Minggu, 19 Maret 2017

SPI; Sejarah berdirinya organisasi masyarakat (ormas) Khawarij. KHOWARIJ DAN SPARATISNYA



BAB I PENDAHULUAN
 SPI; Sejarah berdirinya organisasi masyarakat (ormas) Khawarij. KHOWARIJ DAN SPARATISNYA
A.     Latar belakang
Sebuah ajaran tidak dipungkiri, dapat mempengaruhi terhadap diri seseorang dalam kehidupan orang tersebut. Penggaruh yang di timbukan dari ajaran  tersebut cukup beragam, tergantung dari ajaran yang disampaikan kepada seseorang tersebut, dapat berdampak negatif dan dapat juga berdampak positif, ada kalanya menjadi moderat dan ada kalanya menjadi ekstrim dalam kehidupan seseorang tersebut. Dalam realita kehidupn ini, sebuah ajaran dapat memduduki posisi yang tinggi dalam lingkup sosial-budaya dan dikesempatan yang lain dapat menempati kedudukan terendah. Ajaran dapat  menjadi alat siasat untuk mendapatkan hal yang diharapkan atau dapat juga menjadi piguran kehidupan yang hanya terpampang saja, hal tersebut tergantung dari isi kandungan ajaran tersebut dan gerak lagkah untuk menyebar luaskan ajaran tersebut, yang  secara tidak langsung dapat melahirkan berbagai asumsi dari masyarakat yang menjadi objek pendakwahan ajaran tersebut, dapat diterima atau tertolak.
Dimungkinkan fenomena tersebut dapat terjadi disentro penjuru dunia, sama halnya  yang terjadi dalam agama islam. Menurut hemat penulis, hal tersebut dapat diasumsikan sebagai imbas dari kepentingan-kepentingan politik perebutan kekuasaan dan bukan dalam ranah persoalan teologis. Tetapi hal tersebut dapat berubah seiring perkembangan pola pikir, menjadikan hal tersebut sebagai persoalan teologi agama. Seperti yang telah di ungkapkan, fenomena ini juga terjadi dalam diri islam paska Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam wafat, perpecahan dalam diri islam pun mulai bertunas yang diawali sejak adanya pemilihan pimpinan umat islam –khalifah- kedepan. Persoalan tersebut timbul karena adanya kepentingan-kepentingan yang mendasari, baik kepentingan pribadi sampai kelompok simpatisan terhadap kelompak tersebut ataupun perbedaan teologi. Hal tersebut bisa dikatagorikan sebab adanya perebutan kusri jabatan ke-khalifah-an, katagori ini bersifat umum dalam penilain.
Dalam kesempatan kali ini kami akan membahas fenomena tersebut, yang terjadi paska Nabi Muhamad shalallahu alaihi wassalam wafat, tepatnya pada masa kepemimpinan khalifah sayyidina Ali bin Abi Thalib, lebih spesifik terhadap ormas masyarakt khawarij, yang nantinya menjadi salah satu sekte teologi dalam diri islam.
B.       Rumusan permasalahan
I.                   Sejarah berdirinya organisasi masyarakat (ormas) Khawarij.
II.                Tokoh dan asas teologi pemikiran.
BAB II PEMBAHASAN
I.     Sejarah berdirinya organisasi masyarakat (ormas) Khawarij.
Persoalan pemilihan kepemimpinan umat islam, tentang siapa yang akan menjabat sebagai pemimpin umat islam paska Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam wafat 632M[1] untuk selajutnya, menjadikan pelangi dalam dunia islam. Pada masa itu perebutan atas siapa yang pantas menjadi pemimpin sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan setelah Nabi wafat, baik sebagai imam bagi kaum muslim dalam bidang agama maupun sebagai pimimpinan pemerintahan negara islam pada khususnya. Pertentangan tersebut terjadi antara kubu Anshar dan Muhajirin, dari Anshar di wakili oleh Sa’id bin ‘Ubadah dan dari Muhajirin diwakili oleh Ali bin Abi Thalib, masing-masing kubuh berkumpul di tempat yang berbeda[2].   
Kesepakan antara kedua kubu akhirnya memuai hasil, dengan ditetapkan shahabat Abu bakar sebagai Khalifah. Seiring pergantian masa, jabatan khalifah pun ikut berganti, di lanjutkan dengan pergantian khalifah dari Shahabat Abu Bakar As Siddiq (11-13H/632-634M) yang digantikan oleh shahabat Umar bin al-Khatab (13-23H/634-644M), dan berlanjut dengan dipilihnya shahabat Ustman bin Affan (23-35H/634-656M) dan dilanjutkan oleh shahabat Ali bin Abi thalib. Tidak dipungkiri di setiap masa jabatan khalifah mengalami polemik politik kekuasaan, seperti halnya asal-usul timbulnya organisasi-organisasi masyarakat  –selanjutnya diyakini sebagai sekte teologi agama dalam islam- pada masa pemerintahan khalifah Utsman yang dipropaganda oleh seseorang yahudi bernama Abdullah bin Saba’ dengan politiknya memeluk agama islam, tidak lain bertujuan untuk memperoleh fasilitas pribadi dari Khalfah Ustman. Usahanya tersebut tidak memuai hasil, sehingga membuat sayatan pada hatinya yang menyebabkan dia mulai bertindak dengan akal cerdiknya membuat isu-isu yang bertujuan untuk menghanjurkan khalifah Utsman dengan cara melancarkan propagannya anti khalifah –khalifah Ustman- dan menyebarkan faham fanatik terhadap shahabat Ali bin Abi Thalib dengan cara penyanjungan secara berlebihna terhadap shahabat Ali. Propaganda tersebut memuai hasil dengan adanya sambutan, tangapan aksi dan dukungan dari sebagian masyarakat, diantaranya dari kota Madinah sendiri, Mesir, Kufah, Basrah dan lain-lain[3].
Dari sinilah perpecahan dalam islam sangat Nampak dan berimbas kesetabilan tidak terjaga, baik ditatanan pemerintahan maupun keagamanaan –akidah- yang berimbas timbullah sekte-sekte dalam islam. Sejarah mencatat kiranya ada beberapa sekte yang nantinya menjadi pokok kelahiran berbagai cabang-cabang sekte; yaitu: Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu'tazilah dan Ahlu as-Sunnah.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bawasanya keberadaan sebuah sekte atau suatu organisasi masyarakat, salah satu latar belakang sekaligus poin yang amat penting atas berdirinya sebuah sekte adalah permasalahan soal politik kekusaan yang memakai label agama. Hal ini, tidak terkecuali asal-usul berdirinya sekte penentang terhadap pemerintahan yang dikepalai oleh shahabat Ali bin Abi Thalib dan juga lawan politik kekuasaan yang mengatasnamakan penegak kebenaran atas hal yang dilakukan Mu’awiyyah.
Ketidak puasaan rakyat atas kebijakan yang dilakuakan oleh suatu pemerintahan, dapat memicu adanya gerakan pemberontak terhadap penguasaa yang sah. Tidak jauh berbeda yang terjadi antara diri khalifah Ali bin Abi Thalib dengan golongan yang dulunya menjadi pendukung bagi kekhalifahan shahabat Ali bin Abi Thalib –khawarij-. Begitu juga protes yang datang dari kubu Mu’awiyah, dengan mengatasnamakan pembela shahabat Utsman yang wafat dibunuh dan menuntut khalifah Ali. Ra, untuk mengusut dan menghukum siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan Shahabat Utsman[4].
Protes yang datang dari sebagian kubu pendukung khalifah Ali, berawal dari ketidak setujuan mereka terhadap khalifah Ali karena beliau menerima arbitrase. Pasalnya menurut mereka, perselisihan yang terjadi antara khalifah Ali dengan Gubernur Muawiyah tidak dapat diselesaikan hanya dengan arbitrase manusia, penguatan statment tersebut diperkuat dengan argumen bahwasannya putusan hanya datang dari Allah dan harus kembali kepada hukum-hukum yang tercantum dalam al Qur’an[5], dengan selogan mereka La hukma illa billah (tidak ada hukum selain dari Allah) dan lain-lain yang senada dengan kalimat tersebut. Dalam pemberian hukum terhadap hal tersebut mereka memandang shahabat Ali telah berbuat dosa besar dan menetapkan hukum kekafiran terhadap shababat Ali, tidak hanya lebel kafir menempel di diri shahabat Ali, melainkan juga terhadap Mua’awiyyah, Abu Musa as-Sya’ari, Amr bin ‘Ash dan semua yang terlibat menerima arbitrase tersebut. Landasan menempatkan hukum, mereka mengambil dalil dari Al Qur’an surah Al-Maidah ayat 44:
........... وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Menurut Harun Nasution, pemahaman kafir yang dijadikan ciri khas kelompok ini yang diambil dari ayat tersebut, bermakna orang yang keluar dari Islam, yaitu Murtad. Dari persoalan inilah, muara adanya penamaan status siapa yang kafir dan siapa yang bukan, siapa yang telah keluar dari islam, siapa yang masih berada dalam islam. Sehingga semua itu menjadi ciri sekaligus landasan hukum yang menjadikan mereka  diberi nama sebagai golongan Khawarij.
Khawarij berasal dari kata Kharaja fi’il madli bermakna keluar, sedangkan khawarij sama arti dengan kata haruriyyah (kemerdekaan), Kharijiyyah (eksternal, bagian luar, sebelah luar, di luar, keluar, asing) yang artinya sekte golongan tersebut yang tetap berada di dalam sekte tersebut, khawarij merupakan suatu nama orang-orang yang keluar dari manusia karena merasa paling baik, khawarij merupakan golongan yang tingkah dan ucapannya melampoi batas[6]. Dalam hal ini, Asy Syahrastani memberikan definisi tiap yang berontak kepada imam yang benar yang disetujui oleh jama’ah dinamakan Khawarij, baik berontaknya pada masa shahabat terhadap khulafatur rasyidin atau pada masa sesudahnya yaitu terhadap tabi’in dan imam-imam pada setiap zaman[7].
Dalam hal ini arti Khawarij difahami sebagai orang-orang yang ke luar dari barisan shahabat Ali bin Abi Thalib, seperti yang telah dijelaskan mereka –khawarij- merupakan sebagian pasukan perang dari shahabat Ali yang keluar dari barisan pendukung shahabat Ali. Adapun pemberian nama Khawarij didasarkan pada surah An-Nisa’ ayat 100 yang artinya
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ...................
“Ke luar dari rumah lari kepada Allah dan rasul Nya.”
Dengan pemahaman mereka, menganggap diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan dirinya kepada Allah dan rasulNya[8]. Selain nama Khawarij sebagai nama label golongan tersebut, ada beberapa nama lain yang digunakan sebagai penamaan golongan mereka yang mana-nama tersebut disandarkan oleh mereka sendiri di golongan mereka, seperti Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual) yang didasari pada surat Al-Baqarah ayat 207. Adapun nama-nama lainnya diantaranya Haruriyah yang berasal dari kata Harura[9],  sebuah tempat yang menjadi semula dijadikan maskas mereka dan nantinya mereka membuat markas ditempat yang berbeda, saat itu mereka berjumlah mencapai dua ratus ribu[10] pengikut dan disinilah mereka memilih Abdullah bin Wahb sebagai imam mereka. Di tempat inilah mereka menyusun kekuatan dan strategi untuk melawan pemerintahan khalifah Ali, tetapi usaha mereka tidak memuai hasil, mereka kalah, Setelah kekalahan mereka, mereka menyusun kekuatan kembali guna membalas kekalahan mereka, dalam pertempuran kedua mereka dengan pasukan khalifah Ali, mereka memuai hasil dengan ditandai kematian shahabat Ali oleh ‘Abd al-Rahman bin Muljam[11].
Setelah mereka meninggalkan tempat itu, mereka membuat dua markas yang bertujuan untuk menguasai dan mengkontrol kaum mereka. Markas yang pertama berada di Bathaih yang bertugas bergerak untuk menguasai dan mengkontrol kaum mereka yang berada di Persia dan sekeliling Irak. Dan markas yang kedua berada di dataran Arab untuk memonitori dearah Yaman, Hadlramaut dan Thaif. Sedangkan tokoh-tokoh mereka Nafi’ bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, sedangkan di dataran Arab Abu Thaluf, Najdat bin ‘Ami dan Abu Fudaika[12]. Perlawanan mereka tidak berhenti disini, mereka melanjutkan penyerangan mereka terhadap kekuasaan islam resmi lainnya baik pada zaman Dinasti Bani Umaiyyah maupun pada zaman dinasti Bani Abbassiyyah.
Landasan mereka menyerang dan berhasrat menjatuhkan pemerintahan-pemerintahan yang resmi, karena sekte khawarij berangapan mereka para pemerintahan telah menyeleweng dari islam, maka dari itu khawarij menyerang pemerintahan. Sampai sekarang perkembangan sekte ini masih ada dan menempati di daerah Tripoli barat, Aljazair, Pulau Zanzibar dan Oman di Jazair Arab, populasi mereka tercatat mencapai 25. 000 jiwa[13].
II.      Tokoh dan asas teologi pemikiran
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya, perseteruhan yang melibatkan kubu Mu’awiyyah, kubu Ali dan sekte khawarij, berimbas carut marutnya tatanan pemerintahan yang cenderung terlatar belakangi oleh politik kekuasaan yang dikemas atas nama teologi agama, menjadikan timbulnya berbagai macam sekte teologi agama dalam diri islam. Tidak dipungkiri sebab munculnya sekte-sekte aliran teologi, hanya mereka yang bertangung jawab atas semua itu dan juga bukan hanya sekte khawarij saja yang tumbuh di sejarah masa itu. Terbukti selain khawarij, terdapat juga sekte syi’ah, murji’ah dan mu’tazilah. Menurut penulis, sesungguhnya yang berhak bertangung jawab atas semua itu adalah ‘Abdullah bin Saba’ karena sebab kelicikan, propaganda, dan semua hal yang dilakuaknnya bertujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam, sebagai penyebab semua itu.
Persoalan sekte khawarij dengan khalifah Ali berserta fanatiknya yang masih setia kepadanya, bermuara pada ketidak sepakatan sekte khawarij terhadap kahlifah Ali, lantaran khalifah Ali sepakat mengadakan arbitrase dengan Mu’awiyah beserta pendukungnya, walaupun Khalifah Ali sendiri terpaksa melakukannya[14]. Menurut hemat penulis, keadaan tersebut menjadikan dilemma dalam diri khalifah. Apabila khalifah Ali menuruti kemauan sekte khawarij, bias jadi akan dimanfaatkan kesempatan tersebut oleh  pihak muawiyah  mempropagandai masyarat pada umumnya, sehingga kahawatiran khalifah Ali tentang rakyatnya bila khlifah menyetujui kemauan khawarij akan memperkeruh dunia politik yang ada. Selain itu tuntutan sekte khawarij adalah menuntut khalifah Ali untuk menbatalkan arbitrase dan menyuruh Ali untuk bertobat dan mengakui kesalahannya, karena menurut asumsi mereka, khalifah Ali telah berbuat dosa besar. Selain pandangan mereka terhadap khalifah Ali demikian, mereka juga menghukumi kesalahan Mu’awiyah lantaran Mu’awiyah ikut serta menentang dan memberontak melawan kekuasaan penguasa setelah khalifah Utsmasn dan sebab Mu’awiyah termasuk kerabat dari khalifah Utsman, sedangkan khalifah Utsman dihukumi oleh mereka lantaran nepotismennya[15]. Maka sebab dari itu, mereka menghukumi sebagai murtadiyun dan berdosa besar yang menjadikan mereka sebagai kafir dan pemimpin yang tidak sah, dan jihad membunuh mereka hukumnya wajib.
Terkait dengan teologi yang dianut oleh khawarij, mereka hanya mengenal dalam filsafat mereka dua katagori; mukmin atau kafir. Menurut hemat penulis, persoalan teologi yang terjadi di antara khawarij dengan kubu Mu’awiiyah, kubu Khalifah Ali pada khususnya, bersumber adanya ketidak puasan dari pihak khawarij atas langkah dan kebijakan yang di tentukan oleh khalifah Ali, sedangkan mereka menyeret permaslahan tersebut ke ranah politik, sedangkan yang lebih dominan adalah persoalan politik dan dengan teologi pemahaman mereka, mereka gunakan sebagai ukuran suatu kebenaran menurut persepsi mereka.
Pada umumnya, orang-orang khawarij terdiri dari bangsa Arab Baduwi yang hidup bersosial di daerah padang pasir. Corak gaya hidup mereka cenderung sederhana mudah memikirkan suatu hal-hal yang perlu bahas menurt mereka. Berbeda dalam segi watak, mereka lebih menonjolkan watak keras hati, pemberani, bersikap merdeka tidak bergantung kepada orang lain dan bahkan berani mati. Diperkirakan ajaran agama dan perubahannya yang datang kepada mereka, tidak dapat merubah sifat-sifat Baduwi mereka yang lebih menekankan ekstremis daripada keluwesan. Mereka terbilang sebagai golongan yang jauh dari ilmu pengetahuan. Dari sebab itu, mereka menjadikan ajaan-ajaran yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sebagai tolak ukur penilaian dengan mengartikan bahwa semua yang ada dalam dua sumber hukum tersebut, harus dilaksanakan sepenuhnya secara pemahaman lafdzi[16] ditambah dengan sikap fanatik, mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan ataupun perbedaan cara pandnag orang lain terhadap ajaran islam walaupun bersifat kecil ataupun cabang-cabang ajaran agama. Maka dari itu, kemungkinan besar penyebab terpecahnya sekte khawarij ke berbagai sekte-sekte kecil lainnya.
Menurut Asy Syahrastani dalam karyanya  Al-Milal Wa al-Nihal, beliau menyebutkan bahwa sekte khawarij terpecah menjadi delapan belas  sub sekte, sedangkan menurut Muhammad ‘Ali Subeih al-Baghdadi menuturkan dalam karyanya Al-Farq baina al-Firaq, ikhawarij terbegi menjadi dua puluh sub sekte dan menurut Al-Asya’ari jumlah sekte yang ada lebih besar lagi daripada kabar yang di berikan oleh Asy Syahrastani dan Al-Baghdadi. Mengingat jumlah yang sangat besar, penulis bemaksud hanya akan mengutarakan sebagian dari sekte-sekte yang ada.
Al-Muhakkimah, sekte ini asli berangotakan dari pengikut-pengikut khalifah Ali. Sama halnya sekte khawarij pada umumnya, mereka memandang shabat Ali, Mu’awiyyah, Amr bin ‘Ash, Abu musa al- Asy’ari dan semua yang terlibat dalam arbitrase telah melalakuka dosa besar, maka mereka menjadi murtadin atau orang kafir. Label kafir ditetapkan ketia siapa saja yang berbuat dosa besar, pemimpin dari sekte ini  adalah Abdullah ibn Wahhab al-Rasyidi[17].
Al-Azariqah, sekte ini terbilang cukup kuat dalam menyusun barisan, golongan ini berdiri setelah golongan Al-Muhakkimah hancur. Sedangkang daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dan Iran, nama golongan ini dinisbatkan dari Nafi’ bin al-Azraq. Tercatat jumlah pengikut golongan ini mencapai lebih dari 20 ribu pengikut. Sedangkan gelar kepala pimpinan kelompok ini bergelar Amir al-Mu’minin, tokoh dan sekaligus menjadi pimpinan pertama golongan ini adalah Nafi’ ibn al-Azraq. Dia gugur ketika pertempuran di Irak di tahun 686 M[18].
Sekte ini termasuk sekte yang paling radikal bila dibandingkan dengan Al-Muhakkimah. Di sekte ini term kafir tidak lagi menjadi label hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, melaikan dengan term musyrik. Dalam sekte ini, term musyrik diartikan tidak sebatas ketika menyekutukan Allah, lebih spesifik term ini diberikan kepada orang-orang islam yang tidak sefaham, tidak bertempat dengan mereka, bahkan orang yang mengaku berfaham Al-Azariqah di dearah yang jauh dengan daerah mereka, tetapi tidak mau berhijrah ke daerah mereka, maka orang itu termasuk musyrik. Kepercayaan atas pengakuan orang yang sefaham mengenut Al-Azariqah, tidak sebegitu mudah untuk diterima dikalangan mereka, mereka menguji orang yang mengaku sefaham dengan cara menyerahkan tawanan untuk dibunuh, sedangkan apabila orang tersebut tidak mau membunuh maka orang tersebutlah yang akan dibunuh, bukan hanya seseorang itu saja yang mendapat imbasnya, bahkan istri dan anaknya boleh dijadikan tawanan atau dibunuh. Hal ini berlaku tidak hanya untuk seseorang yang tidak mau membunuh tadi, tetapi berlaku juga untuk siapa saja yang dianggap musyrik. Tindakan mereka yang lebih ekstrim diperlihatkan dengan agenda menanyai bagi siapa saja yang berpapasan dengan mereka, apabila terungkap orang-orang yang berpapasan tidak sefaham dengan mereka maka oang tersebut akan dibunuh[19].
Al-Najdat, sekta ini,  diambil dari nama Najdat ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah. Sekte ini pada awalnya bermaksud untuk bergabung dengan sekte Al-Azariqah, tetapi lantaran adanya perbedaan cara pandang sehingga mereka mengalami perpecahan, seperti pemisahan diri Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Atiah ibn al-Hanafi dari sekte Al-Azariqah. Hal ini, terjadi karena mereka yang memisahkan diri dari sekte al-Azariqah, tidak sepakat dengan hukum yang dicetuskan oleh sekte Al-Azariqah; bahwasanya, mereka yang mengaku sebagai pengikut sekte Al-Azariqah, tetapi tidak berdomisili bermukim di lingkungan kekuasaan sekte Al-Azariqah dan tidak mau hijrah ke lingkungan kekuasaan sekte Al-Azariqah, maka dihukumi musyrik dan anak istri mereka halal dijadikan tawanan bahkan diperbolehkan untuk di bunuh. hal ini kemungkinan disebabkan ada maksud lain dari mereka yang memisahkkan diri dari Al-Azariqah[20], dimungkinkan adanya unsur perebutan kekuasaan karena pada dasarnya sekte khawarij, secara umum bertindak atas nama politik dan mengunakan teologi agama sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan mereka.
Setelah Abu Fudaik resmi memisahkan diri dengan sekte Al-Azariqah, dia dan pegikutnya bertolak ke Yamamah. Disini mereka menyusun strategi dan menyusun kekuatan, dengan cara berkoalisi dengan kelompok Najdah. Strategi Fudaik untuk mendapat dukungan, dia mengangkat Najdah ibn ‘Amir al-Hanafi sebagai imam baru bagi kedua kelompok tersebut. Jadi sejak ditetapkannya Najdah sebagi Imam baru bagi mereka, mereka tidak lagi mengakui Nafi’ sebagai imam baginya, strategi ini dilancarkan oleh Fudaik lantaran Najdah sebagai orang yang berpengaruh dan dihormati.
Berbeda dengan dua sekte yang telah dijelaskan terkait dengan pemberian hukum terhadap orang yang berdosa besar, dalam sekte ini mereka menghukumi orang yang berbuat dosa besar tetap mu’min, tetap menerima siksaan tetapi tidak dalam neraka dan dapat masuk surga. Sekte ini cukup lunak dalam menetapkan hukum, terbukti mereka tidak dengan mudahnya menghukumi seseorang dengan term kafir bagi pelaku dosa besar. Mereka berpendapat, apabila dosa kecil terlalu bahkan selalu di ulang-ulang maka akan menjadi dosa besar dan akan menjadi musyrik.
Asas yang mereka gunakan sebagi pondasi akidah mereka dengan pendapat, bahwa kewajiban muslim mengetahui Allah dan Rasul-rasulNya, mengetahui keharaman membunuh orang islam dan percaya apa saja yang diwahyukan Allah kepada rasulNya. Sedangkan maksud dari orang islam adalah orang-oarang yang segolongan dan sefaham dengan mereka, adapun jika dari mereka tidak mengetahui suatu hal tersebut rupanya haram, maka mereka akan memaafkan hal itu[21].
Pandangan mereka dalam masalah Khalifah, mereka berpendapat bahwasanya adanya imam diperlukan apabila dari rakyat menghendaki adanya imam. Tercatat bahwa golongan ini yang mengawali faham taqiah, dalam arti menyembunyikan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang tersebut. Perbuatan tersebut diperblehkan tidak hanya dengan ucapan melainkan dengan perbuatan, perbuatan itu dapat dikatagorikan sebagai politik mereka untuk mengelabui lawan mereka. Namun tidak semua pegikut dari kelangan sekte ini, menyetujui ajaran-ajaran di atas terutama faham yang menerangkan dosa besar tidak dapat membuat pelakunya mejadi kafir, perpecahan dalam tubuh sekte ini, disinyalir berawal dari ranah politik yang mana terjadi sebab pembagian barang-barang rampasan perang, yang mungkin dirasa mereka kurang adil sehingga menjadikan mereka berontak dan di tambah dengan sikap Najdah yang begitu lunak terhadap khalifah Abd al-Malik ibn marwan dari dinasti Umayyah. Dari sinilah perpecahan terjadi, dengan ditandai keluarnya Abu Fudaik, Rasyid al-tawil and ‘Athiah al-Hanafi dari barisan golongan Najdah. Setelah kejadian itu, ‘Athiah mengasingkan diri ke Sajistan di Irak, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid menyusun rencana dan membentuk pasukan guna menyerang Najdah, usaha mereka berdua mendapatkan hasil dengan tertangkapnya Najdah dan memenggal lehernya[22].
Al-Ajaridah, sekte ini mengambil nama untuk golongan mereka dari nama ‘Abd al-Karim ibn ‘Ajrad dan sekaligus sebagai tokoh pemimpin di golongan tersebut. Dalam pandangan hukum mereka, hijrah bukanlah merupakan kewajiban seperti yang di jadikan sebagai ajaran sekte Nafi’ dan Najdah, melainka hanya kebajikan. Adapun ketika seseorang yang menjadi pengikut sekte ini tidak berada dalam lingkungan kekuasaan mereka, seseorang itu tidak dihukumi sebagai kafir. Menyikapi sesuatu yang boleh dijadikan rampasan perang,  mereka berpendapat semua harta boleh dijadikan rampasan perang dengan catatan harta tersebut dari orang-orang yang telah mati terbunuh dan anak kecil dihukumi tidak bersalah, tidak pula musyrik sebab orang tuanya musyrik. Salah satu faham yang dianut oleh sekte ini, yaitu faham puritanisme dan memandang surah Yusuf dalam Al-Qur’an bukan termasuk bagian dalam Al-Qur’an, asumsi mereka bahwa dalam Al-Qur’an tidak mengandung ciretera cinta karena Al-Qur’an adalah kitab suci, asumsi mereka bertendensikan sebab dalam surah Yusuf mengandung ciretera cinta[23].
Seperti halnya perpecahan sekte-sekte kecil dari sekte khawarij, kejadian tersebut terjadi juga dalam diri sekte Al-Jaridah yang terpecah menjadi beberapa bagian kecil; seperti golongan Al-Maimuniah, golongan Al-Hamziah, kedua golongan tersebut menganut faham Qadariah; sedangkan golongan Al-Syu’aibiah dan Al-Hazimiah mengikuti faham jabbariah[24].
Al-Sufriah, tokoh sekaligus pemimpin sekte ini bernama Ziad ibn al-‘Asfar, sekte ini terbilang sebagai sekte yang dekat dengan sekte al-Azariqah dalam ekstrimnya[25]. Tetapi dalam sekte ini terdapat hal dan sebab yang dapat menyebabkan mereka lebih lunak, adapun hal-hal dan sebab tersebut, sebagai berikut;
Orang sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir, mereka berpendapat anak-anak yang musyrik  tidak boleh dibunuh, dari sebagian mereka berpendapat bahwa tidak musyrik bagi para pelaku dosa besar; dari sebagian mereka pula membagi dosa besar menjadi dua bagian, pertama dosa besar yang apabila dilakukan akan mendapat sangsi didunia, kedua dosa besar yang apabila dilakukan maka tidak ada ampun baginya dan pelaku dihukumi kafir, daerah yang tidak sepaham dengan faham sekte mereka bukan daerah yang harus diperangi, mereka hanya manyerang camp pemerintah sedangkan anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan, mereka membagi term kufr menjadi dua yaitu kufr atas nikmat dan rahmat dari Allah dan kufr atas pengingkaran terhadap Allah[26].
Adapun pendapat mereka yang lebih spesifik sebagai ciri dari sekte ini adalah, pandapat yang mengatakan bahwa Taqiah hanya boleh berupa ucapan saja dan selanjutnya pendapat tentang diperbolehkan perempuan-perempuan islam menikah dengan laki-laki kafir jika hanya sebagai upaya menyelamatkan dan mengamankan dirinya[27].
Al-Ibadah, nama sekte ini di ambil dari nama ‘Abdulllah ibn ‘Ibad[28], sekte ini termasuk yang paling moderat dari berbagai sekte-sekte khawarij, hal ini di lihat dari berbagai pendapat mereka, diantaranya. Seseorang yang islam atau daerah islam yang tidak berfaham sama dengan mereka tidak mu’min dan tidak musyrik melainkan mereka kafir, tetapi dari mereka diperbolehkan berinteraksi dengan sekte ini, bahkan di perbolehkan menikah dan waris mewaris; daerah orang-orang islam yang tidak sefaham dengan mereka tidak boleh diserang diperangi, daerah tersebut termasuk daerah yang mengEsakan Allah, sedangkan daerah yang harus diperangi adalah daerah orang kafir dalam hal ini adalah camp pemerintah; orang islam yang melakukan dosa besar tetap dihukumi orang yang mengEsakan Allah dan tetap mu’min, kalaupun kufr hanya kufr nikmat rahmat dari Allah bukan kufr berpaling kepada Allah; sesuatu yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah kuda dan senjata selebihnya dikembalikan ke pemiliknaya.
Tindakan sekte ini cukup membuat sejarah berbicara lain tentang sekte khawarij pada umunya, lantaran sekte ini bertindak dan berkoalisi dengan khalifah yang berkausa pada masa itu guna menumpas sekte-sekte khawarij yang berfaham ekstrim. Kemungkinan dari sebab itulah sekte ini masih tetap ada menjadi pelangi didunia ini khususnya dalam dunia islam. Mereka tersebar diberbagai daerah diantaranya, Afrika Utara (Tripolitania dan Tahet), Afrika Timur (Zanzibar), Yaman dan Oman yang hanya satu-satunya daerah yang mengunakan akidah sekte ini sebagai agama resmi mereka[29]. Adapun sekte ekstrim dari khawarij, kini termakan zaman tidak ada penerus dan tidak juga berkembang. Tetapi ajaran-ajaran ekstrim mereka masih membekas dan masih mempunyai pengaruh walaupun tidak banyak dalam masyarakat sekaranag. Adapun pengaruh tersebut mengilhami kelompok-kelompok radikal kontemporer sebagai penerus mereka, seperti kelompok radikal Takfir wa al-Hijrah di Mesir dan begitu juga Jama’ah al-Jihad[30].
BAB III PENUTUP
A.    Ringkasan
Sekte Khawarij berdiri setelah pasca kesepaatan khalifah Ali dan gubernur Mu’awiyah mengadakan arbitrase bersama, disebabkan atas kekecewaan mereka terhadap keputusan khalifah Ali yang tidak mengindahkan mereka. Khawarij disini dalam arti kumpulan orang-orang yang keluar dari barisan pasukan dari pihak khalifah Ali. Khawarij terbagi menjadi berbagai sekte-sekte bagian, diantaranya Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-Ajaridah, Al-Sufriah, Al-ibadiah dan sekte-sekte lainnya. Pengaruh mereka terhadap dunia kontemporer masih ada walaupun sedikit.
B. Datar pustaka
Al ‘Amqari,  Abdul Malik bin Hasyim, Sirah an Nabawyah, Natata software,2002-2003.
Asy Syahrastani, Abu al Fattah Muhammad Abdu al Karim, Al Milal Wa an-Nihal, kairo: Muassasah Al Halaby, 1968.
Esponsito, John L., ISLAM WARNA WARNI: Ragam Ekspresi Menuju “jalan lurus” (al-Shirrat al-Mustaqim), diterjemah oleh Arif Maftuhin dari “Dosen IAIN sekarang UIN Sunan Kalijogo”, Jakarta: PARAMADINA, 2004.
Ibn Mandzur, Ibn Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram, Lisan al ‘Arab, Kairo: Darru al-Ma’arif, 1119.
Kurnia, Fahmi, “Definisi tokoh-tokoh khawarij dan sekte”, http://fahmikurniaartikel.blogspot.com/2012/07/definisi-tokoh-tokoh-khawarij-dan-sekte.html, diakses pada 27 Juli 2012.
Nasir, Sahilun A., PENGETAR ILMU KALAM , Jakarta: raja wali press, 1991.
Nasution, Harun, TEOLOGI ISLAM: ALIRAN-ALIRAN SEJARAH ANALISA PERBANDINGAN, Jakarta: Penerbit Universitas Indinesia, 1986.


[1] Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM: ALIRAN-ALIRAN SEJARAH ANALISA PERBANDINGAN  (Jakarta: Penerbit Universitas Indinesia, 1986), h. 3.
[2] E-book: Abdul Malik bin Hasyim al ‘Amqari, Sirah an Nabawyah,(Natata software,2002-2003), h. 115-116.
[3] Sahilun A. Nasir, PENGETAR ILMU KALAM (Jakarta: raja wali press), h. 63.
[4] Harun Nasution, Op. cit. h. 4-5.
[5] Ibid. h. 6.
[6] Ibn Jamal al-Din Muhammad ibn Mukram ibn Mandzur, Lisan al ‘Arab (Kairo: Darru al-Ma’arif, 1119), h. 1126.
[7] Abu al Fattah Muhammad Abdu al Karim Asy Syahrastani, Al Milal Wa an-Nihal (kairo: Muassasah Al Halaby, 1968), h. 114.
[8] Harun Nasution, op. cit. h. 11.
[9] Suatu desa yang terletak di dekat kota kufah Irak
[10] Sahilu A. Nasir, op. cit. h. 92.
[11] Harun Nasution, Lo. Cit.
[12] Sahilun A. Nasir, op. cit. h. 94.
[13] Ibid. h. 95.
[14] Sahilun
[15] John L. Esponsito, ISLAM WARNA WARNI: Ragam Ekspresi Menuju “jalan lurus” (al-Shirrat al-Mustaqim), diterjemah oleh Arif Maftuhin dari “Dosen IAIN sekarang UIN Sunan Kalijogo”, (Jakarta: PARAMADINA, 2004), h. 88.
[16] Harun Nasution, op. cit. h. 13.
[17] Fahmi Kurnia, “Definisi tokoh-tokoh khawarij dan sekte”, http://fahmikurniaartikel.blogspot.com/2012/07/definisi-tokoh-tokoh-khawarij-dan-sekte.html, diakses pada 27 Juli 2012.
[18]Harun Nasution. Op.cit. h.14.
[19] Ibid, h. 15.
[20] Ibid, h. 15-16.
[21] Ibid, h. 16.
[22] Ibid, h. 18.
[23] Ibid, h. 18.
[24] Ibdi, h. 18.
[25] Ibid, h. 19.
[26] Ibid, h. 19.
[27] Ibid, h. 20.
[28] Harun Nasution, op.cit. h. 20-21.
[29] John L. Esposito, Islam Warna warni, Op.cit. h. 56.
[30] Ibid. h. 54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar