuk, mengutip uraian Alwi Shihab, dibutuhkan setidaknya paling tidak dua prinsip inklusivitas (keterbukaaan) penting, yaitu toleransi dan pluralisme[15]. Toleransi yang menjadi tema dalam paper ini didefinisikan sebagai sikap menghargai orang lain yang berbeda dari diri sendiri, sedangkan toleransi beragama adalah sikap saling menghargai orang lain yang memiliki agama atau pemahaman agama yang berbeda. Prinsip hidup dalam kemajemukan toleransi ini tetap relevan tidak hanya karena konteks kemajuan zaman, namun juga karena kenyataan pluralitas atau kemajemukan di Indonesia, bahkan pluralitas etnis, suku, ras, dan lain-lain. Hal ini didasarkan pada argumentasi sangat logis bahwa toleransi dan kerukunan hidup umat beragama di mana pun dan kapan pun merupakan kebutuhan bersama yang didambakan oleh semua pemeluk agama. Telah banyak contoh yang terjadi di Indonesia dan dunia, baik yang terjadi pada masa lalu maupun yang terjadi sekarang ini dan masih terjadi, bahwa ketidakrukunan umat beragama telah membawa kesengsaraan hidup yang sangat bagi seluruh umat manusia. Kita bisa melihat apa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti Ambon, Poso, dan Sambas beberapa tahun yang lalu, dan juga di beberapa negara di belahan dunia seperti di Bosnia, Afganistan, Pakistan, Irak, Palestina-Israel, dan lain-lain. Saling pengertian, menghargai, menghormati, rendah hati, menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan, mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan, cinta, sensitif dalam memandang nilai, senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan, dan lain-lain yang semakna merupakan prinsip-prinsip hidup dalam kemajemukan yang akan melahirkan model kehidupan yang penuh toleransi. Jika prinsip-prinsip itu dijalankan oleh setiap pribadi, kasus-kasus kekerasan atas nama apapun sebagaimana dicontohkan di atas, tidak akan pernah terjadi. Oleh karena itu dapat dipastikan, jika kasus-kasus konflik kekerasan di atas dilakukan oleh orang yang mengaku beragama, menurut psikologi apabila keberagamaan orang-orang tersebut tidaklah matang.
Adapaun konsep psikologi tentang kematangan beragama sangat relevan sebagai konsep hidup toleransi termasuk toleransi beragama, yang nama hal tersebut dilakukan oleh Sultan Akbar. Kematangan beragama merupakan konsep psikologis yang meniscayakan sikap-sikap, mengacu pada kerangka teori 10 pertanyaan Clark, berikut[16]: 1. Keberagamaan yang saleh secara sosial. 2. Keberagamaan yang selalu menunjukkan keingintahuan (ta’aruf dalam bahasa agama) sehingga akan melahirkan saling mengetahi dan pengertian. 3. Keberagamaan yang toleransi. 4. Keberagamaan yang senantiasa memiliki kesadaran ketuhanan dalam kehidupan sehingga perilaku seseorang akan selaras dengan kehendak- Nya. 5. Keberagamaan yang memberi arti positif/konstruktif bagi kehidupan sekaligus menghindari perbuatan-perbuatan destruktif dalam bentuk apapun. 6. Keberagamaan yang melaksanaan moral secara konsisten. 7. Keberagamaan yang memiliki implikasi sosial konstruktif. 8. Keberagamaan yang menunjukkan perilaku kerendahan hati dan sikap saling menghormati. 9. Keberagamaan yang selalu dalam proses pencarian yang dalam dan luas sehingga akan terhindar dari keberagamaan eksklusif absolute. 10. Keberagamaan yang menunjukan ketulusan.
Semua nilai (values) kematangan beragama di atas tentu bagi siapa pun begitu luhur, tidak hanya pantas hanya untuk Sultan Akbar saja, yang bersifat universal, dan inklusif, sehingga tidak mungkin sejalan dengan semangat konflik kekerasan (violence). Karena keberagamaan yang saleh secara sosial adalah keberagamaan yang selalu menunjukkan keingintahuan (ta’aruf dalam bahasa agama) sehingga akan melahirkan saling mengetahui dan pengertian, yang toleransi, yang senantiasa memiliki kesadaran ketuhanan dalam kehidupan sehingga perilaku seseorang akan selaras dengan kehendak- Nya, yang memberi arti positif/konstruktif bagi kehidupan sekaligus meng- hindari perbuatan-perbuatan destruktif dalam bentuk apapun, yang melaksana- an moral secara konsisten, yang memiliki implikasi sosial konstruktif, yang menunjukkan perilaku kerendahan hati dan sikap saling menghormati, yang selalu dalam proses pencarian yang dalam dan luas sehingga akan terhindar dari keberagamaan eksklusif absolute, dan yang menunjukan ketulusan, mustahil mendukung konflik kekerasan. Semua nilai itu merupakan antitesis kekerasan dan relevan dijadikan salah satu pilar atau sendi kehidupan bersama. Dalam bertoleran tentunya diperlukan  perseptis, bahwasanya Allah s.w.t pun menciptakan kaum adam dan Hawa dari keturunan Nabi Adam a.s dan Sayidati (Siti-red) Hawa. Dalam Al-Qur’an di nyatakan, bawasanya semua manusi diciptakan Oleh Allah dari seorang lelaki dan seorang perempuan, yang tertera di surat al-Hujrat:13.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Keterang tesebut membuktikan bahwasanya manusia sama yaitu satu keturuanan dan denag demikina juag bersaudara[17].
Dari sinilah politik dengan dasar toleran akan menghasilkan sebuah perubahan tanpa ada pertumpahan darah ataupun penjarahan, sehingga dapat dikatakan bahwasanya politik merangkul sesama tanpa membedakan ataupun mendeskriminasikan seuatu golongan tertentu, konsep dan tawaran yang telah di praktikan oleh  Sultan Akbar dinasti Mughal di masa pemerintahanya, tentunya dapat dijadikan behan pembelajaran pengkajian untu menuju tatana sosial masyarakat yang damain lagi sejatera.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Seuatu pemerintahan ataupun organisasi apapun tidak bisa meningalkan dalam pengunaan perpolitikan dalam artian secara umum, karena dengan berpolitiklah seutu tujuan dan cita-cita akan sedikit mudah untuk digapai. Perlu di ketahui bahwasanya bagus atau buruknya dalam berpolitik tergatung siap yang berperan di dalamnya dan siapa yang bermain didalamnya.
Daftar Pustaka
Kompas.  ungkapan “teologi perang” diambil dari artikel musa asy’arie, “teologi perang, justifikasi kekerasan atas nama tuhan”, kompas, rubruk opini, jumat, 7 februari 2003.
Nurhakim.  moh.,  jatuhnya sebuah tamadun, menyingkap sejarah kegemilangan dan kehancuran imperium khalifah islam, jakarta: kementrian agama republik indonesia, 2012.
Shihab alwi, islam inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama. Bbandung: mizan, 1993.
Shihab quraish, wawasan alqur’an, disusun dalam fornat e-book oleh m.arifin, s.kom, MA. natata ebook compiler, are fine 78@yahoo.com.
Stark rodney, one true god: resiko sejarah bertuhan satu, terj. m. sadat ismail,  yogyakarta: penerbit qalam, 2003.
Yatim badri, sejarah peradaban islam, jakarta: rajawali pres, 2014



[1] moh. nurhakim,”jatuhnya sebuah tamadun, menyingkap sejarah kegemilangan dan kehancuran imperium khalifah islam”,(jakarta: kementrian agama republik indonesia, 2012), h.162-163.
[2] ibid

[3] badri yatim,”sejarah peradaban islam”, (jakarta: rajawali pres, 2014), h.147.
[4] ibid
[5] loc. cit.
[6] loc. cit.
[7] op. cit. 162
[8] loc. cit. 148
[9] moh. nurhakim, op. cit
[10] op. cit. 163.
[11] q.s. al-hujurat (49): 13, q.s. ar-rum (30): 22.
[12]  tentang konflik sebagai bagian dari kehidupan manusia dan bagaimana memandang konflik secara positif dan menjadikan konflik negatif menjadi positif, lihat. john paul lederach, the little book of conflict transformation (intercourse, pa: good books, 2003).
[13] rodney stark, one true god: resiko sejarah bertuhan satu, terj. m. sadat ismail (yogyakarta: penerbit qalam, 2003), 169.
[14]  ungkapan “teologi perang” diambil dari artikel musa asy’arie, “teologi perang, justifikasi kekerasan atas nama tuhan”, kompas, rubruk opini, jumat, 7 februari 2003.
[15]alwi shihab, islam inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama (bandung: mizan, 1993), 41-43.
[16] roni ismail, konsep toleransi dalam psikologi agama, religi, vol. viii, no. 1, hal. 10. januari 2012: 1-12.
[17] quraish shihab,”wawasan alqur’an”, disusun dalam fornat e-book oleh m.arifin,s.kom, ma. natata ebook compiler, are fine 78@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar