BAB I
PENDAHULUAN
SPI; Sejarah berdirinya organisasi masyarakat (ormas) Khawarij. KHOWARIJ DAN SPARATISNYA
A. Latar belakang
Sebuah ajaran tidak dipungkiri, dapat
mempengaruhi terhadap diri seseorang dalam kehidupan orang tersebut. Penggaruh
yang di timbukan dari ajaran tersebut
cukup beragam, tergantung dari ajaran yang disampaikan kepada seseorang
tersebut, dapat berdampak negatif dan dapat juga berdampak positif, ada kalanya
menjadi moderat dan ada kalanya menjadi ekstrim dalam kehidupan seseorang
tersebut. Dalam realita kehidupn ini, sebuah ajaran dapat memduduki posisi yang
tinggi dalam lingkup sosial-budaya dan dikesempatan yang lain dapat menempati
kedudukan terendah. Ajaran dapat menjadi
alat siasat untuk mendapatkan hal yang diharapkan atau dapat juga menjadi
piguran kehidupan yang hanya terpampang saja, hal tersebut tergantung dari isi
kandungan ajaran tersebut dan gerak lagkah untuk menyebar luaskan ajaran
tersebut, yang secara tidak langsung
dapat melahirkan berbagai asumsi dari masyarakat yang menjadi objek pendakwahan
ajaran tersebut, dapat diterima atau tertolak.
Dimungkinkan fenomena tersebut dapat terjadi
disentro penjuru dunia, sama halnya yang
terjadi dalam agama islam. Menurut hemat penulis, hal tersebut dapat
diasumsikan sebagai imbas dari kepentingan-kepentingan politik perebutan
kekuasaan dan bukan dalam ranah persoalan teologis. Tetapi hal tersebut dapat
berubah seiring perkembangan pola pikir, menjadikan hal tersebut sebagai
persoalan teologi agama. Seperti yang telah di ungkapkan, fenomena ini juga
terjadi dalam diri islam paska Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam
wafat, perpecahan dalam diri islam pun mulai bertunas yang diawali sejak
adanya pemilihan pimpinan umat islam –khalifah- kedepan. Persoalan
tersebut timbul karena adanya kepentingan-kepentingan yang mendasari, baik
kepentingan pribadi sampai kelompok simpatisan terhadap kelompak tersebut
ataupun perbedaan teologi. Hal tersebut bisa dikatagorikan sebab adanya
perebutan kusri jabatan ke-khalifah-an, katagori ini bersifat umum dalam
penilain.
Dalam kesempatan kali ini kami akan membahas fenomena
tersebut, yang terjadi paska Nabi Muhamad shalallahu alaihi wassalam
wafat, tepatnya pada masa kepemimpinan khalifah sayyidina Ali bin Abi
Thalib, lebih spesifik terhadap ormas masyarakt khawarij, yang nantinya
menjadi salah satu sekte teologi dalam diri islam.
B. Rumusan permasalahan
I.
Sejarah berdirinya organisasi masyarakat (ormas) Khawarij.
II.
Tokoh dan asas teologi pemikiran.
BAB II PEMBAHASAN
I. Sejarah berdirinya organisasi masyarakat
(ormas) Khawarij.
Persoalan pemilihan kepemimpinan umat islam,
tentang siapa yang akan menjabat sebagai pemimpin umat islam paska Nabi
Muhammad shalallahu alaihi wassalam wafat 632M[1]
untuk selajutnya, menjadikan pelangi dalam dunia islam. Pada masa itu
perebutan atas siapa yang pantas menjadi pemimpin sebagai penerus tongkat
estafet kepemimpinan setelah Nabi wafat, baik sebagai imam bagi kaum muslim
dalam bidang agama maupun sebagai pimimpinan pemerintahan negara islam pada
khususnya. Pertentangan tersebut terjadi antara kubu Anshar dan Muhajirin,
dari Anshar di wakili oleh Sa’id bin ‘Ubadah dan dari Muhajirin diwakili oleh
Ali bin Abi Thalib, masing-masing kubuh berkumpul di tempat yang berbeda[2].
Kesepakan antara kedua kubu akhirnya memuai
hasil, dengan ditetapkan shahabat Abu bakar sebagai Khalifah. Seiring
pergantian masa, jabatan khalifah pun ikut berganti, di lanjutkan dengan
pergantian khalifah dari Shahabat Abu Bakar As Siddiq (11-13H/632-634M)
yang digantikan oleh shahabat Umar bin al-Khatab (13-23H/634-644M), dan
berlanjut dengan dipilihnya shahabat Ustman bin Affan (23-35H/634-656M) dan
dilanjutkan oleh shahabat Ali bin Abi thalib. Tidak dipungkiri di setiap masa
jabatan khalifah mengalami polemik politik kekuasaan, seperti halnya asal-usul
timbulnya organisasi-organisasi masyarakat
–selanjutnya diyakini sebagai sekte teologi agama dalam islam- pada masa
pemerintahan khalifah Utsman yang dipropaganda oleh seseorang yahudi bernama
Abdullah bin Saba’ dengan politiknya memeluk agama islam, tidak lain bertujuan
untuk memperoleh fasilitas pribadi dari Khalfah Ustman. Usahanya tersebut tidak
memuai hasil, sehingga membuat sayatan pada hatinya yang menyebabkan dia mulai bertindak
dengan akal cerdiknya membuat isu-isu yang bertujuan untuk menghanjurkan
khalifah Utsman dengan cara melancarkan propagannya anti khalifah –khalifah
Ustman- dan menyebarkan faham fanatik terhadap shahabat Ali bin Abi Thalib dengan
cara penyanjungan secara berlebihna terhadap shahabat Ali. Propaganda tersebut
memuai hasil dengan adanya sambutan, tangapan aksi dan dukungan dari sebagian
masyarakat, diantaranya dari kota Madinah sendiri, Mesir, Kufah, Basrah dan
lain-lain[3].
Dari sinilah perpecahan dalam islam sangat
Nampak dan berimbas kesetabilan tidak terjaga, baik ditatanan pemerintahan
maupun keagamanaan –akidah- yang berimbas timbullah sekte-sekte dalam islam. Sejarah
mencatat kiranya ada beberapa sekte yang nantinya menjadi pokok kelahiran
berbagai cabang-cabang sekte; yaitu: Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu'tazilah dan
Ahlu as-Sunnah.
Seperti yang telah dijelaskan di atas,
bawasanya keberadaan sebuah sekte atau suatu organisasi masyarakat, salah satu
latar belakang sekaligus poin yang amat penting atas berdirinya sebuah sekte
adalah permasalahan soal politik kekusaan yang memakai label agama. Hal ini,
tidak terkecuali asal-usul berdirinya sekte penentang terhadap pemerintahan
yang dikepalai oleh shahabat Ali bin Abi Thalib dan juga lawan politik
kekuasaan yang mengatasnamakan penegak kebenaran atas hal yang dilakukan Mu’awiyyah.
Ketidak puasaan rakyat atas kebijakan yang
dilakuakan oleh suatu pemerintahan, dapat memicu adanya gerakan pemberontak
terhadap penguasaa yang sah. Tidak jauh berbeda yang terjadi antara diri
khalifah Ali bin Abi Thalib dengan golongan yang dulunya menjadi pendukung bagi
kekhalifahan shahabat Ali bin Abi Thalib –khawarij-. Begitu juga protes
yang datang dari kubu Mu’awiyah, dengan mengatasnamakan pembela shahabat Utsman
yang wafat dibunuh dan menuntut khalifah Ali. Ra, untuk mengusut dan menghukum
siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan Shahabat Utsman[4].
Protes yang datang dari sebagian kubu
pendukung khalifah Ali, berawal dari ketidak setujuan mereka terhadap khalifah
Ali karena beliau menerima arbitrase. Pasalnya menurut mereka, perselisihan
yang terjadi antara khalifah Ali dengan Gubernur Muawiyah tidak dapat
diselesaikan hanya dengan arbitrase manusia, penguatan statment tersebut
diperkuat dengan argumen bahwasannya putusan hanya datang dari Allah dan harus
kembali kepada hukum-hukum yang tercantum dalam al Qur’an[5],
dengan selogan mereka La hukma illa billah (tidak ada hukum selain dari
Allah) dan lain-lain yang senada dengan kalimat tersebut. Dalam pemberian hukum
terhadap hal tersebut mereka memandang shahabat Ali telah berbuat dosa besar
dan menetapkan hukum kekafiran terhadap shababat Ali, tidak hanya lebel kafir
menempel di diri shahabat Ali, melainkan juga terhadap Mua’awiyyah, Abu Musa
as-Sya’ari, Amr bin ‘Ash dan semua yang terlibat menerima arbitrase tersebut.
Landasan menempatkan hukum, mereka mengambil dalil dari Al Qur’an surah
Al-Maidah ayat 44:
........... وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.”
Menurut Harun Nasution, pemahaman kafir yang
dijadikan ciri khas kelompok ini yang diambil dari ayat tersebut, bermakna
orang yang keluar dari Islam, yaitu Murtad. Dari persoalan inilah, muara adanya
penamaan status siapa yang kafir dan siapa yang bukan, siapa yang telah keluar
dari islam, siapa yang masih berada dalam islam. Sehingga semua itu menjadi
ciri sekaligus landasan hukum yang menjadikan mereka diberi nama sebagai golongan Khawarij.
Khawarij berasal dari kata Kharaja fi’il madli bermakna
keluar, sedangkan khawarij sama arti dengan kata haruriyyah
(kemerdekaan), Kharijiyyah (eksternal, bagian luar, sebelah luar, di
luar, keluar, asing) yang artinya sekte golongan tersebut yang tetap berada di
dalam sekte tersebut, khawarij merupakan suatu nama orang-orang yang keluar
dari manusia karena merasa paling baik, khawarij merupakan golongan yang
tingkah dan ucapannya melampoi batas[6]. Dalam
hal ini, Asy Syahrastani memberikan definisi tiap yang berontak kepada imam
yang benar yang disetujui oleh jama’ah dinamakan Khawarij, baik
berontaknya pada masa shahabat terhadap khulafatur rasyidin atau
pada masa sesudahnya yaitu terhadap tabi’in dan imam-imam pada setiap
zaman[7].
Dalam hal ini arti Khawarij difahami sebagai
orang-orang yang ke luar dari barisan shahabat Ali bin Abi Thalib, seperti yang
telah dijelaskan mereka –khawarij- merupakan sebagian pasukan perang
dari shahabat Ali yang keluar dari barisan pendukung shahabat Ali. Adapun
pemberian nama Khawarij didasarkan pada surah An-Nisa’ ayat 100 yang
artinya
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ...................
“Ke luar dari rumah lari kepada Allah dan
rasul Nya.”
Dengan pemahaman mereka, menganggap diri
mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk
mengabdikan dirinya kepada Allah dan rasulNya[8]. Selain
nama Khawarij sebagai nama label golongan tersebut, ada beberapa nama lain yang
digunakan sebagai penamaan golongan mereka yang mana-nama tersebut disandarkan
oleh mereka sendiri di golongan mereka, seperti Syurah yang berasal dari
kata Yasyri (menjual) yang didasari pada surat Al-Baqarah ayat 207. Adapun
nama-nama lainnya diantaranya Haruriyah yang berasal dari kata Harura[9], sebuah tempat yang menjadi semula dijadikan
maskas mereka dan nantinya mereka membuat markas ditempat yang berbeda, saat itu
mereka berjumlah mencapai dua ratus ribu[10]
pengikut dan disinilah mereka memilih Abdullah bin Wahb sebagai imam mereka. Di
tempat inilah mereka menyusun kekuatan dan strategi untuk melawan pemerintahan
khalifah Ali, tetapi usaha mereka tidak memuai hasil, mereka kalah, Setelah
kekalahan mereka, mereka menyusun kekuatan kembali guna membalas kekalahan
mereka, dalam pertempuran kedua mereka dengan pasukan khalifah Ali, mereka
memuai hasil dengan ditandai kematian shahabat Ali oleh ‘Abd al-Rahman bin
Muljam[11].
Setelah mereka meninggalkan tempat itu, mereka
membuat dua markas yang bertujuan untuk menguasai dan mengkontrol kaum mereka. Markas
yang pertama berada di Bathaih yang bertugas bergerak untuk menguasai dan
mengkontrol kaum mereka yang berada di Persia dan sekeliling Irak. Dan markas
yang kedua berada di dataran Arab untuk memonitori dearah Yaman, Hadlramaut dan
Thaif. Sedangkan tokoh-tokoh mereka Nafi’ bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah,
sedangkan di dataran Arab Abu Thaluf, Najdat bin ‘Ami dan Abu Fudaika[12].
Perlawanan mereka tidak berhenti disini, mereka melanjutkan penyerangan mereka
terhadap kekuasaan islam resmi lainnya baik pada zaman Dinasti Bani Umaiyyah
maupun pada zaman dinasti Bani Abbassiyyah.
Landasan mereka menyerang dan berhasrat
menjatuhkan pemerintahan-pemerintahan yang resmi, karena sekte khawarij
berangapan mereka para pemerintahan telah menyeleweng dari islam, maka dari itu
khawarij menyerang pemerintahan. Sampai sekarang perkembangan sekte ini masih
ada dan menempati di daerah Tripoli barat, Aljazair, Pulau Zanzibar dan Oman di
Jazair Arab, populasi mereka tercatat mencapai 25. 000 jiwa[13].
II. Tokoh dan asas teologi pemikiran
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya, perseteruhan
yang melibatkan kubu Mu’awiyyah, kubu Ali dan sekte khawarij, berimbas carut
marutnya tatanan pemerintahan yang cenderung terlatar belakangi oleh politik
kekuasaan yang dikemas atas nama teologi agama, menjadikan timbulnya berbagai
macam sekte teologi agama dalam diri islam. Tidak dipungkiri sebab munculnya
sekte-sekte aliran teologi, hanya mereka yang bertangung jawab atas semua itu
dan juga bukan hanya sekte khawarij saja yang tumbuh di sejarah masa itu. Terbukti
selain khawarij, terdapat juga sekte syi’ah, murji’ah dan mu’tazilah. Menurut
penulis, sesungguhnya yang berhak bertangung jawab atas semua itu adalah
‘Abdullah bin Saba’ karena sebab kelicikan, propaganda, dan semua hal yang
dilakuaknnya bertujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam, sebagai penyebab
semua itu.
Persoalan sekte khawarij dengan khalifah Ali
berserta fanatiknya yang masih setia kepadanya, bermuara pada ketidak sepakatan
sekte khawarij terhadap kahlifah Ali, lantaran khalifah Ali sepakat mengadakan
arbitrase dengan Mu’awiyah beserta pendukungnya, walaupun Khalifah Ali sendiri terpaksa
melakukannya[14].
Menurut hemat penulis, keadaan tersebut menjadikan dilemma dalam diri khalifah.
Apabila khalifah Ali menuruti kemauan sekte khawarij, bias jadi akan
dimanfaatkan kesempatan tersebut oleh
pihak muawiyah mempropagandai
masyarat pada umumnya, sehingga kahawatiran khalifah Ali tentang rakyatnya bila
khlifah menyetujui kemauan khawarij akan memperkeruh dunia politik yang ada. Selain
itu tuntutan sekte khawarij adalah menuntut khalifah Ali untuk menbatalkan
arbitrase dan menyuruh Ali untuk bertobat dan mengakui kesalahannya, karena
menurut asumsi mereka, khalifah Ali telah berbuat dosa besar. Selain pandangan
mereka terhadap khalifah Ali demikian, mereka juga menghukumi kesalahan
Mu’awiyah lantaran Mu’awiyah ikut serta menentang dan memberontak melawan
kekuasaan penguasa setelah khalifah Utsmasn dan sebab Mu’awiyah termasuk
kerabat dari khalifah Utsman, sedangkan khalifah Utsman dihukumi oleh mereka
lantaran nepotismennya[15]. Maka
sebab dari itu, mereka menghukumi sebagai murtadiyun dan berdosa besar yang
menjadikan mereka sebagai kafir dan pemimpin yang tidak sah, dan jihad membunuh
mereka hukumnya wajib.
Terkait dengan teologi yang dianut oleh
khawarij, mereka hanya mengenal dalam filsafat mereka dua katagori; mukmin atau
kafir. Menurut hemat penulis, persoalan teologi yang terjadi di antara khawarij
dengan kubu Mu’awiiyah, kubu Khalifah Ali pada khususnya, bersumber adanya
ketidak puasan dari pihak khawarij atas langkah dan kebijakan yang di tentukan
oleh khalifah Ali, sedangkan mereka menyeret permaslahan tersebut ke ranah
politik, sedangkan yang lebih dominan adalah persoalan politik dan dengan
teologi pemahaman mereka, mereka gunakan sebagai ukuran suatu kebenaran menurut
persepsi mereka.
Pada umumnya, orang-orang khawarij terdiri
dari bangsa Arab Baduwi yang hidup bersosial di daerah padang pasir. Corak gaya
hidup mereka cenderung sederhana mudah memikirkan suatu hal-hal yang perlu
bahas menurt mereka. Berbeda dalam segi watak, mereka lebih menonjolkan watak
keras hati, pemberani, bersikap merdeka tidak bergantung kepada orang lain dan
bahkan berani mati. Diperkirakan ajaran agama dan perubahannya yang datang
kepada mereka, tidak dapat merubah sifat-sifat Baduwi mereka yang lebih
menekankan ekstremis daripada keluwesan. Mereka terbilang sebagai golongan yang
jauh dari ilmu pengetahuan. Dari sebab itu, mereka menjadikan ajaan-ajaran yang
ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sebagai tolak ukur penilaian dengan mengartikan
bahwa semua yang ada dalam dua sumber hukum tersebut, harus dilaksanakan sepenuhnya
secara pemahaman lafdzi[16]
ditambah dengan sikap fanatik, mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan
ataupun perbedaan cara pandnag orang lain terhadap ajaran islam walaupun
bersifat kecil ataupun cabang-cabang ajaran agama. Maka dari itu, kemungkinan besar
penyebab terpecahnya sekte khawarij ke berbagai sekte-sekte kecil lainnya.
Menurut Asy Syahrastani dalam karyanya Al-Milal Wa al-Nihal, beliau
menyebutkan bahwa sekte khawarij terpecah menjadi delapan belas sub sekte, sedangkan menurut Muhammad ‘Ali
Subeih al-Baghdadi menuturkan dalam karyanya Al-Farq baina al-Firaq,
ikhawarij terbegi menjadi dua puluh sub sekte dan menurut Al-Asya’ari jumlah
sekte yang ada lebih besar lagi daripada kabar yang di berikan oleh Asy
Syahrastani dan Al-Baghdadi. Mengingat jumlah yang sangat besar, penulis
bemaksud hanya akan mengutarakan sebagian dari sekte-sekte yang ada.
Al-Muhakkimah, sekte ini asli berangotakan
dari pengikut-pengikut khalifah Ali. Sama halnya sekte khawarij pada umumnya,
mereka memandang shabat Ali, Mu’awiyyah, Amr bin ‘Ash, Abu musa al- Asy’ari dan
semua yang terlibat dalam arbitrase telah melalakuka dosa besar, maka mereka
menjadi murtadin atau orang kafir. Label kafir ditetapkan ketia siapa
saja yang berbuat dosa besar, pemimpin dari sekte ini adalah Abdullah ibn Wahhab al-Rasyidi[17].
Al-Azariqah, sekte ini terbilang cukup kuat
dalam menyusun barisan, golongan ini berdiri setelah golongan Al-Muhakkimah
hancur. Sedangkang daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dan
Iran, nama golongan ini dinisbatkan dari Nafi’ bin al-Azraq. Tercatat jumlah
pengikut golongan ini mencapai lebih dari 20 ribu pengikut. Sedangkan gelar
kepala pimpinan kelompok ini bergelar Amir al-Mu’minin, tokoh dan
sekaligus menjadi pimpinan pertama golongan ini adalah Nafi’ ibn al-Azraq. Dia
gugur ketika pertempuran di Irak di tahun 686 M[18].
Sekte ini termasuk sekte yang paling radikal
bila dibandingkan dengan Al-Muhakkimah. Di sekte ini term kafir tidak lagi
menjadi label hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, melaikan dengan term musyrik.
Dalam sekte ini, term musyrik diartikan tidak sebatas ketika
menyekutukan Allah, lebih spesifik term ini diberikan kepada orang-orang islam
yang tidak sefaham, tidak bertempat dengan mereka, bahkan orang yang mengaku
berfaham Al-Azariqah di dearah yang jauh dengan daerah mereka, tetapi tidak mau
berhijrah ke daerah mereka, maka orang itu termasuk musyrik. Kepercayaan
atas pengakuan orang yang sefaham mengenut Al-Azariqah, tidak sebegitu mudah
untuk diterima dikalangan mereka, mereka menguji orang yang mengaku sefaham
dengan cara menyerahkan tawanan untuk dibunuh, sedangkan apabila orang tersebut
tidak mau membunuh maka orang tersebutlah yang akan dibunuh, bukan hanya
seseorang itu saja yang mendapat imbasnya, bahkan istri dan anaknya boleh
dijadikan tawanan atau dibunuh. Hal ini berlaku tidak hanya untuk seseorang
yang tidak mau membunuh tadi, tetapi berlaku juga untuk siapa saja yang
dianggap musyrik. Tindakan mereka yang lebih ekstrim diperlihatkan
dengan agenda menanyai bagi siapa saja yang berpapasan dengan mereka, apabila
terungkap orang-orang yang berpapasan tidak sefaham dengan mereka maka oang
tersebut akan dibunuh[19].
Al-Najdat, sekta ini, diambil dari nama Najdat ibn ‘Amir al-Hanafi
dari Yamamah. Sekte ini pada awalnya bermaksud untuk bergabung dengan sekte
Al-Azariqah, tetapi lantaran adanya perbedaan cara pandang sehingga mereka
mengalami perpecahan, seperti pemisahan diri Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan
Atiah ibn al-Hanafi dari sekte Al-Azariqah. Hal ini, terjadi karena mereka yang
memisahkan diri dari sekte al-Azariqah, tidak sepakat dengan hukum yang
dicetuskan oleh sekte Al-Azariqah; bahwasanya, mereka yang mengaku sebagai
pengikut sekte Al-Azariqah, tetapi tidak berdomisili bermukim di lingkungan
kekuasaan sekte Al-Azariqah dan tidak mau hijrah ke lingkungan kekuasaan sekte
Al-Azariqah, maka dihukumi musyrik dan anak istri mereka halal dijadikan
tawanan bahkan diperbolehkan untuk di bunuh. hal ini kemungkinan disebabkan ada
maksud lain dari mereka yang memisahkkan diri dari Al-Azariqah[20],
dimungkinkan adanya unsur perebutan kekuasaan karena pada dasarnya sekte
khawarij, secara umum bertindak atas nama politik dan mengunakan teologi agama
sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan mereka.
Setelah Abu Fudaik resmi memisahkan diri
dengan sekte Al-Azariqah, dia dan pegikutnya bertolak ke Yamamah. Disini mereka
menyusun strategi dan menyusun kekuatan, dengan cara berkoalisi dengan kelompok
Najdah. Strategi Fudaik untuk mendapat dukungan, dia mengangkat Najdah ibn
‘Amir al-Hanafi sebagai imam baru bagi kedua kelompok tersebut. Jadi sejak
ditetapkannya Najdah sebagi Imam baru bagi mereka, mereka tidak lagi mengakui
Nafi’ sebagai imam baginya, strategi ini dilancarkan oleh Fudaik lantaran
Najdah sebagai orang yang berpengaruh dan dihormati.
Berbeda dengan dua sekte yang telah dijelaskan
terkait dengan pemberian hukum terhadap orang yang berdosa besar, dalam sekte
ini mereka menghukumi orang yang berbuat dosa besar tetap mu’min, tetap
menerima siksaan tetapi tidak dalam neraka dan dapat masuk surga. Sekte ini
cukup lunak dalam menetapkan hukum, terbukti mereka tidak dengan mudahnya
menghukumi seseorang dengan term kafir bagi pelaku dosa besar. Mereka
berpendapat, apabila dosa kecil terlalu bahkan selalu di ulang-ulang maka akan
menjadi dosa besar dan akan menjadi musyrik.
Asas yang mereka gunakan sebagi pondasi akidah
mereka dengan pendapat, bahwa kewajiban muslim mengetahui Allah dan
Rasul-rasulNya, mengetahui keharaman membunuh orang islam dan percaya apa saja
yang diwahyukan Allah kepada rasulNya. Sedangkan maksud dari orang islam adalah
orang-oarang yang segolongan dan sefaham dengan mereka, adapun jika dari mereka
tidak mengetahui suatu hal tersebut rupanya haram, maka mereka akan memaafkan
hal itu[21].
Pandangan mereka dalam masalah Khalifah, mereka
berpendapat bahwasanya adanya imam diperlukan apabila dari rakyat menghendaki
adanya imam. Tercatat bahwa golongan ini yang mengawali faham taqiah, dalam
arti menyembunyikan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri
seseorang tersebut. Perbuatan tersebut diperblehkan tidak hanya dengan ucapan
melainkan dengan perbuatan, perbuatan itu dapat dikatagorikan sebagai politik
mereka untuk mengelabui lawan mereka. Namun tidak semua pegikut dari kelangan
sekte ini, menyetujui ajaran-ajaran di atas terutama faham yang menerangkan
dosa besar tidak dapat membuat pelakunya mejadi kafir, perpecahan dalam tubuh
sekte ini, disinyalir berawal dari ranah politik yang mana terjadi sebab pembagian
barang-barang rampasan perang, yang mungkin dirasa mereka kurang adil sehingga
menjadikan mereka berontak dan di tambah dengan sikap Najdah yang begitu lunak
terhadap khalifah Abd al-Malik ibn marwan dari dinasti Umayyah. Dari sinilah
perpecahan terjadi, dengan ditandai keluarnya Abu Fudaik, Rasyid al-tawil and
‘Athiah al-Hanafi dari barisan golongan Najdah. Setelah kejadian itu, ‘Athiah
mengasingkan diri ke Sajistan di Irak, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid menyusun
rencana dan membentuk pasukan guna menyerang Najdah, usaha mereka berdua
mendapatkan hasil dengan tertangkapnya Najdah dan memenggal lehernya[22].
Al-Ajaridah, sekte ini mengambil nama untuk
golongan mereka dari nama ‘Abd al-Karim ibn ‘Ajrad dan sekaligus sebagai tokoh
pemimpin di golongan tersebut. Dalam pandangan hukum mereka, hijrah bukanlah
merupakan kewajiban seperti yang di jadikan sebagai ajaran sekte Nafi’ dan
Najdah, melainka hanya kebajikan. Adapun ketika seseorang yang menjadi pengikut
sekte ini tidak berada dalam lingkungan kekuasaan mereka, seseorang itu tidak
dihukumi sebagai kafir. Menyikapi sesuatu yang boleh dijadikan rampasan
perang, mereka berpendapat semua harta
boleh dijadikan rampasan perang dengan catatan harta tersebut dari orang-orang
yang telah mati terbunuh dan anak kecil dihukumi tidak bersalah, tidak pula musyrik
sebab orang tuanya musyrik. Salah satu faham yang dianut oleh sekte ini,
yaitu faham puritanisme dan memandang surah Yusuf dalam Al-Qur’an bukan
termasuk bagian dalam Al-Qur’an, asumsi mereka bahwa dalam Al-Qur’an tidak
mengandung ciretera cinta karena Al-Qur’an adalah kitab suci, asumsi mereka
bertendensikan sebab dalam surah Yusuf mengandung ciretera cinta[23].
Seperti halnya perpecahan sekte-sekte kecil
dari sekte khawarij, kejadian tersebut terjadi juga dalam diri sekte Al-Jaridah
yang terpecah menjadi beberapa bagian kecil; seperti golongan Al-Maimuniah,
golongan Al-Hamziah, kedua golongan tersebut menganut faham Qadariah; sedangkan
golongan Al-Syu’aibiah dan Al-Hazimiah mengikuti faham jabbariah[24].
Al-Sufriah, tokoh sekaligus pemimpin sekte ini
bernama Ziad ibn al-‘Asfar, sekte ini terbilang sebagai sekte yang dekat dengan
sekte al-Azariqah dalam ekstrimnya[25]. Tetapi
dalam sekte ini terdapat hal dan sebab yang dapat menyebabkan mereka lebih
lunak, adapun hal-hal dan sebab tersebut, sebagai berikut;
Orang sufriah yang tidak berhijrah tidak
dipandang kafir, mereka berpendapat anak-anak yang musyrik tidak boleh dibunuh, dari sebagian mereka
berpendapat bahwa tidak musyrik bagi para pelaku dosa besar; dari sebagian
mereka pula membagi dosa besar menjadi dua bagian, pertama dosa besar yang apabila
dilakukan akan mendapat sangsi didunia, kedua dosa besar yang apabila dilakukan
maka tidak ada ampun baginya dan pelaku dihukumi kafir, daerah yang tidak
sepaham dengan faham sekte mereka bukan daerah yang harus diperangi, mereka
hanya manyerang camp pemerintah sedangkan anak-anak dan perempuan tidak boleh
dijadikan tawanan, mereka membagi term kufr menjadi dua yaitu kufr atas
nikmat dan rahmat dari Allah dan kufr atas pengingkaran terhadap Allah[26].
Adapun pendapat mereka yang lebih spesifik
sebagai ciri dari sekte ini adalah, pandapat yang mengatakan bahwa Taqiah
hanya boleh berupa ucapan saja dan selanjutnya pendapat tentang diperbolehkan
perempuan-perempuan islam menikah dengan laki-laki kafir jika hanya sebagai
upaya menyelamatkan dan mengamankan dirinya[27].
Al-Ibadah, nama sekte ini di ambil dari nama
‘Abdulllah ibn ‘Ibad[28],
sekte ini termasuk yang paling moderat dari berbagai sekte-sekte khawarij, hal
ini di lihat dari berbagai pendapat mereka, diantaranya. Seseorang yang islam atau
daerah islam yang tidak berfaham sama dengan mereka tidak mu’min dan tidak
musyrik melainkan mereka kafir, tetapi dari mereka diperbolehkan berinteraksi
dengan sekte ini, bahkan di perbolehkan menikah dan waris mewaris; daerah
orang-orang islam yang tidak sefaham dengan mereka tidak boleh diserang
diperangi, daerah tersebut termasuk daerah yang mengEsakan Allah, sedangkan
daerah yang harus diperangi adalah daerah orang kafir dalam hal ini adalah camp
pemerintah; orang islam yang melakukan dosa besar tetap dihukumi orang yang
mengEsakan Allah dan tetap mu’min, kalaupun kufr hanya kufr
nikmat rahmat dari Allah bukan kufr berpaling kepada Allah; sesuatu yang
boleh dijadikan rampasan perang hanyalah kuda dan senjata selebihnya dikembalikan
ke pemiliknaya.
Tindakan sekte ini cukup membuat sejarah
berbicara lain tentang sekte khawarij pada umunya, lantaran sekte ini bertindak
dan berkoalisi dengan khalifah yang berkausa pada masa itu guna menumpas
sekte-sekte khawarij yang berfaham ekstrim. Kemungkinan dari sebab itulah sekte
ini masih tetap ada menjadi pelangi didunia ini khususnya dalam dunia islam.
Mereka tersebar diberbagai daerah diantaranya, Afrika Utara (Tripolitania dan
Tahet), Afrika Timur (Zanzibar), Yaman dan Oman yang hanya satu-satunya daerah
yang mengunakan akidah sekte ini sebagai agama resmi mereka[29].
Adapun sekte ekstrim dari khawarij, kini termakan zaman tidak ada penerus dan
tidak juga berkembang. Tetapi ajaran-ajaran ekstrim mereka masih membekas dan
masih mempunyai pengaruh walaupun tidak banyak dalam masyarakat sekaranag. Adapun
pengaruh tersebut mengilhami kelompok-kelompok radikal kontemporer sebagai
penerus mereka, seperti kelompok radikal Takfir wa al-Hijrah di Mesir
dan begitu juga Jama’ah al-Jihad[30].
BAB III PENUTUP
A. Ringkasan
Sekte Khawarij berdiri setelah pasca
kesepaatan khalifah Ali dan gubernur Mu’awiyah mengadakan arbitrase bersama,
disebabkan atas kekecewaan mereka terhadap keputusan khalifah Ali yang tidak
mengindahkan mereka. Khawarij disini dalam arti kumpulan orang-orang yang
keluar dari barisan pasukan dari pihak khalifah Ali. Khawarij terbagi menjadi
berbagai sekte-sekte bagian, diantaranya Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat,
Al-Ajaridah, Al-Sufriah, Al-ibadiah dan sekte-sekte lainnya. Pengaruh mereka
terhadap dunia kontemporer masih ada walaupun sedikit.
B. Datar pustaka
Al ‘Amqari,
Abdul Malik bin Hasyim, Sirah an Nabawyah, Natata
software,2002-2003.
Asy Syahrastani, Abu al Fattah Muhammad Abdu
al Karim, Al Milal Wa an-Nihal, kairo: Muassasah Al Halaby, 1968.
Esponsito, John
L., ISLAM WARNA WARNI: Ragam Ekspresi Menuju “jalan lurus” (al-Shirrat
al-Mustaqim), diterjemah oleh Arif Maftuhin dari “Dosen IAIN sekarang UIN
Sunan Kalijogo”, Jakarta: PARAMADINA, 2004.
Ibn Mandzur, Ibn Jamal al-Din Muhammad ibn
Mukram, Lisan al ‘Arab, Kairo: Darru al-Ma’arif, 1119.
Kurnia, Fahmi,
“Definisi tokoh-tokoh khawarij dan sekte”, http://fahmikurniaartikel.blogspot.com/2012/07/definisi-tokoh-tokoh-khawarij-dan-sekte.html, diakses pada 27 Juli 2012.
Nasir, Sahilun A., PENGETAR ILMU KALAM
, Jakarta: raja wali press, 1991.
Nasution, Harun, TEOLOGI ISLAM: ALIRAN-ALIRAN
SEJARAH ANALISA PERBANDINGAN, Jakarta: Penerbit Universitas Indinesia,
1986.
[1] Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM: ALIRAN-ALIRAN SEJARAH ANALISA
PERBANDINGAN (Jakarta: Penerbit Universitas Indinesia, 1986), h. 3.
[2]
E-book: Abdul Malik bin Hasyim al ‘Amqari, Sirah an Nabawyah,(Natata
software,2002-2003), h. 115-116.
[3]
Sahilun A. Nasir, PENGETAR ILMU KALAM (Jakarta: raja wali press), h. 63.
[4]
Harun Nasution, Op. cit. h. 4-5.
[6] Ibn
Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn Mandzur, Lisan al ‘Arab (Kairo:
Darru al-Ma’arif, 1119), h. 1126.
[7] Abu
al Fattah Muhammad Abdu al Karim Asy Syahrastani, Al Milal Wa an-Nihal
(kairo: Muassasah Al Halaby, 1968), h. 114.
[8]
Harun Nasution, op. cit. h. 11.
[9]
Suatu desa yang terletak di dekat kota kufah Irak
[10]
Sahilu A. Nasir, op. cit. h. 92.
[11]
Harun Nasution, Lo. Cit.
[12] Sahilun
A. Nasir, op. cit. h. 94.
[13]
Ibid. h. 95.
[14]
Sahilun
[15]
John L. Esponsito, ISLAM WARNA WARNI: Ragam Ekspresi Menuju “jalan lurus”
(al-Shirrat al-Mustaqim), diterjemah oleh Arif Maftuhin dari “Dosen IAIN
sekarang UIN Sunan Kalijogo”, (Jakarta: PARAMADINA, 2004), h. 88.
[17] Fahmi Kurnia, “Definisi tokoh-tokoh khawarij
dan sekte”, http://fahmikurniaartikel.blogspot.com/2012/07/definisi-tokoh-tokoh-khawarij-dan-sekte.html, diakses pada 27 Juli 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar