BAB I
PENDAHULUAN
SPI: Pengaplikasian politik Sulakhul (toleransi universal) Merangkul Sesama-Mughol india.
- LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan sejarah peradaban islam, nuansa dunia
perpolitikan yang bercorakan ke-Araban sangat dominan sebagai pewarna dari
sejarah perluasaan ajaran agama islam di berbagai belahan dunia dan
pemerintahan kerajaan islam yang menguasai didaerah tersebut. Seperti yang
telah di ketahui, unsur politik merupakan metode yang paling bertanggung jawab
dari perkembangan ataupun kemunduraan suatu penguasaan, yang mana politik disubjektifitaskan
sebagai kendaraan untuk pemberian warna di setiap sendi sendi kehidupan yang
secara tidak langsung didalangi oleh penguasaan atas sesuatu hal yang mereka
inginkan.
Ditenggah-tengah sebuah pergolatan dunia politik, tidak
meninggalkan sebuah problem yang diletabelakangi persaingan politik. Seperti
halnya yang terjadi di berbagai kerjaan-kerajaan islam yang pernah ada, dalam
persaingan tersebut banyak mengunakan cara-cata yang di tempuh untuk
memenangkan atau memepartahankan politik kekuasaan yang mereka miliki, baik
dari pihak simpatisan maupun dari pihak oposisi.
Dalam dunia politik tentunya mempunyai ciri khas
tersendiri yang menjadi penanda di setiap masa perpolitiknan, seperti halnya
politik yang digunakan oleh kerajaan Mughol tepatnya pada masa sultan Akhbar
(1556-1605M) putra sultan Humayun (1530-1556M) yang terkenal dengan istilah sulakhul
(toleransi universal)[1].
Pada masa itu, dengan poitik tersebut Akhbar dapat menguasasi sebagian besar
dataran india, meskipun pada saat itu Muslim termasuk komunitas yang minoritas
dari mayoritas orang-orang Hindu.
Ciri khas yang di tampakan dari biasan politik yang
mereka pakai menjadikan masa kejayaannya sebagai pemberian perhiasaan yang tak
ternilai bagi dirinya sendiri dan para simpatisannya. Sehingga dalam sejarah
pun nama-nama mereka harum sebagai pembaharu dunia politik yang telah berjalan
sejak yunani kuno sampai sekarang, terutam sebagai buah bibir di kalangan
Muslim pada khususunya.
Seperti yang telah disinggung di atas, politik tolerasi
universal merupakan salah wajah baru yang dikenalkan oleh Sultan Akhbar didunia
perpolitikan dalam kerajaan islam sebagai langkang gerak yang pasti untuk
menapai suatu tujuan yang diincarnya. Dalm kesempatan ini penulis akan mencoba
memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan politik yang digunkan oleh Sultan Akhbar
dimasa pemerintahannya.
- RUMUSAN MASALAH
1. Histori dan Perkembangan kerajaan Mughol di India.
2. Pengaplikasian politik Sulakhul (toleransi
universal) Merangkul Sesama.
- MANFAAT PENELITIAN
Sebuah penelitian pastinya mempunyai tujuan yang ingin
didapat dari pernlitian tersebut, bahkan suatu manfaat yang dapat menjadi
sumbangsi bagi perkembangan khazanah keilmuan yang ada. Dalam kesempatan kali
ini, penulis bermaksud untuk membahas masalah tersebut guna mengetahui
aspek-aspek dan pola-pola yang diterapkan sebelum dan selama berjalananya
politik toleransi universitas dalam dunia perpolitikan khususnya yang terjadi
di masa Sultan Akhbar, yang nantinya sebagai wajah untuk bercermin sebagai
refleksi politik penyebaran ataupun acuhan dalam penyebaran agama islam, yang
cenderung di wilayah-wilayah dengan komunitas muslim yang minoritas tetapi
dapat menguasai tatanan yang ada, baik makna secara kontakstual maupun
an-kontekstual.
Pasalnya diera sekarang politik toleran ataupun yang
sudah menjadi watak tolera pun, semakin lama semakin terkikis, yang nantinya
berdampak pada tatanan sosial masyarakat akan rusak dan tadak harmonis,
sehingga perpeahan akan mudah timbul.
BABII
PEMBAHASAAN
1. Histori dan Perkembangan kerajaan Mughol di India.
Kerajaan Mughol merupakan salah satu kerajaan islam yang
besar setelah dinasti Utsmani di Turki dan Safawi di Persia, kurun waktu
150-1800M, yang berada di India dengan ibu kotanya Delhi. Diketahui kerajaan
Mughal bukanlah satu satunya dan yang pertama berdiri sebagai kerajaan islam,
terbukti dalam sejarah diungkapkan, kerajaan Mughal berdiri setelah beberapa
lama usaha dari kerajaan-kerajaan islam yang berada diluar aanak benua Hindia
tidak membuahkan hasil; berawal dari perjuangan Muhammad ibn Qosim seorang
komandan militer pada masa khalifah Al-Walid dari bani Umayyah di Damaskus.
Setelah selesai perjuangan dari Muhammad ibn Qosim,
diteruskan dengan adanya kerajaan kerajaan baru seperti Ghaznawi (977-1186M),
Khalji (1296-1316M), Tughlaq (1320-1412M), Sayyid (1414-1451M) dan kerajaan
Lodhi (1452-1526M)[2]. Kerajaan Ghaznawi (977-1186M) dipimpin Sultan
Mahmud pada saat berdirinya kerajaan tersebut, termasuk di fase Disintegrasi,
sehingga tatik jarang dari kerajaan tersebut mengalami perlawanan. Setelah
seratus enampuluh enam tahun kerajaaan tersebut menduduki india genap pada
tahun 1020M, kerajaan tersebut menguasai dan menaklukan hampir keseluruhan
kerjaan Hindu yang berda di wilayah tersebut[3].
Setelah selesainya kekuasaan kerajaan Ghaznawi, berdirilah kerajaan-kerajaan
kecil seperti Mamluk (1206-1290M).
Kerajaan Mughol
merupakan kerajaan islam yang terakhir dari kekuatan kerajaan islam yang
sebagai senjata untuk menyebar luaskan ajaran agama islam di tanah Hindia,
sedangkan pendiri sekaligus Sultan pertama dari kerajaan Mughal adalah
Zahiruddin Babur (1482-1530M), ia merupakan saah satu cucu Timur Lenk dan anak
dari penguasa Ferghana yang bernama Umar Mirza. Babur merupakan putra mahkota
yang telah diberi warisan oleh ayahnya berupa daerah kekuasaan yaitu Ferghana, pembarian dari
ayahnya tersebut pada saat Babur masih
berusia 11 tahun[4].
Dalam dirinya mengalir darah seperti
pengahulu-pendahulunya yang ambisi atas kekuasaan wilayah yang dimilikinya,
sehingga wajar apabila pada saat ia masih terhitung muda, bercita-cita
menguasai Samarkand kota yang terpenting dari salah satu kota-kota yang berada
di Asia tenggara, yang meupakan pusat dan salahsatu perdagangan dan keilmuan.
Setelah sekian lama memperbutkan Samarkand, akhirnya cicirnya untuk menguasai
Samarkand terwujud setelah beberapa kali selalu gagal, memenanganya diperoleh
setelah mendapatkan bantuan militer dari Raja Ismail 1 salah satu Raja dari
Safawi, kemengan tersebut terwujud pada tahun 1494M. Nampaknya tidak cukup puas
atas kemengan dari perolehan daerah Samarkand sebagai derah kekuasaanya, Babur
melanjutkan misinya utuk menguasi daerah-daerah lainya, seperti kesuksesanya
menguasai Kabul ibu kota Afghanistan[5]
di tahun 1501M.
Ekspansi yang ia lakukan demi memenuhi keinginananya,
sampai berhasil memasuki wilayah tanah Hindustan, usahnya sedikit lebih ringan
untuk mendatakan kekuasaan di indian karena pada saat itu, penguasa dinasti
Lodhi yang menjadi penguasa india sedang mengalami krisis politik, daerah yang
pertama Babur kuasai adalah daerah Punjabi dengan ibu kotanya Lahore[6]
pada tahun 1525M, setelah Babur mengusai secara penuh, ia mulai masuk ke kota
Delhi dengan membawa pasuaknya dan pada 21 April 1526M Babur berhasil menduduki
daerah tersebut pada waktu itulah kali pertama kerajaan Mughal didirikan dan
sekaligus sebagai pusat pemerintahan.
Jumlah keseluruhan sultan Mughal 29 orang, mulai dari
Babur sampai denga Sirajudin Bahadur Syah II, meskipun banyaknya sultan yang
pernah berada di tahta kesultanan, namun hanya beberapa yang terkenal seperti
sultan Zahiruddin Babur (1526-1530M), Humayun(1530-1556M),
Akhbar (1556-1606M), Jehagir (1605-1628M), Syah Jihan (1628-1658M) dan Auranzeb
(1658-1707M)[7].
Seperti hal yang biasa berjalan dalam perbutan kekuasaan,
seperti adanya kekalahan dan dengan kekalahan itu mereka bangkit untuk balas
dendam untuk merebut hak-hak mereka yang telah dirampas sebagai harta rampasan
perang yng berada dikekuasaan penjajah mereka. Hal ini tidak ada perbedaan yang
terjadi di masa Mughol resmi menjadi kerajaan islam yang telah mengalahkan
lawan-lawanya dengan Ekspansinya. Merekan yang merasa telah direbut hak-haknya
oleh Babur, diam-dian menyusun rancana untuk membalas atas kekalahan mereka
terhadap Babur; psepeti yang terjadi india sendiri, para kerajaan-kerajaan yang
berada diIindia bersatu untuk melawan pemerintahan Mughal dan juga di
Afghanistan yang rupanya masih ada sisa para simptisan keluarga dinasti Lodhi,
mereka membuat kerajaan baru sebagai kubu opsisi dari pemerintahan Mughal,
dengan mengangkat Mahmud Lodhi adik kandung Ibrahim Lodhi sebagai Sultan, dari
senjata itulah mereka resmi menjadi sebuah kerajaan kecil sebagai oposisi untuk
mengulingkan kekuasaan Mughal, tatapi sayangnya usaha mereka semua tapat
dipukul mundur, dari kerajaan hindu telah kalah dan Mahmud Lodhi kelah tengan
meregang nyawa pada saat pertempuran melawan tentara Babur di daerah yang dekat
Gorga pada tahun 1529M[8].
Setahun setelah Babur menilkmati kemenangnya, ia wafat
pada tahun 1530M. Setelah sepeningal Babur, pewaris tahta kesultanan jatuh
kepada Humayun yang merupakan putra sulung dari Babur. Pada masa kekuasaaan
Humayun, kondisi perpolitikan tidak cukup aman pasalnya selama sembilan tahun
Humayun berkuasa dari 1530-1539M, tidak ada satu pun situasi yang aman,
terlebih tangtangan yang peling berat adalah pemberontakan dari penguasa
Gujarat Bahadur Syah yang delah memisahkan diri dari Delhi pada masa kemenang
ekspansi yang di lakuakan Babur ayah dari Humayun. Setelah pertempuran yang
cukup sengait akhairnya pasukan Bahadur dapat dipukul mundur kekalahan tersebut
di tandai dengan melarikan diri seorang Raja Gujarat dan sekaligus kemenagan
Humayun atas pertempuran dengan Bahadur, tanah Gujarat pun secara lengsung
menjadi daerah kekuasaannya. Setelah kemengan dari pertarunagannya dengan
Bahadur Syah, Humayun mendapat perlawanaan Sher Khan pada 1540M di Kanauj,
dalam pertempurannya dengan Sher Kan, Humayun mengalami kekalahan dan melerikan
diri ke Kandahar, pelariannya berlanjut ke tanah Persi, kurang lebihnya 15
tahun Humayun melarikan diri dan di sertai dengan penyusunan pasukan untuk
melawan Sher Khan shah di Delhi. Usahanya merantau dan menyusun peasukan cukup
menghasilkan buah yang matang, dengan memenagkan pertempuran dengan Sher Khan
shah dan merebut Delhe kembali dari tangan Sher Khan tepatnya pada tahun 1555M
Humayun kembali ke India untuk menjadi sultan Mughal untuk kesekian kalianya.
Selang setahun dari perolehannya menjadi sultan yang ke
dua kalianya, Humayun meiningal dinia pada tahun 1556H, sepeningal Humayun
tahta pewarisan kesultanan jatuh kepada putranya Akbar, yang pada saat itu Akbar
masih berusia 14 tahun, sehingga tongkat pemeritahan di percayakan kepada
Bairam Khan sebagai pengatur pemerintahan, Bairam Khan merupakan seorang yang
penganut golongan Syi’i. Setelah Akbar cukup matang dalm berfikir dan tumbuh
dewasa sebagai pemuda yang tangguh, roda pemerintahan pun di kembalikan ke
tangan Akbar. Di masa ini lah kejayaan Mughal nampak jelas.
Pada masa awal priode pertamanya, ia dihadapkan kepada
beberapa pemberontakan yang meliputi; di Punja oleh Khan Syah dan sisa-sisa
pengikutnya, di Agra oleh Hemu sebagai pemimpin dari kaum Hindu di situ, Hamu
berhasilmerebt kota tersebut dan juga Delhi, di wilayah barat lahir gerakan
pemberontakan yang di pimpin oleh saudaranya sendiri tetapi tidakn seibu yaitu;
Mirza Muhammad Hakim[9].
Dari berbagai pemerontakan yang terjadi di daerah-daerah kekuasaan Mughal
dengan tujuanya melepaskan diri dari kekuasaan Mughal. Namun usaha meraka tidak
membauahkan hasil lantaran kepiyaweannya Sultan Akbar, dalam menyatukan daerah2
kekuasaanya sangat cerdik. Adapun strategi-strategi yang di pakai oleh Akbar
yaitu.[10]
- Menyingkirkan Bairam Khan karena di anggap terlalu memaksan paham Syi’ah.
- Melancarkan serangan kepada pera pengausa yang menyatakan merdeka, dalam arti lepas dari kerajaan Mughal.
- Memperkuat militer dan mewajibkan pejabat sipil untuk mengikuti latihan militer.
- Membuat dan menerapkan kebijakan sulahul (toleransi universal).
Dari strategi yang keempatlah itulah Ahbar sebab
mendatkan banyak pendukung dan di segani baik dari orang muslim sendiri ataupun
orag hindu. Dari sinilah penulis akan mencoba menguraikan poin rumusan yang ke
dua, tengan toleransi universal yang di gunakan starategi politik Sultan Akbar.
2. Pengaplikasian Strategi Politik sulakhul
(toleransi universal) mernagkul sesama.
Seperti yang telah diketahui, bahwasanya strategi politik
sulakhul atau politik toleransi universal, hanya terkenal hanya di
pemerintahan Sultan Akbar dinasti Mughal, dan ia termasuk sultan yang paling
kontroversi. Perwujudan yang paling berbeda dari wajah perpolitikan di dunia
islam, seperti yang telah di jalankan oleh Sultan Akbar, tentunya akan lebih seyogianya
cara tersebut dapat ditiru oleh generasi sekarang, terutama para pemuda yang
sedang menyandang predikat kepemimpinan, apalagi golonagan yang dipimpinya,
berbasiskan dari berbagai unsur yang ada di dalam masayrakat baik dari etnis,
ras maupun agama, hal ini dimaksudkan sebagai cerminan untuk menitih ajaran
agama yang benar secara fitrohnya, yaitu kemajemukan atau tatanah kehidupan
yang plural, seperti yang tertuang dalam surat an-Nahl:93.
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu
satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan sesungguhnya kamu akan
ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
Hidup
penuh damai, toleran dan saling berdampingan tanpa memandang perbedaan baik
secara etnis, budaya dan agama merupakan impian ideal setiap manusia. Tidaklah
mungkin kita mampu meningkatkan kualitas hidup kita tanpa adanya ruang kehidupan
yang toleran dan damai tadi. Karena tidak ada setting sosial di mana pun di
dunia ini yang benar-benar monolitik atau homogen secara penuh, di manapun kita
berada pasti kemajemukan atau pluralitas merupakan kenyataan dan keniscayaan di
sana. Pendek kata, tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang benar-benar
tunggal[11].
Karena tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang
benar-benar monolitik tetapi selalu terkandung aspek-aspek hidup yang majemuk
baik secara etnis, budaya, maupun agama, konflik dalam pengertiannya yang luas
niscaya menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Diperlukan manajemen konflik
agar tidak menjadi konflik kekerasan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan
bersama. Konflik etnis di berbagai tempat, global, regional, dan nasional masih
saja terjadi, dan Indonesia sebagai negara multi etnis, agama, dan budaya
mengalami hal serupa. Semua itu terjadi akibat dari ketidak- mampuan mengelola
perbedaan atau melakukan manajemen konflik dalam masyarakat majemuk. Sebab
secara sosiologis, konflik memang merupakan hal yang “lumrah” terjadi dan
diyakini sebagai bagian dari kehidupan manusia[12]. Namun jika konflik bahkan yang sifatnya violence
(kekerasan) dilakukan oleh mereka yang mengaku taat beragama, karena memang
tidak pernah melewat- kan ritual keagamaan masing-masing secara formal, hal itu
tentu dianggap sebagai sebuah kasus atau bahkan fenomena yang menyedihkan;
bagaimana mungkin nilai-nilai mulia dari tujuan setiap peribadatan tidak
sejalan secara empirik dengan orang-orang yang menjalankannya. Dalam hal
kehidupan beragama, perbedaan tidak jarang menyulut beberapa konflik bahkan
peperangan antar umat beragama yang paling bru- tal dalam sejarah manusia.
Seringkali perbedaan-perbedaan kecil dalam hal ajaran agama melepaskan
kuda-kuda perang dan membenarkan pembantaian manusia secara masal, yang
ironisnya atas nama Tuhan dan panggilan suci agama[13].
Semacam “teologi perang”[14]
pun dibangun untuk merespon perbedaan ini dan ironinya diyakini secara imani
sebagai pemahaman kitab suci secara tekstual dan parsial untuk mengklaim Tuhan
dan kebenaran “hanya ada” di pihak sendiri, dan juga untuk melegitimasi
tindakan kekerasan dan perang atas nama Tuhan. Megatrend abad 21 sebagai abad
“kebangkitan agama” pun menjadi “jauh panggang dari api”. Perkembangan yang
terjadi dewasa ini adalah masih banyaknya para kaum beragama masih saling
memandang dalam sorot mata bermusuhan, teror, perang; ketika ketika agama
membawa petaka dan sengsara, ketika banyak peperangan yang justru dikobarkan
oleh “api jahat” agama, pada saat banyak jiwa manusia melayang justru untuk
memuliakan Tuhan, dan manakala Tuhan diagungkan dan dibela mati-matian dengan
darah suci banyak manusia. Semua itu merupakan pengalaman beragama yang sungguh
menyedihkan dan bertolak belakang dengan misi dasar setiap agama untuk membangun kehidupan manusia yang damai,
toleran dan harmonis.
Dalam kehidupan yang majemuk, mengutip uraian Alwi
Shihab, dibutuhkan setidaknya paling tidak dua prinsip inklusivitas
(keterbukaaan) penting, yaitu toleransi dan pluralisme[15].
Toleransi yang menjadi tema dalam paper ini didefinisikan sebagai sikap
menghargai orang lain yang berbeda dari diri sendiri, sedangkan toleransi
beragama adalah sikap saling menghargai orang lain yang memiliki agama atau
pemahaman agama yang berbeda. Prinsip hidup dalam kemajemukan toleransi ini
tetap relevan tidak hanya karena konteks kemajuan zaman, namun juga karena
kenyataan pluralitas atau kemajemukan di Indonesia, bahkan pluralitas etnis,
suku, ras, dan lain-lain. Hal ini didasarkan pada argumentasi sangat logis
bahwa toleransi dan kerukunan hidup umat beragama di mana pun dan kapan pun
merupakan kebutuhan bersama yang didambakan oleh semua pemeluk agama. Telah
banyak contoh yang terjadi di Indonesia dan dunia, baik yang terjadi pada masa
lalu maupun yang terjadi sekarang ini dan masih terjadi, bahwa ketidakrukunan
umat beragama telah membawa kesengsaraan hidup yang sangat bagi seluruh umat
manusia. Kita bisa melihat apa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia
seperti Ambon, Poso, dan Sambas beberapa tahun yang lalu, dan juga di beberapa
negara di belahan dunia seperti di Bosnia, Afganistan, Pakistan, Irak,
Palestina-Israel, dan lain-lain. Saling pengertian, menghargai, menghormati,
rendah hati, menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan,
mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan,
cinta, sensitif dalam memandang nilai, senantiasa berusaha menyesuaikan diri
dengan kehendak Tuhan, dan lain-lain yang semakna merupakan prinsip-prinsip
hidup dalam kemajemukan yang akan melahirkan model kehidupan yang penuh
toleransi. Jika prinsip-prinsip itu dijalankan oleh setiap pribadi, kasus-kasus
kekerasan atas nama apapun sebagaimana dicontohkan di atas, tidak akan pernah
terjadi. Oleh karena itu dapat dipastikan, jika kasus-kasus konflik kekerasan
di atas dilakukan oleh orang yang mengaku beragama, menurut psikologi apabila
keberagamaan orang-orang tersebut tidaklah matang.
Adapaun konsep psikologi tentang kematangan beragama
sangat relevan sebagai konsep hidup toleransi termasuk toleransi beragama, yang
nama hal tersebut dilakukan oleh Sultan Akbar. Kematangan beragama merupakan
konsep psikologis yang meniscayakan sikap-sikap, mengacu pada kerangka teori 10
pertanyaan Clark, berikut[16]:
1. Keberagamaan yang saleh secara sosial. 2. Keberagamaan yang selalu
menunjukkan keingintahuan (ta’aruf dalam bahasa agama) sehingga akan melahirkan
saling mengetahi dan pengertian. 3. Keberagamaan yang toleransi. 4.
Keberagamaan yang senantiasa memiliki kesadaran ketuhanan dalam kehidupan
sehingga perilaku seseorang akan selaras dengan kehendak- Nya. 5. Keberagamaan
yang memberi arti positif/konstruktif bagi kehidupan sekaligus menghindari
perbuatan-perbuatan destruktif dalam bentuk apapun. 6. Keberagamaan yang
melaksanaan moral secara konsisten. 7. Keberagamaan yang memiliki implikasi
sosial konstruktif. 8. Keberagamaan yang menunjukkan perilaku kerendahan hati
dan sikap saling menghormati. 9. Keberagamaan yang selalu dalam proses
pencarian yang dalam dan luas sehingga akan terhindar dari keberagamaan
eksklusif absolute. 10. Keberagamaan yang menunjukan ketulusan.
Semua nilai (values) kematangan beragama di atas tentu
bagi siapa pun begitu luhur, tidak hanya pantas hanya untuk Sultan Akbar saja,
yang bersifat universal, dan inklusif, sehingga tidak mungkin sejalan dengan
semangat konflik kekerasan (violence). Karena keberagamaan yang saleh secara
sosial adalah keberagamaan yang selalu menunjukkan keingintahuan (ta’aruf dalam
bahasa agama) sehingga akan melahirkan saling mengetahui dan pengertian, yang
toleransi, yang senantiasa memiliki kesadaran ketuhanan dalam kehidupan
sehingga perilaku seseorang akan selaras dengan kehendak- Nya, yang memberi
arti positif/konstruktif bagi kehidupan sekaligus meng- hindari
perbuatan-perbuatan destruktif dalam bentuk apapun, yang melaksana- an moral
secara konsisten, yang memiliki implikasi sosial konstruktif, yang menunjukkan
perilaku kerendahan hati dan sikap saling menghormati, yang selalu dalam proses
pencarian yang dalam dan luas sehingga akan terhindar dari keberagamaan
eksklusif absolute, dan yang menunjukan ketulusan, mustahil mendukung konflik
kekerasan. Semua nilai itu merupakan antitesis kekerasan dan relevan dijadikan
salah satu pilar atau sendi kehidupan bersama. Dalam bertoleran tentunya
diperlukan perseptis, bahwasanya Allah
s.w.t pun menciptakan kaum adam dan Hawa dari keturunan Nabi Adam a.s dan
Sayidati (Siti-red) Hawa. Dalam Al-Qur’an di nyatakan, bawasanya semua manusi
diciptakan Oleh Allah dari seorang lelaki dan seorang perempuan, yang tertera
di surat al-Hujrat:13.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Keterang
tesebut membuktikan bahwasanya manusia sama yaitu satu keturuanan dan denag
demikina juag bersaudara[17].
Dari sinilah politik dengan dasar toleran akan
menghasilkan sebuah perubahan tanpa ada pertumpahan darah ataupun penjarahan,
sehingga dapat dikatakan bahwasanya politik merangkul sesama tanpa membedakan
ataupun mendeskriminasikan seuatu golongan tertentu, konsep dan tawaran yang
telah di praktikan oleh Sultan Akbar
dinasti Mughal di masa pemerintahanya, tentunya dapat dijadikan behan
pembelajaran pengkajian untu menuju tatana sosial masyarakat yang damain lagi
sejatera.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seuatu pemerintahan ataupun organisasi apapun tidak bisa
meningalkan dalam pengunaan perpolitikan dalam artian secara umum, karena
dengan berpolitiklah seutu tujuan dan cita-cita akan sedikit mudah untuk
digapai. Perlu di ketahui bahwasanya bagus atau buruknya dalam berpolitik
tergatung siap yang berperan di dalamnya dan siapa yang bermain didalamnya.
Daftar Pustaka
Kompas. ungkapan “teologi perang”
diambil dari artikel musa asy’arie, “teologi perang, justifikasi kekerasan atas
nama tuhan”, kompas, rubruk opini, jumat, 7 februari 2003.
Nurhakim. moh., jatuhnya sebuah tamadun, menyingkap sejarah
kegemilangan dan kehancuran imperium khalifah islam, jakarta: kementrian agama
republik indonesia, 2012.
Shihab alwi, islam inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama. Bbandung:
mizan, 1993.
Shihab quraish, wawasan alqur’an, disusun dalam fornat e-book oleh
m.arifin, s.kom, MA. natata ebook compiler, are fine 78@yahoo.com.
Stark rodney, one true god: resiko sejarah bertuhan satu, terj. m. sadat
ismail, yogyakarta: penerbit qalam,
2003.
Yatim badri, sejarah peradaban islam, jakarta: rajawali pres, 2014
[1] moh. nurhakim,”jatuhnya sebuah tamadun, menyingkap sejarah kegemilangan
dan kehancuran imperium khalifah islam”,(jakarta: kementrian agama republik
indonesia, 2012), h.162-163.
[12] tentang konflik sebagai bagian dari
kehidupan manusia dan bagaimana memandang konflik secara positif dan menjadikan
konflik negatif menjadi positif, lihat. john paul lederach, the little book of
conflict transformation (intercourse, pa: good books, 2003).
[13] rodney stark, one true god: resiko sejarah bertuhan satu, terj. m. sadat
ismail (yogyakarta: penerbit qalam, 2003), 169.
[14] ungkapan “teologi perang” diambil
dari artikel musa asy’arie, “teologi perang, justifikasi kekerasan atas nama
tuhan”, kompas, rubruk opini, jumat, 7 februari 2003.
[16] roni
ismail, konsep toleransi dalam psikologi agama, religi, vol. viii, no. 1, hal. 10. januari 2012: 1-12.
[17] quraish shihab,”wawasan alqur’an”, disusun dalam fornat e-book oleh
m.arifin,s.kom, ma. natata ebook compiler, are fine 78@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar